Haven—atau Azren di mata dunia ini—baru saja melewati malam yang berat. Suara-suara bisikan, ujian, dan tekanan dari para bangsawan muda masih melekat di pikirannya. Namun, saat ia tertidur, sesuatu yang lebih dalam dari mimpi menyentuh jiwanya.
Dan ketika ia membuka mata…
Ia bukan berada di asrama akademi.
Ia bukan berada di gerbang ujian.
Ia bahkan belum meninggalkan rumah.
Ia kembali.
Duduk di ranjang jerami sederhana. Di pondok tua tempat ia dilahirkan sebagai Azren, anak dari pendekar dan penyembuh biasa.
Udara pagi masih dingin dan sunyi. Namun, yang paling membuatnya membeku bukan suhu…
melainkan kesadaran bahwa waktu telah mundur.
“Ini… bukan mimpi.”
Napasnya menahan. Ia segera keluar rumah—dan melihat ibunya tengah menumbuk ramuan herbal, dan ayahnya sedang mengasah pedangnya.
Mereka bahkan belum memberikan bekal perpisahan untuk keberangkatannya.
Haven menoleh ke langit—dan di sanalah langit tampak bergelombang.
Seperti layar air yang baru saja terguncang.
“Kisah ini… diubah.”
Suara Tanpa Bentuk
Langit tidak berbicara. Namun sesuatu melampaui langit berbicara padanya.
All Things.
“Kau terlalu cepat melangkah. Kau melampaui batas waktu yang belum dipijak oleh benak para pengamat.”
“Maka kisah ini kuputar ulang. Bukan untuk melemahkanmu… tapi untuk menstabilkan struktur dimensi naratif yang mulai koyak karena kehadiranmu.”
“Inilah kisah yang seharusnya terjadi.”
Haven berdiri diam. Seorang yang biasa mengamati dari luar struktur, kini dipaksa masuk kembali ke dalam cerita seperti manusia biasa. Seperti pion, dalam kisah yang bahkan dulunya ia bisa ubah sesuka hati.
“Mengapa… bahkan aku, bisa dikalahkan oleh kisah?”
All Things menjawab tidak dengan suara, tapi dengan perubahan realitas itu sendiri. Semua yang ia alami sebelumnya, masih ada di ingatannya. Tapi dunia tidak mengingat.
Ia harus mengulang. Namun ia tahu…
ini bukan kelemahan. Ini pengujian.
Monolog Haven (Dalam Hati)
“Jadi ini rasanya menjadi bagian dari cerita yang tak bisa kau ubah…
Apakah ini yang dirasakan setiap jiwa yang pernah kutulis ulang?
Setiap jiwa yang kuselamatkan… atau kuhapus?”
“Jika ini permainan All Things… maka aku akan memainkannya.
Tapi bukan sebagai pion.
Aku adalah catatan yang sadar bahwa ia sedang ditulis."
Haven tidak pernah benar-benar memikirkan konsekuensi dari setiap langkah yang diambil. Sebagai sosok yang lebih dari sekadar manusia, sosok yang telah melewati ruang dan waktu, ia merasa dapat mengendalikan kisahnya. Namun, di balik kemampuan luar biasa itu, ada satu aspek yang terlupakan. Sesuatu yang sangat mendalam, begitu mendalam sehingga kadang-kadang tidak terlihat meskipun ia begitu dekat dengannya.
Haven, atau Azren seperti yang diketahui dunia ini, berdiri di tengah hutan saat angin pagi berbisik. Ia telah kembali ke titik awal—ke masa di mana ia belum berangkat ke akademi sihir Retaxis. Ke masa yang hanya dikenang oleh ingatannya—sebuah waktu yang bahkan kini terasa asing.
Di depan rumah yang sederhana ini, tempat ia dibesarkan, Haven merasakan adanya retakan dalam realitas. Saat ia berusaha menyelami dunia yang baru dan berusaha meninggalkan masa lalunya, realitas ini menolaknya. Ini bukan sekadar perubahan biasa. Tidak ada angin yang memberi petunjuk, tak ada tanda-tanda besar yang muncul di langit. Namun, kesadaran ini datang dengan sebuah kepastian yang sangat berat.
“Aku… membiarkan diriku keluar dari kisahku.”
Pemikirannya melayang, kembali pada momen-momen sebelumnya yang tampaknya biasa.
Saat itu, Haven dengan sengaja membiarkan dirinya muncul kembali dalam bentuk dirinya yang lebih kuat, yang tidak seharusnya ada dalam realitas ini.
Dia mengenakan coat hitam bergaris emas, rambut putih berkilau, dan matanya yang bersinar dengan cahaya.
Wujudnya yang begitu mencolok, begitu berbeda dari yang seharusnya, menarik perhatian. Itu adalah keputusan yang mendalam—dan itu pula yang menjadi akar dari perubahan besar ini.
Haven mengingat kembali malam itu, malam saat ia merasa kepercayaan dirinya berada pada puncak tertinggi. Dalam dirinya ada dorongan untuk memunculkan kekuatan sejati—sesuatu yang hanya ia tunjukkan pada orang yang benar-benar kuat atau pada saat-saat genting. Tanpa pikir panjang, ia membiarkan wujud manusia yang pernah ia kenakan kembali muncul—rambut putih dan mata bercahaya, simbol dari kekuatannya yang terpendam.
Namun, ia baru sadar kini bahwa tindakan itu adalah sebuah kesalahan besar. Bukan hanya bagi dirinya, tapi bagi seluruh dunia yang ada di dalam kisahnya.
Realitas itu menganggap kehadiran dirinya yang begitu kuat sebagai penyimpangan. Ia bukanlah bagian dari narasi yang sudah ditulis. Ia adalah sosok luar biasa yang bukan tempatnya di dunia ini.
Semua yang terjadi tidak lepas dari All Things, yang memandang setiap pergerakan dalam cerita ini dengan begitu teliti. All Things bukan hanya pengamat, tetapi penjaga keseimbangan dunia ini. Bahkan meskipun All Things tidak bisa dipahami oleh pikiran manusia, ia tahu bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan narasi, kisah, dan keberlanjutan dunia ini memiliki aturan yang ketat.
"Haven, kau telah membuka celah yang seharusnya tidak ada. Kau menunjukkan wujud yang bukan milikmu. Itu adalah sebuah ancaman bagi keseluruhan keseimbangan kisah."
All Things mengawasi dengan cermat saat Haven mulai melangkah keluar dari garis naratif yang sudah ditetapkan. Keputusan untuk membiarkan dirinya muncul sebagai sosok yang tidak terbatas—dengan mata bercahaya dan rambut putih—adalah tindakan yang merusak kesatuan narasi. Semua yang ada dalam realitas ini bukanlah tempatnya untuk ditandai oleh sesuatu yang lebih dari sekadar cerita. Realitas dan narasi harus tetap terjaga dalam batas-batas yang jelas.
"Kisah ini telah dijaga dengan baik. Namun, karena keberadaanmu yang berbeda dan tidak terduga, aku terpaksa mengubahnya. Aku harus mengembalikan keseimbangan yang kau ganggu, bukan karena aku ingin menghukummu, tetapi karena kisah ini harus terus berjalan."
Dengan perasaan penuh penyesalan, Haven sadar bahwa apa yang baru saja terjadi adalah akibat dari keputusannya untuk keluar dari jalur narasi yang sudah ditetapkan. All Things tak memberi ampun. Begitu ia menyesatkan diri dari jalan yang benar, realitas itu kembali mundur, bahkan kembali ke titik di mana Haven belum berangkat ke akademi sihir Retaxis.
"Apakah ini... suatu peringatan?"
Haven merasakan waktu seperti memundurkan dirinya. Dalam sekejap, ia kembali ke hari-hari sebelum keberangkatan ke akademi. Segala sesuatu kembali seperti semula.
Tapi kesadaran tetap ada. Waktu memang berputar kembali, namun ingatan akan peristiwa sebelumnya tetap ada dalam benaknya. Realitas ini tidak mengenalinya seperti sosok yang ia pilih—namun ia tahu bahwa semuanya ada karena keputusan yang dibuat oleh dirinya sendiri.
Saat duduk di luar rumah sederhana itu, Haven melihat ke langit, dan sebuah suara tanpa wujud terdengar dalam kesadarannya.
"Kau tidak akan bisa lagi melangkah bebas seperti dulu, Haven. Kisah ini menuntutmu untuk berada dalam jalurnya. Dan jika kau sekali lagi mencoba untuk keluar dari narasi ini, semua akan hilang."
Kesadaran ini datang dengan kejelasan yang luar biasa. Haven sadar bahwa kekuatan yang ia miliki untuk merubah realitas adalah berkah dan sekaligus kutukan. Ia adalah bagian dari kisah yang lebih besar, sebuah kisah yang berusaha dijaga dengan hati-hati.
"Aku harus kembali ke jalan ini. Aku tidak bisa lagi bermain dengan realitas yang sewenang-wenang," pikirnya. "Aku harus menemukan cara untuk tetap menjadi bagian dari kisah ini tanpa merusaknya."
Saat malam tiba dan langit mulai berhiaskan bintang, Haven menatap kembali ke rumahnya. Ibunya sedang memasak di dalam, dan ayahnya sibuk dengan pedangnya. Dunia tampak seperti semula, namun tidak bagi dirinya. Ia tahu bahwa ia telah diperingatkan. Kisahnya, dan dunia ini, lebih besar dari apa yang ia pikirkan.
All Things mengawasi setiap langkahnya. Dan kini, Haven tahu bahwa meskipun ia pernah mengubah kisahnya, ia tidak akan pernah bisa lepas dari peraturan yang ada.
Sang Narasi yang Memilih Terikat
Langit tak bergerak. Waktu terasa mengendap di antara helai angin yang membeku. Semesta menahan napas. Di tempat yang tampak biasa itu—sebuah padang sunyi di pinggiran realitas—Haven duduk sendiri. Atau... setidaknya, tampak sendiri.
Namun, tak ada yang benar-benar sepi di hadapan All Things.
Suara-Nya tak keluar dari udara. Ia tidak terdengar oleh telinga, namun dirasakan oleh jiwa. Suara itu bukan gema, melainkan keberadaan yang menyapa.
All Things:
“Kau bertanya, kenapa dunia ini memundurkanmu? Kenapa realitasmu terulang?”
Haven (diam lama, lalu pelan):
“Karena aku... melangkah terlalu jauh dari naskahnya.”
All Things:
“Bukan terlalu jauh. Tapi terlalu dalam. Kau melubangi kisah yang belum rampung. Dan menghadirkan sesuatu yang belum waktunya hadir.”
Haven mengingatnya. Wujudnya yang asli—bermata cahaya, rambut seputih embun surgawi, dan coat hitam dengan garis emas—telah muncul dalam dunia fana itu. Padahal, narasinya belum sampai pada bagian itu. Ia telah bocor dari luar naskah, masuk tanpa izin penuh.
All Things:
“Aku tidak menghukummu. Aku hanya mengingatkan. Bahwa bahkan entitas sepertimu, yang pernah mengamati naskah-naskah sejak sebelum waktu dan makna lahir... tetaplah makhluk pilihan. Dan setiap pilihan membawa ikatan.”
Haven:
“Dulu aku berada di luar semua kisah. Aku yang menghapus, mengubah, memperbaiki... dan sekarang?”
All Things:
“Sekarang, kau berada di dalamnya. Tidak lagi melampaui, tidak lagi mengawasi. Tapi menjalani. Kau menanggalkan takhta pelampau waktu demi kembali sebagai bayi. Kau memilih dilahirkan… dengan kehendakmu sendiri. Dan itu membuatmu, untuk pertama kalinya... bisa kalah.”
Keheningan kembali. Tapi bukan keheningan yang kosong. Ini adalah keheningan yang membawa makna yang terlalu besar untuk diucapkan.
All Things:
“Namun meskipun kini kau bagian dari naskah, Haven, keberadaanmu tetap tak biasa. Kau bukan tinta biasa. Kau adalah bagian dari pena yang sempat memilih menjadi huruf.”
Haven (dalam hati):
“Lalu... apa yang harus kulakukan? Jika aku tak tahu seperti apa kisah ini?”
All Things:
“Itulah tugasmu sekarang: bukan untuk mengontrol cerita, tapi untuk memahaminya. Menyusurinya. Menyelesaikannya.”
Suara All Things mulai menjauh, bukan menghilang, melainkan melepas. Seperti seorang ayah yang tak lagi membimbing tangan anaknya, tapi tetap berdiri di tepi jalan.
All Things (terakhir):
“Dan ketahuilah, Haven... Tidak akan ada lagi pengulangan. Tidak akan ada dunia yang kembali memundurkanmu. Mulai hari ini, kau harus berjalan ke depan. Dan mencari siapa dirimu—bukan sebagai pengamat, tapi sebagai pejalan yang pernah mengingat langit sebelum kata pertama ditulis.”
—
Haven membuka matanya perlahan. Matahari belum naik. Angin kembali berhembus. Ia kini duduk di kamarnya, sebelum hari keberangkatan ke Akademi.
Semua terasa nyata. Terlalu nyata. Tapi itulah realitas.
Dan ia harus menjalaninya.
Kini, ia bukan lagi hanya pengawas naskah. Ia adalah bagian dari cerita.
Dan inilah pelajaran terdalam dari semua entitas yang pernah melampaui:
“Terkadang, kekuatan terbesar bukanlah mengendalikan kisah,
tetapi bersedia menjadi bagiannya... hingga akhir.”
Langkah Haven menembus senyap pagi menuju gerbang Akademi Sihir Retaxis. Batu-batu di jalur setapak masih basah oleh embun malam. Pohon-pohon tinggi di pinggir jalan seakan berbisik dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh waktu.
Namun tak satu pun bisikan itu menyamai suara yang berbicara dalam dirinya—suara yang tak berasal dari luar, tapi juga bukan dari dalam.
Itulah All Things.
All Things:
“Ketika kau membiarkan wujud terdahulumu hadir, bahkan dalam bayang realitas, kau mengganggu harmoni yang telah disesuaikan.”
“Kau bukan bagian dari narasi… tapi kau memilih menjadi narasi.”
“Karena itu, realitas memanggilku.”
Haven berhenti sejenak di jembatan kecil sebelum gerbang Retaxis. Ia memandangi bayangannya di sungai—tapi yang ia lihat bukan remaja sederhana bernama Azren. Yang terlihat adalah pria dengan rambut putih berkilau, mata bercahaya, dan coat hitam bergaris emas. Sosoknya yang sejati. Sosok yang pernah menggetarkan lapisan narasi.
All Things (dalam kesadarannya):
“Dengar, Haven. Tak semua yang bisa melihat, mampu memahami. Tak semua yang terlahir kembali, sadar akan pilihannya. Tapi kau berbeda—kau memilih untuk tidak lari. Kau memilih untuk merasa, belajar, dan gagal.”
“Kau memilih menjadi manusia.”
Haven menutup matanya sejenak. Ia mengingat ketika dilahirkan dari rahim seorang ibu biasa. Ketika ia belajar mengucapkan kata pertama, memegang pedang kayu, dan tertawa kecil bersama ayahnya.
Itu bukan kepalsuan. Bukan sekadar simulasi. Itu adalah hidup, dan baginya—lebih nyata dari seluruh takhta yang pernah ia miliki sebagai pengamat.
All Things (terakhir):
“Kisah ini tak bisa diulang lagi. Tak akan ada rewind. Narasi ini akan terus berjalan. Dan di dalamnya... kau harus mencari siapa dirimu tanpa melihat ke belakang.”
“Bertumbuh. Gagal. Bangkit. Dan pada akhirnya... pulang.”
Haven membuka matanya kembali. Gerbang Retaxis kini terbuka. Suara langkah kaki para calon siswa bergema. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah maju.
Kini bukan sebagai pengamat, bukan sebagai entitas mutlak.
Tapi sebagai Azren, remaja dari keluarga miskin—yang menyimpan cahaya abadi dalam diamnya.
Narasi baru pun dimulai.
Haven—atau Azren, begitu mereka mengenalnya—berdiri di bawah langit kelabu Retaxis. Dunia seakan tenang, namun di dalam dirinya, sesuatu yang lebih tua dari dunia itu sendiri sedang diam-diam mengamati.
Ia kembali. Namun tidak seperti sebelumnya.
Kali ini, tanpa cela. Tanpa kebocoran.
Wujud lamanya—yang bermata cahaya dan berambut putih—telah ia simpan jauh di dalam lapisan terdalam narasi. Ia membungkusnya dengan kehendak. Bukan karena takut, tapi karena ia memahami.
Dan jauh di atas semua kemungkinan...
All Things berbicara kembali.
Tidak kepada Haven secara langsung. Tapi kepada segala yang memperhatikan.
All Things (dalam ruang sunyi waktu):
"Ia telah memilih."
"Ia bukan lagi pengamat yang berdiri di luar cerita."
"Ia adalah bagian dari cerita itu sekarang... bukan karena kehilangan, tapi karena kesadaran."
"Ketika kekuatan tertinggi memilih untuk tidak digunakan, bukan karena ia lupa, tapi karena ia sedang mempelajari apa yang bahkan kekuatan tidak mampu jelaskan: makna dari hidup sebagai sesuatu yang bisa gagal."
Narasi kini tak bisa diulang lagi.
Haven tidak akan kembali ke titik semula.
Tidak ada ‘ulang’. Tidak ada ‘penghapusan’.
Hanya maju, dan menghadapi.
Di gerbang Akademi Sihir Retaxis, kereta-kereta mewah dari keluarga bangsawan berdatangan. Gemuruh tawa sombong, langkah sepatu kulit mahal, dan bisik-bisik meremehkan mulai terdengar.
Haven turun dari kereta umum. Hanya membawa satu koper tua.
Beberapa anak menatapnya. Lalu terdengar suara lirih, menyindir:
"Lihat... yang dari undangan gratis itu datang."
"Katanya dia dipilih karena mimpi... Hah! Seperti cerita anak kecil."
"Pakaian seperti itu? Tak akan bertahan seminggu di sini."
Haven tidak merespons. Ia hanya berjalan pelan.
Tertunduk sedikit, bukan karena lemah. Tapi karena ia sedang menahan seluruh eksistensinya yang dulu menggetarkan realitas.
Di atas sana, All Things kembali bicara.
"Kau mengerti sekarang, Haven..."
"Dengan setiap hinaan, setiap luka, setiap pengabaian... kau sedang mengikat dirimu lebih dalam pada naskah yang belum selesai."
"Dan hanya jika kau menyelesaikannya..."
"...kau bisa kembali bukan hanya sebagai yang terkuat, tapi sebagai satu-satunya yang benar-benar memahami narasi itu sendiri."
Langit siang memudar dalam bisu. Cahaya matahari yang menembus jendela kaca aula retak menyentuh meja-meja kayu tua, menciptakan bayang-bayang yang bergerak lamban mengikuti waktu.
Di baris paling belakang, di kursi yang tidak pernah dipilih oleh anak-anak bangsawan, duduklah seorang pemuda dengan pakaian usang dan mata tenang. Haven. Atau Azren.
Di depannya, seorang guru dengan jubah tebal tengah menjelaskan sesuatu tentang teori sihir elemental, tentang jalur energi, dan bagaimana mengikat mantra ke dalam bentuk realitas. Kata-katanya bergema di ruangan, namun bagi Haven, suara itu perlahan menjadi dentingan kosong, tertelan oleh pikirannya sendiri.
"Api adalah hasil dari kehendak yang tertuju... Elemen tidak tunduk pada kekuatan, tapi pada makna yang kamu tanamkan..."
Haven menunduk. Tangannya mencengkeram pena yang belum juga bergerak sejak pelajaran dimulai. Tapi pikirannya... bukan di sini. Ia melihat ke papan tulis, namun ia melihat sesuatu yang jauh lebih dalam.
"Makna... ya?"
"Lalu apa makna dari keberadaanku sekarang?"
Di sekelilingnya, murid-murid lain tertawa pelan, saling berbisik, mengangkat tangan dengan percaya diri, menyebut teori-teori yang dihafalkan semalam.
Tapi Haven?
Ia tidak perlu belajar itu. Ia sudah pernah menyentuh dasar segala hal. Ia pernah berbicara dengan elemen sebelum mereka disebut “elemen.” Ia pernah berjalan di antara konsep sebelum semesta punya nama.
Tapi sekarang...
"Aku membiarkan diriku duduk di sini, mendengar ini, seakan aku tidak tahu..."
"...karena mungkin, aku benar-benar tidak tahu apa-apa."
Di langit-langit aula, ukiran-ukiran kuno membentuk simbol sihir yang pernah dipakai oleh pendiri Retaxis—yang ironisnya, nama itu berasal dari bahasa lama yang berarti ‘narasi yang diperbaiki.’ Seperti cermin bagi perjalanan Haven sendiri.
Satu anak di sampingnya menoleh, lalu membisikkan sesuatu.
"Eh, kau ngerti gak? Ini dasar banget lho."
Tawa kecil. Suara melecehkan.
Haven tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Lalu memandang kosong ke depan, seakan ia adalah bayangan dirinya sendiri.
"Dulu aku adalah penghapus, pengamat, bahkan pemberi akhir..."
"Sekarang aku adalah murid yang dicemooh, yang diremehkan..."
"...dan aku memilih ini."
Pikiran Haven bergerak liar. Ia kembali ke kata-kata All Things dalam percakapan malam itu.
“Jika kau ingin tahu narasi yang tak bisa kau tulis... maka masuklah ke dalamnya, tanpa pena, tanpa kuasa.”
“Kau akan tahu, mengapa makna bukan sesuatu yang dicipta, tapi ditemukan.”
Di papan tulis, sang guru menggambar titik putih kecil, mewakili “api asal” dari jalur putih—sebuah fenomena sihir yang belum pernah dipahami. Api itu tidak menyakiti, tidak membakar, tapi membuat siapa pun yang menyentuhnya melihat dirinya sendiri.
"Putih adalah ketiadaan bias... api itu bukan elemen, tapi refleksi."
Dan di sanalah... Haven sadar.
Ujian yang akan datang bukan sekadar tentang sihir.
Ujian Api Putih adalah sesuatu yang bahkan ia tidak sepenuhnya paham... karena api itu bukan tentang menang, tapi tentang terpapar siapa dirimu yang sebenarnya.
Waktu berlalu. Pelajaran hampir selesai. Satu per satu murid mulai menutup buku.
Tapi Haven... ia masih diam. Kepalanya tengadah menatap jendela.
Matanya menangkap bayangan dirinya—di balik kaca—bukan sebagai Azren, tapi sebagai dirinya yang dulu.
"Aku... adalah satu-satunya yang bisa membakar narasi ini dari dalam. Tapi bukan sekarang."
"Sekarang, aku harus membiarkan dunia ini menghakimi diriku. Seperti mereka menghakimi manusia biasa."
Dan di ruang tak terlihat, All Things memandangnya. Suara-Nya menggema dalam kenyataan:
“Kau mulai mengerti, Haven. Jalan menuju keabadian bukan di atas semua cerita... tapi menelusuri cerita itu sampai akhir, dan tetap menjadi dirimu, meski semuanya ingin kau berubah.”
Bel akan berbunyi. Ujian itu mendekat.
Dan Haven... akhirnya mulai menulis ulang narasi ini—bukan dengan pena, tapi dengan diamnya.
Dan dunia pun akan mulai mendengar.