Pagi menyapa desa dengan lembut. Embun masih menempel di ujung daun, dan aroma tanah basah menyelinap lewat celah-celah jendela. Warung Makan Clara belum buka, tapi Clara sudah di dalam, merapikan meja, menyapu lantai, dan—yang paling terasa berbeda—menyiapkan secangkir kopi hitam.
Untuk tamu yang akan datang.
Dan benar saja, tak lama setelah itu, deru mesin mobil terdengar mendekat. Julian turun dengan kertas-kertas di tangan, terlihat seperti biasa: santai, sedikit acak-acakan, tapi penuh semangat. Namun langkahnya sempat melambat ketika melihat Clara sudah berdiri menunggunya di depan pintu.
"Selamat pagi," sapa Clara, suaranya jernih tapi lembut. "Masuk, aku bikin kopi."
Julian mengangkat alis sedikit, lalu tersenyum. "Wah, aku beruntung pagi ini."
Mereka duduk berseberangan. Tak ada anak-anak atau ibu-ibu desa kali ini. Hanya mereka berdua, dan pagi yang masih sepi.
Clara menarik napas, lalu meletakkan map berisi sketsa Julian di atas meja. "Aku udah mikir semalaman," katanya pelan, menatap lurus ke arah Julian. "Dan aku… setuju."
Julian terdiam sejenak. Mungkin tak menyangka akan mendengar itu sepagi ini.
"Aku nggak tahu akan berjalan sebaik yang kamu rancang, tapi… aku ingin coba. Mungkin warung ini memang bisa jadi tempat seperti yang kamu bilang. Dan mungkin, aku memang butuh sesuatu yang baru, walau sedikit saja."
Ada sesuatu di mata Julian—lega, haru, dan hormat. Ia mengangguk pelan, seperti tak ingin mengganggu momen itu dengan kata-kata berlebihan.
"Terima kasih," jawabnya akhirnya. "Aku janji, ini bukan soal mengubah semuanya. Tapi soal memperkuat yang sudah ada."
Clara mengangguk pelan. "Dan aku juga janji… aku akan coba buka hati. Pelan-pelan."
Kopi mereka mungkin sudah dingin. Tapi pagi itu hangat dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Bukan sekadar keputusan bisnis, atau pembangunan kecil di desa—tapi dua orang, yang sama-sama pernah kehilangan, akhirnya memutuskan untuk memberi kesempatan pada sesuatu yang mungkin… bisa jadi awal baru.
--
Pagi hari pertama renovasi.
Warga mulai berdatangan bukan untuk membeli makanan, melainkan untuk membantu. Bu Dewi datang lebih dulu membawa termos besar berisi teh hangat. Tak lama, Bu Tatik dan Bu Rina muncul sambil menggandeng anak-anak yang penasaran ingin melihat 'proyek besar' di warung tempat mereka biasa menunggu dan bermain.
"Pak Julian katanya mau bikin tempat ini makin kece," celetuk Bu Rina sambil tersenyum. "Tapi tetep murah, kan, Clar?"
Clara tertawa kecil. "Kalau udah jadi, kamu bantu promosiin ya."
Julian datang dengan membawa kotak-kotak perkakas dan kertas cetak biru. Hari itu ia memakai kaos hitam dan celana kargo, lengan digulung, wajah sedikit berkeringat meski hari masih pagi. Tapi matanya berbinar, seperti anak kecil yang dapat mainan baru.
"Permisi, arsitek masuk," katanya sambil mengetuk pintu secara dramatis.
Beberapa ibu tertawa geli, sementara Clara hanya menggelengkan kepala, meski senyumnya tak bisa disembunyikan.
Anak-anak langsung mengerumuni Julian, bertanya apa mereka bisa bantu mengecat atau menggambar. Julian menjelaskan rencananya pada warga: area makan dengan sedikit tanaman rambat di sisi kiri, papan nama baru dari kayu yang diukir tangan, dan sudut khusus dengan rak buku kecil dan bangku-bangku untuk anak-anak.
"Ini bukan cuma warung, ini rumah kedua," ucap Julian, menatap Clara sekilas.
Clara yang sedang menyapu debu-debu kayu, berpaling sejenak dan tertangkap pandangan itu. Sekilas. Tapi cukup membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Sore hari.
Saat warga istirahat, Clara dan Julian duduk berdua di sisi bangunan yang belum disentuh. Clara membawa dua gelas es teh, menyodorkan satu pada Julian.
"Jadi kamu beneran pernah jadi arsitek?" tanyanya pelan, memecah keheningan.
Julian mengangguk. "Pernah. Lalu buka resto kecil karena capek kerja di balik meja terus."
Clara menatapnya. "Dan sekarang balik pegang palu dan penggaris lagi?"
Julian terkekeh. "Mungkin karena di sini rasanya beda."
Clara tak menjawab. Ia hanya menatap langit yang mulai oranye. Tapi hatinya… mulai sedikit terang.
Julian melirik ke arah papan nama warung yang masih tergantung di atas mereka—tua, sedikit miring, hurufnya memudar.
"Kalau aku ganti papan itu… kamu rela?" tanyanya setengah menggoda.
Clara tertawa kecil. "Asal namanya tetap Warung Makan Clara, bukan Julian & Co."
Julian mengangkat tangan. "Demi Tuhan desa ini saksi, nama itu tetap milikmu."
Dan di sela tawa kecil mereka, angin sore membawa rasa yang tak bisa didefinisikan—hangat, akrab, dan entah kenapa… menyenangkan.
---
Hari Kedua: Struktur Awal dan Aksen Kayu
Papan nama warung diturunkan hari itu. Julian membawanya hati-hati, dan Clara memandangi papan tua itu sejenak. "Kayunya masih bagus. Bisa jadi rak kecil buat sudut baca," katanya.
Julian mengangguk. "Bagus, kamu mulai terdengar seperti partner proyek."
Hari itu, rangka bambu tambahan dipasang sebagai aksen di sisi kiri warung. Julian memilih kayu solid dengan garis bersih, khas gaya Japandi—fungsional, sederhana, hangat. Clara, meski awalnya ragu, mulai menikmati proses memilih warna cat dan memutuskan posisi rak piring gantung.
Dan ketika Julian menggoda, "Kamu punya selera minimalis juga ternyata,"
Clara menjawab, "Atau mungkin aku baru sadar, ruang sederhana itu bikin tenang."
Mereka saling pandang sebentar. Lalu kembali bekerja.
---
Hari Ketiga: Interior & Sudut Baca Anak-anak
Hari ini, kursi rotan pendek dan meja kayu dengan sudut melengkung dipasang. Julian menambahkan detail rak kecil dekat jendela yang bisa dibuka lebar. Clara menaruh dua tanaman gantung di dekatnya. "Biar nggak terlalu kaku," katanya.
Anak-anak datang dengan buku dan coretan kertas. Mereka membantu mengecat dinding sudut baca dengan warna putih tulang yang bersih. Clara duduk di bangku dan melihat mereka sambil tersenyum—sebuah pemandangan yang entah kenapa terasa… menyembuhkan.
Julian duduk di seberang, menggambar di buku sketsanya. Tapi sesekali ia mengangkat pandangan, diam-diam menatap Clara yang tertawa kecil bersama anak-anak.
Malamnya, Julian mengetuk pintu belakang warung. Ia menyerahkan sebuah lukisan kecil: gambaran Warung Makan Clara dari sudut matahari terbit, penuh kehidupan.
Clara menerimanya. "Kamu gambar ini hari ini?"
Julian tersenyum. "Mungkin aku cuma mencoba menangkap yang kamu bawa ke tempat ini."
Clara terdiam, menatap lukisan itu lama. "Terima kasih, Julian."
---
Hari Keempat: Dapur Terbuka dan Pencahayaan Natural
Julian mulai membongkar bagian belakang dapur, mengganti dengan jendela kayu lebar agar cahaya masuk lebih banyak. Clara menyarankan jendela bisa dilipat ke atas—seperti food stall modern—dan Julian langsung mencatat idenya.
"Jadi kamu sekarang arsitek beneran?" tanya Clara setengah menggoda.
Julian pura-pura serius. "Kalau kamu bersedia jadi klien pertama untuk proyek setelah pensiun, iya."
Tawa mereka meledak di dapur setengah jadi itu. Warga yang lewat hanya bisa menggeleng sambil senyum-senyum melihat 'chemistry' aneh antara dua orang ini.
---
Hari Kelima: Papan Nama Baru dan Perasaan Baru
Papan nama baru dipasang hari ini. Warung Makan Clara, diukir halus di kayu jati, dengan font sederhana tapi elegan. Tidak mencolok. Justru itulah kekuatannya—seperti Clara.
Ketika papan itu selesai dipasang, warga bertepuk tangan. Anak-anak bersorak. Clara memandanginya lama, lalu berpaling ke Julian.
"Terima kasih sudah bikin semuanya terasa… baru. Tapi nggak kehilangan aku-nya."
Julian menatapnya, tenang. "Karena kamu yang jadi porosnya. Aku cuma bantu bersihin debu."
Hari itu, Clara menyeduh dua cangkir kopi dan duduk berdua dengan Julian di bangku depan warung. Tak banyak kata. Hanya suasana senja, suara jangkrik, dan diam yang nyaman di antara dua orang yang sedang sama-sama belajar… membuka hati.
--
Malam hari itu, warung baru milik Clara tampak hangat dan hidup. Lampu gantung dari anyaman bambu memancarkan cahaya kuning temaram, memantul di dinding putih bersih dan rak-rak kayu natural. Meja-meja kecil sudah tertata, dihiasi bunga liar dalam botol kaca. Aroma makanan rumahan menyeruak dari dapur terbuka. Dan tawa—tawa memenuhi udara.
Anak-anak duduk di sudut baca, menggambar, membaca, atau sekadar berebut kursi empuk paling pojok. Para ibu berbincang sambil menyeruput teh jahe, dan para bapak menikmati kopi sambil memainkan gitar tua milik Pak Darno.
Julian berdiri di sisi, memperhatikan semuanya. Dari ujung warung, ia bisa melihat Clara sedang menuangkan kuah ke mangkuk pelanggan. Rambutnya digulung asal, celemeknya sedikit berantakan, tapi ada cahaya di wajahnya yang tak bisa disangkal—seperti rumah yang akhirnya kembali bernafas.
Bu Dewi menepuk bahu Julian. "Wah, Mas Julian… warungnya jadi cantik banget. Clara pasti seneng sekali, ya?"
Julian tersenyum tipis. "Yang penting bisa jadi tempat ngumpul, Bu. Bukan cuma soal desainnya."
Clara akhirnya duduk di dekat Julian setelah semua tamu makan. Ia menyerahkan sepiring kecil serabi mini. "Hadiah buat kepala tukang," katanya dengan nada main-main.
Julian menatap serabi itu, lalu Clara. "Ini spesial banget."
"Kalau kamu bilang begitu terus, aku bisa GR," gumam Clara.
Julian hanya tersenyum.
Lalu, Clara menoleh ke warungnya. "Tempat ini… rasanya kayak punya hidup baru. Tapi juga tetap… aku."
"Karena kamu izinkan dia tumbuh, tapi tetap setia pada akarnya." Jawaban Julian tenang.
Clara memandangnya. "Kamu selalu tahu cara ngomong yang bikin orang mikir."
Julian menunduk, menyembunyikan senyum kecilnya. Tapi di balik pandangannya, ada sesuatu yang menggantung—sesuatu yang belum dikatakan.
Ia tahu malam ini adalah momen penting. Tapi juga, ia tahu waktunya tinggal sebentar lagi.
Tapi untuk sekarang… ia memilih diam. Menikmati malam itu. Menikmati tawa Clara. Menikmati cahaya lampu bambu yang hangat seperti pelukan. Dan membiarkan hatinya… berada di sini, sepenuhnya.
Bukan hanya warung makan Clara yang tampak berbeda—tapi seluruh suasana desa seperti ikut berubah.
"Bu, liat! Ada pojok gambarnya beneran!" seru Rafi, anak Bu Rina, sambil memamerkan gambar dinosaurus warna-warni ke arah ibunya.
Anak-anak berlarian dari rak buku ke meja gambar, lalu kembali ke pojok camilan yang disediakan Clara dengan wadah rotan kecil. Tawa mereka memenuhi sudut-sudut warung seperti nada riang di dalam lagu.
"Eh, Mbak Clara, ini teh-nya enak banget. Tempat duduknya juga empuk sekarang ya, beda sama dulu," ujar Bu Tatik sambil menikmati teh pandan hangat di kursi kayu yang diberi bantal abu lembut.
"Kayak cafe, tapi tetep ngerasa kayak di rumah," timpal Bu Dewi sambil melirik suaminya yang sedang memainkan gitar kecil sambil menyanyikan lagu lawas.
"Wah, ini warung udah kayak pusat desa aja. Anak-anak betah, kita orang tua juga nggak mau pulang," goda Pak Bowo, disambut tawa para bapak lainnya.
Beberapa warga baru yang jarang datang pun malam itu ikut hadir. Mereka berjalan mengitari warung, melihat detail-detail kecil yang sebelumnya tak ada—tanaman hijau di sudut, papan menu dari kayu dengan tulisan tangan, jendela lebar yang kini bisa dibuka menghadap sawah.
"Papan namanya juga bagus, ya. Kayak simpel tapi elegan," komentar seorang remaja sambil memotret dengan ponselnya.
Julian hanya berdiri di pinggir, memperhatikan satu per satu reaksi itu. Setiap tawa, setiap pujian kecil, membuat dadanya hangat. Tapi sekaligus getir.
Sementara itu, Clara duduk di tangga kayu depan warung, melihat semua itu dengan mata berkaca-kaca. Bukan sedih, tapi haru—karena warung kecil peninggalan mendiang suaminya itu, kini tak hanya hidup… tapi tumbuh bersama desanya.
Ia menatap ke arah Julian yang sedang tertawa kecil saat anak-anak mengerubunginya, membujuk agar ia ikut main ular tangga.
Dalam hati, Clara membisik, "Terima kasih… karena sudah melihat apa yang kami punya di sini, dan tidak sekadar datang untuk memperbaiki, tapi menemani."
--
Selepas semua pulang dan lampu-lampu di warung telah diredupkan, Clara duduk sendirian di salah satu bangku kayu dekat jendela yang menghadap ke luar. Udara malam desa menyelinap pelan, membawa aroma rumput basah dan suara jangkrik yang samar.
Tangan Clara memegang cangkir teh hangat yang kini tinggal separuh. Di sekelilingnya, sisa tawa anak-anak dan obrolan warga masih menggantung samar di udara, seperti gema yang enggan benar-benar pergi.
Pandangannya menyapu ruangan—rak buku kecil, papan menu baru, tanaman hijau di pojok, dan papan nama 'Warung Makan Clara' yang kini tampak bersih dan elegan. Semuanya masih seperti mimpinya. Tapi juga terasa nyata. Terlalu nyata.
Ia menunduk, membiarkan pikirannya melayang. Lalu, perlahan, suara hatinya mulai berbicara… pelan, namun jelas.
"Tempat ini... dulu cuma tempatku bertahan. Sekarang rasanya jadi tempat untuk bernapas. Untuk mulai lagi."
Matanya menatap ke arah kursi kosong yang tadi siang sering diisi Julian. Dan entah kenapa, ia merasakannya—sebuah kekosongan kecil yang mulai tumbuh, meski lelaki itu masih ada di desa ini.
"Julian..."
Namanya hanya terucap di dalam hati. Tapi itu cukup untuk membuat dada Clara terasa sedikit sesak. Ia belum tahu kapan lelaki itu akan pergi. Tapi ia tahu, akan ada saatnya bangku itu benar-benar kosong.
"Aku belum tahu caranya bilang terima kasih. Atau… caranya bilang jangan pergi."
Ia tersenyum tipis, pahit tapi jujur. Lalu menatap keluar jendela.
"Tapi untuk malam ini... biar semuanya tetap di sini. Dalam hati. Dalam warung ini. Dalam malam yang tenang, meski sebentar lagi mungkin akan berubah lagi."
Dan malam pun memeluk Clara dengan sunyinya—hangat, namun menyisakan ruang kosong yang perlahan mulai ia sadari, tak bisa ia isi sendiri.
--