Gangguan Realitas

Hari itu mendung. Langit di atas Akademi Retaxis memantulkan warna kelabu tak berujung. Kabut tipis melayang di sekitar menara sihir, mengusap puncaknya seperti tangan-tangan tak kasatmata.

Dan Haven, berdiri di ujung tangga batu, tatapannya kosong menembus kabut.

Ia telah melakukannya.

Ia telah melanggar.

Sedikit saja. Ia hanya mencoba mengatur ruang—sebuah manipulasi kecil terhadap jalur waktu di dalam kelas, agar satu mantra bisa diajarkan lebih lambat oleh sang guru. Ia melakukannya diam-diam, dengan kesadaran yang ia kira cukup hati-hati. Tapi ternyata... hanya satu celah kecil itu cukup untuk mengoyak batas-batas realitas.

Waktu pecah.

Ruang menjadi kabur.

Dunia tidak lagi seperti sebelumnya.

Haven jatuh terduduk.

Kepalanya mendadak berat, seperti dimasuki puluhan suara yang tak ia kenal. Ingatan-ingatan yang bukan miliknya berdesakan dalam benaknya. Ia melihat—

—Dirinya sendiri sebagai bayi.

—Kemudian, seolah dalam lompatan, menjadi seorang pemimpin agama besar di sebuah dunia tandus.

—Lalu berganti menjadi panglima perang yang mengatur strategi di tengah kekacauan antar dunia.

—Lalu, ia adalah penjaga arsip, seorang tua yang menjaga gerbang pengetahuan rahasia yang hanya diketahui segelintir entitas.

—Ia adalah seseorang, di banyak waktu.

—Ia adalah semua.

"Hhh—!" Haven terengah. Ia memeluk lututnya, tubuhnya gemetar. Suara dari ruang kelas masih terdengar, tapi menjadi seperti gema jauh dari gua realitas.

Semua kisah itu... bukan halusinasi.

Semua peran itu... nyata, pernah terjadi.

Atau sedang terjadi. Atau akan terjadi. Ia tak tahu.

Suara itu kembali.

Suara yang dulu hanya terdengar dalam kedalaman mimpinya.

Bukan gema. Bukan suara luar.

Tapi suara asal. Suara dari All Things.

"Kau membuka pintu terlalu cepat, Haven."

Suara itu tenang, dalam, dan membawa kesedihan yang tak bisa dijelaskan.

"Kau telah melampaui batas yang telah kupasang. Narasi belum membiarkanmu menyentuh lapis itu."

Haven tak bisa menjawab. Ia hanya bisa menunduk, wajahnya kini diselimuti keringat dan ketakutan.

"Lihatlah tubuhmu. Sadari posisi naratifmu. Kau sekarang hidup di dunia yang tidak mengizinkan ketidakseimbangan. Dan apa yang kau lakukan... telah menggeser garis tengah antara eksistensi dan narasi."

Haven memandang ke tangannya.

Tangannya... kini bukan hanya satu. Di satu detik ia melihat jari-jarinya seperti biasa, dan di detik berikutnya, tangannya menjadi milik seorang tua. Lalu menjadi tangan kecil seorang bocah. Lalu menjadi sesuatu yang bercahaya, lalu transparan.

Tubuhnya terus berganti, berlapis-lapis, ratusan versi dari dirinya sendiri muncul dan menghilang.

"Semua ini adalah bagian darimu yang terlepas dari pusat narasimu."

"Karena kau adalah pemikul kemungkinan. Kau bukan hanya satu pribadi. Kau adalah pintu ke banyak garis takdir."

"Namun saat ini, kau berada dalam satu kisah. Dan kau tidak boleh mencemari kisah itu dengan apa yang belum semestinya."

Pikiran Haven terlempar ke kejadian beberapa hari lalu. Ke saat ia menatap refleksi dirinya sendiri di cermin akademi—dengan rambut putih, mata bercahaya, coat hitam bergaris emas. Wujud aslinya. Wujud yang bukan seharusnya ia gunakan.

Dan kini ia tahu, kenapa All Things menariknya kembali. Kenapa kisahnya diulang dari awal.

Ia merusak narasi dengan memperlihatkan bentuk yang belum seharusnya ada.

Guru yang mengajar kini berbalik, menyadari ketidakhadiran Haven dari kesadaran kelas. "Azren! Kau baik-baik saja?"

Haven, dengan susah payah, mencoba berdiri.

"Saya... hanya pusing sebentar, Guru. Mohon maaf."

Namun bahkan saat ia bicara, di benaknya, ribuan wajah dirinya sendiri masih menari di dalam pikirannya.

Di dalam dimensi lain, jauh dari semua bentuk waktu dan ruang...

All Things duduk. Tidak di atas tahta, sebab ia tidak memerlukan simbol kekuasaan. Ia duduk di tengah pusaran kisah-kisah, semua narasi besar dan kecil yang pernah ada dan akan ada.

Ia menatap sebuah percikan cahaya kecil di depan dirinya—wujud dari Haven, yang kini bergoyang tak stabil.

"Ia terlalu cepat memahami. Terlalu cepat melanggar."

"Namun ini bukan kutukan. Ini pelajaran."

"Ia harus mengalami kehancuran naratif agar mampu mengerti batas. Agar ia nanti bisa menulis ulang kisah yang bahkan aku tak pernah sentuh."

"Haven, sang peretas kemungkinan."

"Suatu hari, kau tak lagi membaca kisah. Kau yang akan menuliskannya."

Kembali di kelas, Haven menarik napas panjang. Rasa sakit di kepala perlahan mereda. Wujudnya mulai kembali stabil. Tapi dalam pikirannya, ia tahu:

Ini baru awal dari kekacauan.

Dan kini ia benar-benar sadar—sejak ia memilih untuk lahir sebagai bayi, sejak ia setuju menerima narasi ini, sejak ia menolak untuk tetap berada di luar cerita—

—ia adalah bagian dari kisah.

Dan hanya dengan menyelesaikannya, ia bisa kembali pada dirinya yang sejati.

Ia harus hidup. Ia harus mengalami. Ia harus gagal. Ia harus menciptakan makna dari setiap cabang.

Karena itulah jalan menuju semua kemungkinan. Itulah jalan... kembali menjadi Haven yang sejati.

Permulaan yang Tersegel

Suasana kelas kembali senyap.

Suara guru mengalir seperti aliran sungai lembut, namun di dalam kepala Haven, riak gelombang kenangan dan kekacauan barusan belum sepenuhnya surut. Tubuhnya duduk tegak di bangku kayu, namun kesadarannya masih baru saja kembali dari ribuan versi dirinya—pemimpin, penghapus, penyair tak bernama, hingga prajurit di dunia asing yang tak pernah diciptakan oleh siapapun.

Namun sekarang... semua itu diam.

Tak ada lagi suara, tak ada lagi cabang realitas, tak ada lagi penglihatan tentang wujudnya sebagai sang pengamat. Semua itu seolah dibungkus, disegel dalam lapisan sunyi.

Haven menyadarinya. Ia tahu itu bukan kehilangan, tapi penundaan.

Sebuah hukuman lembut, tapi tegas. Ia telah melanggar peringatan All Things—mengakses kekuatannya di tengah narasi manusia, di dalam sistem yang belum ia selesaikan.

Dan sekarang, ia kembali... manusia sepenuhnya.

“...dan dari itu, kita mengenal struktur sihir berdasarkan dualitas akar: sihir bentuk dan sihir niat,” ucap sang guru, lelaki paruh baya bersorban biru tua, yang entah sejak kapan telah menulis rumus di udara.

Haven memandangi tulisan sihir yang mengambang. Tapi di balik matanya, ada sesuatu yang lebih dalam dari itu. Ia tidak hanya melihat huruf-huruf sihir—ia mengerti dasar maknanya.

Namun ia tidak bisa menjangkaunya.

Setiap kali ia mencoba mengulurkan pikirannya untuk memahami lebih, untuk mengakses dasar konsep dari akar dunia... rasa sakit seperti tusukan cahaya menghentikannya. Tubuhnya menggigil, dan ia tahu—ini adalah segel All Things.

“Jangan pernah memanipulasi dasar dunia hanya untuk pelarian,” begitu pesan yang tak pernah ia lupakan.

Pelajaran selesai, para murid mulai keluar dari ruangan besar itu.

Beberapa dari mereka berbisik-bisik lagi. Ada satu suara terdengar jelas:

“Anak dari desa miskin itu... selalu diam, ya? Tapi kenapa auranya terasa... aneh?”

“Mungkin karena dia ikut tes yang misteri api putih itu. Mimpi-mimpi orang gila...”

Haven tak menoleh. Ia berdiri perlahan dan mengemasi peralatan tulis sihirnya.

Namun dalam hatinya, ia tahu. Takdirnya tak bisa dihindari. Jalan menuju identitas aslinya... telah dimulai dari momen ia memilih dilahirkan kembali sebagai manusia.

Ia kini harus menempuh jalur itu. Mempelajari sihir dari awal, memahami sistem dunia sebagai murid biasa, dan tidak lagi bertindak sebagai pengamat atau perombak. Ia bukan lagi entitas bebas. Ia adalah bagian dari cerita yang hidup.

Namun bahkan segel All Things tidak bisa memadamkan intuisinya.

Ia masih bisa merasakan—dalam getaran ruang, dalam irama waktu—bahwa di balik pelajaran-pelajaran sederhana ini, tersembunyi pecahan-pecahan menuju asalnya.

Dan ia akan menyusunnya kembali.

Malam pun datang. Haven duduk sendirian di bawah jendela kamarnya, memandangi langit Retaxis.

“Kalau aku tidak bisa menyentuh struktur realitas seperti dulu... maka aku akan memahaminya dari dunia ini,” bisiknya sendiri.

“Jika aku harus berjalan sebagai manusia... maka aku akan menjadi manusia yang mengingat segalanya.”

Satu bintang jatuh, memotong langit malam. Dan Haven tahu—itu bukan bintang biasa.

Itu adalah isyarat. Bahwa All Things masih memperhatikannya.

Dan perjalanan untuk kembali pada asal dirinya... baru saja dimulai.

Riak Narasi dan Jejak yang Tersegel

Suasana kelas di Akademi Sihir Retaxis kembali sunyi. Cahaya dari jendela besar menyorot lembut ke dalam ruangan, menerpa wajah-wajah siswa yang kini sibuk menyalin materi. Di barisan tengah, Haven duduk dalam diam, namun pikirannya sedang berlayar jauh, menelusuri celah-celah narasi yang semakin retak.

"Kenapa... aku tidak pernah merasa ikut ujian itu?" gumamnya dalam hati. Sorot matanya sedikit terguncang, meski tubuhnya terlihat tenang.

Di sebelahnya, seorang gadis dengan rambut panjang keemasan dan mata berwarna zamrud memperhatikan gerak-gerik Haven. Dia duduk anggun, memancarkan aura lembut tapi berwibawa—tak lain adalah Evelianne Lys Dereth, putri dari keluarga Dereth, salah satu keluarga bangsawan tertinggi di wilayah sihir utara.

“Apakah kamu baik-baik saja, Azren?” tanyanya lirih namun penuh perhatian. Gadis ini, meskipun dibesarkan dalam kemewahan, memiliki pemahaman mendalam tentang filsafat, kesadaran, dan batas-batas antara sihir dan eksistensi.

Haven mengangguk perlahan, namun tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.

Evelianne mendekatkan suaranya, nyaris seperti berbisik, “Kamu tampak seperti seseorang yang tahu lebih dari yang kamu izinkan untuk diketahui. Tapi... entah kenapa, aku juga merasa kamu seperti seseorang yang sedang melupakan siapa dirimu sendiri.”

Haven terdiam. Kalimat itu menusuk seperti gema dari masa lalu yang ia tak bisa gapai.

Sebelum sempat menjawab, seorang siswa dari barisan depan berjalan mendekat. Sosok tinggi, rambut rapi perak, dan mata penuh keangkuhan. Gerrand Valour, putra kedua dari Keluarga Valour, keluarga bangsawan yang haus prestise dan kekuasaan.

“Jadi ini dia, yang katanya 'terpilih' untuk memecahkan misteri api putih itu,” sindir Gerrand, menyilangkan tangan di depan dada. Nada suaranya menebar ejekan.

Haven mengangkat kepala, bingung. “Maaf... kamu bilang apa?”

Gerrand mendecakkan lidah, seolah muak dengan 'kebodohan' yang ditampilkan Haven. “Jangan pura-pura. Semua orang tahu undangan siswa bebas biaya hanya diberikan kepada satu orang. Yang katanya... jika bisa mengungkap api putih dari mimpi penyihir agung pertama. Dan kamu yang mendapatkannya, bukan?”

Evelianne menoleh cepat pada Haven, matanya terbelalak sedikit. Tapi Haven hanya memandang kosong ke arah Gerrand, jelas tak mengerti apa yang sedang dibicarakan.

“Aku bahkan tidak pernah...” gumamnya.

Namun sebelum Gerrand sempat menyelesaikan sindirannya, sesuatu dalam dirinya terlihat... terguncang. Ia diam. Matanya berkedip cepat, seolah sedang berusaha mengingat sesuatu.

“…tunggu, aku…” katanya pelan. “Sebenarnya…”

Kemudian wajahnya berubah. Dalam sekejap, ekspresinya kembali dingin, sombong, dan terputus dari kejadian sebelumnya.

“Ah, bodoh juga aku. Untuk apa repot-repot menjelaskan kepada bocah miskin sepertimu.” Ia tertawa kecil dan membalikkan badan, melangkah pergi tanpa memperpanjang konfrontasi.

Haven tak menjawab. Tapi sorot matanya semakin tenggelam dalam lautan tanda tanya. Ia menoleh ke Evelianne, berharap gadis itu memiliki jawaban.

Namun gadis bangsawan itu hanya menatapnya dalam, lalu berkata dengan tenang, “Apa kamu... baik baik saja, ada apa denganmu?”

Haven tidak menjawab. Di dalam dirinya, gema nasihat dari All Things mulai terdengar kembali—tentang jangan sembarangan memainkan asal usulmu... tentang konsekuensi mengacak narasi… dan tentang kenyataan bahwa ia kini harus menjalani kisah ini sampai selesai.

Dan ia tahu, pelajaran di Akademi Retaxis bukan hanya tentang sihir.

Tapi tentang memahami kenapa ia ada di sini.

Dan misteri api putih—apa itu benar-benar ujian?

Atau hanya jalan menuju kebenaran yang selama ini ingin disembunyikan dari semua makhluk?

Langit di atas menara suci akademi berubah abu-abu. Angin sejuk membawa aroma dupa dari Gereja Tertinggi Cahaya Ketujuh. Tempat yang selama ini hanya dianggap simbol tradisi, kini memanggil Azren. Ia tidak tahu mengapa. Hatinya bergerak lebih dulu daripada pikirannya. Kakinya melangkah tanpa maksud, menuju altar paling dalam.

Ia duduk. Diam. Sunyi.

Ia bukanlah Haven yang dulu, tapi jejak jiwanya belum sepenuhnya terhapus. Di balik wajah barunya, ada gema kehampaan yang tak pernah terjawab.

Dan untuk pertama kalinya—ia berdoa.

Bukan pada All Things.

Bukan pada konsep absolut.

Tapi... kepada sesuatu yang ia bahkan tidak kenal.

“Jika kau bukan narasi... dan bukan juga penjaga narasi…

Tapi kau bisa mendengar suara yang melampaui ingatan,

maka dengarkan aku. Aku tidak meminta kekuatan.

Aku hanya ingin tahu… mengapa aku merasa seperti bukan siapa-siapa, tapi juga segalanya sekaligus?”

Hening.

Lalu sesuatu… menjawab.

“Kau tidak menyebut nama, tapi nadamu membawa kematian dan kelahiran bersamaan.”

Suara itu… bukan gema.

Bukan gema dari dalam dirinya.

Bukan juga suara All Things.

Ini… suara dari entitas lain.

Entitas yang… seperti... lama mencarinya.

Tapi tak satu pun dari mereka sadar siapa yang sedang berbicara dengan siapa.

Azren menjawab lirih:

“Siapa kau... yang bisa menjawab dari tempat yang tidak berada di atas, di bawah, atau di luar?”

“Aku Izreth.”

“Yang mendengar doa-doa yang bahkan tak dikirimkan.”

Hati Azren berguncang.

Nama itu entah kenapa terasa familiar—tapi ia tak tahu dari mana.

Izreth melanjutkan, suaranya berwibawa dan lembut sekaligus kelam:

“Doamu tak mengenal arah. Itu membuatmu... langka.”

“Aku jarang menjawab manusia. Tapi kau... berbeda.”

Azren menggenggam erat tangannya. Seakan sesuatu dalam dirinya bergetar.

“Berbeda bagaimana?”

“Kau membawa bayangan banyak takdir.

Jejak di luar kisah, tapi kau membiarkan dirimu masuk dalamnya.

Kau pernah bebas... tapi kini memilih untuk terikat.

Kau tidak kehilangan kekuatanmu sepenuhnya.

Kau hanya tersegel dari hak untuk menyentuh takdir sesukamu.”

Azren diam.

Kata-kata itu... seakan mencubit sisi batinnya yang paling dalam.

Izreth berkata lagi:

“Jika aku bisa memberimu nasihat, meski aku tak tahu siapa kau sebenarnya,

maka biarkan aku berkata—jangan buru-buru mencari dirimu.

Karena saat kau tahu siapa kau, mungkin yang hilang bukan hanya dirimu…

tapi semua yang pernah kau sentuh.”

Seketika, Azren merasa kesepian—di dalam keramaian.

Tapi juga... terasa dipeluk oleh semesta.

Tak ada perkenalan. Tak ada identitas. Hanya dua sosok dalam ruang tanpa nama.

Satu mencari. Satu tersesat dalam bentuk baru.

Mereka tak tahu bahwa mereka dulu pernah berada dalam satu kisah yang lain.

Dan itu… adalah tragedi paling sunyi.

Doa Azren belum benar-benar selesai.

Namun udara di ruang suci mulai bergetar.

Dinding-dinding tak lagi memantulkan keheningan, melainkan kilatan yang retak seperti cermin dihantam palu tak terlihat.

Izreth terdiam.

Ia masih tersambung dengan doa itu.

Dengan… sosok yang tak ia kenal, tapi entah mengapa, terasa seperti jejak yang pernah ia kejar—bertahun-tahun, lintas kisah, lintas dunia.

Dan lalu—gangguan itu datang.

Azren terhempas dari lututnya yang bersujud.

Matanya kosong.

Tapi tubuhnya tak runtuh.

Dari dalam dirinya, muncul gelombang seperti riak memori yang bukan hanya milik satu jiwa.

Kilatan demi kilatan menyambar benaknya.

Ia melihat dirinya lahir kembali,

menjadi raja bijak,

kemudian pendeta agung di zaman kegelapan,

lalu pencipta algoritma alam,

hingga entitas tanpa bentuk,

lalu bayi... lagi…

dan lagi…

Ia... terlalu banyak menjadi.

“Ini bukan efek dari waktu... ini bukan ilusi.”

gumam Izreth, suaranya tenang tapi matanya mengeras.

“Ini... fragmen narasi yang lepas dari garis lurus.”

Azren kini terhuyung, masih bersujud, namun tubuhnya menyala oleh cahaya putih pekat, bukan cahaya lembut seperti sihir penyembuhan…

melainkan cahaya yang tidak punya asal-usul.

Seketika itu juga—Izreth melihat.

Bukan hanya gangguan itu,

tapi kilasan bentuk-bentuk Azren…

yang tidak satu pun seharusnya diketahui oleh realitas ini.

Sosok dengan mahkota kelam di takhta bintang.

Sosok dengan tangan kosong yang mampu menulis ulang waktu.

Sosok dengan mata tanpa bola mata, hanya cahaya yang menatap balik ke dalam ketiadaan.

Izreth... gentar.

Tapi ia tidak tahu mengapa ia gentar.

Ia tidak tahu siapa sebenarnya yang ia saksikan ini.

Namun, sebelum ia sempat berbicara...

Azren — seolah terlempar dari dirinya sendiri —

berteriak lirih, seperti bayi yang kehilangan suara:

"Siapa aku... siapa aku... siapa aku sekarang?"

Izreth menjawab... bukan sebagai dewa, bukan sebagai penjawab doa... tapi sebagai jiwa yang terluka:

"Jika kau bertanya begitu... mungkin, kau belum siap untuk menjawabnya."

Gangguan itu menghilang tiba-tiba.

Cahaya putih memudar.

Azren jatuh terdiam, matanya kembali gelap.

Keringat membasahi pelipisnya.

Izreth berdiri dalam kehampaan jalinan dimensi yang terhubung—terputus—dan kembali sunyi.

“Aku… seperti mengingat sesuatu.”

gumam Izreth lirih, sendiri.

“Tapi… di mana?”

Tak ada jawaban.

Doa telah usai.