Genta bangun dengan kepala berat, seolah malam tadi otaknya disedot lewat telinga. Matahari belum tinggi, dan suara ayam di desa ini... aneh. Bukan berkokok, tapi semacam suara tertahan. Serak dan dalam.
Kayak suara orang nyoba niru ayam tapi pakai efek reverb.
Dia keluar rumah. Udara pagi dingin. Terlalu dingin untuk desa tropis.
Langkah kakinya pelan menuju pohon besar yang dilihatnya semalam dari jendela. Dan benar saja—ada tanah yang tergali. Masih baru. Masih basah.
Tapi yang bikin Genta makin merinding...
Ada papan nisan kecil dari kayu. Dan tertulis:
Genta Pradipa
Lahir: 1991 — Wafat: …
Tahun wafatnya kosong. Tapi sisanya sudah siap. Bahkan ejaan namanya pun benar.
Genta melangkah mundur, napasnya memburu.
“Ini nggak lucu,” katanya keras.
“Ini prank paling niat se-desa.”
Dan saat dia berbalik, Bu Sura sudah berdiri di belakangnya.
Tanpa suara. Tanpa langkah. Hanya... muncul.
“Jangan takut,” katanya lembut, seolah mereka sedang di dapur, bukan di atas kubur.
“Banyak dari kami juga menolak awalnya. Tapi tempat ini... tidak menerima penolakan.”
Genta mundur beberapa langkah. “Saya nggak punya urusan di sini. Saya cuma mau jual cermin, Bu.”
“Cermin itu bukan milikmu,” jawab Bu Sura. “Dan kamu tidak datang untuk menjual. Kamu kembali untuk membayar.”
---
Saat Genta kembali ke rumah, dia sadar ada yang berubah.
Cermin itu terbuka sedikit... dan dari celah kainnya, tampak senyum topeng kayu, pelan-pelan terlihat di dalam pantulan.
---
Genta belum tahu:
dia pernah ke desa ini sebelumnya.
Hanya saja, dia bukan dirinya yang sekarang.