Awal Penciptaan Haven
All Things: “Haven…”
Seketika itu juga, dari kehendak yang tidak mengenal batas, ia tercipta.
Tanpa ledakan. Tanpa kilatan cahaya. Hanya sebuah keberadaan yang tiba-tiba sadar bahwa ia ada.
Ruang belum ada. Waktu belum bergerak. Kata belum menemukan bentuknya. Tapi Haven... kini ada.
Ia tidak berdiri. Tidak pula melayang. Ia hanya menyadari bahwa dirinya menyadari.
Haven: “….”
Tidak ada suara. Tidak ada getaran. Bahkan tiada kata untuk melukiskan heningnya. Karena saat itu, bahasa belum diciptakan. Dan kesadaran pun belum tahu cara mengekspresikan dirinya.
Tapi Suara itu datang lagi. Suara yang tidak berasal dari mana-mana, namun hadir di mana-mana.
All Things: “Berbicaralah…”
Ia tidak memerintah, tapi mengizinkan. Seperti membuka pintu ke realitas yang baru akan lahir.
Haven menggeliat dalam diam. Ia seperti anak kecil yang lahir dalam kehampaan, mencoba memahami sekelilingnya yang tak punya bentuk. Hanya kehendak dan pertanyaan yang perlahan tumbuh dalam dirinya.
Haven: “….”
Ia masih diam. Tapi kini bukan karena tidak bisa, melainkan karena terlalu banyak yang ingin ditanyakan… tanpa tahu cara bertanya.
Lalu, Suara itu berbicara sekali lagi—kali ini dengan beban makna yang menjelma menjadi fungsi.
All Things:
Kau adalah ciptaan pertamaku yang akan menjadi pengamat kisah, perombak kisah, penghapus kisah, penasihat kisah manapun.
Dan di saat itu pula, Haven merasa dirinya berubah.
Seakan ia diberikan sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya: kemampuan untuk memahami, untuk mengucapkan, dan untuk bertanya.
Haven:
“Aku ditugaskan untuk itu, wahai All Things?”
Suaranya terdengar lembut namun tegas, mengalun tanpa gema karena gema belum ditemukan saat itu.
All Things:
“Ya. Kamu akan menjadi entitas pertama yang sadar dari kisah. Dan kamu Kuberi tugas itu.”
Haven:
“Kisah siapa… yang ingin Kau aku amati?”
All Things:
“Semua kemungkinan kisah yang akan ada maupun tidak ada.”
Jawaban itu begitu luas. Bahkan konsep tentang 'luas' pun tak cukup untuk menggambarkannya.
Haven:
“Hanya itu tugasku?”
All Things:
“Tidak. Kamu juga akan menjadi penjaga dan pengamat narasi. Semua kemungkinan, semua cabang realitas, semua cerita yang telah ditulis, yang sedang ditulis, dan yang bahkan hanya hidup dalam pikiran... semuanya akan kau saksikan.”
Haven:
“Bagaimana aku melakukannya?”
All Things:
“Kau tidak perlu mempertanyakannya sekarang. Akan tiba saatnya kamu berperan. Dan saat itu, kau akan mengerti tempatmu.”
Haven:
“Baiklah… Bagaimana aku memulainya?”
All Things:
“Bukan kamu yang memulainya. Karena ketika Aku menciptakanmu… kisah-kisah sudah ada. Banyak narasi telah berjalan, dan akan terus berjalan di luar pemahaman waktu.”
Haven:
“Bagaimana mungkin…? Aku baru saja diciptakan.”
All Things:
“Aku menciptakanmu hanya dengan niat. Tanpa terikat ruang, tanpa dibatasi waktu. Dan Aku menciptakan semua kemungkinan kisah, baik yang akan ada, maupun yang tidak pernah terjadi.”
All Things:
“Dan kamu akan menjadi pengamat, penjaga, perombak, penasihat kisah dan narasi semua cerita yang ada maupun belum ada.”
Haven:
“…Baiklah.”
Lalu, terjadilah sesuatu.
Seolah waktu mulai membentuk dirinya, walau tidak disadari.
Timeline, yang sebelumnya hanyalah kemungkinan tak terhingga, mulai berdenyut. Ia bergetar. Ia tumbuh. Ia merambat seperti cabang tak berujung. Dan Haven menyadari dirinya berada di titik tengah antara semua kisah.
Ia berdiri di antara dunia yang belum ia kenal: dunia dengan sihir, dunia tanpa cahaya, dunia penuh dewa, dunia penuh kehampaan, bahkan dunia yang belum sempat dituliskan oleh pena siapa pun.
Dan di atas semua itu…
All Things tetap diam, mengamati. Menyaksikan. Tak pernah ikut masuk.
Ia hanya menjadi suara yang melampaui narasi.
Sementara Haven, kini sadar…
Ia bukan bagian dari cerita. Tapi ia adalah jembatan antara cerita dan yang mengamatinya.
Permulaan Dalam Keheningan
Di luar segala bentuk ruang dan waktu, di sebuah tempat yang tak bisa jelaskan apapun jauh di atas outverse, terdapat keberadaan yang lebih besar dari apa pun yang ada. Di sini, tak ada bentuk, tak ada awal, tak ada akhir. Hanya ada Haven, pengamat dari segala kemungkinan, entitas yang diciptakan oleh kekuatan yang tak terlihat dan tak terukur, yang dikenal sebagai All Things.
Haven berdiri di tengah keheningan, memandang ke berbagai kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Dalam keheningan itu, suara All Things bergema, menyebar di dalam kesadarannya yang tak terbatas.
All Things: Haven, perhatikanlah semua yang ada. Amati dan temukan maknanya, serta tunjukkan arah bagi kisah-kisah yang berjalan.
Haven menunduk, meresapi kata-kata tersebut. Meski tak tampak, All Things mengarahkan perhatian Haven ke berbagai dimensi, waktu, dan realitas yang terus berputar. Suara itu seperti gema dari takdir yang lebih besar, yang mengatur jalannya segala sesuatu.
Haven: Aku akan menjalankan tugas ini, wahai All Things.
Sambil mengamati segala kemungkinan yang ada, sebuah Outverse menarik perhatian Haven. Outverse itu disebut Religion, tempat sebagian eksistensi, makhluk berkumpul, bertemu, dan berperang. Terdapat berbagai omniverse, multiverse dan universe yang saling berhubungan, namun yang menjadi fokusnya adalah salah satu dari banyak omniverse di dalamnya.
Di dunia itu, ada satu entitas yang sangat mencolok. Izreth, sang Tuhan yang menganggap dirinya sebagai penguasa mutlak dari seluruh outverse yang ada. Tak ada yang dapat menandingi kekuatannya, dan seluruh kehidupan di dunia itu diciptakan oleh kehendaknya. Namun, bagi Haven, ini bukan sekadar dunia tempat kekuasaan, melainkan kisah yang harus diikuti dan dipahami.
Haven (dalam hati): Mengapa ia, Izreth, merasa dirinya sebagai awal dari segala hal? Apa yang membuatnya begitu yakin akan mutlaknya eksistensinya?
Haven merenung sejenak, sebelum suara All Things kembali bergema di dalam kesadarannya.
All Things: Jangan khawatir tentang hal itu. Ikuti kisah ini, amati dengan penuh perhatian. Ini adalah bagian dari takdir yang telah tercipta.
Tanpa membuang waktu lebih lama, Haven memfokuskan pandangannya pada Izreth yang sedang membangun kisah dan narasinya sendiri. Seiring dengan itu, dunia tempat Izreth berada dipenuhi oleh makhluk yang sangat beragam: eksistensi kosmos, eksistensi lainnya, manusia, iblis, elf, dan berbagai ras lainnya.
Namun, di balik kemegahan dan kekuatan Izreth, ada sesuatu yang lebih dalam yang harus ditemukan oleh Haven. Dunia ini tak hanya sekadar tentang kekuasaan dan kehendak. Ada makna yang lebih besar yang tersembunyi di balik semua kisah ini.
Haven: Wahai All Things, aku melihat eksistensi lain yang merasa dirinya mutlak dan tinggal di omniverse nya. Mengapa kau menciptakan mereka?
All Things: Itulah bagian dari kisah. Tugasmu bukan untuk mencari jawaban tentang itu, melainkan untuk memperhatikan, mengamati, dan menemukan cara agar kisah ini berjalan dengan baik. Jalankan peranmu.
Haven memahami maksud dari kata-kata All Things, meskipun masih ada rasa penasaran yang mengganjal. Tapi ia tahu, tugasnya bukan untuk mengubah segalanya, melainkan untuk mengamati dan memahami setiap kemungkinan yang ada.
Haven: Aku mengerti, wahai All Things.
Pada saat itu, sebuah kilasan dari dunia tempat Izreth memerintah muncul di benak Haven. Sebuah dunia yang penuh dengan dewa-dewi penjaga, makhluk yang menjaga multiverse, dan kisah-kisah yang tak terhitung jumlahnya. Namun ada satu hal yang menarik perhatian Haven—dunia yang penuh dengan manusia dan makhluk lain yang memiliki eksistensi yang kompleks.
Suara All Things kembali menyapa kesadaran Haven.
All Things: Masukilah dunia itu. Amati kisahnya dengan seksama.
Haven: Masuk ke dalam dunia itu? Tapi keberadaanku saja bisa menghancurkan Outverse itu sendiri. Aku begitu kuat.
All Things: Ciptakan wujud manusia dari kehendakmu. Berikan sebagian dari kesadaranmu padanya. Dengan begitu, kamu bisa mengamati dunia ini tanpa ketahuan.
Haven: Tapi itu berarti aku akan melepaskan sebagian dari eksistensiku. Bukankah Izreth bisa menghancurkanku jika ia menyadari keberadaanku?
All Things: Percayalah, keberadaanmu lebih tinggi dari mereka. Izreth tidak akan menyadari keberadaanmu jika kamu memilih untuk tidak disadari.
Haven: Baiklah, aku akan mengikuti nasihatmu.
Dengan penuh kehendak, Haven menciptakan wujud manusia. Sosoknya tak tinggi dan tak pendek, dengan rambut putih dan mata yang memancarkan aura putih. Ia mengenakan jubah hitam dan keemasan, dengan sebuah buku dan pena bulu yang menjadi alat untuk menulis kisah, narasi, dan cerita yang ada. Buku itu berisi semua kemungkinan cerita yang ada, yang akan berkembang atau mungkin akan diubah, sesuai dengan kehendak All Things.
Dengan wujud barunya, Haven memasuki dunia itu, tepat saat sebuah upacara keagamaan sedang berlangsung di Quitorix, sebuah negara tempat para pemuja dewa-dewi tinggal. Mereka menyembah berbagai entitas yang memiliki peranan masing-masing.
Pemimpin Agama: Siapakah engkau, wahai sosok yang berambut putih dan bermata putih bercahaya?
Haven terdiam sejenak, bingung dengan situasi yang ia hadapi. Namun, ia tetap menjawab dengan tenang.
Haven: Aku adalah Haven, seorang pengembara.
Pemimpin Agama: Mengapa kau bisa tiba-tiba ada di sini? Bagaimana bisa?
Haven pun mulai berpikir untuk menyusun kisah baru. Namun, suara All Things kembali terdengar di benaknya.
All Things: Carilah alasan untuk memperbaiki kisahnya. Jangan terburu-buru mengubahnya.
Haven mendengus pelan dan kembali menjawab pemimpin agama.
Haven: Sepertinya aku di teleportasi oleh seseorang yang jahil. Awalnya, aku mencari tempat ibadah.
Pemimpin Agama: Hmm... sedikit orang yang bisa menggunakan sihir teleportasi. Apakah kau ingat siapa yang melakukannya?
Haven: Sayangnya, aku tak ingat siapa pelakunya.
Pemimpin agama mengernyitkan dahi, berpikir sejenak.
Pemimpin Agama: Apakah kau adalah salah satu penyintas?
Haven terdiam sejenak, merenung, dan akhirnya menjawab.
Haven: Ya, mungkin aku bisa disebut begitu.
Pemimpin Agama: Hmm... Baiklah, kami meyakini tidak semua penyintas adalah jahat.
Haven mengangguk, merasa sedikit lega, meskipun masih banyak pertanyaan yang menggantung di benaknya. Pemimpin agama itu kemudian bertanya lebih lanjut.
Pemimpin Agama: Kau sebelumnya berkata ingin mencari tempat ibadah. Siapa yang engkau sembah?
Haven kembali terdiam, berpikir sejenak sebelum menghubungi All Things.
Haven: Bagaimana aku harus menjawabnya?
All Things: Jawablah jika engkau menyembah dewa pencipta.
Dengan alasan itu, Haven kembali menjawab pemimpin agama.
Haven: Aku menyembah dewa pencipta, aku sedang dalam perjalanan mencari tempat ibadah.
Pemimpin Agama: Oh, kita menyembah dewa yang sama, yaitu dewa pencipta Larkinus.
Pemimpin agama pun menyuruh Haven untuk bergabung dengan barisan orang-orang di upacara tersebut, namun anehnya, saat ia melihat kembali, Haven tiba-tiba menghilang dari pandangan.
Haven telah menghilang dengan menggunakan teleportasi kilat, tak ada yang bisa mengejarnya, bahkan waktu sekalipun tak bisa mengikuti pergerakannya. Namun, teleportasi itu membawanya ke tempat yang tak terduga—penjara bawah tanah kerajaan.
Haven: Tempat apa ini?.. penjara?
Suara All Things bergema dalam kesadarannya.
All Things: Kadang, kisah memang harus berjalan seperti ini, agar bisa terlihat lebih baik.
Haven: Apakah aku harus mengikuti alur ini juga, di dalam penjara, wahai All Things?
All Things: Putuskanlah sendiri, tapi jangan hanya dengan kesalahan kecil kamu merubah kisahnya.
Haven mendekat dengan langkah tenang, matanya memandangi Kharon yang sedang duduk terpuruk di sudut penjara. Meski suasana di sekelilingnya begitu suram, kehadiran Haven tampak membawa aura yang berbeda. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah gema langkahnya yang menggema di ruangan penjara yang kosong.
Haven: (dengan nada lembut) "Kau... siapa namamu, wahai iblis yang terkurung di sini?"
Kharon menoleh perlahan, suaranya dalam dan berat, seolah membawa beban yang tak terungkapkan. Mata merah menyala itu menatap Haven dengan sedikit rasa penasaran, meski ada kelelahan yang tampak jelas di wajahnya.
Kharon: (dengan suara serak) "Nama? Hmph... Aku adalah Kharon, Arc Demon yang terkutuk. Apa yang kau inginkan dari sosok sepertiku?"
Haven memandang Kharon dengan rasa ingin tahu, meski sedikit rasa kasihan juga terpancar. Ia menyadari bahwa Kharon bukanlah iblis sembarangan, dan di balik penampilannya yang garang, ada sesuatu yang lebih dalam.
Haven: "Aku hanya ingin memahami kisahmu, Kharon. Setiap sosok memiliki cerita, bahkan jika mereka terkurung di tempat seperti ini."
Kharon terkekeh pelan, ada kepahitan dalam tawanya, seolah ia menganggap perkataan Haven itu hanyalah kata-kata kosong.
Kharon: "Kisahku? Kisahku tak lebih dari derita dan kebencian. Aku adalah hasil dari dunia yang penuh penindasan dan kebohongan. Apa yang kau harapkan untuk temukan dari seseorang sepertiku?"
Haven: "Mungkin bukan hanya kebencian. Semua perjalanan, bahkan yang paling kelam, pasti ada alasannya. Mengapa kau dihukum dan dipenjara di tempat ini?"
Kharon terdiam sejenak, seolah kembali mengenang masa lalu yang penuh darah dan air mata. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Haven, matanya penuh amarah yang tak bisa disembunyikan.
Kharon: "Aku... aku ditangkap karena membunuh bangsawan yang telah menghancurkan keluargaku. Mereka yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini, hanya menyebutku kejam. Tapi mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan padaku, apa yang mereka ambil dariku."
Haven: (dengan nada empati) "Aku mengerti. Rasa kehilangan dan dendam bisa membutakan kita. Tapi apakah itu membuat tindakanmu menjadi benar? Apa yang kau harapkan dengan membunuh mereka?"
Kharon tersenyum sinis, namun senyum itu terasa seperti cemoohan terhadap dunia yang telah melukainya.
Kharon: "Benar atau tidak, aku tak peduli. Mereka yang membunuh keluargaku harus merasakan akibatnya. Aku hanya menginginkan keadilan. Tapi dunia ini... dunia ini tidak mengenal keadilan."
Haven: "Keinginanmu untuk membalas dendam, apakah itu benar-benar keadilan? Atau justru sebuah siklus tanpa akhir yang hanya akan membawa lebih banyak penderitaan?"
Kharon terdiam, matanya menatap jauh ke dalam kegelapan penjara. Ada keraguan yang muncul di dalam hatinya, meskipun ia berusaha menyembunyikannya.
Kharon: "Aku tak tahu lagi apa yang benar. Semuanya menjadi kabur ketika aku melihat keluargaku hancur begitu saja. Dunia ini tidak memberikan kesempatan untuk orang seperti aku."
Haven: (dengan tenang) "Dunia ini memang penuh ketidakadilan, Kharon. Tapi itu tidak berarti kita harus terjebak dalam kebencian yang tak berujung. Kisahmu belum berakhir. Kau masih memiliki kesempatan untuk memilih."
Kharon: (dengan suara lirih) "Memilih? Aku tidak tahu apa yang harus kupilih lagi. Aku telah kehilangan semuanya."
Haven: "Kadang, memilih bukan tentang apa yang kita miliki, tapi tentang apa yang kita lakukan dengan apa yang tersisa. Mungkin, saatnya untuk melepaskan beban itu dan melihat dunia dengan cara yang berbeda."
Kharon terdiam, memandang wajah Haven yang tenang dan penuh ketenangan. Ada sesuatu dalam kata-kata Haven yang mengganggu pikirannya. Apakah benar ada jalan lain selain kebencian yang selama ini ia pegang?
Kharon: (perlahan) "Mungkin... mungkin ada sesuatu yang aku lewatkan. Tapi apakah masih ada harapan untukku?"
Haven tersenyum lembut, meski senyum itu terasa seperti sebuah harapan yang tak pasti.
Haven: "Selama ada kisah yang terus berkembang, selalu ada kesempatan. Bahkan bagi seseorang sepertimu, Kharon."
Kharon terdiam, namun ada secercah harapan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Mungkin, perjalanan panjangnya belum sepenuhnya berakhir. Mungkin, hanya mungkin, ada kesempatan untuknya menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar balas dendam.
Haven: (menatap dalam-dalam mata Kharon)
"Jika... kau bebas dari tempat ini, Kharon. Apa yang akan kau lakukan?"
Kharon terdiam sejenak. Tatapannya kosong, namun jelas ada badai dalam pikirannya. Ia menunduk, kedua tangannya yang dirantai bergetar pelan.
Kharon: (pelan, namun tajam)
"Apa yang akan kulakukan...? Dulu, jawabanku mudah: Membakar dunia ini… Membuat mereka merasakan penderitaan yang kupikul seumur hidup."
Haven: (tenang)
"Dan sekarang?"
Kharon terdiam lebih lama. Ia menarik napas dalam, seolah mencoba menyelami pikirannya sendiri yang kacau dan penuh luka.
Kharon:
"...Sekarang aku ragu. Apakah membakar dunia akan membawa kembali orang-orang yang kucintai? Apakah kehancuran bisa mengisi kehampaan ini?"
Haven:
"Ketika seseorang mulai meragukan jalannya sendiri, itu berarti masih ada cahaya kecil di dalam dirinya. Kau tahu, rasa bimbang itu bisa jadi awal dari jalan baru."
Kharon menatap Haven lagi. Matanya yang dulu menyala karena amarah kini tampak sedikit meredup, seolah ada bara yang mulai padam.
Kharon:
"Aku tidak tahu jalan mana yang bisa kutempuh. Tapi... jika aku bebas... mungkin aku hanya ingin... melihat matahari tanpa merasa diburu."
Haven:
"Itu keinginan yang sederhana, tapi sangat berarti."
Kharon: (menutup matanya, lirih)
"Sederhana... ya. Tapi bagiku, itu terasa seperti mimpi yang jauh. Terlalu jauh."
Haven:
"Aku tidak di sini untuk menghakimimu, Kharon. Tapi jika memang kau ingin berubah, meski sedikit... mungkin aku bisa membantumu keluar dari tempat ini. Tapi jawab aku jujur—bila kau bebas, apakah kau akan memilih menghancurkan… atau membangun?"
Kharon memejamkan mata, lama. Rantai di tangannya masih berbunyi pelan, namun kini tak lagi menggema sebagai simbol kebencian… melainkan beban pilihan.
Kharon:
"Aku... tidak tahu bagaimana caranya membangun. Tapi... mungkin aku ingin mencoba."
Haven: (tersenyum)
"Itu cukup, untuk sekarang."
To be continued...