Malam itu, suasana rumah Clara terasa hening. Hanya terdengar suara detak jam dinding yang menjadi penanda waktu. Clara duduk di meja makan, di hadapannya ada beberapa sketsa dan rencana taman baca serta tempat bermain.
Namun, pikirannya tidak benar-benar terfokus pada gambar-gambar itu. Jantungnya terasa berat, pikirannya terombang-ambing, mengingat Julian yang akan segera pergi.
Julian duduk di sebelahnya, matanya memperhatikan Clara yang tampak jauh, seperti tak sepenuhnya hadir. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mencari cara untuk membuat suasana menjadi lebih ringan. Tapi jelas, keduanya sama-sama merasa cemas tentang hal yang tak terucapkan.
"Clara…" Julian memanggil lembut, suara yang terdengar seperti melodi menenangkan. "Kamu nggak fokus. Aku bisa lihat dari cara kamu lihat rencana itu."
Clara mengangkat kepala, mata mereka bertemu, tapi ada sesuatu yang mengganjal. Ia menggelengkan kepala, mencoba tersenyum meski terasa kaku. "Aku cuma… nggak tahu gimana nantinya kalau kamu nggak ada di sini lagi."
Julian menarik kursi lebih dekat, menatap dalam-dalam ke mata Clara. Ada kehangatan yang terpancar dari tatapannya, tapi juga kesedihan yang sama. "Clara, aku akan tetap ada, bahkan kalau aku udah nggak ada di sini. Tapi aku tahu, perasaan ini nggak bisa digantikan dengan kata-kata."
Tangan Julian meraih tangan Clara, menggenggamnya perlahan. Ada ketegangan dalam genggaman itu, seolah-olah takut melepas, meskipun waktu mereka semakin sempit.
Clara menghela napas, hatinya terasa sesak. Ia ingin mengatakan banyak hal, tapi suaranya terhenti. Keheningan malam itu memeluk mereka berdua. Perlahan, Julian mengulurkan tangan, menepuk lembut pipi Clara. Lembut, penuh kasih, seolah mencari cara untuk memberi kenyamanan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Akhirnya, Clara menatapnya dengan mata yang lebih terbuka, dan dalam sekejap itu, tanpa kata, keduanya mendekat. Perlahan-lahan, bibir mereka bertemu, dengan sentuhan yang tak terburu-buru.
Hanya ada kehangatan, kepastian bahwa perasaan ini nyata meskipun waktu yang mereka punya begitu terbatas. Julian memeluk Clara lebih erat, membawa tubuhnya lebih dekat, seolah ingin memastikan ada kenangan yang tertinggal sebelum semuanya berakhir.
Suasana di antara mereka berubah lebih intim, saat bibir mereka bertemu lagi, kali ini lebih dalam, lebih penuh gairah. Semua kata-kata yang mereka ragu untuk ucapkan disalurkan dalam sentuhan itu, dalam ciuman yang menghapus segala kecemasan tentang masa depan yang belum jelas.
Meskipun perpisahan sudah ada di depan mata, malam ini adalah milik mereka—sebuah kenangan yang akan terus mengalir meskipun jarak memisahkan.
Clara merasakan kehangatan Julian mengalir melalui setiap sentuhan, dan meskipun pikirannya berusaha bertahan pada rencana taman baca, hatinya terasa lebih ringan dengan hadirnya Julian di sisinya.
Setelah beberapa saat, keduanya terpisah, napas mereka terengah-engah. Julian menatap Clara dengan tatapan lembut yang penuh pengertian.
"Apapun yang terjadi, aku akan ingat ini," kata Julian dengan suara yang penuh makna. "Aku hanya ingin kamu tahu… kamu nggak akan pernah sendirian."
Clara tersenyum, meskipun air mata mulai menggenang di matanya. "Aku juga nggak akan lupa. Tapi… bagaimana kalau kita buat kenangan lain, Julian? Sebelum kamu pergi?"
Julian memeluk Clara lebih erat, merasakan sentuhan lembutnya yang menghangatkan hati. "Kita masih punya waktu, Clara. Waktu itu milik kita malam ini."
--
Malam itu, keheningan rumah Clara tak hanya membungkus tubuh mereka, tapi juga menyelubungi setiap bisikan hati yang belum sempat terucap.
"Aku nggak pengin malam ini berakhir dengan penyesalan," ucap Julian pelan, suaranya berat tapi hangat.
Clara menjawabnya dengan bisikan, "Aku juga… aku ingin kita punya sesuatu yang hanya milik kita."
Julian menarik tubuh Clara ke dalam pelukannya, dan mereka berdiri dari kursi, berjalan perlahan menuju kamar. Tidak terburu-buru—hanya langkah-langkah yang penuh ketegangan emosional dan hasrat yang terpendam terlalu lama.
Begitu pintu kamar tertutup, ciuman mereka kembali menyatu—lebih dalam, lebih lapar. Tangan Julian menelusuri punggung Clara, mengusap perlahan, sementara Clara membalas dengan jari-jarinya yang menggenggam kerah kemeja Julian, menariknya lebih dekat. Tubuh mereka menempel erat, napas mulai memburu.
Julian berbisik di leher Clara, suaranya serak, "Aku mau kamu ingat malam ini."
Clara menahan napas saat bibir Julian menyentuh kulitnya—gerakan lambat, menciptakan getaran di seluruh tubuhnya. Ia mendesah pelan, "Julian…"
Kemeja Julian terlepas lebih dulu, lalu menyusul pakaian Clara, dijatuhkan dengan hati-hati ke lantai, seolah waktu melambat hanya untuk mereka.
Clara memejamkan mata sejenak, merasakan udara yang kini lebih dingin, lebih tajam, saat celana Julian turut terlepas, meninggalkan keduanya dalam keheningan yang semakin memadat.
Tangannya gemetar seiring ia melepas bagian bawah tubuhnya, terasa berat, seolah ada ketegangan yang semakin menekan. Namun, ketika matanya membuka, tatapannya penuh dengan determinasi—tak ada rasa malu, hanya keinginan yang membara.
Tak ada yang tergesa. Tangan mereka saling menyentuh, menjelajah dalam keheningan dan bisikan. Setiap belaian, setiap kecupan, adalah ungkapan cinta dan ketakutan akan kehilangan.
Tubuh mereka bertemu di ranjang, saling menempel erat, bergerak perlahan seiring napas yang kian berat. Clara melenguh pelan saat Julian menyentuh bagian terdalam dari dirinya, membuat tubuhnya menegang dan melunak sekaligus.
"Ah… jangan berhenti," desahnya, matanya terpejam, tangannya mencengkeram lengan Julian.
Julian mencium kening Clara, lalu bibirnya turun ke leher dan dada, membuat Clara terengah, tubuhnya menggeliat dalam pelukan Julian. Gerakan mereka kini menyatu, ritmis dan penuh emosi, hingga tak ada lagi kata yang perlu diucapkan.
"Clara… kamu luar biasa…" gumam Julian, suaranya parau.
Desahan dan suara napas mereka berpadu dalam malam yang gelap namun hangat. Clara membalas dengan erangan tertahan, "Julian… lebih dekat… jangan jauh dariku…"
Julian menatapnya dengan mata gelap yang tak menyembunyikan gairah. "Malam ini, aku cuma punya kamu," gumamnya sebelum bibir mereka menyatu lagi.
Clara menarik Julian ke dalam pelukannya, dan malam itu menjadi saksi perasaan yang tak lagi bisa mereka simpan.
Julian mencium leher Clara dengan lembut, seakan ingin mengingat setiap inci kulitnya. Tangannya mengusap pinggang Clara, naik perlahan hingga menyentuh punggungnya. Ketika Clara mendesah pelan, Julian berhenti sejenak, memandang wajahnya.
"Aku nggak mau buru-buru... Aku ingin kamu ingat semuanya," bisik Julian.
Clara membalas tatapannya, ia mendorong tubuhnya perlahan, menggeser posisi hingga dirinya yang kini berada di atas dengan gerakan mantap namun lembut, matanya tetap mengunci milik Julian.
Jemarinya menyusuri rahang dan dada Julian, menyentuh setiap detak jantungnya dengan rasa ingin tahu yang dalam, seolah ingin menghafal keberadaan lelaki ini sebelum akhirnya harus merelakannya pergi.
Kini gilirannya untuk memimpin. Dengan penuh kelembutan, ia mencium bibir Julian lagi, lebih lama, lebih dalam. Bibir mereka bergerak seirama, seperti tarian sunyi yang hanya mereka berdua pahami.
Jemari Clara menyusuri garis rahang Julian, turun ke leher, lalu ke dada yang naik-turun tak beraturan. Ia tidak terburu-buru—setiap sentuhan adalah pernyataan, setiap ciuman adalah arah yang disengaja.
Nafas Julian mulai tercekat saat Clara perlahan-lahan turun, mencium kulitnya satu demi satu, seolah menandainya. Dadanya, perutnya—setiap bagian disentuh dengan rasa ingin tahu yang lembut namun intens.
Ketika akhirnya Clara tiba di bagian bawah, udara di antara mereka berubah—lebih berat, lebih pekat, seolah dunia menyempit hanya pada titik itu.
Wajahnya begitu dekat, napasnya mengalir pelan namun terasa membakar. Dengan gerakan perlahan, ia menyingkap rambutnya ke samping, menyelipkannya ke belakang telinga agar tidak menghalangi pandangannya—atau niatnya.
Clara menunduk bibirnya menyentuh kulitnya. Ciuman pertama itu lembut, hampir tidak terasa, tetapi cukup untuk menggugah seluruh indera Julian. Tubuhnya langsung menegang, napasnya terhenti sejenak, menahan segala yang ingin dia lepaskan.
Clara menunduk lebih jauh, semakin dekat dengan kulitnya, dan saat lidahnya menyentuhnya, dunia Julian seakan terhenti.
Sekejap, tubuhnya terlonjak, hampir tak percaya dengan apa yang sedang dirasakannya. Sensasi yang begitu mendalam, seperti aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan suara yang ingin keluar.
Ketegangan antara mereka makin menebal, dan saat Clara semakin intens, Julian tak bisa lagi menahan reaksi tubuhnya. Tangannya gemetar, berusaha mencari pegangan, namun akhirnya ia membiarkan dirinya tenggelam dalam sentuhan yang dikuasai Clara.
Mata Julian mengikuti setiap gerakan, napasnya semakin tak teratur. Ketika Clara akhirnya naik, tubuhnya kini berada tepat di atas tubuh Julian, saling bertatapan dalam keheningan yang terasa memecah.
"Aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini," gumamnya pelan, suaranya sedikit bergetar, tapi matanya tetap menatap lurus ke dalam mata Julian.
Julian tersenyum samar, pahit sekaligus hangat. "Nggak perlu tahu segalanya sekarang. Yang aku tahu… aku ingin kamu."
Pernyataan itu jatuh begitu saja, tanpa topeng, tanpa perlindungan.
Lalu, dengan gerakan lembut namun tak ragu, Clara menggenggam bagian paling sensitif dari Julian—hangat, tegang, dan berdenyut di jemarinya. Ia membimbingnya ke antara dirinya sendiri, perlahan menurunkan pinggulnya hingga ujungnya menyentuh bibir basah yang sudah siap menyambut.
Desahan lembut lolos dari bibir Clara saat ia menekan tubuhnya ke bawah, perlahan menelan seluruh panjang Julian ke dalam dirinya. Setiap inci terasa seperti gelombang listrik yang menyambar saraf mereka berdua.
Tubuh Clara bergerak perlahan, mengikuti napas Julian yang semakin cepat, namun tetap terjaga dalam kendali. Pinggulnya berputar lembut di atas tubuh Julian, tiap gerakan yang terarah memancarkan intensitas yang semakin mendalam, membiarkan keintiman mereka tumbuh dengan cara yang tak terucapkan, tanpa kata-kata, tanpa paksaan—hanya perasaan yang mengarahkan gerakan mereka.
Julian menahan napas, tubuhnya bergetar saat Clara mulai mengatur ritme, perlahan namun penuh keyakinan. Tangannya menggenggam pinggul Clara dengan kuat, namun tidak untuk menguasai. Ia membiarkannya memimpin, membiarkan setiap gesekan mengalir mengikuti kehendak Clara, merasakan setiap detik yang semakin membakar mereka.
Tubuh mereka menyatu dalam irama lambat, setiap gerakan terasa seperti bisikan terakhir sebelum perpisahan. Clara menggenggam tangan Julian, menaruhnya di dadanya, seolah ingin berkata bahwa setiap detak di sana adalah untuknya.
Clara menghela napas pendek saat merasakan telapak tangan Julian menyentuh dadanya. Bukan dengan nafsu kasar, tapi kelembutan yang membuatnya merasa dipuja. Tubuhnya mendekat, menempel pada Julian seolah ingin lebih banyak.
Mereka tidak tergesa, karena keduanya tahu malam ini bukan soal hasrat semata, tapi tentang menyimpan kenangan yang bisa menghangatkan hati saat rindu tak bisa diobati oleh kehadiran.
Clara mulai bergerak pelan, tubuhnya naik turun dengan ritme lembut, nyaris seperti tarian yang hanya bisa mereka pahami. Kepalanya tertunduk, helaan napasnya terputus-putus, sesekali terdengar desah tipis yang membuat jantung Julian berdetak lebih cepat.
"Julian…" gumamnya, nyaris seperti bisikan.
Julian membalas dengan sentuhan di pinggul Clara, membimbing geraknya sedikit lebih dalam, lebih terhubung. Mata mereka bertemu, sejenak sunyi menguasai ruangan, hanya irama tubuh dan napas yang menjadi pengikat.
Clara mulai mempercepat gerakannya, setiap dorongan membawa gelombang kenikmatan yang membuncah, makin dalam dan cepat. Desahannya semakin nyata, terbungkus dalam gigitan bibir yang menahan gejolak, sementara kepalanya terangkat, lehernya menegang.
"Ahh..." Napasnya tercekat, tubuhnya bergetar saat sensasi hangat itu semakin mendekat, mengguncang setiap syarafnya, semakin memuncak.
Julian mengusap wajahnya dengan lembut, menatapnya dengan tatapan dalam, penuh keinginan dan ketulusan. "Aku di sini, Clara… bersama kamu… sepenuhnya," suaranya serak, penuh makna, seolah-olah ia berjanji untuk tidak pernah melepaskannya.
Gerakan Clara semakin cepat, tubuhnya menggeliat dengan naluri yang tak terhalang, setiap tarikan dan dorongan semakin mendalam. Irama yang tercipta di antara mereka membawa mereka mendaki bersama—melampaui batas, makin tinggi, seolah tak ada yang bisa menghentikan kedekatan yang terus membakar.
Desahan Clara semakin keras, tersembunyi di balik gigitan bibirnya, setiap hembusan napasnya penuh dengan rasa yang tak bisa ditahan. "Ahh... Julian..." Suaranya serak, hampir hilang dalam gelombang kenikmatan yang menghantamnya.
Julian, dengan napas yang semakin berat, mulai menanggapi gerakan Clara, tubuhnya bergerak mengikuti irama yang telah tercipta. Setiap dorongan yang ia berikan semakin mantap, seolah ingin menyatu lebih dalam, lebih kuat, meresapi setiap detik yang mengguncang mereka berdua.
Desahan Julian bergema pelan, keluar tak terkendali, mengiringi setiap gesekan yang membuat tubuh mereka saling mengisi. "Clara... ahhh..."
Gerakan mereka semakin liar, semakin mendalam, setiap desahan dan goyangan saling melengkapi, menambah kepanasan yang kian membakar.
Hingga titik di mana semuanya lebur: rindu, cemas, cinta, dan gairah.
Puncaknya datang seperti badai—tak terbendung. Tubuh Clara menegang di atasnya, punggungnya melengkung saat gelombang terakhir kenikmatan menyapu habis kesadarannya.
"Ah—Julian!" Ia hampir menjerit, tak peduli lagi seberapa keras suaranya terdengar.
Julian tak jauh berbeda, rahangnya mengencang, tangan mencengkeram erat pinggul Clara saat sensasi itu melesat ke seluruh tubuhnya, menghantamnya dengan kekuatan tak tertahankan.
"Clara… aku…" Suaranya pecah di tengah desahan panjang saat tubuhnya ikut melepas semuanya—bersama dalam satu ledakan sempurna.
Dan untuk sesaat, waktu terasa berhenti—hanya detak jantung mereka yang terdengar, saling bersahutan di tengah keheningan yang hangat.
---
Tubuh Clara perlahan merosot, melekat erat di dada Julian, napasnya masih memburu. Helaan napas mereka saling berpadu, hangat dan berat, seolah baru saja lolos dari pusaran yang menyedot habis seluruh tenaga. Jari-jarinya menggenggam lemah bahu Julian, sementara matanya terpejam, membiarkan denyut terakhir dari ledakan itu mereda perlahan.
Julian melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh Clara, memeluknya erat seakan takut kehilangan keintiman yang baru saja mereka bagi. Ia menunduk, mengecup lembut pelipis Clara yang basah oleh keringat dan emosi yang belum sepenuhnya reda.
"Clara..." bisiknya, nyaris tak terdengar. "Kamu... luar biasa."
Clara hanya membalas dengan gumaman pelan, wajahnya tenggelam di lekuk leher Julian, merasakan detak jantungnya yang masih berpacu. Ada keheningan di antara mereka, tapi bukan keheningan yang canggung—melainkan keheningan yang penuh. Penuh arti. Penuh sesuatu yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.
Dalam kelelahan yang manis, mereka berdiam. Hanya saling memeluk. Saling merasa. Saling hidup dalam satu detak yang sama.
"Aku tahu kamu belum bilang," Clara akhirnya bicara lirih. "Tapi aku bisa rasakan… kamu tetap akan pergi, ya?"
Julian menarik napas panjang. Lalu mengangguk perlahan. "Iya…"
Clara mengangkat wajahnya, menatap langsung ke matanya. "Setelah semua ini… kamu masih bisa?"
"Aku harus," ucap Julian, jujur, meski suaranya terdengar berat. "Kalau aku tetap di sini tanpa menyelesaikan semua yang belum selesai, aku cuma akan jadi bayangan dari diriku sendiri. Aku nggak mau kamu hidup sama seseorang yang setengah hidup."
Clara menggigit bibirnya, menahan emosi yang mendesak. "Lalu aku harus apa, Julian?"
Julian menariknya dalam pelukan. "Tunggu aku… bukan sebagai kewajiban. Tapi kalau hati kamu masih tetap mengarah ke aku nanti, di ujung semua ini… maka aku akan pulang, ke kamu."
Clara memejamkan mata, membiarkan air matanya jatuh di dada Julian. "Kamu tahu itu nggak adil."
"Aku tahu," bisik Julian, mencium keningnya penuh rasa bersalah. "Tapi ini satu-satunya cara yang bisa aku pilih tanpa mengkhianati diriku sendiri… dan kamu."
Sunyi menyelimuti mereka lagi. Tapi kali ini, sunyi yang lebih dingin. Lebih getir.
Clara tak menjawab. Ia hanya memeluk Julian lebih erat, seolah ingin menahan waktu, agar malam ini bertahan lebih lama—karena saat pagi datang, dunia tak akan sama lagi.