Bab 3 – Ini Pasti Sekte Gila, Kan?

Begitu Zeyr melangkah ke markas party Cray, dia disambut oleh tiga sosok yang... aneh. Sangat aneh.

Cray, si ketua party, berdiri gagah sambil tersenyum sok bangga.

Di sebelahnya, seorang pria tua berwajah malas yang terlihat seperti akan roboh kapan saja. Jubah lusuhnya bergelantungan dari badannya. Di tangannya tergenggam tongkat penuh goresan aneh.

Mordarth—yang kelak akan dipanggil Morry.

Di sisi lain, seorang gadis muda bertubuh ramping menatap Zeyr tajam. Rambut peraknya tergerai, pedang tipis melintang di pinggangnya. Wajahnya datar, namun sorot matanya penuh kecurigaan.

Linnea—atau singkatnya Lin.

Dan terakhir... seorang bocah perempuan sekitar 12 tahun dengan seragam mirip maid, tertawa-tawa geli sambil memainkan sebuah papan catur kecil.

Cassia—yang langsung dikenal sebagai Casy si bocil tengil.

Mereka bertiga menatap Zeyr seperti sedang menilai hewan langka.

---

...Mereka ini...

’Apakah aku baru saja masuk ke sekte aneh?’

Aku mau kabur, serius.

Tapi demi bertahan hidup, aku menahan diri, memasang senyum palsu terbaikku, dan membungkuk sopan.

"Uh... mohon kerjasamanya."

Suasana hening.

Lalu, Linnea maju. Perlahan. Langkahnya ringan, tapi mengancam.

Aku... merasa keringat dingin merembes di punggungku.

"Eh? Ada apa, Linnea? Apa ada masalah?"

Linnea tak menjawab. Tatapannya makin tajam. Dia menunduk seolah hendak menerkam.

Jangan panik. Jangan panik. Jangan pa—

SWOOSH!

Dalam sekejap, dia melompat dan BRUK! menindihku ke tanah. Ujung katana dinginnya menempel di leherku.

“Siapa kau sebenarnya?” gumamnya dingin. “Mata-mata dari rentenir itu, ya?”

Aku mencoba bergerak, tapi katana itu membuatku tak bisa sembarangan.

Sial... Posisi ini...

Gambaran masa lalu menyerbu pikiranku—

Saat itu, penjahat membekapku dalam posisi serupa... hampir menghabisiku...

Kalau saja tidak ada bocah berbaju maid yang menyelamatkanku...

Wajah Linnea... perlahan berubah di mataku.

Bukan dia... Itu bukan dia...

Tapi kenapa rasanya sama?!

Detakku berpacu.

Nafasku makin memburu.

Gelap.

---

Tiba-tiba posisi mereka berbalik.

Dalam satu gerakan insting cepat, Zeyr menggulingkan tubuh Linnea dan membalik keadaan—sekarang dia di atas, dan katana itu terlempar jauh.

Linnea terpaku. Pipinya memerah tanpa sadar.

Cassia melongo.

Mordarth menaikkan satu alis dengan malas.

Cray—seperti biasa—hanya menyeringai kagum.

Suasana jadi canggung aneh.

“A—apa-apaan ini...” bisik Linnea, matanya berkedip cepat.

Zeyr, masih terduduk di atas Linnea, langsung sadar betapa aneh posisi mereka sekarang. Ia buru-buru bangkit, mukanya merah padam.

“A-aku b-bukan mata-mata, aku cuma... orang biasa!” protesnya gugup.

Cray terkekeh.

“Cukup, Linnea. Kalau dia mata-mata, dia udah nyerang kita sejak tadi.”

Linnea mendengus kesal, berdiri sambil menepuk-nepuk rok pendeknya.

Cassia tertawa cekikikan. “Hahaha! Kak Lin kalah dari bocah! Malu, malu~!”

Mordarth hanya bergumam, “Hmph, bocah-bocah ribut…”

---

“Dengarkan,” kata Cray, menarik perhatian semua. “Mulai hari ini, Zeyr akan bergabung sebagai... penasihat kita.”

“Hah?!” Linnea memprotes. “Buat apa party sekelas kita perlu bocah kerempeng jadi penasihat?”

“Apa dia bakal ngasih tips soal jualan sayur di pasar?” Cassia menggoda, diiringi tawa nakal.

Mordarth cuma mendengus malas, tapi terlihat geli.

Zeyr, sambil berusaha tetap cool, hanya membalas, “Aku akan melakukan... apapun... asal bayarannya lancar.”

Cray tertawa puas. “Itu semangat yang bagus!”

Mereka berangkat ke Balai Kota.

Zeyr memperhatikan sekeliling, heran. Kerumunan besar memenuhi lapangan pusat. Orang-orang membawa spanduk, bendera, dan makanan. Seperti festival dadakan.

“Ada apa ini?” gumam Zeyr.

Aku berjalan sedikit lebih lambat di belakang mereka, menahan kegelisahan.

"Mengapa ada kerumunan sebesar ini...?" gumamku, separuh bertanya pada diriku sendiri.

Di tengah kerumunan, seorang pria maju ke atas panggung kayu yang disiapkan dadakan.

Jubah merah gelapnya berkibar tertiup angin.

Itu Cray.

Cray mengangkat tangannya tinggi, dan dengan suara lantang yang meledak di seluruh lapangan, ia berteriak,

"AKU BERSUMPAH DI SINI! AKU, CRAY, AKAN MEMBUNUH RAJA IBLIS YANG TELAH MENGHANTUI TANAH INI!"

Sorak sorai menggelegar.

Wajah-wajah penuh harapan mengangkat tangan, berteriak namanya, memuja, mengelu-elukan.

Aku berdiri terpaku.

'Bodoh...'

Itu kata pertama yang terlintas dalam pikiranku.

Aku memandang ke sekeliling.

Mata-mata asing di antara kerumunan.

Beberapa memakai tudung, beberapa berpakaian biasa... Tapi aku mengenali tatapan itu.

Tatapan mereka yang mencari celah, mencari informasi...atau target.

Orasi ini bukan sekadar pengumuman. Ini undangan terbuka.

Bagi musuh, bagi pengkhianat, bagi semua yang ingin membunuh Cray atau mengambil keuntungan dari kekacauan.

Aku mengepalkan tangan.

'Dia...terlalu sembrono.'

Aku bukan petarung yang hebat. Aku tahu itu. Tapi aku cukup lama bertahan hidup di jalanan untuk mengerti satu hal:

Mengumumkan perang di depan umum adalah cara tercepat untuk menggali kuburanmu sendiri.

Keringat dingin mengalir di punggungku.

Bukan karena takut bertarung.

Tapi karena naluri bertahan hidupku berteriak:

"Ada sesuatu yang salah."

Cray turun dari panggung, senyum lebarnya terpampang seolah ia baru saja memenangkan perang.

Aku menatap punggungnya.

Orang ini...

Apa sebenarnya yang kau pikirkan?

---