Hari Terakhir di Desa

Pagi itu, desa masih dibalut kabut tipis. Sinar matahari merayap perlahan dari balik perbukitan, menyusup malu-malu ke celah pepohonan. Suara ayam berkokok bersahutan, aroma tanah basah dan kayu pagi menyatu dalam sunyi yang perlahan pecah oleh geliat kehidupan.

Clara membuka pintu warungnya dengan senyum kecil. Kini, derit kayu tua yang biasa menyapa pagi tergantikan oleh suara halus engsel baru—dipasang oleh Julian beberapa hari lalu. Ia memandangi sekeliling. Warung ini masih terasa seperti baru, namun entah mengapa... sudah sangat akrab.

Di pojok, Bu Dewi dan Bu Tatik sudah duduk dengan gelas kopi masing-masing. Tak lama, Bu Rina datang sambil menggandeng anaknya yang masih menguap.

"Claraaa, tiap pagi lihat warung kamu tuh bikin adem sekarang," celetuk Bu Dewi sambil mengangkat cangkirnya.

"Kata suami saya, semalam liat lampu-lampu warung ini dari jalan, katanya kayak kafe kota," tambah Bu Tatik, terkekeh.

Clara hanya tersenyum. Ada rasa hangat yang menjalari dadanya—namun juga kekosongan halus yang menggantung. Biasanya, Julian sudah muncul pagi-pagi, entah membawa sesuatu, atau hanya berdiri diam mengamati, dengan wajah serius dan senyum yang kadang mencuri perhatian.

Tapi pagi ini… tidak ada bayangannya.

"Julian ke mana, ya?" Bu Rina bersuara, seolah membaca isi hati Clara. "Biasanya pagi-pagi juga udah nongol."

"Iya, anak-anak nyariin juga. Katanya mau bantu bersihin taman baca yang kemarin dia tata itu," timpal Bu Dewi.

Clara hanya mengangguk. Tak menjawab, tapi hatinya seperti mengerut.

Dalam diam, pikirannya melayang ke malam sebelumnya—cara Julian menatap warung ini, bagaimana ia menggambar cepat di buku sketsanya yang lusuh, dan kalimat yang masih terngiang.

--

"Aku tahu rasanya butuh tempat buat mulai lagi."

Cangkir di tangan Clara masih hangat, tapi rasanya mulai mendingin. Dan jauh dari warung itu, di sebuah kamar sederhana, Julian tengah menatap koper setengah penuh—serta sketsa-sketsa terakhir yang ia susun diam-diam semalam.

Pagi itu, waktu mulai menghitung mundur.

---

Udara masih sejuk saat Julian melangkah menuju kantor kepala desa. Langkahnya tenang, namun wajahnya yang teduh menyimpan sesuatu yang tak mudah disampaikan. Di tangannya, map berisi cetak biru dan catatan—tentang taman baca, kegiatan anak-anak, dan… warung Clara.

Julian menyapa warga yang lewat. Anak-anak melambai dari kejauhan, ia membalas dengan senyum tipis. Hatinya berat. Karena hari ini, selain soal program desa, ia akan menyampaikan satu hal penting: kepergiannya.

Di kantor, Pak Darto menyambut dengan teh hangat.

"Julian, pagi-pagi sekali. Semangat terus, ya?"

Julian tersenyum dan duduk. "Saya cuma mau ngobrol sedikit, Pak. Soal program… dan hal lain juga."

Mereka membahas alur relawan, kolaborasi dengan sekolah, dan potensi ruang sosial baru. Julian memaparkan ide-idenya dengan tenang, tapi ketika diskusi selesai, ia terdiam sejenak.

"Saya mungkin akan balik ke kota dalam beberapa hari," ucapnya pelan. "Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan."

Pak Darto menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. "Saya ngerti. Tapi kamu udah bikin banyak perubahan di sini. Anak-anak, warga… termasuk Clara. Kamu sendiri tahu."

Julian menunduk. "Saya nggak tahu apa itu cukup. Tapi tempat ini… dan mereka, udah kasih saya rasa yang lama saya cari: tenang. Dan Clara… Clara bikin saya percaya kalau saya masih bisa merasakan rumah."

Pak Darto menepuk pundaknya. "Kalau kamu pergi, pastikan kamu tahu apa yang kamu tinggalkan. Kadang, yang paling sederhana itu yang paling susah dilupakan."

Julian tersenyum kecil. Tak menjawab.

Tapi pikirannya penuh. Bayangan warung kayu dengan papan lusuh, meja miring, dan Clara dengan apron lusuh serta mata yang menyimpan banyak luka. Di sana semuanya berawal.

--

Meski belum jam makan besar, warung sudah ramai. Warga duduk santai, mengagumi desain baru dengan warna-warna natural yang menenangkan.

Clara melayani sambil tersenyum, meski masih canggung. Warung ini terasa asing dalam versi barunya. Tapi ada kebanggaan terselip—perlahan, tempat ini tumbuh, punya karakter baru.

Lalu pintu terbuka.

Langkah kaki yang familiar terdengar. Julian masuk, membawa ransel kecil. Tatapannya menyapu ruangan, lalu berhenti pada Clara.

"Hari ini sibuk, ya?" sapanya sambil duduk.

Clara menoleh. "Iya, mereka penasaran. Ramai juga. Sudah ke kantor kepala desa?"

"Sudah. Program taman baca sudah disetujui. Tapi masih banyak yang harus disiapkan." Julian menarik napas. "Sebelumnya, aku mau bicara soal warung ini."

Beberapa warga mendekat, menyapa.

"Ah, Julian! Warungnya bagus banget sekarang," puji Bu Dewi.

"Desainnya keren, lebih terang dan nyaman," tambah Bu Tatik.

Julian tersenyum. "Terima kasih. Aku cuma bantu sedikit. Warung Clara punya potensi besar, tinggal butuh ruang untuk tumbuh."

Clara tertegun mendengar Julian membicarakan itu di depan umum.

"Eh, kamu bilang soal taman baca ya?" tanya Bu Rina.

Julian mengangguk. "Iya, ada rencana bikin taman baca dan tempat bermain. Tapi masih perlu persiapan. Dan…" ia menatap Clara, "…aku ingin kamu ikut bantu rancang semuanya."

Clara terdiam, lalu mengangguk pelan. "Tentu, kalau itu bisa membantu."

Warga menyambut antusias. Tapi Clara merasakan beban baru. Ia belum tahu, ke mana arah semua ini akan membawanya.

Julian bersandar, menatap Clara. Masih banyak yang belum ia katakan—terutama bahwa waktunya di desa tinggal beberapa hari.

"Aku akan tinggal beberapa hari lagi," ucapnya akhirnya. "Aku cuma ingin pastikan semuanya berjalan sebelum aku kembali ke kota."

Clara terdiam. Tatapannya terpaku pada Julian. Untuk sesaat, suara di sekelilingnya seperti mengabur. Jantungnya berdegup lebih cepat, namun ia menahan ekspresi. Senyumnya tidak berubah, tapi matanya tak mampu sepenuhnya menyembunyikan rasa kecewa yang menyelinap.

"Begitu ya..." gumamnya pelan, mencoba terdengar biasa saja. Ia sibuk merapikan piring di meja, seolah butuh alasan untuk tidak menatap langsung.

Julian memperhatikan gelagat itu, lalu menambahkan dengan suara lebih pelan, nyaris seperti bisikan yang hanya mereka berdua dengar.

"Nanti malam... kalau kamu nggak keberatan, aku mau ngobrol soal rancangan taman baca dan tempat bermain. Aku ingin kamu tahu semuanya. Karena setelah aku pergi… kamu yang akan teruskan itu."

Clara mengangguk pelan, masih belum menatapnya. "Baik," ucapnya pendek, suaranya nyaris tenggelam dalam keramaian warung.

Tapi dalam hatinya, sebuah pertanyaan mulai tumbuh pelan-pelan: Setelah semua ini… apa yang sebenarnya tersisa?

Julian menegakkan badan dan menoleh ke sekitar warung. Beberapa warga masih duduk di bangku panjang, termasuk Bu Dewi, Bu Rina, Bu Tatik, dan beberapa anak-anak yang sedang bermain tak jauh dari sana.

Ia berdiri dan menghampiri mereka satu per satu, menyalami dengan hangat.

"Bu Dewi, Bu Rina, Bu Tatik… terima kasih banyak selama ini. Saya minta doanya, ya. Beberapa hari lagi saya harus kembali ke kota."

Semua yang mendengar langsung menghentikan obrolan. Bu Rina memandangnya dengan dahi berkerut. "Lho… mendadak banget, Mas Julian."

Anak-anak yang tadi bermain juga ikut mendekat, ekspresi mereka berubah murung. "Om Julian mau pergi?" tanya salah satu bocah, suaranya pelan.

Julian mengangguk pelan, mencoba tetap tersenyum. "Iya, tapi nggak sekarang. Saya masih tinggal beberapa hari lagi di desa. Saya cuma nggak mau pergi diam-diam."

Bu Tatik menimpali, "Padahal baru aja kami bahas soal kegiatan anak-anak. Terus taman baca itu gimana, Mas?"

Julian menoleh dan menatap mereka satu per satu. "Tenang, Bu. Saya udah siapkan rancangannya. Nanti malam saya bahas itu sama Clara, biar bisa tetap jalan meski saya nggak di sini."

Para warga saling pandang. Ada yang mengangguk pelan, ada yang masih terlihat berat menerima kenyataan itu.

--