Matahari mulai naik, menghangatkan udara pagi. Clara dan Julian berjalan kembali ke perkemahan, menyusuri jalan setapak di antara pohon pinus yang menjulang. Langkah mereka pelan, tak terburu-buru. Hening masih terasa menggantung, namun kali ini bukan karena canggung—lebih karena masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Saat mereka sampai, suasana perkemahan sudah ramai. Suara tawa anak-anak terdengar nyaring di udara. Beberapa ibu sedang menyiapkan sarapan di dekat api unggun yang masih menyala kecil. Bu Dewi tampak sibuk mengaduk air teh di panci besar, sementara Bu Rina dan Bu Tatik menata roti dan telur rebus di meja piknik.
Anak-anak langsung berlari menghampiri Clara begitu melihatnya datang.
"Tante Clara, tadi kami lihat rusa beneran loh!" teriak Rafi sambil menunjuk ke arah hutan. "Beneran! Ada tanduknya!"
Clara tersenyum, membelai kepala anak itu. "Wah, hebat! Tapi hati-hati ya, jangan terlalu jauh masuk hutan."
Julian menyapa para suami yang sedang menyiapkan alat pancing dan perlengkapan outbond untuk anak-anak. Ia bergabung sebentar, bercanda ringan, lalu duduk di kursi lipat sambil menyesap kopi hangat yang dibuat Bu Rina.
Clara ikut membantu para ibu menyiapkan sarapan. Tapi pikirannya masih berputar—tentang kata-kata Julian, tentang Alina, tentang dirinya sendiri, dan tentang rasa yang pelan-pelan tumbuh, walau ia belum tahu harus dibawa ke mana.
Sesekali tatapannya bertemu dengan Julian. Mereka hanya saling tersenyum kecil, tapi rasanya cukup... untuk saat ini.
--
Matahari sudah naik tinggi, sinarnya menembus sela-sela pepohonan dan menciptakan bayangan cantik di tanah berumput. Suara riuh anak-anak mulai menggema lebih kencang saat kegiatan demi kegiatan dimulai.
Area Outbond Anak-anak.
Beberapa ayah sibuk menyiapkan permainan sederhana: lomba tarik tambang, estafet bola, dan lempar gelang dari kayu. Anak-anak, dengan tawa lepas dan pipi memerah karena antusiasme, berlarian ke sana kemari. Ada yang kesulitan membawa bola dengan sendok, ada pula yang bersemangat menarik tambang sambil terjatuh tertawa.
Clara duduk bersama para ibu, ikut tertawa melihat tingkah lucu anak-anak.
"Lihat si Dito, sampai jatuh dua kali tapi nggak mau nyerah!" ujar Bu Tatik sambil terbahak.
"Anak-anak memang cepat akrab ya, padahal kemarin masih malu-malu," sahut Bu Dewi.
Piknik Keluarga
Di pinggir danau kecil yang tenang, tikar-tikar digelar. Para ibu menata makanan: nasi uduk, ayam goreng, perkedel, dan sambal terasi buatan Clara. Aroma harum masakan membuat semua yang lewat melirik. Anak-anak yang selesai lomba segera menghampiri, mengambil tempat duduk sambil menyeruput air kelapa dari botol.
Julian ikut bergabung setelah selesai membantu membuat rakit sederhana dari bambu bersama dua ayah lain.
"Kita jadi bikin rakit nih, buat main-main di danau, nggak jauh kok," katanya ke Clara, yang hanya tertawa melihatnya penuh lumpur di celana.
"Kamu ngajar anak-anak atau malah ikut main sih?" Clara menggodanya ringan.
Julian hanya mengangkat alis dan menyeringai. "Bisa dua-duanya."
Mereka lalu makan bersama, duduk di atas tikar yang sama. Clara diapit Bu Rina dan Bu Dewi, sedangkan Julian duduk agak serong di seberang, dekat beberapa anak yang sedang berebut gorengan.
Waktu Istirahat
Setelah perut kenyang dan tubuh lelah karena bermain, satu per satu anak mulai bergelimpangan di tikar, tertidur pulas. Para ibu pun ikut beristirahat, beberapa menyandarkan kepala ke bahu suaminya, menikmati angin sejuk hutan.
Clara memejamkan mata sejenak. Di dekatnya, Julian duduk bersandar pada pohon besar, wajahnya mengarah ke danau. Tenang dan diam. Namun ketika mata mereka bertemu lagi, senyum lembut terlukis di wajah mereka.
Tak ada kata-kata.
Tapi keheningan itu... hangat.
--
Mentari mulai turun perlahan ke ufuk barat, sinarnya berubah keemasan, menyapu seluruh area perkemahan dengan hangat yang lembut. Suasana berubah—dari riuh ke teduh.
Anak-anak Masih Enerjik
Meski sebagian sudah tidur siang, sebagian lain bangun dengan energi penuh. Mereka mulai bermain petak umpet di antara pepohonan dan tenda-tenda yang sudah didirikan sejak siang. Tawa mereka masih bergema, kadang terdengar suara teriakan senang saat salah satu berhasil menemukan teman sembunyi.
"Anak-anak ini stamina-nya kayak nggak ada habisnya ya," ujar Bu Rina sambil menyalakan lampu tenda kecilnya.
"Besok baru capeknya kerasa. Hari ini sih masih heboh semua," balas Bu Tatik sembari menyuapi anaknya yang baru bangun.
Ayah-ayah Menyiapkan Api Unggun
Di tengah area perkemahan, para ayah mulai menumpuk kayu untuk api unggun malam nanti. Julian ikut membantu, menyusun batang kayu dengan rapi sambil bercanda dengan beberapa bapak yang lain.
Sesekali, matanya mencari-cari Clara yang sedang duduk tak jauh dari sana, membantu membagi camilan sore: ubi bakar dan jagung rebus.
"Bu Clara, ini ada yang nanya loh, katanya ubi bakarnya enak banget. Resepnya boleh dong," celetuk Bu Dewi, melirik Julian diam-diam.
Clara cuma tersenyum, pipinya sedikit memerah. "Ah, biasa aja kok, cuma pakai gula merah dan sedikit kelapa parut."
Julian sempat menatapnya agak lama saat itu—tak terlalu lama, tapi cukup membuat Clara berpaling cepat sambil pura-pura sibuk membalik ubi yang masih hangat.
Menjelang Magrib
Langit berubah warna menjadi ungu kemerahan. Lampu-lampu tenda mulai dinyalakan satu per satu, menciptakan cahaya temaram yang indah. Angin mulai sejuk, menggoda tubuh untuk mencari jaket atau selimut tipis.
Clara berjalan pelan menuju danau, hanya ingin menghirup udara segar. Tapi langkahnya terhenti ketika Julian muncul dari sisi lain, membawa dua gelas kopi hangat dalam gelas kertas.
"Kupikir kamu butuh ini," ujarnya, menyerahkan salah satunya.
Clara menerimanya sambil mengangguk kecil. "Terima kasih."
Mereka berdiri berdampingan di pinggir danau, hanya diam.
Cahaya senja, suara serangga, dan angin sore... semua mengisi kekosongan kata-kata yang tak terucap.
"Aku nggak pernah nyangka akan nemu rasa tenang kayak gini lagi," gumam Julian lirih, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Clara meliriknya sekilas. Tapi tak menjawab.
Mungkin... sebagian dari dirinya pun merasakan hal yang sama.
Cahaya senja yang mulai meredup membingkai siluet Julian dan Clara yang berdiri bersebelahan di pinggir danau. Suasana seolah membungkus mereka dalam ruang waktu yang tenang dan hangat, jauh dari hiruk pikuk dunia luar.
Julian menyesap kopinya, lalu menoleh sedikit ke arah Clara, suaranya tenang namun dalam.
"Kadang… kehilangan bikin kita lupa gimana caranya jadi diri sendiri."
Clara menatap permukaan danau yang mulai gelap, bayangan pepohonan terpantul samar-samar di air.
"Aku juga gitu. Lama banget ngerasa kayak cuma hidup setengah-setengah." Julian tersenyum tipis, matanya tidak lagi menatap danau, tapi menatap Clara.
"Tapi sekarang aku pikir, setidaknya… di sisa waktu yang kita punya, kita bisa coba jadi diri kita sendiri lagi. Dan nikmatin semua hal kecil yang masih bisa kita rasa."
Clara menggenggam gelas kopinya sedikit lebih erat. Ucapan Julian menembus celah batinnya yang selama ini berusaha tetap kokoh.
Angin sore menyapu pelan helaian rambut Clara, dan untuk sesaat… dia mengizinkan dirinya tersenyum—bukan karena lupa akan masa lalu, tapi karena menyadari bahwa hatinya masih mampu merasa hangat.
"Terima kasih…" ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.
Julian tak menjawab. Dia hanya menatap danau, lalu menarik napas dalam-dalam seolah menyimpan banyak hal yang tak perlu diucapkan malam itu.
Mereka berdiri dalam diam. Tapi kali ini, diam itu bukan karena canggung.
Melainkan karena nyaman.
--
Malam terakhir di perkemahan itu terasa berbeda. Langit cerah, bertabur bintang, dan udara yang sejuk membawa aroma hutan dan kayu bakar dari api unggun yang menyala di tengah lingkaran warga desa.
Julian muncul dari balik mobilnya, membawa sesuatu yang membuat anak-anak langsung bersorak.
"Lampion!" teriak Rafi sambil melompat kegirangan.
Di tangannya, Julian menggenggam beberapa lampion kertas berwarna lembut—merah muda, biru muda, kuning, putih, dan oranye. Setiap lampion diberi pita kecil dan kertas kecil yang digantung di bawahnya.
"Kita semua akan menuliskan harapan malam ini," ucap Julian sambil tersenyum. "Untuk diri sendiri, untuk orang yang kita sayangi, atau untuk masa depan. Lalu kita terbangkan bersama."
Bu Dewi memeluk suaminya, sambil menggoda manja, "Wah, bisa romantis juga ya Pak Julian ini."
Clara tertawa kecil sambil menerima lampion berwarna putih susu dari Julian. Pandangannya sejenak bertemu dengan pria itu. Ada sesuatu yang tak diucapkan, namun mengalir lewat senyuman mereka.
Satu per satu keluarga mulai duduk melingkar, anak-anak serius menulis dengan pensil warna, sementara para ibu terlihat lebih hati-hati menuliskan harapan mereka.
Julian duduk sedikit terpisah, menulis dengan cepat namun penuh perasaan. Saat Clara melirik, ia melihat Julian melipat kecil kertasnya sebelum menggantungkannya ke lampion biru miliknya.
Clara sendiri butuh waktu. Di tangannya, pena bergetar sedikit. Ia menulis:
"Semoga aku bisa memaafkan diriku sendiri. Dan membuka hati… sekali lagi."
Beberapa menit kemudian, Julian berdiri, menggenggam lampion miliknya.
"Saat kalian semua siap, kita hitung mundur dan terbangkan lampion-lampion ini ke langit. Biar harapan kita terbang, walau pelan… tapi pasti."
Semua berdiri. Clara di samping Julian. Anak-anak dengan mata berbinar memegang erat lampion mereka.
"Tiga… dua… satu!"
Langit pun perlahan dipenuhi cahaya lembut dari lampion-lampion yang terbang perlahan, naik membawa mimpi dan harapan orang-orang kecil dari desa sederhana itu.
Clara menatap ke atas, bibirnya menyunggingkan senyum yang dalam.
Dan di sebelahnya, Julian berbisik pelan, hanya cukup untuk dirinya sendiri:
"Semoga kamu bisa bahagia… walau bukan bersamaku."
--