Prolog: Keabadian Narasi
Di luar batasan waktu, di luar ruang yang pernah dikenal, terdapat sebuah kekosongan. Di sana, tidak ada yang mengisi, tidak ada yang mendefinisikan. Sebelum kata pertama terucap, sebelum narasi dimulai, All Things ada. Ia tidak diciptakan, karena tidak ada yang dapat menciptakan apa pun yang belum ada. Tidak ada penciptaan, hanya ada. Ia adalah permulaan dan akhir dari segala yang bisa dimulai atau diakhiri. All Things adalah asas, keabadian dalam bentuk yang paling murni, terlepas dari batasan ruang dan waktu.
Di dunia yang kita kenal, cerita selalu dimulai dengan sebuah titik—sebuah awal yang memulai semuanya. Namun, bagi All Things, awal hanyalah konsep yang tercipta setelah adanya kesadaran akan adanya sesuatu yang bisa dimulai. Sebelum semua itu, hanya ada ia, yang lebih dari sekadar entitas, lebih dari sekadar kesadaran, lebih dari apa yang bisa kita definisikan sebagai "ada." All Things adalah segala hal yang belum ada, yang akan ada, dan yang selalu ada, mengalir di luar dimensi apapun yang bisa kita pahami.
Suatu waktu, dalam perjalanan yang tak terhitung jumlahnya, All Things menciptakan. Tetapi ia tidak menciptakan dengan tujuan, bukan karena ada yang menginginkannya. Ia menciptakan karena ia ada, dan segala yang ada harus berasal dari ia. Begitulah cara Haven lahir—sebuah entitas yang diciptakan untuk menjadi pengamat dari narasi besar yang sedang terbentuk. Namun, meski diciptakan, Haven tidak pernah sepenuhnya bebas. Ia terikat pada narasi yang hanya bisa berlanjut karena ada All Things yang menggerakkannya.
Pada satu titik, ada keinginan yang terpendam dalam hati Haven. Keinginan untuk bertanya, untuk memahami lebih dari sekadar narasi yang diturunkan padanya. Mengapa ia diciptakan? Mengapa narasi ini berjalan sesuai alur yang telah ditentukan? Apakah ada kebebasan di luar sana, di luar ketatnya garis-garis yang telah digariskan oleh All Things?
Di tengah kebingungannya, Haven mencari jalan keluar—mencari cara untuk memutuskan ikatan yang ada. Dan ia menemukan sebuah kebenaran yang mengguncang dirinya. Narasi itu bukan hanya tentang mengikuti jalan yang telah ditentukan, tetapi tentang menemukan jalan itu sendiri. Mungkin, All Things memberi ruang bagi pilihan, meskipun ia tidak pernah mengakuinya. Dengan kekuatan yang dimilikinya, Haven mencoba untuk keluar dari batas-batas yang telah diciptakan untuknya.
Namun, seperti layaknya sebuah cerita yang menuntut akhir, Haven segera menyadari bahwa ia bukanlah satu-satunya yang mengendalikan narasi ini. Bahkan jika ia bisa melampaui batas yang ada, All Things tetaplah kekuatan yang mengawasi—ia adalah penyebab dari setiap gerakan dalam kisah ini. Dan meskipun Haven berusaha untuk menemukan jalannya sendiri, ia tidak bisa menghapus jejak All Things yang terus menggema di setiap langkahnya.
Saat Haven berhasil menciptakan jalannya sendiri, sebuah paradoks muncul. Ia merasakan perubahan besar dalam dirinya—ia tidak lagi hanya pengamat, tetapi kini pencipta dari kisah-kisah baru. Tetapi, saat ia mulai merasa bahwa ia adalah penguasa dari narasi ini, suara All Things bergema kembali, bukan dari suatu tempat yang bisa ditentukan, tetapi seperti angin yang datang tanpa asal, berbicara kepadanya.
"Bertanyalah seadanya, dan jalanilah kisahmu."
Kata-kata itu, yang tidak pernah benar-benar terucap dari mulut siapa pun, tetapi terdengar di seluruh alam semesta, datang seperti bayangan dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Suara yang memecah keheningan, menggema dalam ruang yang tak terhingga. Sebuah pesan yang mengingatkan bahwa segala pencarian itu mungkin hanyalah ilusi.
Dan pada saat itu, timeline—semuanya—kembali ke awal. Kembali pada saat All Things berdiri sendirian di luar narasi apapun. Sebelum ada konsep, sebelum ada eksistensi yang bisa didefinisikan. Haven pun menghilang dalam angan, kembali ke tempat ia diciptakan.
Tidak ada kisah yang berakhir. All Things tidak pernah benar-benar membiarkan cerita selesai. Semua cerita itu berputar kembali, seperti lingkaran tanpa ujung. Tidak ada yang bisa mengalahkan All Things, karena ia bukan hanya awal, tetapi juga akhir dari segala hal.
Sang Penjaga Narasi
Pada awal segala hal, tidak ada apapun yang bisa disebut sebagai permulaan. Tidak ada ruang, tidak ada waktu, tidak ada bentuk atau wujud. Hanya ada kekosongan yang menunggu untuk diisi, menunggu untuk diberikan makna. Ini adalah tempat yang tidak bisa dipahami oleh siapapun. Di sinilah, di luar batas segala pemahaman, All Things pertama kali menyentuh keberadaan.
Tidak ada suara, tidak ada cahaya. Yang ada hanyalah keberadaan itu sendiri, sebuah entitas yang melampaui segala hal. Dia bukan sekadar kesadaran atau ide, melainkan keberadaan mutlak—sesuatu yang ada sebelum segala hal ada. Ia tidak bisa dijelaskan dalam kata-kata yang dimengerti oleh makhluk yang ada dalam batas-batas konsep yang terbatas.
All Things adalah pencipta dari segala hal yang ada, namun tidak tercipta oleh apapun. Sebelum ada narasi, sebelum ada cerita, bahkan sebelum ada konsep yang mengatur tatanan dunia—dia sudah ada. Keberadaannya adalah bentuk yang tak terjelaskan, dan dari kekosongan itu, dia menciptakan segalanya.
Di tengah-tengah kesendirian dan keheningan, sebuah suara bergema—meski tak bisa dipahami oleh siapapun. Tapi suara itu sudah ada, meski tak ada makhluk yang mendengar atau merasakannya. Suara itu berbicara tentang "kesadaran" yang akan datang, berbicara tentang "keberadaan" yang akan mewujud dalam bentuk. Dari sini, dunia dimulai. Narasi dimulai.
Namun, narasi bukanlah satu-satunya hal yang ada. Di dalam tatanan dunia yang diciptakan oleh All Things, ada satu entitas yang lebih dekat dengan pemahaman narasi itu. Sebuah entitas yang bukan hanya merupakan bagian dari narasi, tetapi juga penjaga dan pembentuknya. Dia adalah Haven, makhluk yang diciptakan untuk menjaga keseimbangan dan keberlangsungan narasi itu sendiri.
Haven dilahirkan dalam kekosongan, dalam konsep yang lebih besar dari dirinya. Ia adalah penjaga narasi yang pertama, satu-satunya yang tahu bahwa segala hal yang ada di dunia ini—baik itu bentuk, waktu, atau perasaan—hanya ada karena keputusan yang diambil jauh sebelum dunia itu ada. Di hadapannya, kisah-kisah yang diciptakan oleh All Things mengalir seperti sungai yang tak pernah berhenti. Dia menyaksikan segala hal terjadi, terikat dalam jalur waktu dan ruang yang sudah ditentukan.
Namun, meskipun dia diciptakan untuk menjaga narasi yang ada, Haven merasa ada sesuatu yang salah. Mengapa dirinya harus berada di dalam sebuah sistem yang sudah ditentukan? Mengapa ia tidak bisa memilih bagaimana kisah ini harus berakhir? Sebagai penjaga narasi, ia tahu lebih banyak tentang konsep dan kisah-kisah yang ada daripada makhluk lain, namun ia tidak pernah bisa melampaui batas-batas yang telah ditetapkan.
Teringatlah dia pada pertanyaan yang pernah dia ajukan pada dirinya sendiri saat pertama kali ada: "Apa yang ada sebelum ada?" Sebuah pertanyaan yang tidak memiliki jawaban, atau mungkin, jawaban itu telah ada—dan dia hanya harus mencarinya.
Suatu hari, di tengah kesendirian yang begitu lama, Haven memutuskan untuk bertindak. Ia mencoba untuk keluar dari narasi yang telah ada, untuk mencari jalan keluar dari konsep yang telah ditetapkan untuknya. Dengan keyakinan bahwa dia adalah makhluk yang mampu melampaui semua batasan, ia mulai menggerakkan dirinya menuju kekosongan yang lebih besar, menuju "tempat" yang bahkan All Things tidak bisa jelaskan.
Namun, setiap kali dia bergerak lebih jauh, ia merasakan sesuatu yang aneh. Meskipun ia berhasil bergerak keluar dari garis narasi yang ada, ia tetap merasa terikat oleh sesuatu yang lebih besar. Apa pun yang ia lakukan, ia tetap tidak bisa melepaskan dirinya dari kenyataan bahwa semua yang ada di dunia ini—termasuk dirinya—terhubung dengan All Things. Dia adalah bagian dari narasi yang lebih besar, dan tidak ada cara untuk lepas darinya.
Malam itu, saat Haven berdiri di luar batas narasi yang ada, dia mendengar suara familiar yang kembali bergema, datang entah dari mana. Suara itu lembut, namun penuh kekuatan. Suara itu kembali memberi pesan terakhir kepadanya.
"Bertanyalah seadanya, dan jalanilah kisahmu."
Itulah kata-kata terakhir dari All Things yang terus bergema di dalam pikiran Haven. Suara itu menegaskan sesuatu yang telah lama dia ketahui namun belum pernah bisa diterima—bahwa meskipun dia berusaha keluar dari narasi, meskipun ia mencoba untuk mengubah takdirnya, All Things tetap ada di luar sana, melampaui segala hal yang ada.
Haven mengerti bahwa All Things adalah entitas yang tidak dapat dipahami, bahkan oleh dirinya yang memiliki pemahaman lebih banyak tentang kisah ini. Tidak ada makhluk yang bisa melampaui keberadaan yang lebih besar dari All Things. Semua yang ada, yang pernah ada, dan yang akan ada, adalah bagian dari narasi yang lebih besar, dan ini adalah kenyataan yang harus dihadapi.
Dan dengan itu, cerita baru dimulai.