Perlahan Kembali

Suasana di ruang kelas Akademi Retaxis kembali hening. Azren duduk dengan tatapan kosong, seolah tubuhnya hadir di sini, namun jiwanya tenggelam dalam perasaan yang tak bisa dijelaskan. Di luar jendela, angin malam berdesir lembut, menciptakan atmosfer yang begitu berbeda dari kegelisahannya.

Evelianne, yang duduk di sampingnya, memandangnya dengan penuh perhatian. Sepertinya ada yang tidak beres dengan Azren—lebih dari sekadar keletihan dari pelajaran yang panjang. Hati wanita bangsawan itu bisa merasakan kekhawatiran yang mendalam dalam diri Azren, namun ia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Tadi... ada yang aneh," kata Azren pelan, matanya tetap menatap kosong ke depan, namun suaranya jelas terdengar lelah.

Evelianne mengangguk perlahan. "Apa yang kau rasakan? Aku bisa merasakannya. Seperti ada sesuatu yang mengusikmu."

Azren menatapnya sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan yang begitu membingungkan. "Aku merasa seperti... aku sudah pernah berada di sini sebelumnya. Seperti semua ini bukan pertama kalinya. Ada begitu banyak bagian diriku yang terasa hilang."

Evelianne memiringkan kepala, mengamati Azren dengan perhatian yang lebih dalam. "Apa maksudmu?"

Azren menghela napas. "Aku merasa seperti... aku pernah menjadi orang lain, atau mungkin berada di dunia yang berbeda. Seolah ada banyak versi dari diriku, masing-masing hidup di dalam dunia yang berbeda-beda."

Namun, sebelum Evelianne bisa memberikan respons lebih lanjut, profesor tiba-tiba mengubah arah pembicaraan.

"Perhatian, para siswa," ujar profesor Arathis dengan suara dalam dan penuh otoritas. "Kita akan membahas topik penting hari ini: Filsafat Sihir."

Azren menarik napas dalam-dalam dan mencoba fokus. Meskipun pikirannya kacau, ia berusaha mendengarkan dengan seksama.

"Sihir," lanjut profesor, "bukanlah sekadar alat atau kekuatan. Ia adalah entitas yang terikat pada keberadaan dunia ini. Dan setiap penggunaan sihir, meskipun tampaknya hanyalah manipulasi energi, sebenarnya mengandung filosofi yang jauh lebih dalam."

Azren menatap papan tulis dengan mata kosong, namun ada bagian dari dirinya yang mulai merasa ketertarikan terhadap kata-kata itu. "Apakah... kita hanya memanipulasi kekuatan, ataukah kita juga terikat padanya?"

Profesor Arathis melanjutkan. "Kita semua terikat pada hukum alam, pada tatanan yang lebih besar, namun sihir memberikan kita kebebasan. Kebebasan untuk melihat dan memengaruhi tatanan itu. Namun dengan kebebasan, datanglah tanggung jawab yang lebih besar."

Azren mendengarkan, tetapi tubuhnya seolah tidak berada sepenuhnya di sana. Mata-mata teman sekelasnya terlihat begitu fokus pada pembelajaran ini, namun pikirannya justru berkelana jauh. Ia merasa ada sesuatu yang mengikat dirinya pada pelajaran ini, namun juga ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu, mengintai di luar pemahamannya.

Tiba-tiba, suasana di kelas terasa semakin asing. Sesuatu menggerakkan udara di sekitar Azren, seolah ada sesuatu yang tak terduga sedang terjadi di luar kontrol. Ada kekosongan yang membanjiri pikirannya, dan sekejap—suara profesor terdengar terdistorsi, seolah menjadi gema yang jauh. Matanya mulai berpusing, dan pandangannya terasa kabur, seolah segala sesuatu mulai bercampur menjadi satu.

Seketika, ia kembali merasakan gangguan realitas yang sama. Namun kali ini, lebih kuat, lebih nyata. Di sekelilingnya, bayangan-bayangan yang tak bisa dijelaskan mulai muncul. Azren merasa seolah tubuhnya tak lagi terikat pada satu waktu atau ruang. Seperti ia sudah pernah berada di berbagai tempat, memainkan berbagai peran yang tak terhitung jumlahnya—dari seorang pemimpin agama hingga seorang bayi yang tak mengerti apapun.

Semua perasaan ini begitu asing, namun juga tak asing. Azren bisa merasakan dirinya—atau setidaknya salah satu versinya—ada di tempat yang sangat jauh, sangat berbeda. Setiap kali ia merasa dekat dengan satu identitas, semuanya berubah, seolah identitas itu hanyalah ilusi yang tak bisa ia genggam.

"Tapi kenapa?" gumam Azren, suaranya hampir tak terdengar. "Kenapa aku tidak bisa hanya... menjadi diriku sendiri?"

Evelianne, yang mendengar gumaman itu, menoleh dengan cemas. "Azren... apa yang terjadi padamu?"

Namun Azren tidak bisa menjawab. Gangguan itu semakin kuat, dan dalam sekejap, ia merasa dirinya seolah terpecah menjadi banyak potongan. Seperti ada banyak Azren di berbagai dunia yang sedang mengalami peristiwa yang tak bisa dijelaskan.

Tiba-tiba, semuanya berhenti. Pandangannya kembali tajam, dan suara di sekelilingnya kembali normal. Ruangan kelas tampak seperti semula—teman-teman sekelasnya sibuk mendengarkan profesor Arathis yang melanjutkan penjelasannya.

Azren terengah-engah, matanya masih lelah, namun ia merasa terjaga. Ia menatap Evelianne yang masih memandanginya dengan khawatir.

"Ada apa?" tanya Evelianne dengan suara lembut. "Kau... berubah lagi."

Azren tidak bisa menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Ia hanya tahu satu hal—sesuatu yang jauh lebih besar sedang menguasai dirinya. Sesuatu yang membuatnya tidak bisa sepenuhnya berada di dunia ini.

"Sesuatu sedang terjadi," kata Azren perlahan. "Dan aku tidak tahu apa itu, tapi aku tidak bisa lari darinya."

Evelianne menggenggam tangan Azren dengan lembut. "Kau tidak perlu menghadapinya sendirian. Aku ada di sini."

Azren menatap Evelianne, merasakan kehangatan dari sentuhannya, meski pikirannya masih berantakan. "Aku akan mencari jawabannya. Aku harus menemukannya."

Kelas pun berlanjut, namun bagi Azren, pelajaran kali ini bukanlah tentang sihir atau filsafat. Ini adalah pelajaran tentang dirinya—tentang siapa dirinya sebenarnya di tengah dunia yang kacau ini.

Pelajaran yang Tak Terlupakan

Suasana di kelas Akademi Retaxis tampak tenang, meskipun ada kecanggungan yang tersisa setelah Azren kembali ke dalam kesadarannya. Matanya sedikit berkabut, seakan masih terhanyut dalam kegelisahan yang datang dengan gangguan realitas tadi. Namun, saat ia kembali memperhatikan sekelilingnya, semuanya tampak seperti biasa. Teman-teman sekelasnya masih asyik mendengarkan penjelasan dari Profesor Arathis, yang berdiri dengan penuh otoritas di depan papan tulis.

"Azren," suara Profesor Arathis memecah keheningan, memanggilnya dengan tegas.

Azren terkejut, hampir melompat dari tempat duduknya. Ia menatap sang profesor, matanya sedikit bingung. Suasana kelas yang tiba-tiba begitu hening seolah memperburuk kegelisahannya. Teman-teman sekelasnya memandang dengan tatapan penasaran, dan ada beberapa yang terlihat menyeringai, mungkin karena merasa penasaran dengan reaksi Azren.

"Ya, Profesor?" Azren menjawab dengan sedikit canggung, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang.

Profesor Arathis menatapnya tajam dengan ekspresi serius. "Kau tampaknya tidak fokus sejak tadi, Azren. Ada yang mengganggumu? Mungkin lebih baik kau ikut menjawab pertanyaan ini."

Azren menelan ludah, mencoba mengendalikan diri. "Tentu, Profesor," jawabnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Profesor Arathis melanjutkan, "Kita sedang membahas inti dari filsafat sihir, dan sekarang saya ingin tahu bagaimana kalian, para siswa, memahami inti dari penggunaan sihir dalam tatanan dunia ini. Coba jelaskan, Azren. Mengapa sihir itu ada? Apa peranannya dalam kehidupan kita, dan bagaimana hubungan antara sihir dan berbagai entitas yang ada di dunia ini?"

Pertanyaan itu begitu mendalam, dan sepertinya sangat berat untuk dijawab oleh siswa biasa. Namun, bagi Azren—yang hatinya masih bergejolak dengan gangguan realitas tadi—ada sebuah pemahaman yang aneh muncul dalam dirinya. Seperti ada bagian dari dirinya yang telah mengenal jawaban ini jauh sebelum ia memasuki ruangan ini.

"Sihir," Azren mulai, suaranya tenang meskipun pikirannya masih berantakan. "Sihir bukan hanya sekadar kekuatan yang bisa kita kontrol untuk mencapai tujuan kita. Ia adalah kekuatan yang tak terpisahkan dari eksistensi dunia ini, yang menghubungkan alam fisik dengan alam yang lebih tinggi. Sihir ada karena dunia ini membutuhkan cara untuk menjaga keseimbangan—untuk menyeimbangkan yang terlihat dan yang tak terlihat, yang nyata dan yang abstrak."

Profesor Arathis mengangguk pelan, sepertinya mengerti bahwa Azren memang tidak menjawab secara sembarangan. "Lanjutkan," katanya, memberikan kesempatan untuk menjelaskan lebih lanjut.

Azren menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Peran sihir dalam kehidupan kita sangat kompleks. Ia bukan sekadar alat untuk kekuasaan, melainkan lebih kepada proses pemahaman terhadap dunia dan segala bentuk keberadaannya. Sihir adalah salah satu cara kita sebagai makhluk hidup memahami tatanan yang ada di sekitar kita, bagaimana kita berinteraksi dengan alam, dan bagaimana kita bisa mengubahnya tanpa merusak harmoni yang ada."

Ia berhenti sejenak, menatap teman-teman sekelasnya yang tampak menyimak dengan penuh perhatian. “Dan soal banyaknya dewa... Sihir juga terhubung erat dengan kepercayaan dan pemahaman kita terhadap kekuatan yang lebih tinggi. Dewa-dewa itu, dalam banyak tradisi, dianggap sebagai personifikasi dari kekuatan-kekuatan alam yang lebih besar. Masing-masing memiliki peranannya sendiri—ada yang mengatur hidup, ada yang mengatur kematian, ada yang mengatur keseimbangan antara kekacauan dan ketertiban. Mereka ada karena kita sebagai manusia membutuhkan simbol untuk memahami kekuatan-kekuatan yang lebih besar dari kita, untuk memberikan makna pada apa yang kita jalani dan alami."

Suasana di kelas semakin sunyi. Bahkan Gerrand Valour, yang biasanya mengintimidasi teman-temannya dengan sikap sombongnya, tampak terdiam, tidak bisa menanggapi jawaban Azren. Evelianne, yang duduk di samping Azren, menatapnya dengan mata yang penuh rasa kagum, mungkin untuk pertama kalinya merasa bahwa Azren benar-benar memiliki pemahaman yang lebih dalam dari apa yang terlihat.

Profesor Arathis menatap Azren dengan sorot mata yang tidak bisa disembunyikan—mengandung sedikit rasa takjub. "Jawabanmu cukup mendalam, Azren," katanya, mengangguk pelan. "Kau menyentuh inti dari filsafat sihir dengan cara yang tidak banyak siswa dapatkan. Namun, ada satu hal yang ingin aku tanyakan lebih lanjut—apa yang kau pikirkan tentang hubungan antara sihir dan nasib? Apakah kita, sebagai individu, dapat mengubah takdir kita dengan kekuatan sihir?"

Azren terdiam sejenak, meresapi pertanyaan itu. Untuk beberapa saat, ia merasa seolah waktu berhenti sejenak. "Nasib," katanya pelan, "adalah suatu konsep yang rumit. Sihir dapat mengubah banyak hal di dunia ini, tetapi takdir—takdir adalah sesuatu yang lebih besar dari sekadar kekuatan. Kita bisa mengubah jalannya kehidupan kita melalui sihir, namun takdir itu bukan hanya tentang apa yang kita lakukan, tapi tentang pelajaran yang kita pelajari dan pengalaman yang membentuk siapa kita. Sihir, pada akhirnya, tidak bisa memutuskan takdir kita—ia hanya memberikan kita jalan untuk mencapai tujuan kita, entah itu menuju kebaikan atau kehancuran."

Setelah jawaban itu, suasana di ruangan kembali terasa hening, seolah kata-kata Azren menggema dalam pikiran semua yang ada di kelas. Profesor Arathis mengangguk sekali lagi, sepertinya puas dengan penjelasan Azren.

"Jawaban yang bijaksana," kata profesor. "Azren, kamu memang punya pandangan yang jauh lebih dalam dari yang aku kira."

Azren hanya mengangguk pelan, matanya mulai menghindari pandangan teman-temannya. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang baru saja terbuka, seiring dengan jawabannya tadi. Namun, perasaan aneh yang menyelimuti hatinya belum juga menghilang. Gangguan realitas itu masih mengintai, dan ia tahu—meskipun tidak ada yang bisa mengungkapkannya—semuanya ini jauh lebih rumit daripada yang terlihat.

Ketika bel tanda akhir pelajaran berbunyi, Azren tetap duduk di kursinya, membiarkan teman-temannya beranjak. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya, atau apa yang sedang menunggunya di masa depan. Tetapi satu hal yang jelas—perjalanannya baru saja dimulai.

Suasana kelas Akademi Retaxis yang semula tenang kini mendadak berubah. Teman-teman Azren sudah mulai beranjak dari kursi mereka, beberapa dari mereka berbicara di antara satu sama lain dengan topik ringan tentang pelajaran hari itu, sementara Profesor Arathis yang telah selesai dengan sesi mengajar juga mulai merapikan barang-barangnya. Semua tampak biasa, seperti pelajaran sebelumnya yang berjalan lancar.

Namun, tiba-tiba Azren merasakan ada sesuatu yang berbeda. Seperti sebuah hembusan angin dingin yang tak terlihat menyentuh kulitnya, membawa rasa tidak nyaman yang menjalar dari ujung jari hingga ke seluruh tubuhnya. Ia merasa dunia di sekelilingnya seolah bergetar, sebuah ketegangan yang tidak bisa ia kontrol. Seolah ada lapisan tipis yang memisahkan realitas dan dirinya, dan lapisan itu mulai robek.

Azren mengerutkan kening, berusaha menahan perasaan aneh yang datang tiba-tiba itu. Kepalanya terasa berdenyut, dan dalam sekejap, ia merasakan dirinya terlempar dari realitas yang dikenalnya.

Tubuhnya, yang semula duduk tegak, tiba-tiba saja menghilang. Dalam sekejap mata, keberadaannya seakan lenyap, hilang begitu saja. Seperti bayangan yang dipadamkan dalam sekejap, namun segera setelah itu, Azren muncul kembali di tempat yang sama—duduk di kursi, dalam pose yang sama, seperti tidak ada yang terjadi.

Namun, itu hanya berlangsung sebentar. Dalam sekejap mata berikutnya, tubuh Azren kembali menghilang, hanya untuk muncul kembali. Proses itu berulang-ulang, seakan-akan dunia di sekitarnya sedang berperang dengan kenyataan itu sendiri.

Suasana kelas yang tadinya tenang berubah menjadi panik. Siswa-siswa yang melihat kejadian itu menjerit ketakutan, tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Beberapa mundur ke belakang, ada yang terdiam ketakutan, dan ada juga yang berteriak meminta bantuan.

"Azren!?" Evelianne Lys Dereth, teman sebangkunya, melangkah maju dengan cemas, suaranya penuh dengan kekhawatiran. Namun, Azren—atau lebih tepatnya tubuh yang tampak seperti Azren—hanya menghilang lagi, dan kembali muncul seakan tak terkontrol. Matanya yang kosong hanya melamun, tampak seperti terjebak dalam sesuatu yang tidak ia pahami.

Profesor Arathis, yang sebelumnya terkejut mendengar suara kebingungan dari murid-muridnya, dengan cepat berlari menuju Azren. Wajahnya kini dipenuhi rasa khawatir yang mendalam, ia mencoba mendekati tubuh Azren yang terus berpindah tanpa kendali. "Apa yang terjadi denganmu, Azren?!" teriaknya, berusaha meraih tubuh yang menghilang dan muncul kembali.

Namun, setiap kali ia berusaha menggapai Azren, tubuh itu sudah kembali ke tempat semula, seakan ada kekuatan yang memisahkan mereka berdua dalam ruang yang terdistorsi.

Situasi semakin kacau. Siswa-siswa lainnya berlarian mencari perlindungan, bingung dan ketakutan. Tidak ada yang bisa memahami apa yang sedang terjadi. Semua yang mereka tahu adalah bahwa kejadian ini tidak seperti yang pernah mereka alami sebelumnya.

Di tengah kekacauan ini, dari kejauhan, ada sosok yang diam-diam mengamati. Izreth, yang berada jauh di luar kelas, menyaksikan kejadian aneh ini melalui kanal yang misterius. Ia merasakan pergerakan yang tak wajar dalam aliran waktu dan ruang, meskipun ia tidak tahu persis apa yang sedang terjadi di dalam kisah ini.

Izreth memusatkan perhatian, berusaha memahami fenomena ini. "Apa yang sedang terjadi dengan realitas ini?" pikirnya, bingung. "Bagaimana ini bisa terjadi dalam kisah yang sudah aku atur?"

Dia bisa merasakan gangguan itu, meskipun tidak sepenuhnya mengerti apa yang menyebabkan semuanya menjadi kacau. Azren, yang seharusnya tidak terlibat dalam hal ini, tiba-tiba menjadi pusat kekacauan. Namun, meskipun ia merasakan keanehan itu, Izreth tidak tahu bagaimana cara menghentikannya. Bahkan keberadaannya yang jauh dari tempat kejadian ini tidak bisa mempengaruhi apa yang terjadi di ruang kelas Akademi Retaxis.

Azren, di sisi lain, tidak bisa mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Setiap kali ia merasa seperti berada dalam kekosongan yang tak bisa dijelaskan, tubuhnya akan menghilang dan muncul kembali, berpindah di dalam ruang yang sama, namun berbeda. Ia merasakan dirinya terperangkap dalam semacam lingkaran waktu yang tak dapat dipahami. Sementara itu, sosok-sosok di sekitarnya tampak hanya sebagai bayangan yang terdistorsi, dan bahkan suara mereka seperti teredam.

Dalam kepanikan itu, Azren merasa dirinya seperti terjebak antara dimensi yang tidak bisa ia kuasai, antara dunia yang dikenal dan yang tak terjangkau.

Sementara itu, teman-temannya di kelas berteriak dengan ketakutan, namun tidak ada yang bisa membantu. Tidak ada yang bisa menghentikan gangguan yang semakin parah itu. Bahkan Profesor Arathis, yang memiliki pemahaman lebih dalam tentang dunia sihir dan realitas, terlihat kebingungan dan tak berdaya.

"Ini tidak bisa terjadi..." gumam Arathis pada dirinya sendiri, mencoba mencari jalan keluar dari krisis ini. "Kekuatan yang lebih besar dari yang bisa aku kendalikan... Apa yang mengacaukan realitas ini?"

Namun, tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu, kecuali Azren sendiri. Tetapi dia terlalu terperangkap dalam kebingungannya untuk dapat memberikan penjelasan.

Keadaan ini berlanjut selama beberapa detik yang terasa sangat lama, hingga akhirnya—seperti sebuah keajaiban yang tak terduga—sebuah celah dalam waktu dan ruang itu mulai mereda. Azren akhirnya berhenti menghilang, dan tubuhnya yang semula berulang kali berpindah tempat kini terhenti di posisi yang stabil, meskipun ia masih tampak kebingungan dan terkejut dengan apa yang baru saja dialaminya.

Para siswa yang masih takut dan cemas perlahan kembali mendekat, namun mereka tetap waspada. Profesor Arathis, meskipun cemas, tidak menunjukkan ketakutan berlebih. Ia mencoba mendekati Azren dengan hati-hati, memastikan bahwa muridnya itu baik-baik saja.

Azren, yang masih terhuyung, menatap sekelilingnya dengan tatapan kosong. Apa yang baru saja terjadi? Apa yang telah mengubah dirinya?

Izreth, yang masih mengamati dari jauh, akhirnya menarik napas panjang. Ia tahu bahwa gangguan ini bukan hanya masalah waktu atau sihir biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang terjadi, dan Azren... Azren adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Namun, untuk saat ini, semuanya tetap menjadi misteri yang tak bisa dijelaskan.