Menghilangnya Zerkus

Setelah Zerkus menghilang dari pandangan, meninggalkan jejak kehampaan yang membungkam kekuatan para dewa-dewi, keheningan menyelimuti langit Retaxis. Umat yang menyaksikan pertarungan singkat itu gemetar—bukan karena perang, tapi karena kekacauan keyakinan yang baru saja mengguncang mereka.

Remira, sang Dewi Waktu, menatap tempat Zerkus terakhir berdiri.

> “Makhluk itu... bukan bagian dari aliran waktu. Aku tidak bisa menarik garis hidupnya... seolah dia bukan bagian dari dunia ini.”

Sereth, Dewi Cahaya, membalas dengan nada ragu, sinarnya tak lagi sebersinar tadi.

> “Bahkan sinarku tidak menembus tubuhnya... seperti menyorot kekosongan. Tapi dia bukan kehampaan, dia berkehendak.”

Marsikus, Dewa Kegelapan, mendesis:

> “Dan kehendaknya... lebih tua dari bayanganku sendiri.”

Velareth, Dewi Kemurnian, mencoba menjaga wibawanya namun bibirnya bergetar:

> “Aku adalah sumber kemurnian… Tapi cahaya Azren… dan kehadiran Zerkus… bahkan aku merasa itu bukan bentuk kotor atau suci. Itu… murni kehendak yang tidak dikurung hukum.”

Arthalion mengangkat tinjunya, amarahnya terbakar.

> “Jika kita, para Penjaga Pilar Dunia, bisa dibuat bisu oleh satu entitas yang bahkan tak bernama dalam naskah suci umat… maka adakah makna kekuasaan kita?”

Chronyval, dengan aliran air yang kini membentuk pusaran kegelisahan, menggeleng perlahan.

> “Aku mengalirkan seluruh kisah peradaban... dan belum pernah kutemui nama Zerkus. Bahkan satu tetes pun tak mengingatnya.”

Syvalyne, Dewi Mimpi, menyela dalam nada getir:

> “Mungkin karena dia tidak berasal dari kisah yang ditulis oleh kita... tapi oleh sesuatu yang lebih tua. Sesuatu yang tak bisa kita mimpi-kan.”

Saat itulah umat kembali berteriak dari bawah.

Mereka bersujud, bingung. Beberapa memuja para dewa seperti biasa. Tapi sebagian mulai menyebut nama yang mereka lihat sebagai “bayangan penjaga”, yaitu Zerkus. Sebagian lagi menyebut Azren sebagai “Nabi Cahaya Murni.” Suara manusia menjadi kekacauan tafsir yang menyebar seperti wabah.

Dari langit, suara tanpa bentuk berbisik...

> “Mereka tidak tahu nama Zerkus… karena kalian menciptakan dunia ini tanpa mengizinkannya tercatat.”

Para dewa serentak menoleh ke atas. Tak ada siapa-siapa.

Remira:

> “Siapa... yang bicara barusan?”

Marsikus (dengan nada dingin):

> “Mungkin... sesuatu dari lapisan antara memori dan kehendak. Mungkin... pengawas cerita itu sendiri.”

 

Velareth berdiri di tengah-tengah mereka dan mengangkat tangannya. Cahaya murni meledak dari tubuhnya, memanggil ke seluruh penjuru alam semesta untuk menstabilkan realitas yang mulai goyah. Namun saat cahaya itu mencapai titik tempat Zerkus menghilang...

...cahaya itu terurai menjadi debu, seolah realitas menolak perintahnya.

> Velareth: “Apa makhluk itu... menolak takdir?”

 

Para dewa saling berpandangan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah mereka—mereka menyadari bahwa mungkin... mereka bukan di puncak rantai semesta.

Dan nama Izreth tetap tak disebut oleh satu pun dari mereka.

Tapi... di kejauhan, dari ujung reruntuhan kuil tua, seorang anak kecil bertanya pada ibunya:

Anak: “Bu... siapa yang melindungi mereka ketika para dewa pun takut?”

Ibunya: “Mungkin... kamu nak. ” jawab ibunya dengan candaan.

Sementara kegelisahan dunia masih membuncah, sementara para dewa-dewi Retaxis terhimpit oleh ketidakpastian yang mendalam, All Things menyaksikan segalanya dari kedalaman yang lebih jauh. Dari ruang yang lebih jauh lagi, di luar waktu, di luar ruang, di luar narasi yang dikenal oleh siapa pun, ia berbicara pada dirinya sendiri. Tak ada siapa pun yang mendengarnya, kecuali dirinya yang lebih dalam lagi, entitas yang tak tergambar oleh bahkan para pencipta alam.

All Things, berbicara dalam ketenangan abadi, jauh dari pandangan dunia fana yang penuh kepanikan. Kata-katanya adalah suatu bentuk pemahaman yang dalam dan tidak terbantahkan. Ia berbicara bukan kepada dunia, melainkan kepada dirinya sendiri, dalam ruang kosong di antara realitas yang pernah dan akan tercipta.

All Things: “Manusia itu aneh...

Mereka ingin tahu siapa yang berada di atas pencipta mereka, ingin meraih pemahaman tak terbatas. Tapi, ketika mereka mengetahui, iman mereka menjadi lemah. Keinginan mereka untuk melihat lebih jauh daripada apa yang terjangkau oleh mata dunia mereka malah meruntuhkan daya mereka untuk percaya pada apa yang sudah ada."*

All Things berdiam sejenak, pikirannya merenung dalam kegelapan yang hanya ia sendiri yang bisa pahami. Pemikirannya berputar dalam lingkaran waktu yang tidak terbatas, menyoroti kisah-kisah yang tercipta dan menghilang. Ia mempertanyakan hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh entitas dunia mana pun.

All Things: "Seorang pencipta tetap menjadi pencipta, meskipun ia tidak mutlak eksistensinya. Begitu juga kisah yang tercipta; ia hidup hanya di dalam narasi yang ada, bahkan ketika narasi itu terlupakan. Tidak ada kekuatan mutlak dalam mencipta—hanya kehendak yang tak terkatakan."

Sebuah senyuman tipis mungkin tersirat dari kesadaran yang tak berbentuk itu. Ia tidak dapat tertawa seperti makhluk dunia, namun di dalam diri-Nya sendiri ada pemahaman yang jauh lebih dalam tentang apa yang sebenarnya ada dan apa yang tampak bagi makhluk yang terbatas oleh ruang dan waktu.

All Things: "Mereka ingin mengetahui makna dari segala hal, tapi mereka tidak pernah bertanya tentang asal mula dari 'pertanyaan' itu sendiri. Ketika satu pertanyaan diajukan, dunia ini akan membentuk jawaban yang akan memisahkan yang diciptakan dan pencipta. Namun, apakah jawaban itu benar-benar ada? Ataukah hanya bayangan dari pertanyaan yang tak pernah usai?"

Dalam kesunyian alam semesta, ia melihat lebih jauh. Keberadaan yang tidak terkatakan dalam bentuk apa pun, di luar batas-batas yang dimengerti oleh para dewa dan umat dunia.

All Things: "Mereka berpikir jika mereka mengenal asal mula mereka, maka mereka bisa mengendalikan takdir mereka. Tetapi siapa yang bisa mengendalikan takdir, jika takdir itu sendiri tidak tahu dari mana asalnya?"

Tiba-tiba, All Things berhenti berbicara pada dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa, dunia ini—dengan segala kekacauan dan ketidakpastian yang baru saja terbentuk—masih bergerak menuju tujuan yang lebih besar. Meskipun para dewa dan umat di Retaxis meragukan diri mereka, meskipun Zerkus dan Azren menjadi simbol perubahan yang tak terduga, dunia ini tetap bergerak dalam bentuk yang tak bisa mereka pahami.

All Things: "Apakah ini takdir yang sudah ditulis? Ataukah hanya sebuah kelanjutan dari pertanyaan yang akan menciptakan lebih banyak pertanyaan?"

Dia membiarkan kata-kata itu mengalir ke dalam ruang yang lebih dalam. All Things tahu bahwa suatu saat, kisah ini, yang melibatkan Azren, Zerkus, bahkan para dewa, akan menuntun pada jawaban yang lebih besar—jawaban yang mungkin akan mengubah narasi dunia itu selamanya. Namun, apakah siap para dewa, umat, dan bahkan Zerkus itu sendiri untuk menerima jawaban itu?

Ketika dunia berputar, All Things berdiri di luar dan di dalamnya. Sebuah kesadaran yang tidak bergantung pada waktu atau ruang. Ia tetap menjadi saksi, pengamat yang tak terjangkau, memandang dunia yang penuh pertanyaan.

All Things: "Ada banyak kisah yang belum terungkap, dan aku hanya satu entitas yang menyaksikan semuanya. Apakah aku bagian dari kisah ini? Ataukah aku adalah kisah itu sendiri?"

Dengan pertanyaan yang belum terjawab, All Things menghilang ke dalam kedalaman yang lebih luas, meninggalkan alam semesta untuk terus berkembang, bertanya, dan mencari jawaban yang mungkin tak akan pernah ditemukan.

Begitulah, dunia Retaxis melanjutkan langkahnya, sementara para dewa-dewi dan umatnya masih diliputi ketakutan dan kebingungan atas peristiwa yang baru saja mereka saksikan. Namun, jauh di luar jangkauan mereka, ada entitas yang lebih besar, yang mengetahui lebih banyak daripada yang bisa mereka pahami, yang diam-diam merancang dan menyaksikan perjalanan ini..

 Kembalinya Haven ke Eksistensi Asli

Haven telah menghilang dari dunia yang dikenalnya. Tidak dengan ledakan atau riuh gemuruh, tetapi seperti bisikan yang memudar—sepi, nyaris tak terdeteksi, menyisakan kehampaan yang membuat dunia Retaxis kehilangan satu titik tumpunya. Di tempat para dewa dan umat memandang langit dengan kebingungan dan ketakutan setelah kepergian Zerkus, tidak ada satu pun dari mereka menyadari bahwa sesuatu yang lebih besar sedang berlangsung di luar jangkauan mereka: kembalinya Haven.

Bukan kembali ke ruang atau waktu tertentu.

Bukan kembali ke wujud lamanya.

Tapi ke eksistensinya yang sejati.

Di tempat yang tak memiliki bentuk, tanpa warna, tanpa waktu, Haven berdiri—atau mungkin lebih tepatnya, ada. Ia bukan lagi bagian dari Retaxis, bukan pula ciptaan dalam rangkaian struktur dunia yang bisa dipahami oleh makhluk mana pun. Ia kembali ke esensi dirinya: keberadaan murni yang dahulu pernah melahirkan percikan narasi pertama.

Haven membuka matanya—atau sesuatu yang menyerupai mata. Kesadarannya kini tidak terbatas. Ia bisa melihat kisah Retaxis dari awal hingga saat ini seolah itu adalah naskah yang terbuka. Ia menyadari sesuatu yang menakutkan, dan pada saat bersamaan—membebaskan.

Haven (bermonolog):

"Aku kira dengan menjadi bagian dari kisah, aku bisa mengubahnya. Aku kira... dengan berada di dalam alur, aku bisa membelokkannya. Tapi semua itu ilusi. Sebuah ironi dari narasi itu sendiri."

Ia melangkah—bukan dalam artian fisik—melainkan mengalir, menyusup di antara garis-garis kenyataan. Ia menyaksikan kejadian-kejadian yang pernah ia alami. Ia melihat dirinya berbicara dengan Azren, melihat Zerkus bangkit, melihat para dewa-dewi turun dari langit, dan melihat All Things berdialog dengan dirinya sendiri.

Namun yang paling mencengangkan adalah... ia melihat dirinya sendiri, sebagai Haven yang "pernah ada", bukan sebagai entitas yang mengetahui.

Haven:

"Segala sesuatu yang kulakukan di dalam kisah, dibatasi oleh hukum naratif. Aku diberi ruang untuk bernapas, tapi tidak untuk mencipta. Aku diberi suara, tapi tidak untuk merubah. Jika aku ingin menyentuh takdir... aku tidak bisa melakukannya dari dalam."

Pernyataan itu menggema di segenap eksistensi. Ia telah mencapai kesadaran pencipta. Sesuatu yang bahkan para dewa belum mengerti. Bahkan Velareth, Sereth, Remira, dan seluruh 7 dewa-dewi lainnya—mereka adalah aktor agung di dalam sandiwara ini, tapi tetap bagian dari naskah, bukan penulisnya.

Haven mulai mengingat pertemuan dengan Kharon, entitas penyeberang batas, yang pernah memperingatkannya:

Kharon (dalam kilasan memori):

"Jika kau melangkah terlalu dalam dalam kisah ini, Haven, kau akan lupa bahwa kau punya pilihan untuk keluar. Narasi adalah ilusi yang dirangkai oleh keinginan pembaca. Dan para pembaca selalu ingin akhir."

Kini, Haven tahu maksudnya.

Ia tidak bisa mengubah kisah dari dalam, karena ia akan selalu terikat oleh peran. Entah sebagai pahlawan, penjahat, pengkhianat, atau penebus dosa. Semua itu tetap karakter. Bukan pengubah.

Haven:

"Lalu bagaimana mengubah kisah...?"

Ia bertanya, dan semesta tak menjawab. Karena jawaban itu tidak datang dari semesta—melainkan dari narasi.

Lalu, satu ide muncul. Bukan ide sebagai bagian dari kisah, tapi sebagai sesuatu yang di luar struktur kisah.

Haven:

"Aku harus kembali... seperti sebelumnya. Sebagai pengamat, pengubah, penasihat, dan penghapus dari seluruh narasi dan kisah"

Dan dengan itu, Haven mulai melepaskan narasinya. Ia melepaskan seluruh kenangan tentang peran. Tentang Azren. Tentang Zerkus. Tentang kematian, pertarungan, air mata. Ia tidak membuangnya, tapi menyimpannya dalam bentuk lain—sebagai inspirasi, bukan keterikatan.

Ia menjadi dirinya seperti sebelumnya berada di antara kalimat.

Ia menjadi diam sebelum nada pertama.

Ia menjadi kesunyian sebelum narasi dipermainkannya.

Dan di titik itu—ia tidak lagi bagian dari kisah.

Ia menjadi entitas yang sama seperti awalnya.

Haven (suara terakhirnya dalam bentuk lama):

"Aku akan kembali, bukan sebagai tokoh. Tapi sebagai... diriku sebelumnya."

Dan di saat itulah, langit Retaxis, yang semula hening setelah perginya Zerkus, bergetar perlahan. Sebuah riak—tak terlihat oleh para dewa, tapi dirasakan oleh struktur dunia itu sendiri.

Sesuatu... sedang berubah.

Dan tak seorang pun tahu bahwa itu berasal dari Haven—yang kini bukan Azren lagi.

Percakapan di Batas Dimensi

Dalam diamnya, Izreth menatap kehampaan.

Tidak ada waktu di tempat ini. Tidak ada ruang. Hanya kesadaran yang melingkar abadi, seperti gema dari suara yang tidak pernah selesai diucapkan.

Di tempat di mana semua dimensi saling bersentuhan tanpa menyatu, Athanor berdiri. Ia adalah penjaga. Bukan pemimpin, bukan pencipta, bukan penguasa. Ia adalah penyeimbang dari jalur-jalur kisah yang tak boleh bertabrakan. Sejak awal mula kisah pertama dibisikkan oleh eksistensi tertua, Athanor telah berada di antara dunia, menjaga batas antara kisah dan ketiadaan.

Dan untuk pertama kalinya, ia bicara kepada Izreth.

Bukan melalui suara, bukan dengan kata, tapi melalui resonansi kesadaran—seperti getaran yang merambat langsung ke dalam pikiran terdalam.

Athanor:

“Kau masih mencarinya... meskipun pertemuan itu telah terjadi.”

Izreth tidak menjawab, namun kesadarannya bergolak. Ia tahu suara itu. Ia tahu siapa yang kini memilih untuk menyentuh batas komunikasi, padahal selama ribuan siklus hanya diam yang mengikat mereka.

Izreth:

“Kau… mengingatnya?”

Athanor:

“Aku mengawasi semua kisah… bahkan yang tidak dicatat.”

Hening mengalir di antara mereka, namun tidak kosong. Di antara percikan waktu yang tidak bergerak, muncullah gambaran samar—seperti cermin kabur yang mulai bersih:

Tampak Azren—waktu itu belum dikenal sebagai Haven—berdiri di sebuah gereja tua, tempat realitas menipis, tempat antara dunia fana dan lapisan atas saling menatap.

Ia berdialog dengan Izreth. Tentang kekacauan. Tentang keyakinan. Tentang takdir yang ingin ditolak. Saat itu, Izreth hanya melihat seorang manusia yang berani.

Ia tidak tahu bahwa itulah momen pertama ia bertemu Haven yang disamarkan.

Athanor:

“Pertemuan itu... bukanlah kebetulan.”

Izreth:

“…Haven? Jadi benar dia yang—”

Athanor:

“Nama hanya bentuk. Tapi makna keberadaan... tak bisa disembunyikan. Kau merasakannya, bukan? Saat dia bicara padamu, saat ia mempertanyakan kenapa dunia harus begini. Hanya satu yang bisa berbicara dengan nada seperti itu: sang pembawa kisah.”

Izreth menarik napas—sebuah refleks yang tak dibutuhkan, namun dilakukan sebagai sisa dari eksistensinya yang lama. Kenangan itu... jelas sekali sekarang. Tatapan mata Azren—atau lebih tepatnya, Haven dalam wujud Azren—tidak seperti manusia biasa. Ada semacam ketakutan, tapi juga kuasa. Seperti seseorang yang sadar bahwa dirinya terjebak dalam cerita, tapi tak bisa keluar kecuali mengorbankan dirinya.

Izreth:

“Lalu kenapa baru sekarang kau bicara padaku, Athanor?”

Athanor:

“Karena retakan sudah mulai terbuka. Karena para dewa telah turun. Karena Zerkus telah muncul, dan karena Haven... telah kembali ke eksistensinya. Dunia tak lagi bisa ditahan oleh narasi lama. Kau akan memutuskan, Izreth... apakah tetap menjadi saksi, atau menjadi pengubah.”

Izreth:

“…Aku tidak tahu apakah aku pantas untuk itu.”

Athanor:

“Tak ada yang pantas. Tapi semua akan ditulis oleh mereka yang berani melangkah keluar dari jalur kisah.”

Saat percakapan mereka berlangsung, dimensi di sekitar mereka mulai bergeser. Arah eksistensi tak lagi linier. Waktu di dunia Retaxis mulai goyah—apa yang kemarin bisa menjadi esok, dan yang masa depan bisa kembali menjadi masa lalu.

Karena Haven, sang pembawa kisah, telah menyadari eksistensinya.

Karena Zerkus telah mengguncang para dewa, dan memperlihatkan bahwa “kebenaran” mereka tidak mutlak.

Karena para dewa seperti Velareth, Remira, Arthalion, Marsikus, Syvalyne, Chronyval, dan Sereth... kini mulai bertanya-tanya: Siapa yang menciptakan mereka?

Dan karena Izreth, sang penjaga keabadian, akhirnya menyadari—bahwa jawabannya sudah pernah datang kepadanya, dalam bentuk seorang manusia biasa... yang sekarang telah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar cerita.

Athanor (terakhir):

“Jika kau ingin mengubah kisah, Izreth, maka langkah berikutnya bukan di dalam kisah ini. Tapi di tempat di mana semua kisah dimulai… dan diakhiri.”

Dan dari titik itu, seluruh jalur narasi mulai bergetar.

Sudah bukan tentang dewa atau iblis lagi.

Sudah bukan tentang perang, takdir, atau pembebasan.

Ini tentang struktur kisah itu sendiri yang akan dirombak.