BAB 1: Aroma yang Tak Pernah Ada di Google

Hujan turun bagai hendak mencuci bersih setiap jejak kenangan dari kota. Di trotoar Jalan Braga, genangan air melengkung sempurna, memantulkan redup lampu-lampu toko yang satu per satu menyerah pada malam. Udara dingin membawa serta aroma khas, aspal basah yang getir, hembusan samar daun tembakau, dan … sesuatu yang lain. Sesuatu yang asing namun menggelitik rasa ingin tahu. Harumnya menyeruak seperti kayu manis utuh yang belum tersentuh, membangkitkan serpihan memori masa kecil yang buram dan tak tertangkap.

Raka berdiri di bawah kanopi sebuah toko tua yang tampak bisu, layarnya ponselnya menampilkan peta yang berputar tanpa tujuan, kehilangan jejak sinyal. Gang sempit di hadapannya lenyap dari peta digital itu, seolah sengaja disembunyikan.

“Jelas ini bukan jalan yang seharusnya.”

Namun, aroma itu—bau yang terasa begitu dekat meski tak mampu ia identifikasi—seolah menariknya dengan memanggilnya untuk menyelami kegelapan gang.

Langkahnya menyusuri gang sempit yang hanya menyisakan ruang seukuran tubuh. Di kejauhan, neon yang sekarat berkedip-kedip tak beraturan, mengirimkan denyutan cahaya samar ke dinding-dinding yang dipenuhi lumut dan retakan cat, bisu menyimpan jejak waktu yang seolah sengaja dilupakan di sudut kota ini.

Dan di ujung lorong yang sunyi .…

Sebuah pintu kayu kokoh dengan ukiran-ukiran asing, membentuk rangkaian huruf yang tak dikenali maknanya. Tanpa penanda. Tanpa bel. Namun, kehangatan lembut merayap keluar dari celah-celahnya, sebuah undangan tak terucap.

Raka mengetuk, suaranya terasa menggema dalam keheningan gang. Sekali. Dua kali. Tak ada sahutan. Dengan ragu, ia mendorong perlahan.

Pintu berderit lirih, membuka sebuah celah ke dunia yang berbeda.

Di dalamnya, langit-langit kafe menjelma rak-rak buku kuno yang menjulang. Cahaya temaram dari lampu-lampu gantung berkaca patri menari, memantulkan spektrum kuning dan oranye pada dinding bata ekspos yang hangat. Di sudut ruangan, gramofon antik mendendangkan melodi yang terasa abadi, seolah berasal dari lembaran waktu yang hilang.

Aroma kopi yang kaya menyambutnya—bukan kepahitan yang menusuk, melainkan keharuman yang lembut berpadu dengan cengkeh yang manis, pandan yang eksotis, dan sentuhan samar asap kayu bakar yang tak terlihat sumbernya. Di balik meja kayu panjang yang mengkilap, seorang pria dengan apron hitam bersih dan rambut perak yang tertata rapi berdiri tegak.

"Selamat datang," ucapnya lembut, tanpa sedikit pun keraguan tentang siapa Raka di tengah malam yang basah ini.

Raka membeku sejenak.

"Ini… tempat apa?" lirihnya akhirnya.

"Kau kehujanan, dan mencari sesuatu yang hilang. Itu sudah cukup," jawab barista itu tenang, gerakannya anggun saat menuangkan air panas ke dalam cangkir tanah liat yang sederhana. Uapnya mengepul perlahan, seperti sentuhan halus yang ingin mengusap dingin dari wajah Raka.

Raka duduk di kursi kayu yang terasa dingin di bawahnya. Jemarinya bergetar tanpa kendali.

“Namamu?” tanyanya, mencoba meraih pijakan.

“Raka.”

“Saudara dari Dira?”

Kepala Raka terangkat tiba-tiba. Waktu seolah membeku dalam keheningan kafe.

“Bagaimana … bagaimana kau tahu nama kakakku?” desisnya, penuh keheranan dan curiga.

Barista itu hanya membalas dengan senyum tipis, menyodorkan secangkir kopi yang aromanya kaya dan warnanya … menyerupai senja yang abadi, keemasan yang tak pernah benar-benar pudar.

“Ini Kopi Senja,” katanya pelan. 

“Mungkin dia pernah memesannya di sini.”

Raka menatap cangkir itu, ragu namun terhipnotis. Tangannya gemetar saat meraihnya, namun ada kerinduan tak tertahankan dalam jiwanya. Ia menyesap cairan hangat itu.

Dan di balik pejam matanya, sebuah lorong ingatan terbuka paksa—tentang nada suara terakhir Dira di telepon, tentang tawa rapuhnya yang bergetar menahan sesuatu, dan tentang janji bisu yang tak sempat terucap, apalagi ditepati.

Ketika matanya terbuka kembali, alunan musik yang berbeda memenuhi ruangan.

Jarum jam di dinding membisu, tak bergerak sedikit pun dan barista itu masih berdiri di tempatnya semula, senyumnya menyimpan pemahaman yang dalam tentang apa yang baru saja melintas dalam benak Raka.

“Namun, kopi di sini tak pernah cuma-cuma, Raka.”

“Lalu… apa yang harus kubayar untuk semua ini?” tanyanya, suara tercekat.

Barista itu mengarahkan telunjuknya ke dada Raka—tepat di atas jantungnya yang berdebar.

“Satu rasa yang tak akan pernah lagi kau kecap. Dimulai sejak malam ini.”

Di malam yang aneh itu, Raka tidak merasakan kehilangan apa pun. Namun, ketika fajar menyingsing, ia lupa bagaimana rasanya mencintai.