"Perubahan besar tak mengubah seseorang seketika, tapi mengikis sifatnya perlahan, hingga ia sedikit berbeda atau tak lagi sama."
—
Di sebuah persimpangan jalan, tepat di bawah cahaya lampu jalan yang berkelip pelan seperti napas terakhir lampu tua yang kelelahan, Tetsuya menghentikan langkahnya. Hujan belum reda, namun ia berdiri diam, seolah waktu telah menyingkir untuk memberi ruang pada keheningan. Pandangannya kosong, menembus kabut kota yang samar. Lalu ia menunduk—menatap genangan air di bawah kakinya. Di sana, wajahnya sendiri menatap balik: basah, letih, dan asing.
"Apakah aku benar-benar ada?" bisiknya, begitu lirih hingga nyaris tidak terdengar oleh dirinya sendiri. Sebuah pertanyaan yang lebih dekat pada doa daripada pernyataan. Ia mengedipkan mata—dan dunia berubah.
Saat kelopak matanya terbuka, udara di sekelilingnya terasa berbeda: dingin, purba, dan sunyi seperti makam. Tidak ada lagi jalan aspal. Tidak ada lampu jalan. Tidak ada mobil, tidak ada kota, tidak ada siapa-siapa. Hanya angin yang mendesir pelan, dan suara dedaunan yang bergesekan seperti bisikan tua dari zaman yang dilupakan. Di sekelilingnya, pepohonan menjulang tinggi, menutup langit yang tak lagi bisa dilihat. Kabut tipis menggantung, seolah dunia menahan napas.
Tetsuya berdiri kaku, tubuhnya terpaku dalam ketidaktahuan. Jantungnya berdegup tak beraturan, dan napasnya tercekat di antara tenggorokan dan rasa takut. Apa yang terjadi? Bagaimana ia bisa berada di tempat ini? Bukankah tadi... ia masih di kota?
Tubuhnya mulai gemetar. Bukan oleh dingin, tapi oleh kecemasan yang bentuknya abstrak—kecemasan yang tak berasal dari luar, melainkan dari kedalaman yang sudah lama dikubur di dalam dirinya sendiri. Hutan itu... terasa hidup. Seolah telah lama menunggunya, seperti sesuatu yang ia hindari tetapi tak bisa selamanya lari darinya.
Dan kemudian, tanpa sadar, kakinya mulai bergerak. Pelan, tapi pasti, menuju kegelapan di antara pepohonan. Bukan karena keberanian, bukan pula karena rasa ingin tahu. Tapi karena sesuatu di dalam dirinya merasa... ini bukan tempat asing. Ini bukan pelarian. Ini mungkin adalah pulang. Meski ia sendiri tak tahu ke mana.
Dengan langkah pelan namun pasti, Tetsuya menyusuri tanah lembap yang dipenuhi akar-akar pohon, seperti urat nadi bumi yang menolak dilangkahi. Setiap gerakan terasa seperti bagian dari ritual yang tidak ia pahami. Nafasnya mulai memburu, seiring denyut jantung yang berdebar cepat namun terpendam dalam diam. Hutan menyelimutinya dengan kegelapan yang tidak menakutkan dalam wujud, tetapi mencekam dalam makna—seolah ia tengah berjalan di antara batas-batas antara sadar dan mimpi, antara hidup dan kehilangan arah.
Cahaya bulan yang pucat menetes perlahan dari celah dedaunan di atas, memantulkan sinar dingin yang nyaris tak cukup untuk menunjukkan jalan, tapi cukup untuk menyadarkannya bahwa ia belum sepenuhnya tenggelam dalam gelap. Suara ranting patah di kejauhan memecah keheningan. Tubuhnya menegang spontan, seperti binatang kecil yang menyadari bahwa ia bukan satu-satunya makhluk yang berjalan di bawah langit malam ini. Tapi apakah suara itu nyata? Atau hanya gema dari pikirannya sendiri yang mulai rapuh?
Ia tidak tahu di mana dirinya. Tidak tahu bagaimana bisa sampai ke tempat ini. Bahkan, tak yakin apakah tempat ini benar-benar ada. Ketidaktahuan itu terasa seperti jurang tak berdasar—bukan karena dalamnya, tapi karena tidak ada dinding untuk berpijak, tidak ada arah untuk memahami. "Ini malam... dan aku di hutan. Tak ada sinyal. Tak ada cahaya kota. Tak ada tanda-tanda manusia." Kalimat itu terulang dalam benaknya seperti mantra kesepian yang tak menemukan jawab.
Ketakutan mulai merambat perlahan, tidak seperti gelombang, tapi seperti kabut—diam-diam dan melekat. Namun wajah Tetsuya tetap tenang, tak berubah. Seperti biasa. Ia telah lama belajar bahwa ketenangan adalah topeng terbaik dari kepanikan. Tapi jauh di dalam dirinya, sesuatu mulai goyah. Dunia ini terlalu hening... dan keheningan, ia tahu, seringkali adalah pertanda bahwa sesuatu sedang mengawasi.
Otak Tetsuya bekerja dengan cepat, seperti mesin yang dipaksa untuk berfungsi di luar batas kemampuannya. Setiap indera diserang oleh dunia yang asing—tanah lembap yang basah oleh lumut, udara yang terasa sesak dan berat, seakan menahan napasnya. Hutan ini bukan sekadar tempat yang tidak dikenalnya; ini adalah ruang yang menentangnya, dengan keheningan yang terlalu dalam, kegelapan yang terlalu pekat. Ada sesuatu di dalamnya yang tak bisa dijelaskan—sebuah perasaan yang membelit dadanya, bahwa ia sedang diamati, diawasi oleh sesuatu yang tidak kasatmata. Namun, Tetsuya berusaha keras menekan perasaan itu. "Kemungkinan besar hanya hewan liar," bisiknya, mencoba mengusir ketakutan yang mulai menjalari tulangnya.
Ia teringat akan pelajaran survival yang dulu ia baca dengan cermat di perpustakaan, saat ia masih bisa mencuri waktu untuk belajar di antara tumpukan buku yang lebih murah daripada kursus-kursus yang sebenarnya ia inginkan. Jangan panik, hemat energi, cari tempat tinggi, dengarkan alam. Namun, meski kalimat itu berputar-putar di benaknya, rasionalitasnya tampak semakin kabur. Begitu kuatnya rasa takut yang merayap ke dalam dirinya, hingga tak lagi bisa dibendung oleh akal sehat. Ketika tubuhnya merasakan dingin yang menguar bukan hanya dari udara malam, tetapi dari ketidakpastian yang membekukan seluruh jiwa, Tetsuya sadar bahwa ia bukan lagi hanya menghadapi alam. Ia tengah dihadapkan pada dirinya sendiri—keterbatasannya yang kini terbuka lebar, menganga.
Ia adalah anak kota, terbiasa dengan hiruk-pikuk peradaban, dengan aturan yang jelas dan sistem yang memfasilitasi hidupnya. Seluruh hidupnya bergantung pada rutinitas yang dapat diprediksi—sekolah, pekerjaan, jam tidur, semuanya telah dirancang untuk memudahkan. Tetapi hutan ini, dengan segala kekasarannya, memaksa ia untuk melihat ketidakmampuannya yang tak terelakkan. Tidak ada alat untuk bertahan hidup, tidak ada peta yang menunjukkan jalan, bahkan arah mata angin pun menjadi misteri yang membingungkan. Ia merasa kosong—dalam ketidaktahuannya, ia hanyalah bagian dari alam yang lebih besar dan lebih liar, yang tidak memedulikannya. Kakinya mulai lelah, setiap langkah terasa lebih berat, namun ia tidak berani berhenti. Ada semacam kekosongan yang menemaninya, seolah-olah waktu sendiri enggan bergerak, hanya ada suara langkahnya yang berulang, berulang, seperti detakan jam yang semakin melambat.
Di balik setiap analisis, di balik upaya bertahan hidup yang terus digerakkan oleh insting, hatinya berteriak. Ini bukan sekadar rasa takut yang umum, bukan hanya kegelisahan akan ancaman yang nyata. Ini adalah kehampaan yang selama ini ada dalam dirinya, tersembunyi dan terkubur dalam-dalam, kini muncul dengan ganas dalam wujud hutan yang tak berujung, gelap, dan mencekam. Ia menyadari, untuk pertama kalinya, bahwa kehampaan itu bukan hanya sebuah perasaan—ini adalah ruang kosong yang pernah menjadi bagian dari dirinya, kini membanjiri kesadarannya. Di tengah hutan ini, Tetsuya merasakan betapa kecil, rapuh, dan tidak berarti dirinya dalam ruang yang luas dan tak terdefinisi ini. Dunia yang begitu besar seakan menertawakannya, membuatnya merasa seperti debu yang terbang di tengah badai.
Namun, justru dalam kesendirian itu—kesendirian yang mencekam dan tak terhindarkan—ia merasa sesuatu yang berbeda. Untuk pertama kalinya, ia mulai benar-benar hidup. Bukan hidup dalam arti biasa, yang dipenuhi rutinitas dan kenyamanan. Tapi hidup yang dipaksakan oleh ketidakpastian, yang menguji keberadaannya dalam tiap tarikan napas. Setiap langkah yang ia ambil di hutan ini bukan sekadar pergerakan tubuh yang mengikuti tujuan. Setiap langkah adalah sebuah upaya bertahan, sebuah pernyataan eksistensi. Ia tidak lagi berjalan hanya untuk mencapai tempat lain. Ia berjalan karena ia masih ada, karena ia masih bertahan. Dan bagi Tetsuya, itu—betapapun kecilnya—adalah sesuatu yang sangat berarti.
Langkah Tetsuya terus menyusuri hutan yang perlahan terbuka. Pohon-pohon yang tadinya tumbuh rapat dan saling merangkul kini mulai berjarak. Semak-semak yang mencekam mulai sirna, tanahnya terasa lebih rata, seolah-olah mengarahkan langkahnya tanpa ia sadari. Napasnya berat, tercampur antara lelah yang menggugah tubuh dan kecemasan yang merayap dalam pikiran, mencuri ruang yang seharusnya ditempati ketenangan. Berapa lama ia telah berjalan? Ia tak tahu. Waktu seperti terhenti, terhanyut dalam langkah-langkah yang tak ada ujungnya. Setelah entah berapa banyak detik dan menit yang terselip dalam kesunyian, ia tiba di sebuah tempat terbuka—a vast, empty field bathed in the pale light of the moon. Tanah lapang yang seolah tak terjangkau oleh bayang-bayang pepohonan, disinari langsung oleh cahaya bulan yang menggantung tinggi, seperti saksi yang tak bisa mengintervensi.
Di tempat itu, angin berhembus lebih kencang, membawa sejuk yang menembus kulit, dan aroma tanah basah serta dedaunan yang lembap menyatu dalam atmosfer yang begitu jernih. Tetsuya menengadah, menatap langit malam yang kini terlihat luas, bebas dari gangguan dedaunan atau ranting yang sebelumnya menyelimuti pandangannya. Langitnya tetap sama. Namun ada sesuatu yang mengusik dalam ketenangan itu—bukan langit yang berubah, melainkan dirinya yang sudah begitu jauh, begitu terasing dari titik awal. Dunia yang luas ini terasa semakin menjauh, semakin tidak ada yang dapat dipahami.
Ia berdiri di sana, diam, membiarkan keheningan yang memeluknya semakin dalam. Matanya menyapu cakrawala yang seolah menghadap padanya, menelusuri bentangan hutan yang gelap di kejauhan, seolah memanggilnya untuk terus berjalan. Dan di saat itu—di tengah keheningan yang melingkupi—ia melihatnya. Sebuah cahaya. Sangat samar, begitu jauh, namun jelas, seperti bintang yang tak sengaja jatuh di garis cakrawala. Cahaya itu tak berkedip, tak goyah, tetap stabil, seperti berasal dari lampu-lampu bangunan yang sepi, atau jalanan yang terlupakan. Tetsuya merasakan guncangan di hatinya, campuran rasa lega, ketakutan, dan harapan yang hampir terlupakan. Mungkin, hanya mungkin, ada kehidupan di sana. Mungkin ada seseorang yang juga terperangkap di dunia ini, di tempat yang asing dan tak terduga.
Tetsuya menggenggam erat tali tasnya, seolah benda itu adalah jangkar terakhir yang menghubungkannya dengan kenyataan—sebuah kenyataan yang semakin kabur dan tak terjangkau. Pandangannya tetap terpaku pada cahaya itu, satu-satunya hal yang kini tampaknya lebih nyata daripada dunia yang sekelilingnya. Dalam keheningan malam yang semakin mendalam, suara-suara kecil dari hutan kembali terdengar: gesekan ranting, panggilan burung malam yang sunyi, dan desir angin yang mengalir melalui dedaunan. Semua itu terasa jauh, seolah-olah dilihat dari jarak yang tak terjangkau, tak sebanding dengan titik cahaya yang kini menjadi pusat dari seluruh eksistensinya. Ia tak tahu seberapa jauh jaraknya, atau seberapa sulit medan yang harus ia tempuh. Namun, untuk pertama kalinya sejak ia berada di hutan ini, Tetsuya tahu ke mana ia harus pergi. Sebuah tujuan, yang meski samar, memberi arah bagi langkahnya yang semakin tegas.