“Apa ini… semacam prank?”
Aku menatap amplop di tanganku. Amplop putih dengan gambar kucing bulat pakai pita pink dan tulisan tangan rapi yang bikin dadaku sesak.
Kepada: Amemiya Riku
Aku celingukan. Kelas baru, meja baru, semester baru. Semua murid sibuk menyapa teman lamanya. Tidak ada yang memperhatikanku.
Dengan jari gemetar, aku membuka isinya.
“Aku tahu kamu mungkin nggak sadar, tapi aku suka caramu tersenyum saat baca manga di kelas.
Kamu nggak mencolok, tapi aku sering memperhatikanmu.
Maaf kalau ini aneh. Aku cuma ingin kamu tahu perasaanku.
Dari seseorang yang sedang belajar berani.”
Aku membacanya tiga kali. Gak ada nama. Gak ada petunjuk. Cuma… gambar kucing yang sama di pojok bawah.
Aku langsung membayangkan skenario terburuk.
Ini prank. Harusnya buat cowok lain. Meja yang salah.
Atau lebih parah—sengaja dikasih ke aku buat lucu-lucuan.
“...Lo ngapain melototin kertas, Riku?”
Suara cempreng memecah lamunanku. Yamato, temanku sejak SMP, duduk di bangku sebelah sambil menggigit roti sobek. “Jangan bilang lo nemu surat cinta.”
Aku buru-buru nutup suratnya. “Nggak. Cuma… soal jadwal.”
“Jadwal pakai font bubble pink?” Dia mencibir. “Wow, jadwal lo estetik banget.”
Aku mau jawab, tapi mataku tiba-tiba bertemu tatapan seseorang di ujung kelas.
Saki Hanazono.
Cewek yang katanya populer karena bisa bikin guru ketawa dan siswa nangis dalam satu hari. Sedang menatapku—lebih tepatnya, menatap amplop di tanganku.
Lalu… wajahnya berubah. Seperti baru ingat sesuatu penting. Seperti baru sadar... sesuatu yang mengerikan.
Dan dia langsung berdiri dari bangkunya.
Langkahnya cepat. Terlalu cepat. Sampai dia berhenti tepat di depanku.
“A-Amemiya Riku…!” katanya, suaranya agak tinggi.
Aku mengangkat alis. “Ya?”
Dia menarik napas panjang, lalu berkata dengan wajah merah padam:
“Maaf! Itu suratnya salah kirim! Bukan buat kamu!”
...dan di sinilah semuanya dimulai.