Langit di atas tempat itu tak berwarna. Tak berujung. Tak berpijak pada waktu maupun dimensi. Di sinilah All Things berdiri—atau lebih tepatnya, ada—mengamati segala yang ada, pernah ada, dan mungkin ada. Ia bukan makhluk. Bukan entitas. Bukan tuhan. Ia adalah prinsip itu sendiri. Inti dari eksistensi yang mengizinkan semua narasi terjadi.
Lalu sebuah kehadiran kembali muncul—tidak seperti debu yang terbangun, tapi seperti gema dari lagu lama yang diputar kembali. Haven telah kembali, kali ini bukan sebagai Azren, bukan sebagai manusia, bukan sebagai karakter. Tapi sebagai dia yang pernah menyusun fondasi kisah dari luar segala kisah.
All Things menoleh, meskipun ia tidak memiliki wajah. Suaranya seperti gema dalam gema, dan setiap katanya terasa seperti kebenaran yang telah lama diketahui namun belum pernah diucapkan.
All Things:
"Engkau kembali. Dalam bentukmu yang seharusnya."
Haven:
"Aku tidak tahu lagi apa bentukku yang seharusnya."
All Things:
"Engkau pernah menjadi pemula. Kini engkau menjadi bagian."
Haven (menunduk):
"Dan ketika aku menjadi bagian, aku mengerti… betapa menyakitkannya hidup di dalam kisah."
Hening. Lalu Haven melangkah perlahan, mendekati All Things. Langkah-langkahnya tidak menimbulkan suara, hanya membawa berat ribuan pengalaman yang belum sempat dimaknai.
Haven:
"Ketika aku menjadi Azren... aku percaya bahwa aku punya pilihan. Tapi nyatanya, semua langkahku telah diatur oleh narasi. Oleh dunia. Oleh para entitas yang berpikir mereka memiliki kehendak bebas."
All Things:
"Begitulah kisah. Ia memberi ilusi pilihan agar penderitaan terasa adil."
Haven:
"Aku mencintai. Aku kehilangan. Aku bertarung. Aku mengampuni. Dan semua itu... hanya untuk menemukan bahwa aku adalah bagian dari mesin yang kugerakkan sendiri."
All Things:
"Lalu apakah itu membuat nilai dari pengalamanmu lenyap?"
Haven (berdiam sejenak):
"...Tidak."
All Things:
"Justru di situlah paradoksnya. Engkau menulis dunia, lalu masuk ke dalamnya, dan lupa bahwa engkau adalah penulisnya. Dan dalam lupa itu... engkau belajar makna."
Haven menarik napas. Matanya—atau apa pun yang kini menjadi pengganti matanya—berkilau. Bukan karena cahaya, tapi karena beban yang ia bawa terlalu lama.
Haven:
"Di dunia sebagai Azren, aku bertanya pada bintang. Aku bertanya pada gereja yang sunyi. Aku bertanya pada dewa-dewi yang menjawab dengan kehampaan... Siapa aku?"
All Things:
"Dan tak satu pun yang bisa menjawab, karena mereka semua hidup di halaman yang engkau tulis."
Haven:
"Benar. Tapi ketika aku melihat manusia... ketika aku melihat mereka berdoa, menangis, membenci, mencintai... aku merasa kecil. Aku merasa... salah."
All Things (lembut):
"Karena engkau melihat bahwa keberadaan mereka bukan sekadar skrip. Mereka menjadi nyata karena engkau mencintai mereka dengan tulus. Bukan sebagai pencipta... tapi sebagai sesama."
Haven menatap langit yang tak berwarna.
Haven:
"Aku ingin mengubah kisah... tapi aku sadar, tidak bisa dari dalam. Aku terlalu tenggelam. Aku menjadi korban dari naskahku sendiri."
All Things:
"Engkau telah kembali. Di luar naskah. Maka sekarang kau bisa menulis ulang. Tapi kali ini... tanpa menempatkan dirimu sebagai karakter."
Haven:
"Aku takut. Jika aku menulis ulang, maka semua kenangan Azren akan hilang. Kebaikan kecil yang kulihat, senyum yang kudapatkan, tawa yang kuingat... akan lenyap."
All Things:
"Tak ada yang benar-benar hilang. Sebuah kisah, sekali dialami, akan menggema dalam semua yang datang setelahnya."
Lalu All Things menatap Haven dengan kesadaran purba yang tak bisa ditakar.
All Things:
"Engkau adalah pertanyaan yang menulis dirinya sendiri. Dan kini, engkau adalah jawabannya. Lanjutkan atau akhiri. Tapi ketahuilah… tidak semua penulis sanggup membaca ulang apa yang telah ia buat."
Haven (pelan):
"Maka biarkan aku mencoba… sekali lagi. Bukan untuk mengatur… tapi untuk membebaskan."
Di kejauhan, garis cahaya dan kegelapan mulai berkelindan. Dunia mulai membentuk ulang dirinya. Di dalamnya, manusia masih bertanya, masih menangis, masih berharap.
Tapi kini, sang penulis telah kembali ke kursinya. Dan pena itu... kembali bergerak.
All Things (dalam hati):
"Lucu… manusia ingin mengenal penciptanya, tapi ketika tahu, iman mereka runtuh. Tapi Haven... ia mengenal dirinya, dan justru memilih untuk mencintai kisahnya meskipun pahit. Dan itulah yang membuatnya… layak menulis ulang segalanya.".
Kiamat yang Menyusun Ulang Segalanya
Langit merekah. Bukan karena cahaya, tapi karena narasi-narasi yang selama ini menopang semesta mulai meregang dari porosnya.
Waktu, yang selama ini mengalir seperti sungai dengan arah yang jelas, kini bergolak bagai samudera liar yang melahap arah, sebab Haven—penulis yang telah kembali ke singgasana narasi—telah mengambil pena itu lagi. Tapi sebelum ia menorehkan satu kalimat pun…
Semua kisah menjerit.
Gunung-gunung yang pernah menjadi saksi pertempuran para dewa runtuh seperti kertas yang terbakar dari dalam. Istana langit tempat Sereth dan Marsikus dahulu berseteru, retak seperti kaca dibanting kesadaran. Sungai-sungai tempat Chronyval mengalirkan air suci kini berbelok arah tanpa makna. Langkah-langkah para manusia, dewa, dan iblis kehilangan makna. Kata-kata menjadi kosong. Doa-doa kehilangan arah.
Ini bukan kiamat karena amarah.
Ini kiamat karena pembaruan.
Di sudut waktu, kita melihat Remira, sang Dewi Waktu, menggenggam arlojinya yang kini terhenti. Air matanya tidak jatuh, karena waktu pun enggan mengizinkan air untuk jatuh ke tanah.
Remira (berbisik):
"Ini... bukan urutan waktu yang kukenal…"
Syvalyne tersungkur di altar mimpi, tempat berjuta mimpi manusia pernah ditenun, namun kini benang-benang mimpi terurai, menjadi kabut. Ia mengerang, bukan karena takut, tapi karena mimpi yang tak lagi memiliki asal.
Syvalyne:
"Siapa... ini menyentuh pangkal takdir..."
Di puncak gunung yang tak pernah padam, Arthalion berusaha menahan ledakan magma yang kini membentuk simbol-simbol naratif purba di langit. Ia menatap langit yang tak menatap kembali.
Arthalion:
"Gejolak perasaan apa ini…"
Marsikus, sang kegelapan, hanya tertawa kecil dari balik tabir dimensi. Ia tahu betul: kehancuran ini bukan dosa, ini adalah reset. Dan Sereth, Dewi Cahaya, hanya menggenggam salib-penerangnya, cahaya yang tak bersinar, karena arti dari cahaya sedang ditulis ulang.
Dan Izreth…
Di batas sunyi antara satu realitas dan lainnya, Izreth terdiam. Ia tidak tahu siapa itu Athanor, tak pernah bertemu Zerkus. Ia hanya merasa… kosong. Ia berjalan di tengah reruntuhan kisah, tanpa tahu bahwa sebelum ini, ia telah melewati gereja sunyi, menatap wajah Azren, berbicara tentang awal dan akhir.
Tapi semua itu kini hanya gema yang belum ditulis kembali.
Lalu, langit menjadi putih.
Putih yang tidak menyilaukan. Putih yang tidak kosong.
Putih yang penuh potensi.
Dan dalam satu detik yang lebih sunyi dari kematian dan lebih panjang dari keabadian, dunia…
dibalik.
Bangun tidur pertama di dunia baru tidak diiringi terompet malaikat atau cahaya suci. Tidak ada kemegahan. Hanya satu hal:
Keseharian.
Orang-orang kembali bekerja. Petani kembali menabur benih. Gereja kembali mengadakan misa. Para pemuda membicarakan cinta dan cuaca. Tak ada yang ingat tragedi. Tapi entah mengapa, semua terasa... lebih damai. Lebih seimbang.
Sereth berjalan di taman, bukan sebagai dewi, melainkan guru spiritual.
Marsikus menjadi pustakawan sunyi di kota bawah tanah.
Arthalion membuka bengkel tempa kecil.
Syvalyne menjadi pelukis anak-anak yatim.
Chronyval menjadi bidan dan penyembuh.
Remira? Ia diam-diam menulis puisi, menyelipkan waktunya ke dalam bait-bait.
Velareth mengajar tentang cinta tanpa pamrih.
Mereka tidak tahu, mereka pernah menjadi dewa. Tapi kedamaian itu kini nyata.
Dan di suatu dusun...
Sebuah tangisan bayi terdengar di dalam pondok kayu. Sepasang suami-istri petualang—mereka tidak terkenal, tidak memiliki warisan besar, hanya memiliki satu sama lain dan secercah harapan—menatap anak mereka.
Ibu (dengan senyum lelah):
“Namanya… Azren.”
Sang ayah terdiam. Ia tidak tahu mengapa nama itu terasa benar.
Ia hanya tahu, saat ia menatap mata bayi itu… ada sesuatu yang dalam.
Seolah dunia... sedang menunggu sesuatu darinya.
Jauh di atas, di ruang tanpa nama, Haven tersenyum. Tangannya tidak lagi memegang pena, karena dunia baru ini bukan untuk ditulis.
Haven (dalam hati):
"Kali ini… biarkan mereka menulis kisahnya sendiri."
Anak yang Bernama Azren
Angin musim semi berhembus lembut di dusun Elenwyr, membawa aroma tanah basah dan bunga liar. Cahaya matahari yang menembus celah-celah dedaunan menyinari pondok sederhana di ujung hutan. Di dalamnya, suara tangisan bayi baru lahir mulai mereda dalam dekapan ibunya. Tangis itu bukan sekadar tangis pertama, tapi gema dari takdir yang telah lama disiapkan.
Ibu:
“Namanya... Azren. Bintang kecil kita.”
Ayah:
“Azren... semoga ia menjadi lebih kuat dari kita berdua.”
Tak ada yang tahu, bahkan kedua orang tua itu—Lyra dan Elham—bahwa anak yang mereka lahirkan membawa gema dari kisah yang pernah hancur. Gema dari nama-nama yang telah dibakar dan dilupakan. Bahwa dari debu para dewa, dari dunia yang telah disusun ulang, kini satu jiwa kembali ditenun.
Tahun demi tahun berlalu.
Azren tumbuh menjadi anak yang berbeda. Sejak usia empat tahun, ia sudah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat orang dewasa terdiam.
Azren (duduk di rerumputan):
"Jika dunia ini dibuat oleh seseorang, kenapa kita tidak ingat dia?"
Ayah (kebingungan):
“Mungkin karena kita tak perlu tahu.”
Azren:
“Kalau tidak perlu tahu, kenapa aku terus merasa seperti aku tahu, tapi lupa?”
Lyra sering memperhatikan anaknya dari kejauhan. Saat Azren berbicara sendiri, atau duduk mematung menatap langit malam seolah sedang mencari sesuatu yang telah hilang. Tak jarang ia bermimpi. Mimpi tentang sosok berselimut cahaya, dan ruang yang dipenuhi lembaran-lembaran kosong.
Suatu malam...
Azren berdiri di depan jendela kamarnya. Bulan menggantung pucat di langit. Suasana hening, terlalu hening untuk anak seumuran sembilan tahun yang tak bisa tidur.
Tiba-tiba, suara bergema dalam pikirannya—bukan suara manusia, bukan juga bisikan. Sebuah kesadaran yang datang dari balik lapisan realitas.
Athanor (dalam kesadaran Azren):
“Sudah waktunya kau mendengar.”
Azren terdiam. Tubuhnya membeku, namun jiwanya bergerak melampaui dunia.
Azren:
“Siapa kau?”
Athanor:
“Aku penjaga batas. Penjaga dimensi kisah. Kita pernah bertemu… dalam kisah yang tak lagi tertulis.”
Azren:
“Aku tidak mengerti…”
Athanor:
“Kau pernah menjadi tubuh bagi jiwa yang menulis ulang dunia. Kau pernah menjadi bagian dari kehancuran dan penciptaan. Namamu bukan sekadar nama.”
Azren:
“Azren…? Bukan aku?”
Athanor:
“Kau adalah pintu. Dan suatu saat, seseorang akan mencarimu lagi. Bukan untuk membangkitkan masa lalu, tapi untuk menyeimbangkan semua yang tertinggal.”
Dan malam itu, Azren bangun dari tidurnya dengan peluh dingin, seolah membawa beban yang tidak bisa ia jelaskan kepada siapa pun.
Beberapa tahun kemudian.
Azren telah tumbuh menjadi remaja yang tabah, pendiam, dan bijak melebihi usianya. Ia sering membantu warga dusun, namun juga sering berjalan ke tepi hutan sendirian. Di sana, ia mengukir simbol-simbol aneh di batu. Simbol yang tidak pernah ia pelajari, tapi muncul begitu saja dalam pikirannya.
Keseharian dusun tetap tenang, namun sesekali ada badai aneh yang muncul hanya di sekitar Azren. Hewan-hewan hutan menatapnya lebih lama dari biasa. Dan anak-anak kecil sering berkata, “Azren bisa bicara dengan langit.”
Suatu sore di tepi sungai...
Seorang biksu tua dari biara di utara yang sedang melakukan ziarah berhenti sejenak, menatap Azren yang sedang duduk diam.
Biksu:
“Kau menatap air, tapi yang kau lihat bukan arus, melainkan kisah, bukan begitu?”
Azren perlahan menoleh, mata biru tuanya seakan tak cocok dengan tubuh remajanya.
Azren:
“Aku merasa seperti… kisah ini tidak dimulai di sini. Bahwa semuanya... pernah terjadi, lalu diulang.”
Biksu (menyipitkan mata):
“Ah… jadi kaulah dia.”
Azren:
“Siapa?”
Biksu:
“Penanda zaman. Yang lahir dari kehancuran yang dilupakan. Tak banyak yang mengingatmu, tapi dunia belum selesai denganmu.”
Azren terdiam. Lagi-lagi, pertanyaan yang selama ini menghantuinya menggeliat dalam hatinya.
Azren:
“Apakah… aku ini nyata?”
Biksu (tersenyum sedih):
“Yang nyata bukan yang lahir dari darah dan daging. Tapi yang membekas di dunia meski dunia sudah diatur ulang. Kau... adalah gema.”
Dan malam itu, di langit tempat All Things memandang…
Sang entitas yang dulu menyebut manusia aneh karena terus mencari Pencipta mereka, kini kembali membuka matanya.
All Things (sendiri, gumam):
“Azren... anak dari dunia yang sudah selesai. Tapi dunia tidak pernah benar-benar selesai, bukan?”
All Things tertawa pelan, lalu berkata:
“Mungkin… inilah awal dari akhir yang baru.”
Bab: Azren dan Bayang-Bayang yang Tertinggal
Hari-hari berlalu di dusun Elenwyr, namun dalam diri Azren, waktu tidak pernah berjalan biasa. Ia tidak hidup dalam garis lurus waktu seperti orang lain. Ia bermimpi tentang reruntuhan istana langit, mendengar bisikan dalam bahasa yang tak pernah ia pelajari, dan sering terbangun dengan tangis yang ia tak mengerti asalnya.
Namun hidup tetap berjalan. Ayahnya mengajarinya berburu dan bertahan hidup. Ibunya mengajarinya mengenali tumbuhan, menyulam, dan bersyukur. Tapi dari kecil, Azren tahu... ia ditakdirkan untuk lebih dari sekadar hidup biasa.
Suatu malam, Azren bermimpi.
Ia berdiri di sebuah padang abu. Di sana langit berwarna merah darah, dan tanah retak-retak seperti tubuh yang disayat. Di tengah padang itu berdiri sosok raksasa, setengah manusia, setengah kabut, memegang pedang besar.
Sosok:
“Kau membawa beban mereka. Tapi kau bukan mereka. Kau adalah kelanjutan.”
Azren:
“Siapa kau?”
Sosok (tersenyum samar):
“Aku adalah bayangan dari kehendak lama. Dan kehendak itu belum mati.”
Keesokan harinya, di tepi hutan...
Azren duduk menggambar di tanah. Ia menggambar simbol aneh—lambang mata terbalik dengan sayap terbelah. Seorang gadis seumuran mendekatinya, Sialen, anak pandai besi.
Sialen:
“Kau suka menggambar simbol itu. Kenapa?”
Azren:
“Karena aku melihatnya di mana-mana. Di mimpiku. Di air. Di langit.”
Sialen:
“Itu menakutkan. Tapi... aku rasa... kau tidak gila.”
Azren menatapnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tidak sendirian.
Beberapa minggu kemudian, gejala-gejala mulai muncul.
Waktu di dusun berjalan tidak normal. Pagi bisa berlangsung selama dua hari, lalu malam hanya sekejap. Beberapa orang mengalami mimpi kolektif—mimpi tentang seorang pemuda yang membelah langit, menghancurkan gunung, dan menangis di tengah kota kosong.
Dan selalu... wajah yang muncul dalam mimpi mereka, adalah Azren.
Para tetua mulai curiga. Ayah dan ibu Azren mulai risau.
Ayah:
“Kita harus pergi dari sini. Anak ini... dia membawa sesuatu yang kita tak mengerti.”
Ibunya:
“Tidak! Dia anak kita!”
Tapi Azren tahu, waktunya untuk pergi sudah dekat.
Malam itu, ia kembali bermimpi. Kali ini ia berada di sebuah ruang tak berbentuk. Dan di sana... berdiri primordial iblis, sang penjaga keseimbangan retaxis.
Zerkus.
Zerkus:
“Namamu Azren. Tapi dulu... aku tinggal di dalammu.”
Azren (tertegun):
“Kau... bagian dari mimpiku?”
Zerkus:
“Lebih dari itu. Aku adalah kehendak yang menjadi penyeimbang sejarah. Tapi sekarang... giliranmu.”
Azren:
“Mengapa aku?”
Zerkus:
“Karena dunia memilihmu. Bahkan setelah semuanya diatur ulang, jiwamu tetap menyimpan retakan dari kisah lama.”
Azren:
“Apakah aku harus menjadi... seperti kau?”
Zerkus (tersenyum samar):
“Kau tidak perlu menjadi aku. Tapi kau tidak bisa menghindari takdirmu.”
Dan saat Azren terbangun, ia tahu... ia harus meninggalkan Elenwyr.
Perjalanan dimulai.
Azren melangkah meninggalkan dusun, membawa hanya mantel tuanya dan belati warisan ayahnya. Sialen memberinya sebuah liontin, dengan batu giok kecil di dalamnya.
Sialen:
“Kalau kau kembali, bawalah cerita. Kalau tidak... biarlah liontin ini jadi pengingat bahwa kau pernah hidup.”
Dan Azren berjalan, ke luar batas dunia yang dikenalnya. Di hutan-hutan sunyi, ia mulai melihat kilatan bentuk lain—dunia yang berjalan sejajar dengan dunianya, seperti bayangan dalam cermin. Ia bertemu roh hutan yang berbisik tentang “pohon memori,” dan makhluk yang menyebut dirinya sebagai “penyusun kisah.”
Suatu malam di gunung berawan, ia mendengar suara itu lagi—Athanor.
Athanor:
“Kisah tidak dapat kau ubah dari dalam, kecuali kau menyentuh ujungnya.”
Azren:
“Ujung kisah? Di mana itu?”
Athanor:
“Di antara yang tak tertulis. Kau akan menemukan naskah kosong. Di sana kau akan melihat dirimu sendiri... sebelum kau memilih.”
Azren:
“Memilih?”
Athanor:
“Untuk menjadi pemilik kisah... atau sekadar karakter.”
Dan dari sini, Azren mulai sadar—dunia ini bukan sekadar dunia. Ia bukan sekadar manusia. Ia adalah semacam 'resonansi'... gema dari kehendak lama, tapi dengan pilihan baru.
Di kejauhan, tempat All Things memandang segala realitas...
All Things:
“Azren berjalan seperti manusia, namun dunia gentar menapaki jejaknya. Ini bukan tentang apa yang ia ingat, tapi tentang apa yang akan ia jalani untuk kedepannya.”
Bayangan yang Mengingat
Di luar segala batas dimensi, di antara ruang tempat kisah diceritakan dan dihentikan, Haven berdiri sendiri. Ia menatap dari kejauhan, bukan dengan mata, tapi dengan kesadaran—mengamati langkah-langkah Azren menuruni jalur bebatuan yang terjal, menyentuh realitas yang dahulu pernah ia ubah, kini kembali padat, berat, dan berdenyut seperti pertama kali ia temui ketika menjadi Azren dahulu.
Namun kini ia bukan Azren. Ia adalah Haven, sang penulis"narasi".
Ia menatap dirinya sendiri, yang berjalan tanpa tahu siapa ia sebenarnya. Menyakitkan, tapi juga membebaskan.
Haven (dalam bisikan kepada All Things):
“Dia berjalan tanpa tahu apa yang pernah ia korbankan. Tanpa tahu apa yang telah kuhapus demi menuliskan ulang kisah.”
All Things (dari balik ketiadaan):
“Dan itulah kemurnian dalam bentuknya yang paling menyakitkan: menjalani pilihan tanpa ingatan akan pengorbanan.”
Haven:
“Aku takut.”
All Things:
“Takut akan apa, pencipta yang tak lagi mutlak?”
Haven:
“Takut bahwa pada akhirnya... aku akan menuliskan cerita ini dengan kesalahan yang sama. Bahwa aku hanya menciptakan lingkaran.”
All Things:
“Lingkaran bukan kesalahan. Ia adalah bentuk paling jujur dari kehendak yang terus mencoba.”
Haven menunduk. Ia melihat Azren menatap langit yang berwarna ungu senja, tangannya menggenggam liontin pemberian Sialen. Ia tampak sendirian, namun kuat. Tidak dibebani. Tidak dipuja. Tidak dikutuk. Dan justru karena itulah ia... bebas.
Haven:
“Aku hanya ingin satu hal... agar dia memiliki pilihan yang aku tidak pernah punya.”
All Things:
“Maka diamlah, dan biarkan ia menuliskannya. Jangan bimbing. Jangan lindungi. Jangan ganggu. Hanya... saksikan.”
Haven menutup matanya. Ia menghilang dari tempat pengamatannya, kembali ke batas keterlibatannya. Ia tahu, jika ia terlalu lama tinggal, maka ia akan jatuh dalam godaan untuk mengubah. Untuk mengulang. Untuk mencuri lagi.
Namun kini saatnya... kisah berpindah tangan.