8. Tiga Hari dan Satu Kesempatan

Saat Genta keluar dari ruang bawah tanah, matahari sudah tidak ada. Tapi juga belum malam.

Langitnya... abu-abu.

Waktu terasa beku.

Desa Pamekraman tidak mengenal pagi atau malam.

Ia hanya mengenal tiga hari.

Dan Genta baru sadar—ini hari kedua.

Di jalan desa, orang-orang kini berjalan memakai topeng penuh. Semua diam. Bahkan suara angin pun hilang.

Dan semua mata di balik topeng itu... mengarah ke Genta.

Dari arah pohon besar, Bu Sura berjalan mendekat, kali ini tanpa topeng.

“Tiga hari, Genta,” katanya pelan.

“Hari pertama untuk mengenali. Hari kedua untuk mengingat. Hari ketiga untuk memilih.”

Genta mundur setengah langkah. “Saya nggak mau pilih. Saya mau pergi.”

Bu Sura menggeleng. “Pergi adalah pilihan. Tapi begitu kamu tinggalkan desa ini, kamu akan ingat semuanya. Kamu tidak akan pernah bisa tidur lagi tanpa melihat wajah yang kamu hilangkan malam itu.”

Genta berbisik, “Tirta...”

Bu Sura tersenyum, sedih. “Dia berhasil keluar. Tapi bayaran dari keberhasilannya... adalah kamu.”

Langit makin gelap. Tapi tidak menjadi malam.

Desa seakan mengantre di depan sebuah keputusan.

Dan Genta hanya punya satu hari lagi untuk menentukannya.

Malam itu, di dalam rumah, Genta menatap dua cermin.

Satu dari atas, satu dari bawah tanah.

Dan dari dalam dua cermin itu... dua versi dirinya menatap balik,

masing-masing mencoba mengajaknya memilih sisi.

---

"Yang satu ingin kau lupakan, yang satu ingin kau pertanggungjawabkan.

Dan tak ada yang lebih menyeramkan dari diri sendiri yang tidak bisa kamu akui."