Kesunyian Hidup

"Kehidupan di dunia akan terasa sangat indah, jika kau tak tahu apa yang tersembunyi di dalamnya."

Tetsuya Kirishima, delapan belas tahun. Seorang siswa kelas tiga SMA yang berjalan sendiri dalam dunia yang tak pernah menjanjikan keadilan. Di mata teman-temannya, ia adalah sosok yang mandiri—tenang, tidak mudah tergoyahkan, dan seakan tak pernah membutuhkan siapa pun. Tapi keteguhan wajah itu hanyalah topeng yang telah ditempa oleh tahun-tahun penuh kesepian. Ia adalah hasil dari kehilangan yang tidak pernah disuarakan, luka yang tidak pernah diberi nama.

Ketika anak-anak lain pulang ke rumah, mencium aroma masakan ibu dan bersandar di pelukan ayah, Tetsuya pulang ke diam. Bukan ke rumah, tapi ke ruang sepi yang tak punya makna. Sejak usianya dua belas, dunia yang dikenalnya runtuh. Ayahnya lenyap begitu saja, seperti kabut pagi yang menghilang tanpa jejak. Ibunya, hancur oleh kehilangan, perlahan-lahan larut dalam depresi yang menelannya utuh—hingga suatu hari, ia pun pergi, dan tak pernah kembali.

Sejak saat itu, konsep "keluarga" hanya menjadi kata tanpa bentuk. Ia hidup dari sisa-sisa kenyataan, berpindah dari satu atap ke atap lain seperti bayangan yang tak pernah menetap. Pekerjaan paruh waktu menjadi penopang hidupnya, dan hemat bukan pilihan, melainkan cara bertahan. Ia belajar menghitung setiap detik seperti menghitung napas terakhir, menabung rasa sakit dan keheningan dalam kantong-kantong kecil yang tak terlihat oleh siapa pun.

Kesepian bukan lagi sekadar perasaan bagi Tetsuya—ia telah menjelma menjadi entitas yang menyatu dalam denyut nadinya. Teman paling setia, yang tak pernah pergi, bahkan ketika dunia berpaling. Dalam sunyi yang tak pernah benar-benar reda, Tetsuya tumbuh—bukan seperti remaja lain yang dikelilingi tawa dan pelajaran ringan, melainkan seperti pohon yang dipaksa menjulang di tanah retak, di bawah langit yang tak pernah bersahabat. Ia dewasa terlalu dini, membawa luka-luka tak kasatmata yang tak pernah mendapat ruang untuk sembuh.

Setiap malam, dunia berhenti bersuara. Tapi di dalam kamar kontrakan sempitnya, suara batin Tetsuya justru menggema paling keras. Ia menatap langit-langit seakan menunggu jawaban dari semesta yang terlalu jauh untuk peduli. "Kenapa aku harus sendirian?" pertanyaan itu tak pernah usang, selalu kembali, menyesakkan dada tanpa jawaban. Dunia di sekelilingnya terus berjalan, sibuk, riuh, dan acuh. Tak ada tempat bagi mereka yang diam-diam runtuh.

Ketidakadilan bukan lagi konsep asing baginya; itu adalah udara yang ia hirup setiap hari. Dunia tak pernah benar-benar adil bagi mereka yang tak bersuara. Ketidaktahuan orang-orang akan penderitaannya bukan lagi karena kebodohan, tapi karena mata mereka tak pernah benar-benar ingin melihat. Dan Tetsuya, dalam keheningannya, telah lama kehilangan kemampuan untuk berkata, "Tolong." Maka sunyi pun menjadi pelindung sekaligus penjara—sebuah ruang hampa tempat ia bertahan, tapi tak pernah benar-benar hidup.

Namun dari reruntuhan kerapuhan itu, Tetsuya perlahan membentuk dirinya menjadi sesuatu yang kokoh. Ia tidak tumbuh seperti bunga di taman yang dirawat, tapi seperti batu karang yang diasah ombak kesepian. Di sekolah, ia menjabat sebagai ketua OSIS—bukan karena ambisi, tetapi karena orang-orang melihat keteguhan yang mereka sendiri tidak punya. Ia dihormati bukan karena ia mencari hormat, tetapi karena ia membawa ketenangan yang langka, ketegasan yang tak memekik, dan disiplin yang lahir dari hidup yang menuntutnya menjadi dewasa sebelum waktunya.

Banyak yang mengaguminya—cara ia bicara dengan tenang, bagaimana ia menengahi konflik tanpa mengangkat suara, dan bagaimana ia menyatukan orang-orang yang saling bertabrakan karena hal-hal remeh. Ia tampak seperti tiang penyangga yang tak tergoyahkan, berdiri tegak di tengah bangunan yang sering nyaris runtuh. Tapi tidak banyak yang tahu: tiang itu telah retak sejak lama. Retakan yang tersembunyi, yang tidak berbunyi, tapi perlahan menggerogoti dari dalam.

Di balik setiap pujian, selalu ada bisik-bisik. Rasa iri tumbuh di sela kekaguman. Beberapa mencibir, menyebutnya sok sempurna, terlalu kaku, terlalu dingin—seperti patung marmer yang indah tapi tak bernyawa. Tapi bagi Tetsuya, komentar seperti itu hanyalah suara latar dari kehidupan yang terlalu bising untuk peduli. Ia tidak punya kemewahan untuk menjelaskan dirinya. Hidupnya adalah medan perang senyap, dan setiap harinya adalah tentang bertahan. Bagi orang lain, penilaian adalah cermin. Bagi Tetsuya, itu hanya bayangan yang bisa dibiarkan lewat begitu saja.

Sore itu, langit sudah kelabu sejak jam pelajaran terakhir—seakan ikut memantulkan warna batin yang tak pernah cerah. Saat bel pulang berdentang, hujan pun turun dengan derasnya, seperti dunia memutuskan untuk menangis bagi mereka yang tak sanggup lagi melakukannya sendiri. Tetsuya, seperti biasa, tidak membawa payung. Ia melangkah pelan di bawah langit yang meraung, menyusuri jalan kota yang tergenang, seolah setiap genangan adalah cermin bagi hatinya yang tergenang sunyi.

Seragamnya basah, melekat pada tubuhnya seperti kenangan yang enggan dilepas. Rambutnya meneteskan air seperti hujan kecil yang jatuh dari reranting, dan sepatunya memantulkan suara monoton: kletak-kletuk, kletak-kletuk—ritme kesendirian yang tak pernah ia pilih, tapi ia pelajari untuk diterima. Tapi beban sesungguhnya bukan pada tas yang menggantung di bahunya. Itu ada di dalam kepalanya—berat, pekat, seperti awan yang menggantung tanpa niat untuk pergi.

Ia berjalan dalam diam, namun dalam dirinya, kata-kata terus berputar. Ia merasa hampa, seperti hidupnya hanyalah roda yang tak pernah benar-benar berputar maju—sekadar berputar-putar dalam lingkaran yang sama: bangun, sekolah, bekerja, belajar, tidur. Ulang lagi. Hari-hari tanpa jeda, seperti mesin yang tidak pernah dimatikan. Tidak ada pelukan untuk menenangkan, tidak ada suara lembut yang bertanya, "Apa kau baik-baik saja?" Tak ada tempat untuk menangis, bahkan air mata pun seakan enggan hadir, seolah dunia mengajarinya untuk tidak terlalu berharap pada kelegaan.