Desa Tanpa Nama

Genta tidak tahu apa yang lebih aneh:

Cermin yang berdesing sepanjang malam atau kenyataan bahwa desa ini… tidak ada di peta.

Sesampainya di Pamekraman, Genta merasa seperti sedang terseret ke dalam dunia lain. Jalanan berdebu yang sepi, rumah-rumah tua yang menyerupai kotak-kotak kosong, dan bau udara yang berat, seperti ada sesuatu yang tersimpan di dalamnya. Semua warga menatapnya dengan senyum yang... terlalu lebar, seperti di film-film horror yang dia tonton di TV kecil ketika masih kecil.

"Selamat datang, Tuan Genta," sambut Bu Sura, kepala desa.

Suaranya tenang, terlalu tenang. Dan matanya yang besar mengintip dari balik topeng kayu yang menghiasi wajahnya. Senyuman itu, meskipun lebar, terasa kosong.

“Kami sangat menunggu kedatangan Anda. Cermin itu... sudah lama hilang, kan?”

Genta menatap Bu Sura dengan cemas, mencoba mencerna kata-kata itu. Apa maksudnya? Kenapa dia tahu soal cermin yang baru saja dibelinya?

“Salah alamat, Bu,” jawab Genta, sambil canggung menggaruk tengkuknya. “Saya hanya mencari barang antik… ini, saya… mencari asal-usulnya.”

Bu Sura tertawa pelan, suaranya seperti desahan angin malam. “Oh, tidak, Tuan Genta. Anda tidak salah alamat. Cermin itu memang untuk Anda.”

Genta melirik ke kanan, ke kiri, mencoba mencari petunjuk atau tanda apa pun. Tapi semua rumah di sekitar tampak kosong. Tidak ada jendela yang terbuka. Bahkan pohon-pohon di pinggir jalan tampak lebih gelap dari seharusnya.

Entah kenapa, dia merasa ada yang salah.