7.Cermin Kedua

Genta masih duduk di lantai rumah Bu Sura. Nafasnya mulai stabil, tapi pikirannya kacau.

Topeng itu tergeletak di sebelahnya, seolah sedang menunggu untuk dikenakan sepenuhnya.

Tapi Genta menolak.

“Gue nggak mau ingat semuanya. Cukup tahu aja kalau gue pernah di sini... dan pernah salah,” katanya sambil berdiri.

Dia keluar dari rumah itu, berjalan cepat ke arah pohon besar.

Dan di sana—di bawah akar besar yang menggembung seperti perut orang tua—dia melihat sebuah lubang kecil dengan tangga kayu turun ke bawah.

Ragu-ragu, Genta turun.

Di bawah sana, ruangan sempit berbau tanah dan sesuatu yang lebih tajam. Seperti karat dan bunga busuk.

Di tengahnya, ada cermin lain.

Bukan seperti cermin tua yang ia bawa. Ini lebih besar. Lebih bersih. Lebih... hidup.

Dan ketika dia melihat ke dalamnya.

Dia melihat dirinya.

Tapi bukan yang sekarang.

Genta yang dulu. Dengan rambut gondrong, mata penuh rasa bersalah, dan... darah di bajunya.

Cermin itu memperlihatkan malam saat Tirta kabur.

Dan bagaimana Genta berlutut di depan warga, meminta mereka untuk melepaskan gadis itu, menawarkan dirinya sendiri sebagai ganti.

Tapi cermin juga menunjukkan hal yang tidak dia ingat:

Genta tidak cuma menawarkan diri. Dia membunuh penjaga sebelumnya — temannya sendiri.

Deg.

Cermin retak sedikit.

Dan suara dari bayangan Genta di dalam pantulan berbisik:

“Kalau kamu tetap di sini, kamu akan lupa lagi. Tapi kalau kamu keluar... semua ingatan ini akan ikut kamu. Termasuk dosa yang kamu coba lupakan.”

---

Genta menatap tangannya. Gemetar.

Di sakunya, ponsel menyala sendiri.

Notifikasi muncul satu-satu:

"Pamekraman menunggu. Waktumu tinggal satu hari."