Di kejauhan yang tak terbayangkan, jauh melampaui batas ruang dan waktu, di antara celah realitas yang bahkan para dewa tak berani menyentuh, Athanor, sang Penjaga Dimensi Kisah, berdiri tegak di singgasananya yang tak memiliki bentuk maupun batas. Ia mengamati riuhnya benang-benang kisah yang berkedut liar. Matanya yang menyala tanpa cahaya memusatkan perhatian pada satu jalur yang kini mulai menyimpang dari kehendak alur: kisah Azren.
Benang kisah Azren seharusnya berjalan wajar, berkembang dalam konflik dan pemahaman di Akademi Retaxis. Tapi kini, benang itu berkedut liar, melingkar dan memutar seperti tali yang menolak diikat. Dan dalam pusaran gangguan itu... ada jejak. Jejak yang tak asing bagi Athanor.
Itu Haven.
Sosok yang pernah menjadi tangan kanan realitas, yang pernah menjaga kisah-kisah sebagai pemegang nadi kehendak. Athanor mengenali denyut itu. Tapi yang membuatnya terdiam dan tak bisa segera bertindak adalah sesuatu yang tak pernah ia sangka akan terjadi.
Haven tidak mengendalikan ini.
Ia tenggelam dalam kisah, bukan sebagai pengatur, tapi sebagai bagian dari pusaran.
Athanor, yang selama ini mengawasi kisah-kisah dari kejauhan, menyaksikan dengan keraguan. Suatu pertanyaan mengganggunya, seperti bisikan yang belum lengkap: Bagaimana mungkin seorang pengamat kisah kehilangan pengaruhnya? Bagaimana mungkin kekuatan Haven kini seperti kabut yang tak mampu menembus kulit realitas?
Ia melangkah mendekati jalinan kisah, tapi tak bisa menyentuh. Setiap kali ia mencoba menyelami simpul kisah Azren, realitas itu sendiri menolaknya. Dinding tipis antara pengamat dan kisah kini mengeras, seperti menutup rapat terhadap mereka yang seharusnya berhak melihat.
Namun di kedalaman yang jauh lebih dalam dari tempat Athanor berdiri, dalam kegelapan yang bahkan waktu pun tak berani menembus, All Things—entitas yang bahkan Athanor tidak sanggup pahami sepenuhnya—berdiam dalam kesunyian yang padat. Ia tidak mengawasi dengan mata, tidak mendengar dengan telinga, tetapi mengetahui. Ia tidak hanya ada, ia adalah bagian dari keberadaan itu sendiri.
Dan All Things tahu.
Ia tahu mengapa Haven, sang pengamat, kini terjebak dalam kisah yang ia tak lagi kuasai.
Ia tahu bahwa realitas menolak penjaganya sendiri.
Ia tahu bahwa Haven—yang dulunya seperti ayah bagi realitas ini—kini dianggap asing oleh anak yang dibesarkannya.
Ada luka lama yang belum pulih. Ada jejak ketidakseimbangan antara narasi dan kehendak bebas, antara takdir dan pemberontakan. Ketika realitas mulai menumbuhkan kesadarannya sendiri, ia tidak lagi ingin dikendalikan. Bahkan oleh penciptanya. Bahkan oleh mereka yang menyusunnya lembar demi lembar.
Realitas kini hidup. Dan ia memilih untuk melawan.
All Things tidak tersenyum, tidak pula bersedih. Ia hanya menyadari.
Dan dalam kesadaran itu, ia menatap ke arah pusaran di mana Azren, Haven, dan Izreth kini perlahan mulai bertabrakan. Seperti tiga bayangan yang terlempar ke dalam cerita yang menolak memiliki satu penulis.
Dunia telah berubah.
Dan bahkan para pengamat... kini mulai menjadi bagian dari cerita yang mereka ciptakan.
Hari itu, langit di atas pusat Kerajaan Retaxis berwarna kelabu kebiruan, seolah hendak menurunkan hujan tapi tak pernah benar-benar menetes. Jalanan utama yang membelah ibukota dipenuhi dengan hiruk-pikuk para penyihir, prajurit, pedagang, dan para bangsawan berkuda yang sesekali melempar pandang penuh penilaian terhadap mereka yang tak sepadan.
Azren berjalan seorang diri, menyusuri lorong agung menuju menara perpustakaan kerajaan. Ia mengenakan jubah murid Akademi Retaxis, yang seharusnya menandai dirinya sebagai pemuda yang sedang belajar. Namun langkahnya tidak seperti siswa biasa.
Ia melangkah tanpa suara, dengan sorot mata yang tidak sepenuhnya menyadari dunia di sekitarnya. Seolah-olah ia berjalan bukan di jalanan kota—melainkan menyusuri koridor-koridor tak terlihat di dalam pikirannya sendiri. Langkah demi langkah, ia seperti memijak batas tipis antara dunia dan sesuatu yang lebih tinggi, lebih dalam, lebih purba.
Saat ia sampai di alun-alun pusat kerajaan, tempat yang menjadi titik tengah bagi lima kuil besar dan satu tugu pilar cahaya kuno, langkahnya terhenti.
Ia memandang ke langit—tapi pandangannya tidak menembus awan.
Ia mematung.
Tak ada suara. Tak ada teriakan.
Hanya keheningan mendadak, seolah seluruh denyut hidup kota tertahan.
Lalu... tubuh Azren mulai melayang.
Tidak terangkat oleh sihir atau kekuatan luar. Tapi oleh kehendak yang tak dapat dijelaskan. Ia perlahan terangkat ke udara, kira-kira dua meter di atas permukaan batu lapis alun-alun. Jubahnya tergerai perlahan, rambutnya melambai dalam angin yang tidak ada. Tangannya terkulai, kepalanya menunduk.
Dan kemudian, dari tubuhnya—memancar cahaya.
Cahaya itu bukan sihir. Bukan energi mentah.
Itu adalah cahaya yang murni. Terang tanpa menyilaukan. Murni tanpa niat. Sebuah keberadaan yang menyatakan "aku ada" tanpa kata.
Cahaya itu mengembang dalam denyut pelan, seperti detak jantung yang menggema di udara. Dan saat itu, Izreth, yang tengah mengamati dari balik celah dimensi melalui jalinan kisah, tertegun. Ia tidak memahami kenapa pancaran itu terasa dekat dengan sesuatu yang ia cari selama ini.
Zerkus, sang primordial iblis penjaga keseimbangan retaxis, juga bergeming. Mata ketiganya terbuka dan menatap ke kejauhan, ke arah pusat Retaxis. Ia tidak bertindak, tapi tubuhnya yang membeku selama ribuan musim... bergetar.
Sementara itu, di dunia, para bangsawan dan rakyat yang berada di sekitar alun-alun terhempas oleh tekanan halus yang tidak menyakitkan—tapi menolak kedekatan. Bahkan para penyihir tinggi yang berjaga di puncak menara tidak bisa membaca struktur energi dari cahaya itu. Bagi mereka, itu adalah entitas di luar sihir.
Seluruh alam Retaxia berguncang.
Kuil-kuil purba berdengung. Pilar-pilar waktu di tepi negeri bergemuruh. Pohon-pohon tua menggugurkan daunnya serempak. Bahkan ruang meditasi di akademi terguncang hingga lilin-lilin padam bersamaan.
Cahaya itu bertahan selama beberapa menit.
Lalu—sebagaimana ia muncul—ia mulai meredup.
Dan ketika cahaya itu akhirnya padam, tubuh Azren menghilang.
Tidak hancur. Tidak menguap.
Hanya... tidak ada lagi.
Di tengah keramaian yang panik, hanya satu orang yang menyaksikan detik-detik terakhir itu dari awal hingga akhir.
Gerrand Valour.
Pemuda sombong dari keluarga bangsawan, yang kebetulan berada di sisi lain alun-alun, terlambat menyusul rekan-rekannya. Ia berdiri membeku, matanya tak berkedip, menyaksikan sesuatu yang melampaui pemahamannya, dan menghancurkan sedikit kesombongan di hatinya.
Tak ada yang percaya pada kesaksiannya nanti.
Tapi wajahnya akan berubah selamanya. Bukan karena ketakutan. Tapi karena ia telah melihat cahaya yang tak berasal dari dunia ini.
Dan nun jauh di tempat terdalam, All Things menghela napas yang tidak terdengar.
Ia tahu—perjalanan telah dimulai kembali.
Beberapa menit setelah cahaya itu memudar, para penjaga Akademi Retaxis masih berlarian, para magister agung mencoba menguraikan sihir yang tak mereka kenal. Di alun-alun pusat kerajaan Retaxis, orang-orang berkerumun dalam kebingungan dan ketakutan.
“Apakah itu... manifestasi suci?” bisik salah satu bangsawan tua yang berlutut di depan altar darurat.
Namun belum sempat mereka membentuk pemahaman baru atas kejadian itu—
Langit terbelah.
Tujuh sinar surgawi menembus awan. Dewa-dewi penjaga dunia Retaxis muncul.
Mereka tak turun ke tanah, tapi berdiri megah di atas langit yang runtuh, masing-masing memancarkan ciri khas: api, air, cahaya, gelap, waktu, mimpi, dan kemurnian.
Kerumunan mendadak bersujud.
Tak ada satu pun di antara mereka yang mengira bahwa keyakinan mereka akan disambut begitu nyata.
Namun Gerrand Valour, masih mematung di tempatnya, memandangi tempat di mana Azren sempat melayang. Cahaya murni itu belum hilang dari pikirannya. Ada sesuatu yang membuatnya tak ikut bersujud.
Dan di saat yang bersamaan…
Langit yang terbuka menggigil.
Udara yang sebelumnya panas oleh energi para dewa kini mendingin drastis.
Gelap merembes, tapi bukan seperti malam—melainkan seperti tak ada yang tersisa untuk dilihat.
Zerkus muncul.
Tanpa sinar. Tanpa iringan musik surgawi. Tanpa pengantar.
Hening.
Bumi bergetar, bukan karena kekuatan, tetapi karena realitas yang menyesuaikan diri terhadap keberadaan sesuatu yang tidak termasuk di dalam kisah.
Para dewa-dewi mulai goyah.
Mereka saling melirik, tak satu pun mengenal makhluk itu.
Bahkan Seraphenne, sang dewi cahaya, tampak mundur setapak.
“Siapa... makhluk itu?” bisik Velmyra, dewi mimpi, namun tidak ada jawaban.
Zerkus tidak memancarkan ancaman, tidak juga kasih. Ia hanya ada. Dan keberadaannya menggugat seluruh fondasi spiritual dunia Retaxis.
Di kejauhan, Izreth mengamati.
"Ini... berbeda dari narasiku."
Ia berdiri di antara dimensi-dimensi narasi, menyusun dan memahat alur semesta. Namun Zerkus, makhluk itu... seharusnya tidak bergerak dari kediamannya.
“Apakah zerkus menganggap kejadian azren itu darurat?” pikirnya.
Namun tak ada jejak kekacauan dalam gerak Zerkus.
Ia tidak menghancurkan.
Ia tidak memperbaiki.
Ia hanya hadir... untuk menjaga.
Lalu, dari kedalaman dimensi paling dalam—
All Things menyaksikan.
Ia tahu.
Zerkus adalah ciptaannya.
Namun bukan diciptakan untuk dunia.
Melainkan untuk melindungi kisah itu sendiri.
Ketika Azren—atau Haven—terlalu dalam masuk ke dalam dunia, dan realitas mulai menolak keberadaannya, maka Zerkus muncul.
Bukan sebagai penghukum.
Tapi sebagai pengingat.
Dan sementara semua makhluk menyembah atau gemetar...
Satu orang—Gerrand Valour—masih berdiri menatap tempat terakhir Azren terlihat.
“Kau bukan siapa pun,” gumamnya lirih.
“Tapi aku yakin, kau akan mengubah semuanya.”
Kepercayaan yang Berguncang
Langit Retaxis yang selama ribuan tahun hanya menjadi langit, kini terbuka seperti lembaran kitab yang dikoyak dari atas.
Para dewa-dewi telah turun.
Di bawah langit itu, umat manusia, elf, beastkin, dan makhluk-makhluk lainnya, sujud dan memekik, menangis dan menyembah.
Pendeta-pendeta dari berbagai kuil berjatuhan ke tanah, melantunkan doa dalam bahasa suci, bibir mereka gemetar—seolah mereka sendiri tak percaya Tujuh Penjaga Langit benar-benar hadir.
“Ini akhir zaman!” seru salah satu bangsawan dari Rumah Theorval.
“Tidak! Ini penyucian!” jawab seorang biksu dari Biara Lume.
Anak-anak menangis. Orang-orang berpelukan. Para penjaga kota melepaskan senjata, bersujud dalam diam.
Namun semua kekaguman itu berubah menjadi hening mencekam saat langit... kembali terbelah.
Namun bukan oleh cahaya surgawi.
Melainkan oleh keheningan yang menusuk, gelap yang tak memiliki bayangan.
Ketika Zerkus muncul, Tak ada siapa pun yang tahu namanya.
Namun kehadirannya menekan seluruh isi dunia.
Yang lemah tersungkur, yang kuat terdiam, yang suci merasa najis.
Mereka tak tahu bagaimana menyikapinya.
Beberapa pendeta berteriak, mencoba mengusirnya dengan mantra pemurni.
Tapi mantra mereka tak mempan.
Karena Zerkus bukan kegelapan. Ia adalah ketiadaan hukum.
Para dewa-dewi pun tak mampu menyembunyikan kebingungan. Mereka mencoba berbicara satu sama lain, tapi bahasa antar ilahi tak menghasilkan pengertian.
Dan itulah saatnya, retakan keyakinan mulai mengendap ke dalam batin umat.
“Jika para dewa pun takut... apa yang bisa kita percayai?”
“Kenapa yang tak dikenal lebih kuat dari yang kita sembah?”
“Apakah yang selama ini kita sembah hanyalah sebagian dari kebenaran?”
Kekaguman berganti menjadi ragu.
Sujud berganti menjadi gelisah.
Di sisi lain alun-alun, para murid Akademi Retaxis juga ikut menyaksikan.
Evelianne Lys Dereth, masih terdiam, dadanya sesak oleh ketegangan spiritual. Ia menguatkan sihir pengikat jiwanya, hanya untuk memastikan dirinya tidak tercerai oleh tekanan realitas.
Gerrand, masih tak bergeming. Namun matanya menyipit—bukan karena takut, melainkan karena penasaran.
“Apa hubungan semua ini dengan Azren?” pikirnya.
“Dan... mengapa aku satu-satunya yang melihatnya terakhir kali?”
Dari balik menara akademi, para magister besar berdiri dalam barisan sihir perlindungan. Namun pelindung mereka bergetar, bukan karena serangan... tapi karena kisah dunia yang mereka jaga telah berubah arahnya.
Seorang profesor berbisik, “Ini…apa ini?!?.”
Dan di antara kegaduhan itu, Izreth menyaksikan dalam diam.
Ia, sang pemilik kisah itu, kini menjadi penasaran dari cerita yang telah berubah arah.
Sementara itu... jauh lebih dalam...
All Things tetap membisu.
Namun bagi dia, ini bukan bencana. Ini... pembentukan ulang.
Ketika umat meragukan dewa, ketika dewa mempertanyakan eksistensi mereka sendiri,
itulah saat lahirnya pertanyaan terdalam dari keberadaan: Siapa yang menulis kisah ini, jika tidak ada satu pun dari mereka mengetahuinya?
Di tengah gemuruh umat yang bersimpuh dan langit yang diselimuti kemegahan, Zerkus berdiri tenang, tak bersujud, tak bersikap gentar. Di hadapannya, tujuh dewa-dewi masih menggema dalam pancaran khas mereka. Tapi yang membuat Zerkus berbicara bukanlah kehadiran mereka.
Melainkan cahaya murni—yang tadi memancar dari tubuh seorang manusia biasa.
Zerkus memandang ke arah tempat Azren tadi lenyap. Ia mendongak perlahan, namun bukan ke langit, melainkan ke titik di mana realitas seolah melesak masuk ke dalam dirinya.
Dengan suara rendah, dalam, dan penuh penyangkalan, ia berkata:
"Cahaya itu... bukan milik kalian."
Para dewa menoleh padanya.
Velareth, sang Dewi Kemurnian, berbicara lebih dulu.
"Itu adalah cahaya yang melampaui batas manusia. Kami pun tak memahami dari mana ia berasal."
Zerkus tersenyum tipis, matanya menembus batas esensi mereka.
"Tentu kalian tak paham. Karena kalian dilahirkan dari narasi dunia. Sedangkan cahaya itu... bukan dari dunia ini."
Remira menunduk, matanya sedikit bergetar.
"Jika cahaya itu bukan dari dunia ini, maka siapakah pemiliknya? Siapa yang meletakkannya dalam tubuh manusia fana?"
Zerkus mendekat ke arah para dewa-dewi, umat mulai berlarian menjauh. Mereka takut. Ketakutan yang bukan berasal dari kekuatan Zerkus...
...melainkan dari ketenangan yang tak bisa dijelaskan.
"Kalian menyebut diri sebagai penjaga. Tapi bahkan penjaga pun tak tahu apa yang kalian jaga. Cahaya itu... adalah retakan. Bukan berkah."
Chronyval menjawab cepat.
"Retakan dari apa?"
Zerkus menatap lurus ke dalam mata dewa waktu.
"Dari narasi kalian. Dari sejarah yang kalian wariskan. Cahaya itu... adalah penolakan."
Umat terdiam. Bahkan yang menangis dan berdoa kini terdiam.
Karena mereka merasakan sesuatu dalam ucapan Zerkus—seolah kebenaran tidak berasal dari surga, tapi dari ruang kosong yang tak bisa disembah.
Syvalyne mencoba mendamaikan ketegangan.
"Lalu menurutmu, wahai makhluk yang tidak tertulis... apakah yang seharusnya kami lakukan terhadap cahaya itu?"
Zerkus menoleh ke arah umat manusia, lalu ke arah langit yang remuk.
"Jangan sembah cahaya yang tidak kalian mengerti. Dan jangan ikuti kisah yang kalian tak punya kuasa tulisannya."
"Kalian adalah umat yang hidup di antara kisah—bukan penciptanya. Cahaya itu menandakan sesuatu... atau seseorang... yang seharusnya tak kembali."
Lalu Zerkus mulai berjalan perlahan, menyatu dalam bayangan retak dunia.
Sebelum menghilang, ia menyampaikan satu kalimat terakhir:
"Jika ia kembali... maka bukan hanya kalian yang akan ditanyai. Tapi juga para penulis kisah."
Langit masih terbuka. Umat masih bersimpuh dalam kebingungan dan ketakutan. Tapi dari atas awan cahaya itu, satu entitas tidak tahan akan keberadaan Zerkus—makhluk yang tak pernah disebut dalam kitab, namun kini berdiri meremehkan semua yang diagungkan.
Arthalion, sang Dewa Api Abadi, yang tubuhnya menyala seperti bara surgawi, melangkah maju dari barisan tujuh. Matanya tajam memancarkan amarah dan... ketakutan yang terselubung.
"Makhluk tanpa nama!" serunya, suara membelah langit.
"Kau bicara seolah dunia ini bukan milik kami! Maka rasakanlah penghakiman para penjaga Retaxia!"
Dengan gerakan tangan, semburan api kosmik—api yang digunakan untuk membakar makhluk abadi—dilepaskan ke arah Zerkus. Api itu bukan hanya sihir. Itu adalah bentuk tertinggi dari kehendak Arthalion sebagai dewa—pemusnahan.
Umat menjerit. Beberapa berusaha lari.
Izreth, yang memperhatikan dari dimensi lain, hanya bisa menyipitkan mata, menyadari kesalahan besar akan terjadi.
Zerkus tidak bergeming.
Api itu mendekat padanya, berputar dalam spiral kehancuran...
...lalu lenyap sebelum menyentuh kulitnya.
Bukan karena tameng, bukan karena ia menangkis—melainkan karena api itu menolak keberadaannya sendiri ketika menyentuh kehendak Zerkus.
Zerkus mengangkat satu tangan, hanya sedikit.
Lalu menatap Arthalion.
"Kau terlalu banyak berbicara untuk sesuatu yang diciptakan dari percikan kecil kehendak."
Dalam sekejap, tubuh Arthalion terdorong mundur, bukan oleh kekuatan fisik—tetapi oleh tekanan eksistensial. Seolah dunia menolak tindakannya sendiri.
para dewa-dewi yang lain, hanya terdiam.
Umat kini tidak lagi tahu siapa yang patut disembah.
Zerkus menatap semuanya sekali lagi.
"Kau tahu mengapa aku menepis sihir itu dengan kehendakku, bukan dengan sihir?"
Ia mendekat satu langkah ke arah langit tempat para dewa menggantung dalam kemegahan.
"Karena kalian terikat pada realitas sihir yang rendah. Sedangkan aku... di atas realitas kalian."
Lalu, sebelum siapa pun bisa bergerak lagi...
Zerkus menghilang. Tanpa bekas. Tanpa suara.
Meninggalkan keheningan yang bahkan para dewa tak bisa isi.