Pagi tidak datang.
Langit tetap kelabu, seperti desa enggan memberi waktu lebih.
Genta terbangun di depan cermin. Keringat dingin menempel di tengkuk.
Di sebelahnya, dua cermin sudah terbuka.
Yang satu—pantulannya tetap.
Yang satu lagi—pantulannya berubah tiap kali dia menoleh.
Suara mulai terdengar di luar rumah. Suara langkah ratusan kaki di atas tanah.
Dan ketika Genta membuka jendela...
Seluruh warga desa berdiri mengelilingi rumahnya.
Semuanya pakai topeng. Tak bergerak. Menunggu.
Di tengah mereka, ada satu kursi kosong, menghadap ke arah rumah Genta.
Bu Sura berdiri di sampingnya.
“Silakan duduk, Genta. Sudah waktunya memilih.”
Genta berjalan pelan ke luar rumah. Langkahnya berat, tapi tidak ada yang menahannya.
Hanya pandangan diam dan topeng-topeng tak bernyawa.
Saat duduk di kursi itu, Bu Sura mengangkat tangannya.
Dua cermin dibawa ke hadapan Genta.
Yang pertama—membuatmu lupa segalanya.
Yang kedua—membuatmu ingat semuanya.
“Pilih salah satu,” kata Bu Sura. “Dan terimalah bentuk barumu.”
Genta memandang dua cermin itu. Lalu menutup matanya.
Terdengar suara napasnya menahan ketakutan... lalu:
“Saya... mau ingat.”
---
Saat dia membuka matanya, cermin kedua menyala terang. Pantulan wajah Genta hancur berkeping, dan bayangan masa lalunya menyatu dalam dirinya.
Dia melihat semuanya.
Wajah temannya yang dia khianati.
Tirta yang berlari sambil menangis.
Dirinya yang tersenyum dengan topeng, pura-pura pahlawan, padahal... ia bagian dari sistem yang sama.
Cermin retak.
Suara dari tanah terdengar seperti tarikan napas raksasa yang baru bangun dari tidur panjang.
Bu Sura menunduk.
“Selamat datang kembali, Penjaga.”
Genta tidak berkata apa-apa. Tapi matanya berubah.
Tajam. Tidak ketakutan lagi.
Karena sekarang... dia ingat perannya.
Dan tahu desa ini belum selesai.