Genta menginap di sebuah rumah panggung tua di ujung desa, tak jauh dari pohon besar yang katanya sudah ada sejak sebelum desa berdiri.
Rumah itu diberikan oleh Bu Sura, katanya:
"Rumah ini pernah dihuni oleh orang seperti Anda. Pedagang juga."
Dan seperti sebelumnya, senyuman Bu Sura tetap tak berubah, seperti topengnya.
Genta mencoba tidak memikirkan itu. Dia meletakkan ranselnya, membuka cermin tua yang selama ini dia bungkus dengan kain hitam, dan meletakkannya di sudut kamar.
"Awas aja lu berisik lagi malam ini," gumamnya sambil nyalain rokok.
Tapi malam itu...
...cermin itu tidak mengeluarkan suara.
Yang terdengar malah... suara langkah dari lantai bawah.
Pelan. Satu... dua... tiga...
Genta berdiri diam, menahan napas.
Langkah itu berhenti persis di bawah kamar tidurnya.
Lalu suara pelan terdengar:
"Kenapa kamu datang lagi, Genta?"
Deg.
Dia membuka pintu pelan-pelan. Tidak ada siapa pun di tangga. Hanya suara daun jendela yang berderit tertiup angin.
Dan ketika dia kembali ke dalam kamar...
Bayangannya di cermin tak ada.
Ruangannya terlihat di cermin, jelas. Bahkan bantal di ranjang tergambar sempurna. Tapi tubuh Genta... tidak memantul.
Dia mendekat.
Mata di dalam cermin mulai muncul... satu... dua... banyak.
Dan kemudian—sebuah tangan muncul di balik pantulan, seperti ingin keluar.
Dia langsung menyambar kain dan menutup cermin itu lagi.
"Besok gue pulang," katanya sambil gemetar.
Tapi jauh di luar rumah, di bawah pohon besar itu...
warga desa sedang menggali sesuatu.