Hari kedua semester baru.
Langit cerah. Burung berkicau. Suasana sekolah damai.
Kecuali di dalam kelas 2-B, tepatnya di meja pojok dekat jendela, tempat di mana aku—Riku Amemiya, sedang mencoba bertahan hidup dari tatapan seorang gadis yang sepertinya ingin membantingku pakai kursi.
"Hey!"
Suara itu terdengar sebelum aku sempat membuka bekal. Suara cewek.
Aku menoleh pelan.
Saki Hanazono.
Rambutnya hari ini diikat asal ke samping, dengan sisa-sisa highlight pink yang tampak mencolok di bawah cahaya. Seragamnya... kancing atas terbuka, dasi longgar, dan jaket sekolah digantung di bahunya seperti mantel cape ala boss anime.
“Amemiya! Ikut gue bentar!”
Aku cuma bisa mengangguk—karena kalau enggak, kemungkinan besar aku bakal kena pukul pakai tas selempangnya yang kelihatan berat banget itu.
Kami berakhir di atap sekolah.
“Duduk,” katanya, masih dengan nada galak. Tapi wajahnya… sedikit merah?
Aku menurut. Duduk pelan sambil buka bekalku.
Hanazono duduk juga. Dia membuka kotak bekal warna hitam yang anehnya nggak sesuai image gal-nya. Isinya… nasi polos dan potongan sosis yang gosong di ujung. Aku menatapnya, bingung.
“Apa?” katanya ketus.
“…Kau masak sendiri?”
Hanazono mendengus, menyodok sosis gosong pakai sumpit.
“Bukan urusanmu. Lagian… ini bukan karena aku peduli, ya! Gue cuma… ngerasa bersalah soal kemarin.”
Dia menyuap nasi kecil, lalu melirikku dari sudut mata. “Makanya, hari ini kita makan bareng. Tapi jangan GR!”
Aku nyaris ketawa. Tapi kutahan. Takut dilempar sumpit.
Hanazono itu tipe cewek yang susah banget dibaca. Dikenal sekelas karena ekspresif dan sering nyeletuk galak, tapi... gak pernah benar-benar jahat.
Rambut pirang kecoklatannya kadang kelihatan messy, tapi pas angin bertiup, kelopaknya yang tersisa di sisa musim semi nyangkut di rambutnya dan dia langsung panik sendiri sambil bilang, “Ish! Ganggu banget!”
Lucu.
Dalam… cara yang sedikit mengintimidasi.
Aku sendiri… mungkin gak menarik di mata orang lain.
Rambut hitamku selalu agak berantakan karena jarang disisir. Mata coklat tuaku sayu, kadang bikin aku dibilang “ngantukan” sama guru.
Tapi Hanazono... entah kenapa, kemarin salah kirim surat cinta padaku. Atau, mungkin… bukan salah kirim?
Aku meliriknya. Dia sedang memakan sosis gosongnya dengan ekspresi penuh dendam.
“…Mau ganti sama telur dadarku?” tawarku pelan.
Dia mendongak, kaget. “Eh? Gak usah! Lagian, siapa juga yang—”
Aku tetap menyodorkan potongan telur dadar padanya, sambil sedikit senyum. “Gak apa-apa. Aku masih punya cukup.”
Hanazono diam. Lalu, dengan wajah super merah dan suara kecil yang nggak cocok sama volume biasanya, dia bergumam,
“…Makasih.”
Sepuluh detik kemudian—tanpa alasan yang jelas—aku kena tonjok pelan di lengan.
“B-bukan karena aku suka, ya! Gue cuma... lapar aja!”
Dan aku cuma bisa tertawa pelan, memandang langit biru di atas kami yang
Hari berikutnya, saat aku baru masuk kelas...
“AMEMIYAA—!!”
Sebuah tubuh dilemparkan ke meja depanku seperti karung beras.
“Eh, Yamato—ngapain lo—”
“GUE DAPET KABAR BURUK!!”
Yamato meraih kerahku seperti drama Korea yang gagal total.
Matanya berkaca-kaca.
“Apa bener… apa bener lo makan siang di atap… bareng HANAZONO-SAN!?”
Aku kaku. “…Siapa yang bilang?”
“SELURUH SEKOLAH, AMEMIYA! Seluruh sekolah!! Bahkan tukang kantin sampe nyelipin wasabi di onigiri gue saking kagetnya!”
“Serius amat…”
Yamato langsung bersimpuh di lantai, tangannya menengadah ke langit-langit kelas.
“APA INI… MASA POPULERMU!? APA INI PERTANDA… KAU AKAN MENINGGALKANKU!?”
Aku tepuk jidat.
“Gue bukan jadi idol, Yamato. Gue cuma makan.”
“MAKAN DENGAN HEROINE SEKOLAH, AMEMIYA! Itu udah lebih dari cukup buat masuk legenda!”
Beberapa murid mulai melirik kami. Yamato memanfaatkan keramaian, pura-pura nangis di bawah meja sambil nyanyi pelan, “My best friend’s leaving me for a gal…”
“Berhenti! Jangan jadi musikal sekarang!” Aku mencubit pipinya. “Gue gak ninggalin siapa-siapa!”
Yamato mendongak, dengan wajah yang dramatis tapi mata juling sebelah karena ketawa ditahan.
“…Katakan, Amemiya… katakan bahwa kita masih bisa makan bareng di kantin… walau kau kini punya sunbae yang lebih bersinar…”
“…Hanazono bukan sunbae dan dia bukan—”
“SAKIT! SAKIT! JANGAN SAKITIN PERASAANKU LAGI!”