Tindakan Dari Haven

Lorong penjara kembali sunyi. Hanya suara lentera yang berayun di tangan para penjaga yang terdengar—dan detak langkah berat mereka menyusuri jalur batu dingin yang berkabut samar oleh kelembaban.

Penjaga 1: "Sudah tiga bulan sejak kita terakhir melihat iblis itu. Kuharap hari ini ia tetap membisu."

Penjaga 2: "Jangan katakan itu. Bahkan diamnya terasa mengawasi."

Penjaga 3: "Diamlah. Fokus."

Ketiganya berjalan perlahan… hingga pandangan mereka tertuju pada sebuah sosok. Seorang pria berdiri dengan tenang di depan sel iblis.

Langkah mereka berhenti seketika. Lentera bergetar di tangan.

Penjaga 1 (tegas): "Siapa di sana?!"

Pria itu—Haven—menoleh pelan. Ekspresinya datar. Ia tidak menjawab.

Penjaga 2 (geram): "Darimana kau bisa masuk?! Tak ada izin dari Raja untuk menjenguk iblis itu!"

Penjaga 2 (menambah): "Kami sendiri hanya diizinkan mengunjunginya tiga kali setahun!"

Haven akhirnya bicara, tenang, seolah tak terusik:

Haven: "Aku tersesat… oleh teleportasi dari seorang penyintas yang menguji keberuntunganku. Awalnya, aku ingin mencari tempat ibadah Dewa Pencipta."

Dalam sel, sang iblis—Kharon—mengerutkan dahi. Ia tidak menampakkan emosinya, namun pikirannya bergumam:

Kharon (dalam hati): "Dewa Pencipta? Aku tak merasakan getaran iman itu darinya… Siapa kau sebenarnya?"

Penjaga 1 (mencurigai): "Aku tak percaya omong kosongmu. Kau pasti ingin membebaskannya!"

Penjaga 2: "Benar. Mungkin kau bagian dari kelompok pemuja kegelapan."

Kharon (dalam hati lagi): "Manusia… selalu berpikir secara sepihak."

Haven (tetap dingin): "Tentu tidak. Aku bahkan bisa membunuhnya sekarang… di depan mata kalian."

Kharon (suara hatinya tegang): "Apa tujuannya sebenarnya…?"

Dan meskipun hanya batin, Haven seolah mendengar—wajahnya tidak menunjukkan keterkejutan. Justru sebuah kesadaran aneh terpancar.

Penjaga 1: "Mustahil! Bahkan sepuluh penyihir istana pun tak mampu menyentuh iblis itu!"

Penjaga 3: "Sudah berkali-kali mereka mencoba… tapi dia selalu hidup kembali."

Haven (dingin): "Apa kalian ingin aku buktikan?"

Seketika, tanpa gerakan yang jelas, tubuh Kharon memudar… terurai perlahan menjadi abu. Dan menghilang.

Keheningan pecah.

Haven: "Sekarang, kalian percaya aku hanya tersesat?"

Ketiga penjaga menatap abu itu, terguncang.

Penjaga 1: "T-Tidak mungkin! Siapa kamu sebenarnya?!"

Haven: "Aku hanyalah seorang pengembara."

Penjaga 2: "Tak mungkin! Siapa pun kau, itu bukan kekuatan biasa!"

Penjaga 3 (mengerutkan dahi): "Kalian langsung percaya? Itu bisa saja hanya ilusi… atau trik iblis lainnya."

Ada sesuatu dalam nada suara Penjaga 3 yang berbeda. Matanya menyipit tajam, menahan intuisi magis yang selama ini ia pendam.

Penjaga 3 (tegas): "Biarkan aku mengecek…"

Ia merentangkan tangan. Cahaya biru kehijauan menyala di udara, membentuk lingkaran sihir tingkat tinggi. Aura tekanan menyebar.

Penjaga 1 & 2 (serempak, terkejut): "Kau bisa… sihir tingkat itu?!"

Tak menjawab, Penjaga 3 berkonsentrasi… hingga akhirnya membuka matanya pelan, suara napasnya berat.

Penjaga 3: "Mustahil… tapi benar. Eksistensi iblis itu… benar-benar lenyap dari dunia ini."

Haven: "Sekarang… kau percaya?"

Penjaga 3: "Kami sedikit percaya. Tapi ini tetap pelanggaran serius. Kau harus ikut dengan kami… ke istana."

Transisi Adegan:

Di sisi lain, ruang kosong—putih, tak berbentuk.

Kharon berdiri di tengahnya, terdiam. Ia mengangkat tangannya, melihat keheningan di sekitarnya. Tak ada gravitasi, tak ada waktu.

Lalu, suara masuk ke kesadarannya:

Haven (suara batin): "Berdiam dirilah. Jangan takut. Tunggu aku… aku akan menyelesaikan semuanya."

Kharon (pelan): "Baiklah."

Kembali ke dunia nyata…

Haven berjalan diapit para penjaga, menuju istana. Ia tampak santai, meski semua mata penuh curiga.

Di dalam kesadarannya, sebuah gema yang sudah lama ia kenal kembali bergema:

All Things (berbisik, dalam kesadarannya):

"Lanjutkan ceritanya, Haven."

Haven tidak menjawab. Ia tahu… All Things tak perlu jawaban.

Kedatangan Sang Pengembara

Langit mulai temaram saat Haven menginjakkan kaki di halaman depan Istana Kerajaan Quitorix. Musik merdu bergema, berasal dari alat musik kuno yang memainkan lagu penyambutan penuh keanggunan. Nada-nada itu berbaur dengan hembusan angin petang, menciptakan suasana yang menenangkan sekaligus misterius.

Dari arah tangga istana, seorang pangeran muncul. Namanya Raelish—berambut kuning keemasan, matanya biru laut, mengenakan pakaian bangsawan yang mewah, lengkap dengan pedang ramping dan sebuah buku tergantung di pinggangnya. Saat melihat Haven, ia berhenti sejenak. Sorot matanya berubah, menatap dengan keterkejutan yang ia sembunyikan di balik senyuman sopannya.

Di hadapannya berdiri seorang pemuda asing—Haven. Mata bercahaya, rambut putih pendek, dan pakaian coat hitam bergaris emas. Di pinggangnya juga tergantung sebuah buku dan pensil bulu.

"Kau... siapa sebenarnya?" gumam Raelish dalam hati.

Namun ia tak berbicara banyak. Ia melangkah maju, lalu memerintahkan pada para penjaga yang menemani Haven:

"Kalian langsung pulang saja, biarkan kami yang akan mengurus sisanya."

Para penjaga langsung menunduk, menjawab serempak, "Baiklah, Pangeran."

Tanpa aba-aba lain, Raelish memegang tangan Haven. Dalam sekejap, sihir teleportasi mengalir dan mereka menghilang dari halaman.

Mereka tiba di Aula Persidangan—sebuah ruangan luas megah, dikelilingi pilar tinggi dan chandelier kristal menggantung di atas. Seluruh bangsawan, penasihat, penyihir, dan tokoh penting kerajaan telah berkumpul. Suasana seketika hening saat keduanya muncul.

Semua pandangan tertuju kepada Haven.

Mata bercahaya pemuda itu mengundang rasa penasaran dan kegelisahan. Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia sebenarnya.

Dari singgasana emasnya, Raja Quitorix bergumam lirih, "Siapakah engkau wahai pengembara?"

Haven menatap raja itu dengan ekspresi tenang namun jenuh.

"Saya hanyalah seorang pengembara biasa, mau berapa kali saya mengucapkannya?"

Seketika para bangsawan murka. Seruan bermunculan dari berbagai sisi:

"Kurang ajar sekali dia! Kepada sang raja!"

Namun sebelum keributan membesar, sebuah langkah perlahan bergema. Seorang wanita cantik berambut ungu gelap dan mata hitam pekat muncul dari balik tirai panjang. Ia adalah Penyihir Agung Marlinas.

Ia berdiri tegak, suara rendah dan dalam keluar dari mulutnya:

"Kau mungkin bisa membohongi para penjaga itu, tapi tidak dengan kami."

Haven menoleh kepadanya, lalu menghela napas panjang.

"Saya sudah cukup lelah dengan sandiwara ini, terserah kalian ingin berkata seperti apa."

Namun tiba-tiba, suara all things menggema di dalam benaknya. Suara itu lembut namun penuh kekuatan, dan hanya ia yang bisa mendengarnya.

All Things: "Teruskan Haven, jangan cepat menyerah dengan cerita ini."

Suara itu membangkitkan keteguhan di hati Haven. Ia menarik napas pelan, menenangkan pikirannya.

"Baiklah," katanya. "Perlu cara apa lagi supaya kalian mempercayaiku?"

Suasana kembali sunyi. Tak ada yang menjawab, hingga suara Pangeran Raelish memecah keheningan:

"Cobalah menggunakan sihir api tingkat paling rendah."

Ia berharap api jingga lemah akan muncul dari tangan Haven—tanda bahwa dia hanya penyihir biasa.

Namun Haven bisa mendengar lebih dari suara. Ia membaca pikiran mereka, menelusuri ketakutan dan harapan yang tersembunyi di hati setiap orang di aula itu.

Tetapi ia memilih untuk tetap memainkan kisah itu.

"Baiklah, jika itu bisa membuat kalian percaya bahwa aku hanyalah seorang pengembara," katanya dengan suara lembut.

Ia mengangkat tangan kanan perlahan, telapak menghadap ke atas. Semua mata menatap penuh waspada.

Dalam sekejap, api putih yang menyilaukan muncul di telapak tangannya. Api itu murni, panasnya menggetarkan udara dan membuat chandelier di atas bergoyang hebat.

"Apa... putih??..." bisik seseorang.

Chandelier tak kuat menahan resonansi energi itu. Ia jatuh, menghantam lantai marmer keras dan pecah berkeping-keping, memercikkan serpihan ke segala arah.

Para bangsawan menjerit. Sebagian penyihir bersiap mengangkat tongkatnya. Tapi Haven tetap berdiri di tengah ruangan dengan tenang.

Ia mengepalkan tangannya, api lenyap.

Lalu ia menatap lurus ke arah Raja.

"Sudah cukup? Atau masih ingin kalian lihat lebih banyak?"

Keheningan kembali menyelimuti aula, namun kali ini bukan karena rasa hormat—melainkan ketakutan.

Mereka semua mulai menyadari: pengembara ini bukanlah manusia biasa.

Aula sidang itu seketika menjadi medan kekacauan.

Suara bisik-bisik, langkah kaki yang bergegas, bahkan denting perhiasan kecil yang bergetar karena ketegangan, semua bercampur jadi satu. Api putih tadi... api yang seharusnya hanya mitos, telah membelah batas nalar semua yang hadir.

Namun, di tengah gemuruh itu, suara berat namun tegas menggema, mengiris kegaduhan seperti pisau tajam.

Penyihir Agung Marlinas:

"Semua, tenang!"

Seketika, bagaikan mantra tak kasat mata, seluruh aula terdiam.

Hanya suara napas tertahan dan detak jantung yang menggema di ruang luas itu.

Marlinas maju satu langkah, jubah ungu gelapnya bergoyang lembut, matanya yang hitam pekat menusuk ke arah Haven.

Penyihir Agung Marlinas:

"Darimana api putih itu berasal?"

Haven, yang masih berdiri tenang di tengah aula, mengangkat sedikit bahunya.

Seulas senyum tipis menghiasi wajahnya — bukan senyum kesombongan, tapi semacam kelelahan yang dalam.

Haven:

"Dari kehendakku! Mengapa kalian begitu berisik hanya karena api putih saja?"

Desisan ketidakpercayaan terdengar dari sudut-sudut ruangan.

Namun sebelum kemarahan membuncah, suara lain, penuh otoritas namun juga kegelisahan, ikut masuk ke dalam dialog.

Pangeran Raelish:

"Haven... api putih itu tidak ada yang mampu menggunakannya di dunia ini. Itu pernah muncul di masa lampau, tapi... hanya sebagai fenomena. Tak pernah ada satu pun penyihir yang bisa menciptakannya."

Mata biru laut Raelish menatap Haven, bukan dengan amarah, tapi dengan rasa penasaran yang dalam, hampir seperti seorang anak kecil yang mendapati bahwa dunia ini lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.

Haven menggeleng perlahan, kebingungan terlihat di matanya.

Haven:

"Jadi... bagaimana? Apakah aku sudah bisa keluar dari situasi ini?"

Sebelum jawaban datang, seorang sosok maju dari balik singgasana.

Gaun mewah berkilauan mengalir lembut di lantai marmer, mahkota kecil bertatahkan permata menghiasi rambut peraknya.

Sang Ratu — matanya merah dengan lingkaran putih — berbicara dengan suara lembut namun tak bisa disangkal:

Ratu:

"Jawablah sejujurnya... siapa engkau sebenarnya? Kami... tidak akan menghakimimu. Tidak akan menyakitimu. Sebaliknya, kami berterima kasih padamu."

Suara sang ratu menembus kesadaran Haven, yang tahu pasti bahwa kata-kata itu lahir dari hati yang tulus.

Haven bisa merasakan: bukan hanya sang ratu, tapi hampir seluruh aula menginginkan jawaban. Mereka haus akan kebenaran.

Namun...

Haven:

"Tolong... biarkan aku pergi!"

Untuk pertama kalinya, Haven — eksistensi yang merupakan penguji, pengamat, penasihat, perombak dari kisah, narasi dan cerita — memohon... kepada makhluk-makhluk lemah ini, hanya demi melanjutkan kisah.

Keheningan menggantung seperti kabut tebal.

Marlinas menatap lama, lalu dengan suara dingin menawarkan solusi:

Penyihir Agung Marlinas:

"Silahkan pergi saja dengan kekuatanmu. Bukankah kau mampu melakukan itu?"

Dalam hati Haven bergumam kesal:

"Sungguh merepotkan... nanti ceritanya tidak epik kalau aku tiba-tiba menghilang begitu saja di depan mata mereka."

Namun wajahnya tetap datar, suaranya nyaris putus asa:

Haven:

"Sekali lagi... tolong biarkan aku pergi!"

Akhirnya, sang Ratu mengangguk perlahan, seolah memahami sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kata-kata.

Ratu:

"Raelish... antar dia kembali ke tempatnya."

Raelish membungkuk, walau wajahnya sedikit bingung:

Pangeran Raelish:

"Saya... tidak tahu di mana tempatnya, Bu."

Sebelum Ratu menjawab, Haven dengan cepat menyela:

Haven:

"Izinkan aku... ke toilet sebentar."

Seisi ruangan hampir saja tertawa karena kejanggalan permintaan itu, tapi Raja — dengan wibawa dinginnya — hanya mengangguk.

Raja:

"Antar dia, Raelish."

Pangeran Raelish:

"Baiklah..."

Maka, Haven dan Raelish berjalan beriringan, meninggalkan aula yang kini kembali dipenuhi bisikan penuh tanda tanya.

Koridor Panjang Menuju Toilet

Langkah kaki mereka bergaung lembut di koridor batu yang dihiasi pilar-pilar megah.

Di sepanjang perjalanan, Raelish tak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya.

Pangeran Raelish:

"Darimana kamu sebenarnya? Apa tujuanmu ke sini?"

Haven, dengan kepolosan pura-puranya, menjawab ringan:

Haven:

"Aku... mencari tempat ibadah untuk berdoa kepada Dewa Pencipta."

Raelish menoleh penuh semangat:

Pangeran Raelish:

"Ohh... sungguh?"

Haven:

"Iya."

Pangeran Raelish:

"Kita memiliki keyakinan yang sama. Sebagian besar penduduk dunia ini... lebih percaya kepada Dewa Pencipta daripada para dewa-dewi lainnya."

Tentu saja Haven tahu: semua dewa-dewi ini hanyalah fragmen kecil dari narasi besar yang ditulis oleh Izreth — entitas di balik Outverse Religion.

Tapi tetap, Haven menjawab polos:

Haven:

"Ohh yaa?"

Pangeran Raelish:

"Iya. Kami sangat menghormati dan bersyukur pada Dewa Pencipta. Takdir kami berjalan baik berkat anugerah-Nya."

Tiba di Toilet

Akhirnya mereka sampai di sebuah pintu kayu ukiran sederhana.

Haven membuka pintu, melangkah masuk, lalu menutupnya perlahan.

Raelish menunggu di luar, menyandarkan punggung ke dinding, bersiul pelan.

Satu jam berlalu.

Tidak ada suara, tidak ada gerakan.

Dua jam berlalu.

Masih sunyi, seolah toilet itu kosong.

Akhirnya, dengan rasa cemas, Raelish mengetuk pintu.

Pangeran Raelish:

"Haven? Apakah kau baik-baik saja?"

Tak ada jawaban.

Dengan terpaksa, Raelish membuka pintu perlahan...

Dan menemukan toilet itu kosong.

Tak ada jejak Haven sama sekali.

Raelish menatap ke dalam ruang hampa itu, matanya membelalak tak percaya.

Lalu, berbalik dan berlari kembali ke aula, jubahnya berkibar di belakangnya.

Kembali ke Aula

Raelish membungkuk dalam-dalam di hadapan Raja, Ratu, dan semua bangsawan yang masih menunggu kabar.

Pangeran Raelish:

"Maafkan saya... Haven telah menghilang."

Hening menggantung lagi. Tapi kali ini bukan hening karena ketakutan, melainkan karena rasa takjub dan... ketertarikan.

Di antara semua itu, hanya Penyihir Agung Marlinas yang tersenyum tipis, lalu berbisik dalam pikirannya sendiri:

Penyihir Agung Marlinas:

"Menarik..."

Di ruang putih tanpa batas, Haven yang baru saja beralasan "ke toilet" kini sudah berdiri kembali di depan Kharon.

Sang pengembara itu berjalan santai menghampiri Kharon yang masih menunggu di tengah kehampaan putih.

Kharon : "Cepat sekali?"

Haven : "Cepat menurutmu, tapi tidak bagiku. Tempat ini tidak mengenal waktu ataupun ruang, hanya kehampaan tanpa batas."

Kharon mengangguk kecil, seolah sudah memaklumi keanehan tempat itu.

Kharon : "Apa yang terjadi sebelumnya?"

Haven : "Sudah selesai, tidak perlu kau pikirkan. Fokus saja pada keputusanmu."

Kharon menarik napas, walau napas di tempat itu terasa hampa.

Kharon : "Aku ingin mencoba membangun... Bukan menghancurkan."

Haven tersenyum samar, matanya memantulkan sinar redup yang dingin.

Haven : "Bagus. Tapi ingat, Kharon... buatlah kisahmu menarik."

Kharon : "Tentu saja."

Tanpa isyarat apapun, ruang putih itu runtuh perlahan seperti pasir yang hancur tertiup angin. Dalam sekejap, mereka berpindah ke sebuah dimensi baru.

Suasana di sana... sangat berbeda.

Sebuah dunia gelap, bergulung kabut hitam tebal, langitnya tak menentu antara merah darah dan hitam kelam.

Di hadapan mereka terbentang singgasana agung, berjejer lima kursi megah, masing-masing ditempati makhluk-makhluk yang aura kekuatannya melebihi mimpi buruk apapun.

Kelima sosok itu, para Primordial Iblis, menatap mereka.

Diam.

Dingin.

Tanpa ekspresi.

Hanya kekuatan murni yang seolah menekan udara hingga Kharon hampir berlutut tanpa sadar.

Mereka adalah:

Eris — wanita iblis berambut putih hitam bercampur, matanya ungu gelap menyala redup, mengenakan jubah mewah primordial.

Luki — pria berambut hitam legam, bermata merah pekat tanpa cahaya, pakaian primodial yang terbuat dari kain dunia bawah.

Slays — pria dengan rambut merah gelap bercampur ungu, bermata cokelat biasa, tapi aura membunuhnya terasa nyata.

Ruts — pria berambut putih sepenuhnya, dengan mata hitam biasa, namun tatapannya lebih tajam dari pedang apapun.

Seren — wanita berambut ungu gelap, bermata merah darah biasa, mengenakan pakaian primordial bertabur simbol kuno.

Mereka semua duduk di singgasana masing-masing, diam mengamati.

Kharon merasa tubuhnya bergetar. Belum pernah ia merasa sekecil ini, bahkan saat menghadapi kematian sekalipun.

Tiba-tiba Eris membuka suara, nadanya datar tapi dalam.

Eris : "Makhluk asing... Apa tujuanmu datang ke tanah Primordial?"

Suara itu membuat ruang itu bergemuruh kecil, walaupun ia tidak berteriak.

Luki berbicara tanpa melihat langsung.

Luki : "Ada bau kekal darimu... Kau bukan makhluk biasa."

Slays bersandar di singgasananya, matanya memicing curiga.

Slays : "Kau datang dengan membawa 'sesuatu'. Aku bisa menciumnya. Jelaskan sebelum aku kehilangan kesabaran."

Ruts diam, hanya mengamati tajam ke arah Haven.

Seren berkata lirih namun tajam.

Seren : "Aku tidak menyukai kehadiran tanpa niat yang jelas... Bicaralah."

Semua tatapan itu menusuk Haven.

Namun Haven tetap berdiri santai, tenang, sedikit tersenyum.

Haven : "Aku tidak datang meminta izin."

Seketika atmosfer ruang itu semakin menegang, seolah udara membeku.

Haven melanjutkan, matanya menatap lurus ke kelima Primordial.

Haven : "Aku hanya meletakkan sebuah 'benih'... di sini.

Entah tumbuh... atau mati... Itu urusan dunia."

Kharon tetap menunduk, menahan tekanan dahsyat yang hampir memecah jiwanya.

Eris berdiri perlahan, langkahnya elegan, namun setiap jejaknya membuat ruang bergemuruh.

Eris : "Benih...? Kau berani menanam sesuatu... di tanah kami... tanpa restu kami?"

Haven mengangkat satu alis, acuh tak acuh.

Haven : "Aku bukan menantang kalian. Tapi sudah sewajarnya perubahan dimulai... bahkan tanpa izin para penguasa tua."

Semua Primordial menegang.

Luki tersenyum tipis, senyum sinis.

Luki : "Kau menarik... Tapi menarik saja tidak cukup."

Slays mengangkat satu jarinya, dan dalam sekejap, atmosfer menghitam, seolah hendak menelan Haven hidup-hidup.

Namun Haven tetap tidak bergeming.

Haven : "Jika kalian ingin menghapusku... silakan.

Tapi pastikan dunia ini siap kehilangan kesempatan terbesarnya."

Ruts dan Seren bertukar pandang sejenak.

Mereka bukan makhluk bodoh. Mereka tahu... makhluk seperti Haven bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.

Eris menurunkan tangannya perlahan.

Eris : "Bicaralah lebih lanjut."

Haven melirik ke arah Kharon.

Haven : "Benih itu adalah dia.

Kharon."

Kelima Primordial memandang Kharon untuk pertama kalinya.

Tatapan mereka, cukup untuk menghancurkan wujud lemah manapun.

Namun Kharon, meskipun gemetar, berusaha menahan diri.

Eris : "Arc Demon... tapi belum lengkap."

Luki : "Potensi... atau kegagalan."

Slays : "Aku mencium bau kehancuran dan harapan sekaligus darinya."

Ruts akhirnya bicara, dengan suara dalam seperti batu runtuh.

Ruts : "Kau menanam 'kemungkinan' di tanah yang dipenuhi dosa."

Seren : "Bahkan bunga terindah pun sulit tumbuh di tanah neraka."

Haven hanya tersenyum ringan.

Haven : "Itu sebabnya aku memilih tempat ini.

Karena kisah paling menarik... selalu lahir dari tempat tergelap."

Kelima Primordial saling bertukar pandang.

Hening kembali mendominasi.

Suasana menegang —

namun belum ada keputusan yang diambil.

Haven membiarkan keheningan itu mengalir.

Ia tahu, narasi ini baru saja dimulai.