Ujian Bagi Kharon

Hening itu seperti tirai tipis di antara kematian dan kehidupan.

Sampai akhirnya, suara berat Ruts memecah keheningan.

Ruts : "Jika kau adalah 'benih'... maka buktikan dirimu layak tumbuh di sini."

Eris melangkah turun dari singgasananya, kain primordialnya berdesir pelan di udara.

Ia berjalan menghampiri Kharon perlahan, aura kekuatannya menggetarkan tanah kosong di bawah mereka.

Eris : "Kami tidak akan membunuhmu, Kharon."

Ia berhenti beberapa langkah di depan Kharon yang menunduk dalam tekanan berat itu.

Eris : "Tapi tanah ini... tanah neraka... hanya menerima makhluk yang kuat.

Kami tidak memberi tempat bagi kelemahan."

Slays berdiri juga, mata cokelat biasa itu kini bersinar samar.

Slays : "Satu ujian... Bukan untuk membuktikan kekuatanmu.

Tapi membuktikan bahwa jiwamu tidak akan hancur sebelum waktunya."

Luki menambahkan, suaranya berat dan sinis.

Luki : "Kau akan dilempar ke 'Jurang Perpecahan' — sebuah tempat di mana banyak roh agung jatuh dan tidak pernah kembali."

Seren menatap dingin.

Seren : "Di sana... kau akan bertemu bayanganmu sendiri."

Kharon mengangkat wajahnya perlahan, matanya bertemu dengan tatapan para Primordial.

Dia tahu — ini bukan sekadar ujian kekuatan. Ini ujian jiwa, identitas, keberadaan.

Haven hanya berdiri di belakang, menonton tanpa niat untuk campur tangan.

Eris melanjutkan.

Eris : "Jika kau kembali dari Jurang Perpecahan... maka kami akan mengakui keberadaanmu.

Jika tidak... namamu akan terhapus bahkan dari ingatan dunia."

Tanpa menunggu jawaban, ruang itu bergetar.

Sebuah gerbang hitam retak terbuka di belakang singgasana — menganga seperti mulut kematian.

Udara dari dalam gerbang itu terasa berat, pekat, penuh dengan bisikan aneh.

Haven menepuk bahu Kharon sekali, ringan.

Haven : "Ini kisahmu. Jangan buat aku bosan."

Kharon menghela napas, lalu menatap lurus ke dalam gerbang itu.

Di kedalaman hitam tersebut, ia bisa merasakan sesuatu menunggunya.

Ketakutan?

Keraguan?

Dirinya sendiri?

Tak ada waktu untuk berpikir.

Langkahnya maju, satu demi satu, melewati batas gerbang itu.

Saat kakinya melewati celah hitam tersebut...

segalanya lenyap.

Dalam kegelapan tanpa bentuk itu, Kharon membuka matanya.

Ia berdiri di dunia yang aneh.

Langitnya terbalik — tanah seperti langit, langit seperti lautan darah.

Suara ribuan bisikan menggema di sekelilingnya.

Lalu... dari kabut gelap di depannya, muncul seseorang.

Sosok itu...

adalah dirinya sendiri.

Tapi berbeda.

Matanya merah darah, kulitnya retak seperti tanah kering, aura kebencian dan keputusasaan memancar kuat.

Bayangan dirinya berbicara, dengan suara seperti gabungan tawa dan tangis.

Bayangan Kharon :

"Kau ingin membangun?

Kau ingin mencipta?

HAH! Kau adalah kehancuran itu sendiri, Kharon!

Berhenti berpura-pura!"

Kharon diam.

Suasana menekan jiwanya.

Bayangan itu tertawa nyaring, suaranya membelah langit aneh di atas mereka.

Bayangan Kharon :

"Semua yang kau sentuh akan musnah.

Semua yang kau cintai akan lenyap.

Karena itu sudah takdirmu — ARC DEMON."

Bayangan itu perlahan menghunus pedang hitam besar dari dalam dadanya sendiri.

Darah mengalir, tapi ia tertawa seolah itu bukan apa-apa.

Bayangan Kharon :

"Bunuh aku.

Atau aku akan membunuhmu."

Dua Kharon — dua nasib —

saling berhadapan di dunia tanpa hukum ini.

Di kejauhan, suara bisikan ribuan jiwa menjerit, menanti hasil pertarungan.

Ujian Kharon telah dimulai.

Tentu! Aku lanjutkan langsung — tetap menjaga nuansa gelap, emosional, penuh tekanan batin, dan membangun adegan dengan atmosfer padat.

Kharon berdiri diam.

Suara bisikan ribuan jiwa mengelilinginya, makin lama makin keras, seolah mendesaknya untuk menyerah.

Bayangan dirinya — retak, rusak, tapi kuat — mengangkat pedang hitam itu, menunjukkannya ke arah Kharon.

Bayangan Kharon :

"Apa kau pikir bisa melarikan diri dari siapa dirimu sebenarnya?

Apa kau pikir 'membangun' akan menghapus dosa kelahiranmu?"

Kharon mengepalkan tangannya.

Ia bisa merasakan kekuatan iblis dalam darahnya bergejolak, seolah merespon tantangan itu.

Namun... di balik kekuatan itu, ada keraguan kecil.

Apakah aku memang takdirnya kehancuran?

Bayangan itu berjalan mendekat, setiap langkahnya mengguncang tanah.

Bayangan Kharon :

"Kau tahu apa yang terjadi saat kita mencoba membangun sesuatu...

Kita menghancurkannya lebih cepat dari yang bisa kita buat."

Kharon masih diam.

Matanya menatap lurus ke depan — bukan kepada bayangan itu, melainkan ke dalam dirinya sendiri.

Suara Haven bergema samar dalam pikirannya.

Haven (dalam ingatan) :

"Buatlah kisahmu menjadi menarik, Kharon..."

Seketika, Kharon tersenyum tipis.

Senyum yang pahit.

Senyum seorang makhluk yang sadar — bahwa kehancuran adalah bagian dari dirinya.

Tapi bukan seluruh dirinya.

Kharon perlahan mengangkat tangannya.

Dari telapak tangannya, bukan pedang atau api yang muncul, tapi seberkas cahaya hitam keunguan —

Cahaya yang tenang, kecil, tapi nyata.

Kharon :

"Aku... tidak menyangkal siapa diriku."

Suara Kharon terdengar tenang, namun dalam.

Kharon :

"Aku lahir dari kehancuran.

Aku dibesarkan dalam kegelapan.

Tapi aku bisa memilih apa yang kulakukan dengan kekuatan ini."

Bayangan itu berhenti.

Untuk pertama kalinya, ia terlihat ragu.

Kharon :

"Jika aku membangun dunia... mungkin dunia itu akan hancur suatu hari nanti."

Kharon mengepalkan tangan berisi cahaya itu.

Cahayanya melebar, menyelimuti tubuhnya perlahan.

Kharon :

"Tapi...

Lebih baik membangun sesuatu dan melihatnya bertahan sebentar,

daripada tidak pernah mencoba sama sekali."

Bayangan Kharon meraung marah —

Dalam sekejap, ia melesat dengan pedang hitamnya, menghantam ke arah Kharon!

Dentuman dahsyat mengguncang dunia aneh itu.

Namun sebelum pedang itu menebas, Kharon mengangkat tangannya.

Cahaya hitam keunguan itu membentuk perisai tipis, tapi cukup kuat untuk menahan serangan itu.

Retakan muncul di perisai, tapi Kharon tidak mundur.

Sebaliknya, ia maju — satu langkah, dua langkah — menembus tekanan keji yang memancar dari bayangannya.

Mata Kharon bersinar dengan cahaya itu.

Bukan cahaya terang.

Bukan kegelapan murni.

Tetapi cahaya yang memahami kegelapan dan tidak menolaknya.

Dengan gerakan sederhana, ia mendorong bayangan itu mundur.

Bayangan itu meraung sekali lagi — dan mulai retak, seperti kaca yang pecah.

Setiap retakan memancarkan bayangan lain — rasa takut, rasa putus asa, rasa amarah — semua mewakili sisi tergelap Kharon.

Tapi Kharon tidak lagi lari.

Ia berjalan maju, menembus pecahan-pecahan itu.

Kharon :

"Jika aku adalah kehancuran...

maka aku juga akan menjadi pencipta."

Dengan suara gemuruh, bayangan itu akhirnya pecah total —

menjadi jutaan serpihan cahaya hitam yang terserap ke dalam tubuh Kharon.

Sunyi.

Hening.

Lalu... perlahan, dunia aneh itu mulai runtuh.

Tanah yang terbalik kembali normal.

Langit berdarah berubah menjadi langit kosong putih.

Dan Kharon berdiri sendiri, lebih kuat, lebih utuh.

Suara Haven terdengar samar, seperti bisikan dari kejauhan.

Haven :

"Selamat datang kembali, Kharon."

Dalam sekejap, tubuh Kharon ditarik keluar dari dunia aneh itu.

Saat matanya terbuka kembali, ia sudah berdiri di hadapan kelima Primordial Iblis di dunia nyata.

Eris, Luki, Slays, Ruts, dan Seren menatapnya.

Tak ada kata-kata.

Tak ada tepuk tangan.

Tapi... ada pengakuan dalam tatapan mereka.

Untuk pertama kalinya, Kharon berdiri bukan sebagai pecundang.

Bukan sebagai makhluk buangan.

Tapi sebagai Arc Demon yang memilih untuk menulis kisahnya sendiri.

Sebuah kisah...

yang bahkan para Primordial Iblis akan mengawasi dengan penuh rasa ingin tahu.

Tapi sebelum itu...

Di Balik Dunia Izreth — Tepat Setelah Kharon Bertarung

Di tengah ruang tak bernama tempat kelima Primordial Iblis memandang Kharon,

Haven yang berdiri di samping Kharon mendadak menghilang.

Bukan berpindah.

Bukan sekadar bersembunyi.

Tapi benar-benar hilang dari eksistensi dunia itu.

Seolah dari awal tidak pernah ada.

Tak meninggalkan suara, bayangan, atau bekas mana sedikit pun.

Para Primordial, meski kekuatan mereka mendekati absolut, tidak bisa merasakan perubahan apa pun.

Seperti kehilangan sesuatu yang tidak pernah mereka sadari ada.

Di Dimensi Tak Tersentuh

Di tempat lain —

di sebuah dimensi kosong tanpa warna, tanpa bentuk, tanpa waktu —

Haven berdiri sendirian.

Sebuah kursi tua muncul dari kehampaan, seolah dipanggil oleh keinginannya.

Ia duduk perlahan, dan dari udara yang kosong, sebuah buku hitam terbentuk di tangannya.

Buku itu berdenyut pelan, seperti jantung yang hidup.

Dibuka satu halaman —

dan di sanalah tergambar kisah Kharon, bergerak seperti sebuah film hidup.

Di halaman itu, Haven melihat Kharon bertarung.

Melawan bayangannya sendiri, melawan ketakutannya, melawan siapa dirinya.

Tulisan-tulisan bergerak cepat.

Kadang hampir terhapus, kadang hampir menghilang, saat Kharon nyaris tumbang.

Haven tidak berekspresi.

Matanya tenang, dalam, mengamati.

Namun jika ada yang bisa mendengar,

mereka akan merasakan sesuatu bergetar di dalam dirinya —

sebuah harapan kecil, tersembunyi di bawah lapisan ketenangan itu.

Haven (bergumam pelan) :

"Tunjukkan padaku... kau bukan hanya percikan kecil di kegelapan."

Ia menyentuh halaman itu.

Sekilas, cahaya ungu samar memancar dari jari-jarinya, memperkuat kisah Kharon agar tidak runtuh sebelum waktunya.

Namun ia tidak membantu lebih dari itu.

Haven membiarkan Kharon membuat pilihannya sendiri.

Buku itu terus menulis dirinya sendiri, seiring Kharon bertarung, bangkit, jatuh, dan bertarung lagi.

Di antara semua kisah Arc Demon yang pernah Haven amati selama eon waktu,

Kharon adalah salah satu dari sedikit makhluk...

yang kisahnya masih belum bisa diprediksi.

Kembali ke Dimensi Primordial

Di dunia tempat para Primordial duduk di singgasana mereka,

mereka hanya melihat Kharon berdiri seorang diri, tanpa pendamping.

Seolah Haven tidak pernah ada di dunia mereka.

Tidak satu pun Primordial mempertanyakan ketidakhadiran itu.

Karena dalam ingatan mereka — seakan-akan memang tidak pernah ada siapa-siapa selain Kharon.

Namun Eris, Primordial wanita bermata ungu gelap,

sesaat mengerutkan keningnya.

Ada sesuatu.

Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Sesuatu yang membuat ruang di sekitar Kharon terasa... sedikit lebih dalam, lebih berat.

Tapi Eris menahan pikirannya.

Ia hanya memandang Kharon dalam diam.

Di Dunia Izreth — Setelah Pertarungan

Pertarungan itu telah usai.

Kharon berdiri terengah, tubuhnya diliputi aura gelap yang kini bercampur dengan percikan cahaya samar —

sebuah kekuatan baru yang tidak sepenuhnya berasal dari dirinya,

namun juga bukan pemberian.

Itu adalah hasil kisahnya sendiri, yang kini telah ditulis dengan tinta perjuangan.

Di hadapan kelima Primordial,

Kharon berjalan maju.

Langkahnya berat, bukan karena lelah,

tetapi karena bobot kekuatan baru yang mengalir dalam dirinya.

Kekuatan itu belum sepenuhnya menyatu,

tapi para Primordial bisa merasakannya —

sebuah potensi yang mendekati level mereka.

Sesuatu yang tidak mungkin bagi Arc Demon biasa.

Singgasana kelima Primordial bergeming,

tatapan mereka mengeras.

Eris — dengan mata ungu gelapnya — memiringkan kepala sedikit,

menganalisis Kharon seolah mencari jejak manipulasi.

Namun tak ada bekas campur tangan yang bisa mereka lihat.

Karena Haven —

makhluk yang tadi mendampingi — telah benar-benar menghilang dari dunia itu.

Di Dimensi Tak Terjamah

Haven menutup bukunya perlahan.

Senyum tipis — nyaris tak terlihat — muncul di sudut bibirnya.

Haven (bergumam) :

"Dengan ini, kisahmu bukan lagi milikku."

Buku itu menghilang ke dalam kegelapan,

dan Haven bangkit dari kursinya.

Dengan gerakan ringan, dia melangkah,

menghilang ke dalam kehampaan,

membiarkan dunia Izreth melanjutkan jalannya tanpa dirinya.

Kharon kini bebas.

Tak ada lagi pengawasan, tak ada lagi intervensi.

Ia sepenuhnya bertanggung jawab atas jalannya sendiri.

Kembali di Dunia Izreth

Kharon berhenti beberapa langkah di depan para Primordial.

Ia membungkuk ringan — sebuah gestur hormat, bukan kepasrahan.

Kharon :

"Aku kembali, bukan sebagai budak kisah... tapi sebagai penulis takdirku sendiri."

Suasana hening.

Luki, Primordial bermata merah gelap, menyipitkan matanya.

Slays tersenyum samar — jarang terjadi.

Ruts dan Seren hanya menatap dalam diam.

Akhirnya, Eris bersuara, suaranya dingin namun penuh rasa hormat:

Eris :

"Kau telah melampaui batasan Arc Demon biasa, Kharon."

"Langkahmu berikutnya... akan menentukan apakah kau menjadi sekutu kami... atau ancaman bagi dunia ini."

Kharon tidak menjawab langsung.

Ia hanya tersenyum tipis,

senyum seorang makhluk yang akhirnya memahami beban kekuatannya.

Di matanya, tidak ada lagi keraguan.

Hanya tekad.

Kharon (dalam hati) :

"Aku tidak lagi berjalan di bawah bayang-bayang siapa pun... bahkan Haven."

"Ini kisahku sekarang."

Di kejauhan, di tempat yang tidak bisa dijangkau oleh siapa pun,

Haven menghilang lebih dalam ke dimensi tak bernama,

mengamati sekilas,

lalu berbalik, meninggalkan Kharon untuk membangun jalannya sendiri.

Kharon, Arc Demon,

telah resmi lahir kembali —

sebagai makhluk yang hampir sejajar dengan para Primordial.

Dan kisahnya... baru saja dimulai.

Di Dimensi Jauh di Atas Outverse

Di tempat yang tak dapat dijangkau oleh dunia mana pun,

di atas segala ruang, segala waktu,

bahkan di atas konsep Outverse itu sendiri,

Haven berdiri di antara kekosongan yang penuh —

kekosongan yang justru berisi segala sesuatu.

Warna-warna yang tidak dapat dideskripsikan manusia berpendar perlahan,

dan dari setiap riak cahaya,

terdengar bisikan-bisikan tak bernama —

gema dari kisah-kisah tak terhitung jumlahnya.

Miliaran kisah.

Miliar kali miliar dunia.

Semua mengalir di sekeliling Haven,

menggoda kesadarannya, memanggil-manggil.

Haven (berbisik) :

"Sudah berapa lama aku berjalan di antara cerita-cerita ini?"

Ia menutup matanya,

merasakan tarikan dari berbagai dunia yang meronta,

meminta untuk disentuh,

untuk dikembangkan,

untuk diselamatkan... atau dihancurkan.

Dalam keheningan yang agung itu,

sebuah suara muncul.

Bukan dari satu arah,

bukan dari satu wujud,

tetapi dari semua hal yang ada.

Itu adalah suara All Things.

All Things :

"Kau kembali, Haven."

"Pelepasanmu atas Kharon... membuktikan bahwa kau memahami esensi perjalanan."

Haven membuka matanya perlahan.

Tatapannya tajam, namun tenang.

Haven :

"Dia harus berjalan sendiri. Itu hukum kisah sejati."

All Things:

"Lalu ke mana kau akan melangkah berikutnya, Penjaga Kisah?"

"Miliar jalan membentang di hadapanmu."

"Pilihlah."

Haven tersenyum kecil.

Haven :

"Aku ingin melihat mereka."

"Mereka yang kisahnya belum sempurna."

"Mereka yang terabaikan oleh takdir."

"Mereka yang memilih untuk menulis jalannya sendiri, meski dunia mengingkari mereka."

Sekilas, ratusan juta riak kisah melintas di hadapannya —

fragmen-fragmen dari perjuangan, cinta, kebencian, harapan, dan keputusasaan.

All Things :

"Semua kisah itu... bisa menjadi milikmu untuk sejenak."

"Namun ingat, Haven..."

"Setiap kisah yang kau sentuh... akan membawa konsekuensi yang bahkan kau tak bisa duga."

Haven mengangkat tangannya,

menyentuh satu riak tipis —

sebuah dunia kecil yang mulai bergetar di ujung ketiadaan.

Haven :

"Konsekuensi itulah yang membuat perjalanan ini menarik."

"Tanpa risiko... tidak ada makna."

Suara Kesadaran perlahan menghilang,

namun keberadaannya tetap terasa —

seperti napas di atas lautan kisah.

Haven melangkah sekali,

dan seketika, tubuhnya menyatu dengan miliaran jalur kisah baru,

melompat dari satu dunia ke dunia lain,

menjadi bayangan, pelintas, pengamat,

kadang penyulut, kadang penghancur,

namun selalu,

pembawa kisah.

Di tengah kehampaan agung itu, Haven berdiri.

Tubuhnya tampak kecil dibandingkan dengan luasnya kekosongan bercahaya halus yang berdenyut pelan — denyut kesadaran All Things itu sendiri.

Di hadapannya, tidak ada bentuk, tidak ada suara, hanya kesadaran murni yang berbicara langsung ke dalam keberadaan Haven.

All Things:

"Kau mulai mengubah garis takdir yang telah lama dibekukan, Haven."

Haven (tersenyum tipis):

"Aku hanya memetik bunga dari kebun yang terlalu lama dibiarkan membatu."

All Things:

"Izreth mulai merasakan perbedaan. Ia akan bergerak."

Haven (membalik halaman bukunya, melihat nama-nama yang mulai berpendar):

"Itulah yang kuinginkan. Sebuah dunia yang akhirnya bernapas bebas, bukan sekadar membaca takdir yang dipaksakan."

All Things hanya bergetar lembut, membiarkan Haven melanjutkan.

Sementara itu, Haven memandang ke bawah — ke miliaran kisah di seluruh Outverse, setiap nama berpendar samar seperti bintang di sungai abadi.

[Scene: Dunia Izreth – Di Ruang Kesadaran Tertinggi]

Sementara itu, jauh di dalam inti Outverse, di takhta tertingginya,

Izreth — Sang Mutlak — duduk di singgasana kesadaran abadi.

Wajahnya tenang, tapi di balik matanya yang tak berujung, ada gelombang kegelisahan.

Ada sesuatu.

Sebuah luka kecil di jalinan takdir yang seharusnya sempurna.

Sebuah anomaly.

Sebuah eksistensi tanpa asal.

Izreth mengulurkan tangannya,

menyentuh benang-benang takdir yang mengikat dunia-dunia di bawahnya,

dan untuk pertama kalinya dalam seluruh keabadiannya, ia merasakan kekosongan.

Ruang kosong yang tidak bisa diisi.

Sebuah noda transparan di atas kanvas kesempurnaan.

Izreth (membatin, dengan suara yang menggelegar melintasi Outverse):

"Siapa... yang berani...?"

Langit di seluruh Outverse bergemuruh.

Gunung-gunung dunia bawah pecah.

Bintang-bintang goyah di orbitnya.

Semua makhluk agung, dari malaikat hingga iblis primordial, merasa gemetar tanpa tahu alasan.

Izreth berdiri, dan suaranya bergema ke seluruh lapisan eksistensi:

Izreth:

"Aku yang menulis. Aku yang mengakhiri. Tidak ada sesuatu pun di luar kisahku!"

Namun...

Di sela pekikan kemarahannya,

dalam kedalaman terdalam yang bahkan tidak bisa disentuh oleh kehendaknya,

Haven hanya tersenyum — tidak bisa dilihat, tidak bisa disentuh, tidak bisa dihapus.

Karena Haven bukan bagian dari kisah yang pernah Izreth tulis.

[Transition Scene: Kembali ke Haven]

Haven menutup bukunya perlahan.

Haven (berbisik):

"Ayo kita mulai bab baru..."

Satu langkah kecil, dan Haven melompat lagi — menuju kisah lain, dunia lain,

menuju perubahan yang bahkan Tuhan Mutlak pun tidak siap menerimanya.