Malam itu, setelah selesai menurunkan semua barang di kantor kepala desa, Julian duduk di meja kerja kecilnya. Cahaya lampu kuning temaram menyinari permukaan laptop yang terbuka, dan secangkir kopi sudah hampir dingin di sisi tangan kirinya.
Di layar, sketsa warung Clara mulai terbentuk. Ia merancang dengan teliti—menjaga bentuk asli, mempertahankan nuansa tradisional, tapi menambahkan sentuhan modern yang hangat. Japandi style, pikirnya. Gaya yang bersih, tenang, dan bersahabat dengan alam—seperti Clara.
Tapi malam itu, Julian tidak buru-buru. Ia hanya menyimpan desainnya, memberi nama file itu "Rencana Clara", lalu memandanginya sejenak.
"Aku nggak akan ubah apapun… tanpa persetujuannya," gumamnya pelan. "Tapi kalau dia mau, aku ingin tempat itu jadi sesuatu yang baru. Bukan cuma warung makan. Tapi tempat yang memberi napas."
Ia memejamkan mata sejenak. Masih ada rasa ragu, bukan karena tak yakin dengan desainnya, tapi karena ia tahu—hal-hal seperti ini bukan sekadar soal bentuk dan warna. Ini soal perasaan, kenangan, dan keberanian untuk membuka lembaran baru.
Dan untuk itu… ia harus bicara dengan Clara.
Tapi tidak sekarang. Besok, mungkin.
Malam itu, Julian hanya menutup laptopnya perlahan. Masih ada banyak waktu. Dan ia memilih untuk menunggu Clara siap.
--
Pagi harinya, Warung Makan Clara mulai ramai seperti biasa. Aroma gorengan dan wangi sambal yang khas tercium hingga ke jalanan depan. Clara menyapa para pelanggan setia dengan senyum lembut, meski hatinya masih sedikit dibayangi rasa bingung sejak liburan.
Tak lama kemudian, suara sepeda motor berhenti di depan warung. Clara menoleh—Julian turun dengan ransel selempang dan senyum kecil di wajahnya. Tapi kali ini bukan senyum menggoda seperti biasa. Ada kesan lebih tenang… lebih serius.
"Pagi," sapa Julian, duduk di salah satu bangku kosong.
"Pagi juga," jawab Clara sambil menuangkan teh hangat. "Mau sarapan?"
Julian mengangguk. "Seperti biasa, ya."
Beberapa menit kemudian, saat suasana warung mulai lengang dan para ibu-ibu mulai beranjak, Julian mengeluarkan map dari tasnya. Ia menggesernya ke arah Clara.
"Aku tahu kamu mungkin bakal mikir ini tiba-tiba," katanya pelan. "Tapi aku ada rencana buat taman baca dan ruang kegiatan outdoor anak-anak desa. Aku udah bicara sama Pak Kepala Desa juga… dan aku pengen ngajak kamu buat terlibat."
Clara membuka map itu perlahan. Ada sketsa taman kecil dengan sudut baca, beberapa tempat duduk dari bambu, papan cerita, dan lahan terbuka dengan pohon rindang sebagai atap alami. Di halaman kedua… ada sketsa warungnya.
Matanya membulat. "Ini…"
Julian tersenyum kecil. "Aku nggak akan ngapa-ngapain warung kamu tanpa izin. Tapi aku lihat tempat ini punya potensi jadi titik kumpul warga. Tempat makan, tempat ngobrol, tempat anak-anak nunggu dijemput… dan mungkin, tempat yang bisa bikin kamu tetap di tengah semuanya, tapi nggak harus nahan semuanya sendirian."
Clara terdiam sejenak. Pandangannya berpindah dari sketsa ke wajah Julian. Ada sesuatu yang menghangat dalam dadanya—campuran kagum, bingung, dan… harapan.
"Kenapa kamu ngelakuin semua ini?" tanyanya pelan.
Julian mengangkat bahu. "Mungkin karena aku tahu rasanya kehilangan. Dan tahu rasanya butuh tempat buat mulai lagi."
Tak ada kata-kata yang keluar dari Clara saat itu. Tapi tatapannya tak lagi curiga atau waspada. Ada getar kecil di dadanya, halus, namun nyata.
"Aku pikirin dulu ya," katanya akhirnya.
Julian mengangguk pelan. "Itu udah cukup buat sekarang."
Dan pagi itu berjalan seperti biasa… namun entah kenapa, terasa sedikit berbeda.
---
Clara duduk kembali di bangku kayu panjang depan warung. Tatapannya masih tertuju pada papan nama warung yang sudah pudar, lalu beralih ke sketsa yang dibawa Julian tadi pagi. Ia ambil kertas itu, menatapnya lama. Hening. Angin sore berhembus pelan, membuat helaian rambutnya bergerak lembut.
Perlahan, ia bergumam sendiri.
"Kenapa sih… harus kamu?"
Ia mengusap pelan sudut sketsa itu, bibirnya tersenyum tipis, nyaris seperti tak sadar.
"Aku baru saja mulai terbiasa sendiri… baru mulai tenang. Tapi kamu datang dan—"
Ia menghela napas.
"—seperti tahu celah yang paling aku jaga rapat."
Kepalanya menunduk. Jemarinya meremas sedikit lipatan kertas itu.
"Aku bahkan belum sepenuhnya selesai dengan masa laluku… tapi sekarang, kamu malah membuatku ingin memulai sesuatu yang baru."
Diam. Pandangannya kembali terarah ke papan warung.
"Bodoh, ya? Bisa-bisanya aku berharap lagi."
Lalu ia berdiri, melipat sketsa dengan hati-hati, membawanya masuk dan menyimpannya ke dalam laci.
"Tapi mungkin… mungkin enggak apa-apa, kalau cuma sebentar."
--
Langit malam di desa tampak jernih. Bintang-bintang bertebaran, dan suara jangkrik mengisi kesunyian. Julian duduk di beranda rumah singgah, sendirian, ditemani secangkir kopi hangat dan secarik kertas berisi sketsa kasar warung Clara.
Ia menyender di kursi kayu, memandangi kertas itu lama.
"Gila, ya…" gumamnya lirih.
"Cuma beberapa minggu di sini, tapi rasanya kayak udah tinggal setahun."
Tangan kirinya memutar-mutar pensil mekanik yang biasa ia pakai menggambar. Di benaknya, terbayang wajah-wajah anak-anak desa yang berlarian saat itu, semangat warga yang sederhana, dan senyum… Clara. Yang selalu samar tapi hangat.
Julian mendesah pelan, nyaris seperti keluhan.
"Beberapa hari lagi balik ke kota. Dan entah kenapa, itu enggak segampang biasanya."
Ia menunduk, menatap meja kecil di depannya. Di atasnya, ada foto Polaroid yang diambil Bu Tatik saat acara perkemahan. Julian ada di ujung frame, Clara di sampingnya, tertawa bersama anak-anak.
"Awalnya cuma mau bantu sedikit… iseng, kabur dari penat kota, dari hidup yang kosong."
Ia tersenyum miris. "Tapi ternyata… tempat ini ngasih lebih banyak dari yang kupikir."
Lalu matanya kembali tertuju ke sketsa. Ia usap sedikit ujung kertasnya.
"Dan kamu, Clara…"
Suara Julian hampir tak terdengar, hanya lirih di antara malam.
"Kamu berhasil bikin aku takut. Karena aku tahu, aku bakal rindu kamu. Lebih dari yang seharusnya."
Ia terdiam. Lama.
Kemudian, seakan memantapkan hati, Julian bangkit. Ia bawa kertas-kertasnya ke dalam, menaruhnya di meja kerja kecil. Komputer dan drawing pad sudah menyala.
Ia duduk, menarik napas panjang.
"Kalau pun ini akhir dari waktu kita… biar ada sesuatu yang tertinggal."
"Sesuatu yang bisa bikin kamu ingat… bahwa pernah ada seseorang yang diam-diam ingin kamu bahagia."
Dengan itu, ia mulai menggerakkan stylus-nya, menggambar lagi. Malam makin larut. Tapi Julian tak bergeming. Hanya suaranya yang pelan, menyatu dengan bunyi jangkrik di luar jendela.
"Mungkin kamu enggak pernah tahu… tapi aku pernah jatuh hati di desa kecil ini."
--
Clara duduk sendirian di dalam kamarnya. Lampu meja redup menyinari sebagian wajahnya. Di hadapannya, buku catatan kecil terbuka, tapi sudah sejak tadi tak ada satu huruf pun yang ia tulis. Tangannya hanya menggenggam pena, tapi pikirannya melayang entah ke mana.
Hatinya masih terisi sisa-sisa perasaan dari beberapa hari terakhir. Keheningan malam desa justru semakin memperjelas gema di dalam dirinya—tentang tawa anak-anak, semangat warga, dan... tentang Julian.
Ia mengusap wajahnya pelan. Ada sesuatu yang membuat dadanya sesak, tapi bukan karena luka. Justru sebaliknya—karena harapan kecil yang mulai tumbuh diam-diam. Dan itu yang membuatnya takut.
"Julian..." Clara bergumam lirih.
Namanya keluar begitu saja, seperti bisikan yang tak ingin terdengar siapa pun.
Ia berdiri dan membuka jendela kamarnya. Udara malam yang dingin menyambutnya, tapi juga menenangkan. Dari jauh, ia bisa melihat rumah singgah tempat Julian tinggal. Lampunya masih menyala.
"Dia belum tidur," ucapnya dalam hati.
Kemudian pikirannya melayang ke momen-momen kecil. Ketika Julian menggoda, tapi tak pernah melewati batas. Saat ia mendengarkan, tapi juga memberi ruang. Dan ketika matanya menatap dengan cara yang tak pernah membuat Clara merasa terancam... justru membuatnya merasa dihargai.
Namun di sela semua itu, bayangan Johan pun ikut hadir. Lelaki yang pernah menjadi segalanya. Sentuhan hangatnya. Kehadiran yang tak lagi ada. Dan kenangan yang masih melekat kuat.
Clara menunduk. Air matanya jatuh tanpa ia sadari.
"Maaf, Mas..." bisiknya. "Aku belum sepenuhnya bisa melepaskanmu. Tapi... aku juga lelah melawan diriku sendiri."
Ia memejamkan mata.
Ada rasa bersalah. Tapi juga ada rasa ingin hidup kembali.
Clara menatap langit malam. Bintang-bintang di atas sana tampak berpendar lembut.
"Kalau Mas di sana bisa dengar... doakan aku ya. Mungkin... aku cuma ingin dicintai lagi. Dengan cara yang baru."
Ia menutup jendela perlahan. Kembali ke tempat tidurnya, dan mengambil buku catatan tadi. Kali ini, ia menuliskan satu kalimat:
"Mungkin aku mulai membuka pintu yang dulu pernah tertutup rapat."
Tak lama setelah itu, ponselnya berbunyi. Bukan pesan dari Julian—hanya pengingat jadwal belanja untuk warung besok pagi. Tapi hati Clara... entah kenapa merasa sedikit hampa karena tak ada pesan dari pria itu malam ini.
Ia menatap layar ponselnya sebentar, lalu tersenyum kecil.
"Aneh. Padahal baru beberapa hari. Tapi kalau tak ada kabar darinya, rasanya sepi."
Clara menarik selimutnya. Menatap langit-langit kamar sambil bergumam pelan,
"Apa kamu juga akan merindukan tempat ini, Julian?"
--
Sudah lewat tengah malam ketika Clara masih duduk di kamarnya, ditemani secangkir teh yang sudah tak lagi hangat. Di hadapannya, kertas sketsa dari Julian terbuka, memperlihatkan garis-garis rancangan dengan gaya yang sederhana namun hangat. Japandi style, katanya—gabungan Jepang dan Skandinavia. Ada keseimbangan yang aneh, seperti perasaan Clara sendiri.
Tangannya menyentuh pinggiran kertas itu, lalu mengusapnya pelan. Ia membayangkan anak-anak desa duduk di bangku panjang, ibu-ibu bersenda gurau sambil menunggu gorengan keluar dari dapur, dan dirinya sendiri… tak lagi hanya berdiri di belakang etalase, tapi menjadi bagian dari semua itu. Bukan sekadar melayani, tapi hadir sepenuhnya.
Kata-kata Julian kembali terngiang di benaknya.
"Tempat makan, tempat ngobrol, tempat anak-anak nunggu dijemput… tempat yang bisa bikin kamu tetap di tengah semuanya, tapi nggak harus nahan semuanya sendirian."
Clara menutup mata sejenak. Mengingat semua yang pernah ia tahan. Rasa sepi. Rasa kehilangan. Rasa bersalah karena masih ingin bahagia.
Lalu perlahan, ia tersenyum kecil. Bukan senyum lega. Tapi semacam penerimaan. Mungkin, ini waktunya.
Ia berdiri, melipat sketsa itu dengan hati-hati, lalu memasukkannya ke dalam map. Langkahnya ringan saat ia menuju kamar.
Sebelum masuk, ia berhenti sebentar di depan cermin. Menatap pantulan wajahnya sendiri.
"Kamu nggak harus sendirian terus, Clara," katanya lirih pada dirinya sendiri. "Dan kamu boleh… mulai lagi."
Pagi belum datang. Tapi dalam hati Clara, fajar sudah menyingsing perlahan.
--