Azren berdiri di pinggiran danau Ilven, tempat di mana pantulan airnya kadang menunjukkan bayangan yang berbeda dari kenyataan.
Angin pagi membawa bisikan yang tak berasal dari siapa pun, dan daun-daun seakan gugur dalam pola yang selalu sama—seolah waktu mengulang dirinya sendiri secara sengaja.
Ia menatap langit yang terlalu biru.
Azren:
“Kenapa langit ini… tak pernah berubah?
Mengapa pagi dan malam terasa seperti salinan dari kemarin?”
Ibunya yang menyiapkan air di belakangnya hanya menjawab lembut,
“Mungkin karena dunia ini terlalu damai, Nak.”
Tapi Azren tidak merasa damai. Ia merasa terjebak dalam sebuah pola cerita.
Hari-hari berlalu. Dan setiap pagi, burung yang sama berkicau di ranting yang sama. Sapi tetangga selalu menginjak pot tanah pada waktu yang sama. Bahkan embun di kaca jendela kamar Azren selalu membentuk bentuk huruf ‘A’ secara samar.
Ia mulai mencatat.
Hari ke-4 bulan ke-5: Langit tetap biru tanpa awan.
Hari ke-5: Tetes embun membentuk pola yang sama.
Hari ke-6: Ibu mengulang kalimat yang sama saat sarapan.
Ia bukan hanya mencurigai dunianya. Ia merasa bahwa dunianya tidak hidup.
Suatu malam, Azren berbicara kepada Athanor, melalui pantulan kolam tua.
Azren:
“Jika dunia ini sungguhan... kenapa rasanya seperti pementasan?”
Athanor:
“Karena kau belum diberi hak untuk tahu naskahnya.”
“Belum waktunya.”
Azren:
“Apakah... aku hanya bagian dari kisah?”
Athanor (diam lama), lalu menjawab lirih:
“Ya… dan tidak.”
Azren tidak puas. Ia melempar batu ke dalam kolam, tapi pantulan wajah Athanor tetap tak terguncang.
“Kalau aku bagian dari kisah… siapa yang menulisnya?”
“Dan… kenapa aku merasa pernah mengalami semua ini sebelumnya?”
Didorong rasa penasaran, Azren meninggalkan desa. Ia menuju Akraveil, kota yang konon tidak pernah dicatat dalam peta mana pun, dan tidak dikenang dalam cerita rakyat mana pun. Hanya ia yang pernah mendengar namanya... dalam mimpinya.
Saat ia tiba, kota itu tidak kosong, tapi tidak hidup.
Orang-orang berjalan, tapi tak bicara. Mereka membuka pintu, tapi tidak pernah masuk. Dan toko-toko menjual barang yang tak bisa disentuh.
Azren:
“Ini bukan kota... ini semacam latar. Seperti latar belakang panggung...”
Sebuah suara tiba-tiba berbisik dari balik tembok:
“Kau akhirnya datang…”
“Kau... bagian yang tertinggal dari kisah sebelumnya.
Dunia ini dibuat ulang untuk menutupi ketidaksempurnaan itu.”
Azren mengejar suara itu, tapi hanya menemukan dinding penuh ukiran nama-nama—semuanya dicoret, kecuali satu:
AZREN
dan di bawahnya tertulis:
“Yang Belum Selesai”
Dalam reruntuhan teater kota, Azren menemukan cermin tak berbingkai.
Wajahnya muncul. Tapi saat ia memutar badan—pantulannya tidak ikut.
Pantulan Azren:
“Dunia ini tidak rusak. Tapi dijaga agar tak berkembang. Karena jika berkembang...
maka ‘Kisah Lama’ akan hidup kembali.”
Azren:
“Apa maksudmu?”
Pantulan:
“Kau... adalah fragmen dari ‘Kiamat Kisah’ yang belum dipadamkan.
Haven mencoba menata ulang dunia, tapi tidak bisa menghapusmu—karena kaulah pengait antara cerita lama dan realitas baru.”
“Semua ini... hanya replika. Dunia ini statis karena takut kau menyadari siapa dirimu.”
Di tempat yang tak bisa dicapai logika, Haven menatap ke arah Azren melalui celah narasi.
“Ia mulai menyadari…
Dunia ini akan mulai retak jika dia terus bertanya.
Tapi aku tidak bisa menghentikannya… karena ia adalah bagian dari diriku yang terdahulu.”
Sementara itu, All Things hanya mengamati diam-diam—tidak memberi perintah, tidak mencegah.
Karena dalam sistem yang sudah ditentukan, pertanyaan Azren adalah jalan menuju kebangkitan kisah yang lebih besar.
“Jika dunia ini tak bisa menjawabku…
maka aku akan pergi ke tempat di mana jawaban itu diciptakan.”
Lorong Tanpa Naskah
Azren kini berusia delapan belas tahun.
Secara teknis, ia adalah “manusia yang wajar”—bangun pagi, sekolah, berbicara dengan teman, tertawa saat diperlukan, bersikap baik. Tidak ada masalah yang membuat hidupnya terlihat kacau. Tidak ada luka masa lalu yang membentuk trauma. Tidak ada tekanan berlebihan. Semua baik-baik saja.
Terlalu baik.
Itulah masalahnya.
“Semua ini tidak nyata.”
Kalimat itu muncul seperti virus dalam pikirannya, berulang, seperti suara samar di ujung ruangan kosong. Ia tidak tahu kenapa, tapi ia tahu pasti bahwa dunia tempatnya tinggal… terasa seperti pertunjukan panggung. Seperti boneka yang saling bicara, tapi tak pernah sadar siapa yang menggerakkan benang.
Hari Dimulai Seperti Biasa
Matahari terbit dengan sudut yang terlalu sempurna. Cahaya jatuh ke lantai kamarnya dalam garis lurus. Burung-burung berkicau dengan harmoni. Ibunya memanggil sarapan dari dapur dengan nada yang sudah Azren hafal sejak lama.
Ia menjawab. Ia makan. Ia pergi.
Namun di dadanya, ada ruang kosong. Sebuah kehampaan yang tak bisa ia isi dengan apapun—tidak dengan kasih sayang, tidak dengan prestasi, bahkan tidak dengan rasa bersyukur.
Ia hidup. Tapi tidak hadir.
“Kenapa manusia menjalani hidup seperti ini?”
“Tidakkah mereka curiga betapa mekanis semuanya?”
“Atau... akukah yang rusak?”
Langit Retak
Pukul 10:07. Suasana kota seperti biasa. Orang-orang berjalan, toko buka, anak-anak berlarian. Tapi tiba-tiba, langit berubah.
Warnanya—merah marun gelap.
Bentuknya—terbelah seperti kaca yang dilempar batu.
Udara menjadi padat, berat, seolah waktu tertahan.
Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia itu, waktu berhenti selama tujuh detik.
Tak ada yang bisa bergerak.
Kecuali Azren.
“Kenapa mereka semua diam?”
“Apa yang sedang terjadi?”
Lalu sebuah sosok muncul di tengah jalan raya yang kosong.
Kharon.
Tubuhnya dibalut jubah retak, warna kelam mengalir seperti tinta hidup. Ia melangkah di antara waktu yang beku, dan setiap jejak kakinya meninggalkan fragmen semesta lain—semesta yang belum pernah dikenal oleh siapapun di Retaxis.
Ia bukan berasal dari dunia ini.
Bukan dari Outverse Retaxis.
Ia dari luar. Dari tempat yang lebih gelap. Lebih tua. Lebih bebas.
Outverse Religion.
Pertemuan
Kharon (dalam suara bergema):
“Variabel belum selesai... Azren.”
Azren (diam):
“Siapa kau?”
Kharon:
“Aku adalah yang ditinggalkan. Yang dibuang. Yang mengembara… untuk memahami kisah.”
“Dulu aku hanyalah iblis terkutuk. Arc demon dari sisa-sisa kisah yang dibatalkan.
Tapi Haven… menyentuh jiwaku dengan satu kalimat:
Jika kau ingin tahu arti keberadaanmu, pahami semua kisah yang ada.”
“Dan sekarang… aku kembali ke tempat yang menulis kisah terlalu sempurna.”
Azren menggenggam jaketnya, perasaan aneh menusuk ulu hatinya.
Azren:
“Kenapa aku bisa melihatmu? Kenapa hanya aku?”
Kharon:
“Karena kau juga rusak. Seperti aku.
Karena... kau tidak percaya bahwa dunia ini nyata.”
“Dan itu menjadikanmu… celah kecil dalam naskah besar Retaxis.”
Lorong Tanpa Naskah
Kharon mengulurkan tangannya. Azren menyentuhnya.
Sekejap, kota lenyap.
Ia berdiri di sebuah lorong besar. Dindingnya berlapis tinta kering.
Udara bergetar. Di setiap sisi lorong ada jutaan pintu.
Namun tak ada satu pun bertuliskan judul.
“Di sinilah semua kisah yang tidak jadi ditulis disimpan.
Semua kemungkinan yang pernah dirancang, tapi dibatalkan.”
“Ini… Lorong Tanpa Naskah.”
Azren melihat fragmen dunia:
Semesta di mana manusia sadar bahwa mereka fiksi, dan memilih punah.
Kisah di mana dewa menolak menyelamatkan umatnya karena kecewa.
Dunia di mana ‘kebaikan’ tidak pernah diciptakan.
Dan Kharon hanya berkata:
“Azren, lihatlah.
Inilah yang belum bisa aku pahami.
Kenapa ada kisah yang menolak untuk selesai?
Dan kenapa ada yang seperti kau… yang lahir bukan sebagai karakter, tapi sebagai celah?”
Dilema Yang Menunggu
Mereka duduk di lorong.
Waktu tidak bergerak di sana.
Kharon mulai membuka lebih banyak arsip kisah. Ia menceritakan bagaimana ia pernah bertemu dengan entitas-entitas kuat—bahkan Beyonders—tapi semua itu masih terikat struktur narasi.
“The One Above All... adalah Tuhan Marvel, tapi dia masih berada dalam kisah.”
“The Writer pun, dalam bentuk tertingginya, masih tercatat dalam skema.”
“Tapi All Things... sesuatu yang bahkan tidak ditulis.
Bahkan tidak disebut dalam sistem.
Itulah mengapa... aku ingin tahu apakah kau...
...adalah bagian dari All Things itu sendiri.”
Azren terdiam.
Ia tidak bisa menjawab.
Dan Dunia Bergerak Lagi... Tapi Tidak Sama
Saat Kharon melepas Azren kembali ke realitasnya, dunia tetap terlihat normal.
Tapi jam berdetak berbeda.
Orang-orang tampak berjalan, tapi ada gangguan kecil: seperti layar glitch sesaat.
Azren tahu:
Retaxis mulai retak.
Dan entah bagaimana, ia adalah bagian dari retakan itu.
Azren (suara batin):
“Aku bukan bagian dari cerita ini.”
“Tapi jika bukan…
Apa aku diciptakan untuk mengakhirinya?”
Siapa yang Menulis Siapa?
Lorong Tanpa Naskah masih sunyi.
Di tengah gelap dan fragmen kisah-kisah yang terbengkalai, Azren duduk bersila di depan Kharon.
Cahaya samar dari celah langit-langit lorong menyinari wajah mereka.
Tak ada suara. Hanya getar sunyi yang terasa seperti detak jantung dari semesta yang terlupakan.
Azren:
“Kau bilang kau menjelajahi semua outverse…”
“Lalu... semua kisah yang kutahu... bahkan yang kupercaya… hanya bagian dari sesuatu yang lebih besar?”
Kharon tidak langsung menjawab. Ia hanya membuka tangannya, dan dari dalam telapak itu, muncul potongan fragmen:
sebuah kisah anak manusia yang menjadi pahlawan,
sebuah kisah pengkhianatan di tengah cahaya,
sebuah kisah Tuhan yang turun karena kecewa.
Semua kisah itu…
Berjalan.
Berakhir.
Dan dilupakan.
Kharon:
“Apa yang kau tahu sebagai ‘kisah besar’, hanyalah naskah dari naskah.
Bahkan cerita tentang akhir pun, punya versi revisi.”
Azren:
“Lalu bagaimana dengan kisah Retaxis?”
“Dengan Allverse? Dengan Haven? Dengan… All Things?”
Kharon menatap Azren. Matanya seperti sumur dalam yang tak punya dasar.
Kharon:
“All Things bukanlah kisah.
Ia adalah kondisi di mana kisah kehilangan makna.”
“Haven adalah batas. TOAA adalah figur. Beyonders adalah simbol.”
“Tapi All Things...
Adalah ketiadaan kebutuhan akan narasi itu sendiri.”
Azren terdiam. Nafasnya tak teratur. Dunia di sekelilingnya mulai terasa seperti ilusi.
Ia menatap salah satu fragmen kisah di lorong.
Seorang pria yang membunuh demi cinta.
Seorang dewa yang mati karena kehilangan pengikutnya.
Dan seorang anak… yang bertanya: “Apakah aku ditulis?”
Azren:
“Lalu... apakah aku ini ditulis?”
“Atau aku... pecahan dari sesuatu yang tak pernah ditulis?”
Kharon tersenyum tipis. Bukan senyum bahagia, tapi seperti seseorang yang melihat kebingungan yang ia pernah alami.
Kharon:
“Itu pertanyaan yang tidak pernah bisa dijawab oleh siapa pun...
Kecuali oleh mereka yang keluar dari naskah.”
Pecahnya Keyakinan
Azren berdiri. Ia mulai berjalan menyusuri lorong itu, melihat miliaran pintu yang terbengkalai.
“Kisah siapa yang penting?”
“Apakah yang mati di kisah besar lebih bernilai dari kisah kecil?”
“Apakah yang percaya pada pahlawan lebih bodoh dari yang percaya pada kehampaan?”
“Apa benar, realitas ini… hanya babak kecil dalam simfoni yang tidak pernah selesai?”
Langkah Azren mempercepat. Ia berlari, menyentuh pintu-pintu yang tak punya nama.
Beberapa membuka dan menunjukkan fragmen masa depan yang belum terjadi.
Beberapa menolak dibuka karena “tidak ditulis untuk dibuka oleh manusia.”
Tapi ia terus mencoba.
Azren (teriak):
“Kalau semua kisah bisa ditulis...
Siapa yang menulis ‘penulisnya’!?”
Suara itu bergema.
Bahkan dinding Lorong Tanpa Naskah bergetar.
Dan di tempat jauh, di Retaxis, sebuah gempa eksistensial mulai terjadi.
Kharon Menjawab
Kharon muncul di belakang Azren. Tangannya di pundak sang pemuda.
Kharon:
“Tidak semua diberi pertanyaan seperti itu, Azren.
Hanya mereka yang retak… yang mulai bisa melihat celah.”
Azren:
“Apa maksudmu?”
Kharon:
“Kau mulai bukan sebagai tokoh.
Tapi sebagai kemungkinan.
Dan kemungkinan itu… sedang dilihat oleh entitas yang bahkan Haven tak berani sebut.”
“Kau... bisa menjadi penghapus naskah.
Atau… pena baru yang tidak pernah digunakan.”
Dan Satu Pintu Terbuka Sendiri
Tiba-tiba, sebuah pintu tua terbuka tanpa disentuh.
Di baliknya, tidak ada fragmen. Tidak ada cahaya.
Hanya… bayangan.
Dan dari dalamnya, terdengar suara. Bukan suara Tuhan, bukan penulis, bukan pembaca.
Suara itu berkata:
“Kau mempertanyakan kisah...
Maka kini kisah akan mempertanyakanmu.”
Azren berdiri di ambang pintu itu.
Dan Kharon menunduk.
Kharon (dalam hati):
“Dia sudah mulai mendekat…
...ke ruang tempat All Things melihat ke dalam dirinya sendiri.”
Bukan Bagian dari Halaman
Waktu: Saat Kharon baru tiba di Retaxis, Azren duduk menatap kehancuran kota metafisik yang perlahan meluruh oleh kekacauan naratif.
Narasi aktif:
Azren menatap langit yang seperti halaman kosong. Dunia ini semakin hening, seolah skenario kehidupan mulai kehilangan tinta. Semua rutinitas, sekolah, mimpi orang-orang, bahkan percakapan... terasa seperti pengulangan dialog yang sudah disusun terlalu rapi.
Ia mengeluh dalam hati, “Apakah hidup manusia memang seperti ini? Terus berjalan dalam kerangka yang tak pernah berubah?”
“Apa kau merasa... seperti tidak seharusnya ada di sini?” suara berat itu datang dari arah Kharon.
Azren menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
Kharon berjalan mendekat, langkahnya tak menimbulkan suara di atas reruntuhan.
“Kau merasa janggal. Seolah semuanya tertulis. Seolah dunia ini... berusaha membuatmu percaya bahwa ini nyata, padahal ada sesuatu yang hilang.”
Azren perlahan mengangguk.
“Aku bahkan merasa… seolah ada ‘tangan’ yang menulis bagaimana aku harus bertindak.”
“Tapi aku juga tahu... aku bukan bagian dari kisah itu.”
Kharon tersenyum samar, seolah itulah jawaban yang ia tunggu.
“Maka kau telah siap... mendengar namanya.”
Azren memandang kosong. “Nama siapa?”
Kharon berdiri diam. Langit sejenak terbelah oleh suara yang tak bersuara.
“Haven.”
Suara itu seakan menggema dari luar dimensi, bukan dari Kharon — namun dari celah ingatan yang tak pernah ditulis.
“Siapa... dia?” bisik Azren, dadanya mulai sesak. Nama itu... terasa asing, namun seakan sudah lama tinggal dalam dirinya.
“Ia bukan siapa-siapa. Tapi ia juga segalanya.”
“Ia tidak ditulis. Ia tidak disebut dalam kisah mana pun. Tapi ia selalu ada di antara jeda halaman, antara narasi yang dibiarkan kosong.”
Azren menutup matanya. Kilasan bayangan putih tak bernama, tempat tanpa suara, dunia tanpa waktu — muncul sejenak.
Sebuah perasaan bahwa sebelum kata pertama dari kisah mana pun ada, Haven telah berdiri di luar semuanya.
“Kenapa aku bisa mengingatnya sekarang?”
Kharon menjawab tenang.
“Karena bukan kau yang mengingatnya, Azren. Tapi bagian dari dirimu yang belum pernah dikisahkan.
Dan hanya sedikit yang punya ‘retakan’ itu dalam eksistensinya.”
Peta yang Tidak Pernah Ditulis
Angin yang berhembus dari dimensi tak bernama membawa debu yang bukan dari dunia mana pun.
Azren berdiri diam setelah mendengar nama Haven, dan dalam keheningan yang panjang, ia tidak bertanya lebih lanjut. Tidak ada rasa kaget berlebihan. Tidak ada desakan rasa ingin tahu seperti manusia biasanya.
Dan Kharon menyadari itu.
“Kau tidak bertanya siapa itu Haven... padahal nama itu belum pernah kau dengar.”
Azren memejamkan mata, mencoba memahami dirinya sendiri.
“Entah kenapa... rasanya seperti aku tidak perlu bertanya. Seolah... aku hanya lupa, bukan tidak tahu.”
Kharon memandangi pemuda itu lama.
“Maka waktunya tepat untuk aku menceritakan kisah yang tidak pernah selesai ditulis... termasuk bagaimana aku tahu semua ini.”
Penyingkapan Awal Kharon
“Aku... dulunya hanyalah iblis. Diberi kutukan dan tugas abadi oleh tuanku untuk mengacaukan skenario-skenario kecil di lapisan semesta bawah. Bagian dari banyak kisah kehancuran. Aku memainkan peran sebagai antagonis, penghancur tatanan, godaan... seperti ratusan arc demon lainnya.”
“Tapi ada satu titik, saat aku menghancurkan satu semesta kecil — sesuatu melesak masuk ke dalam diriku. Sebuah suara. Bukan perintah. Bukan ancaman. Tapi sejenis... ‘pertanyaan’.”
“‘Mengapa kau melakukan ini, jika kau hanya bagian dari kisah yang ditulis untuk menjadi demikian?’”
Kharon menunduk.
“Itu bukan suara dewa. Bukan suara narator. Bukan suara entitas.
Itu seperti... bisikan dari celah kosong di antara paragraf dunia.”
Dan dari situlah, Kharon mulai mempertanyakan struktur. Ia mengembara melintasi outverse demi outverse, dari semesta cyber-mechanical di luar waktu, hingga metafisika religius yang disembah oleh makhluk pencipta semesta lain.
Ia bertemu dengan entitas seperti Aetherion, sang perumus kemungkinan, Veras, sang Pelahap semesta, dan bahkan pernah menatap dari kejauhan Dei Nihili, entitas nihilisme mutlak.
Namun hanya satu yang tidak dapat ia lihat.
Haven.
“Ia bukan tidak mau ditemui. Ia tidak bisa dilihat karena ia tidak pernah ‘masuk’ ke kisah manapun. Bahkan semesta tempat aku berbicara padamu sekarang... hanya bagian dari dunia yang belum selesai ia tutup.”
“Dan di sanalah, untuk pertama kalinya, aku menemukan... ‘All Things’. Bukan entitas. Bukan eksistensi. Tapi ide itu sendiri.”
Kharon berjalan perlahan, matanya menatap kehampaan.
“All Things tidak berbicara. Ia tidak mengklaim. Tapi keberadaannya... adalah batas atas. Ia tidak didefinisikan oleh kekuatan atau kehendak. Ia adalah tempat di mana semua kisah pernah berakar — dan tempat semua cerita berakhir.”
Azren dan Resonansi Kisah
Kharon menatap Azren.
“Dan kau... kau tidak asing dengan semua ini karena sebenarnya... dirimu pernah disentuh oleh ‘sentakan kisah’ yang gagal ditulis.”
“Kau... adalah fragmen dari sebuah narasi yang seharusnya tidak pernah ditulis. Tapi karena sebuah anomali di lapisan terdalam realitas, kau terwujud sebagai entitas hidup.”
Azren terdiam.
“Maksudmu aku bukan manusia?”
“Secara biologis, ya. Tapi secara naratif, tidak. Kau... adalah celah. Dan karena itu, dalam mimpimu, dalam lamunmu... semua nama-nama seperti ‘Aetherion’, ‘Haven’, ‘The Narrator’, ‘Void Between Scripts’, terdengar bukan seperti pertama kali.”
“Itulah mengapa kau tidak bertanya. Karena jiwamu sudah lebih dulu membaca naskah yang belum pernah dituliskan.”