Undangan dari Akademi Sihir Retaxis"
Beberapa hari telah berlalu sejak malam penuh gejolak itu.
Desa kecil tempat Haven tinggal kembali tampak tenang di permukaan,
meski di dalam hati orang-orangnya, ada bisik-bisik heran tentang "anak petualang miskin" yang tumbuh dewasa dalam waktu yang mustahil.
Haven sendiri, yang kini lebih menyerupai pemuda matang daripada remaja, telah menghabiskan waktunya berlatih pedang dengan ayahnya,
dan belajar dasar-dasar sihir penyembuhan dari ibunya.
Namun pagi itu, saat kabut baru saja menipis dan cahaya keemasan menyebar di ladang,
seorang penunggang kuda dengan pakaian megah memasuki desa.
Ia membawa sebuah gulungan bersegel—tertulis dengan tinta emas, dan cap lilin berbentuk api yang berputar.
Semua warga berkerumun.
Penasaran, takut, sekaligus penuh harap.
Sang utusan turun dari kudanya, membuka gulungan di tengah alun-alun kecil, dan membaca dengan suara lantang:
“Atas nama Akademi Sihir Retaxis, satu kesempatan emas diberikan kepada siapa saja yang sanggup menyingkap misteri Api Putih.”
“Penerima undangan istimewa ini akan menjadi siswa penuh—tanpa membayar emas setetes pun—dan akan diberikan akses ke semua ruang rahasia akademi.”
“Syaratnya sederhana: Bawalah jawaban tentang makna dan kebenaran Api Putih. Bukan dugaan, bukan cerita ulang. Tapi kebenaran sejati.”
Suasana desa menjadi sunyi.
Api Putih…?
Itu bukan sekadar cerita rakyat.
Itu adalah legenda agung—sebuah mimpi suci yang mengubah arah dunia sihir ribuan tahun lalu.
Legenda Api Putih
Menurut kisah yang dibacakan ulang oleh para tetua,
ribuan tahun lalu, Penyihir Agung Alvaren, pendiri jalan sihir modern, pernah bermimpi saat tidur di bawah Pohon Bintang:
Dalam mimpinya, Alvaren melihat sosok pria berambut putih keperakan,
dengan mata berkilau seperti dua bintang jatuh.
Pakaiannya adalah coat hitam panjang,
dihiasi garis emas halus yang seolah mengalir sendiri dalam cahaya.
Di sekeliling pria itu, berkobar Api Putih—api yang bukan membakar, tapi membersihkan dan menciptakan dunia baru.
Sebelum Alvaren sempat mendekat, pria itu menghilang,
dan api tersebut perlahan membeku menjadi bintang-bintang kecil,
menyebar ke segala penjuru dimensi.
Tidak ada seorang pun sejak itu yang benar-benar memahami makna mimpi itu.
Semua teori yang diajukan hanyalah tebakan.
Karena itu...
Tantangan Akademi Retaxis ini adalah misi hampir mustahil.
Kembali ke Pondok Haven
Dalian dan Nara tampak khawatir.
Mereka tahu, utusan itu pasti mengundang bahaya,
tapi juga membawa peluang yang tak akan pernah datang dua kali.
Dalian (dengan suara pelan):
“Azren... kau dengar pengumuman itu, kan?”
Haven (mengangguk):
“Iya, Ayah. Tentang Api Putih.”
Nara (menunduk, lalu berkata):
“Kami tidak ingin memaksamu. Tapi jika itu jalanmu... Kami akan mendukungmu.”
Haven tersenyum tipis.
Di dalam dirinya,
di balik dinding kesadarannya sebagai Haven,
roh kuno yang bernama Haven mengingat sesuatu.
Api Putih...
Pria berambut putih...
Coat hitam dengan garis emas...
Itu bukan mimpi.
Itu bukan legenda.
Itu dirinya sendiri.
Namun ia tahu,
jawaban itu tidak bisa begitu saja diungkapkan.
Belum saatnya.
Haven Merenung
Malam itu, di bawah langit berbintang, Haven duduk di atas batu besar di bukit kecil belakang rumah.
Angin malam membawa bau tanah dan embun.
Ia mengepalkan tangannya.
"Akademi Retaxis… Dunia ini perlahan mempermainkanku, ya? Apa kau mengujiku, Zerkus? Atau ini ulahmu, All Things?"
Haven menatap langit.
Di kejauhan, tampak satu bintang jatuh melintas…
seolah menandai awal perjalanan barunya.
Dengan tekad perlahan membara di dadanya,
Haven pun mengambil keputusan:
"Aku akan pergi.
Dan aku akan membawa jawabannya... bahkan bila aku harus mengguncang dunia ini."
Kesadaran dalam Tidur
Di dalam keheningan malam, tubuh Haven terbaring di ranjang lusuh rumah kecil itu. Napasnya tenang, seolah hanyut dalam tidur anak-anak biasa. Namun jauh di dalam kesadarannya yang sejati, ruang hampa tanpa batas terbentang luas, lebih dalam dari sekadar dunia Retaxis, lebih dalam bahkan dari batasan Outverse Izreth.
Dalam kehampaan itu, cahaya tak bernama muncul—tanpa bentuk, tanpa suara, namun Haven segera mengenalinya.
Sebuah senyuman samar muncul di bibir Haven yang sebenarnya dalam kesadarannya.
All Things.
Suara itu tidak berbicara melalui kata, namun melalui gelombang makna yang langsung menembus jiwanya.
"Kau tetap setia menjalankan peranmu, Haven."
"Seperti yang harusnya terjadi," jawab Haven dalam batinnya.
"Aku mengamati, aku menjaga jalannya kisah. Aku tidak mengubah apapun tanpa alasan."
"Bagus," bisik All Things, seolah riang. "Karena Izreth... mulai mengamati kehadiranmu."
Haven diam sejenak. Matanya—di dalam dunia kesadaran itu—berkilat seperti refleksi dua matahari kecil.
"Aku tahu. Izreth merasa sesuatu di luar jangkauannya."
"Dan dia tidak salah. Tapi ia juga belum mengerti..."
"Belum cukup."
Gelombang makna lain mengalir ke Haven. Sebuah kesadaran: bahwa keberadaannya di Retaxis bukanlah sebuah kesalahan, bukan pula gangguan. Ia adalah bagian sah dari alur narasi besar yang telah ditenun oleh All Things dan dirawat olehnya.
"Biarkan Izreth mencari," lanjut All Things. "Biarkan dia bertanya-tanya. Kamu... lanjutkan peranmu."
"Tentu," jawab Haven, suaranya dalam hati terdengar stabil, penuh keyakinan.
Dalam ruang kesadaran itu, Haven kemudian melihat sejenak bayangan Izreth—jauh, jauh di batas dunia, seperti bintang yang mencoba menembus cakrawala yang bukan miliknya.
Haven tersenyum kecil.
Ia sadar, bahwa seberapapun kuat Izreth, tatanan yang diciptakan All Things... bukan sesuatu yang bisa diubah hanya dengan kekuatan.
Ia kemudian membuka mata fisiknya di dunia Retaxis.
Langit sudah mulai memerah. Fajar akan segera tiba.
Haven bangkit perlahan dari ranjangnya. Jiwanya siap untuk melanjutkan kisah ini. Sebuah kisah yang, tanpa diketahui oleh makhluk lain di dunia itu, mengandung makna lebih dalam dari sekadar pertarungan sihir dan pedang.
Perjalanan Menuju Akademi Retaxis
Matahari pagi menembus jendela kecil rumah Haven, menyinari perabotan sederhana dan lantai kayu kasar. Aroma roti hangat memenuhi udara, bercampur bau tanah basah setelah hujan semalam.
Di meja makan, ayah dan ibu Haven duduk saling berhadapan, ekspresi mereka sedikit canggung. Haven, mengenakan pakaian seadanya—kemeja kasar berwarna abu-abu dan celana lusuh—duduk di antara mereka, menatap roti yang sudah mulai dingin.
Suasana sunyi.
Ayahnya, pria bertubuh kekar dengan bekas luka di tangan, akhirnya memecahkan keheningan.
"Kau yakin ingin pergi, Nak?"
Suaranya berat, nyaris bergetar.
Haven mengangguk pelan.
"Aku harus pergi, Ayah. Ini... bagian dari jalanku."
Ibu Haven—perempuan bermata lembut dengan tangan yang penuh bekas kerja keras—meremas jemarinya gugup.
"Kau baru saja... lahir..." katanya, suaranya tercekat.
"Belum genap seminggu, dan sekarang... kau terlihat seperti pemuda berumur delapan belas tahun..."
Haven tersenyum lembut.
"Aku berbeda, Ibu. Tapi hatiku tetap sama. Aku tetap anakmu."
Air mata menggenang di mata ibunya, tapi ia menahan dirinya, mengangguk pelan.
Ayahnya menarik napas dalam-dalam.
"Kalau begitu," katanya seraya bangkit dan mengambil sesuatu dari sudut ruangan, "ini milikmu."
Sebuah pedang pendek tua, dengan sarung kulit yang sudah retak-retak.
"Ini pedang pertamaku," lanjut sang ayah. "Tidak istimewa... tapi ia pernah menyelamatkan nyawaku lebih dari sekali. Sekarang, semoga ia menjaga langkahmu."
Haven menerima pedang itu dengan kedua tangan. Beratnya akrab, seolah benda itu memang sudah seharusnya menjadi miliknya.
"Terima kasih, Ayah. Aku akan menghargainya."
Ibunya kemudian menyerahkan sebuah kantung kecil berisi herba dan gulungan kecil kertas mantra.
"Untuk pertolongan pertama," katanya. "Kau tahu sedikit sihir penyembuhan dariku. Ini akan membantumu."
Haven membungkuk hormat di hadapan mereka berdua.
"Aku akan kembali suatu hari nanti," katanya, suaranya jernih.
"Dan aku akan membawa kisah tentang keberhasilanku."
Ayah dan ibunya hanya mengangguk, terlalu berat untuk berbicara lebih banyak.
Setelah satu pelukan panjang—dan air mata yang tetap jatuh meski berusaha ditahan—Haven melangkah keluar rumah kecil itu, membawa bekal dan harapan keluarganya di pundaknya.
Di Jalan Menuju Akademi Retaxis
Retaxis adalah dunia yang penuh warna dan keajaiban. Sepanjang perjalanan, Haven melewati hutan-hutan lebat yang berkilauan oleh cahaya kristal, desa-desa kecil tempat anak-anak bermain sihir sederhana, dan sungai-sungai jernih yang mengalir deras dari pegunungan bersalju.
Namun hari ini, jalanan ramai oleh pelancong dan calon murid.
Gerobak kayu berlalu lalang, dihiasi bendera kecil bertuliskan lambang Akademi Retaxis—seekor naga putih yang melilit sebatang tongkat sihir.
Suara ramai percakapan memenuhi udara.
"Katanya hanya satu orang yang akan dapat beasiswa itu, ya?"
"Iya! Yang bisa memecahkan misteri 'Api Putih'! Tapi itu... cuma legenda, kan?"
"Mana ada yang bisa memecahkan mimpi penyihir agung!"
Haven hanya mendengarkan dalam diam, langkahnya stabil.
Seorang pemuda bertubuh kurus dan bertelinga runcing—setengah ras peri—menyapanya saat berjalan beriringan.
"Hey, kau juga mau ikut seleksi?"
Haven mengangguk.
"Iya."
Pemuda itu tertawa kecil.
"Semangat, Bro! Namaku Vyn. Asal dari desa Utara, dekat sungai Erel."
"Aku Azren," jawab Haven singkat, tapi ramah.
"Gila, saingannya banyak, ya. Katanya ada yang dari keluarga bangsawan, dari klan penyihir top, bahkan ada putra adipati juga!"
Vyn menghela napas panjang. "Kita kayak rumput di antara bunga emas."
Haven hanya tersenyum samar.
"Rumput tetap bertahan, bahkan saat bunga layu," katanya pelan.
Vyn tertawa keras.
"Hahaha, kata-kata keren! Aku suka itu!"
Gerbang Akademi Retaxis
Sore menjelang ketika akhirnya mereka tiba di depan gerbang besar Akademi Retaxis.
Bangunan itu seperti istana yang diukir dari batu biru mengilap, dengan menara-menara runcing menjulang ke langit. Simbol naga putih diukir megah di gerbang utama, memancarkan sihir pelindung yang bisa terasa bahkan dari kejauhan.
Di depan gerbang, kerumunan calon siswa berkumpul. Mereka mengenakan jubah berwarna-warni, beberapa membawa tongkat sihir, beberapa lainnya pedang tipis bergaya bangsawan.
Seorang pria berumur, berjubah ungu dengan lambang akademi di dadanya, berdiri di atas podium kecil. Suaranya keras dan jernih berkat sihir pengeras suara.
"Selamat datang di Akademi Retaxis, calon penyihir dan ksatria masa depan!" serunya.
"Hari ini, kalian akan mengikuti ujian awal: Tes kemampuan dasar dan Tes Kekuatan Mental."
Bisik-bisik memenuhi udara.
"Kekuatan mental? Maksudnya apa?" bisik Vyn panik.
Haven tetap diam, matanya memandang jauh ke dalam gerbang yang terbuka perlahan.
Di sanalah, di dalam lorong batu yang berkilau oleh sihir kuno, masa depan mereka menunggu.
Dan lebih dari itu—jalan panjang Haven menuju takdirnya, jalan yang bahkan Izreth mulai coba mengintip—telah mulai terbuka.
Awal Jejak di Retaxis — Cahaya yang Belum Terungkap
Langkah kaki Azren bergema di sepanjang lorong panjang akademi.
Dinding batu biru tua berkilauan di bawah lampu kristal yang melayang rendah.
Di punggungnya, ia membawa satu-satunya benda: tas lusuh dari kulit kasar.
Bukan koper emas berukir seperti milik para bangsawan di sekitarnya.
Bisikan-bisikan menusuk mulai terdengar.
"Apa itu? Bawaan dari pasar?"
"Astaga, lihat bajunya. Apa dia datang dari desa miskin?"
Azren tetap berjalan lurus, seolah-olah suara-suara itu hanyalah bayangan.
Di dalam hatinya, Haven yang sejati tersenyum tipis.
"Lucu sekali... manusia mengukur segalanya dari penampilan."
Mereka tiba di sebuah aula megah.
Di sana, para calon siswa dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok mayoritas: Anak-anak bangsawan, yang harus mengikuti tes biasa, seperti ujian sihir dasar, tes ketahanan mental, dan penilaian kecakapan.
Kelompok khusus: Hanya beberapa orang dan— Azren Halvren.
Di depan aula, berdiri tiga penyihir agung mengenakan jubah perak.
Salah satu dari mereka, seorang wanita berambut abu-abu dan bermata tajam, menunjuk Azren.
"Azren Halvren, atas undangan khusus Retaxis, kau akan mengikuti Tes 'Api Putih'.
Sebuah ujian yang tidak pernah diberikan kepada siapa pun dalam seribu tahun terakhir."
Seluruh aula mendadak sunyi.
Semua mata menoleh.
Bisikan makin keras.
"Api Putih? Bukankah itu... misteri tentang api murni?"
"Bagaimana mungkin bocah miskin itu dapat kehormatan itu?"
Beberapa bahkan tertawa sinis.
"Pastilah ada kesalahan dalam sistem undangan akademi."
Azren tetap tenang.
Namun, di dalam hatinya, Haven yang sejati merenung dalam-dalam.
Api Putih...
Api Murni...
Visi masa lalu yang diberikan kepada penyihir agung pertama... tentang sosok pria berambut putih, mata bercahaya, dan jubah hitam bergaris emas...
"Itu... aku."
Bisik Haven, dalam hati.
Bukan karena kesombongan.
Tapi karena ia tahu, benih yang ditanamkan All Things, telah bergerak sejak dari semua kemungkinan kisah.
Sebelum menuju ke lokasi ujian, salah satu anak bangsawan, seorang pemuda berambut merah bernama Lyorn Astrel, dengan sengaja menghalangi jalannya.
Di belakang Lyorn, sekelompok pemuda dan pemudi bergandengan tawa dingin.
"Jadi... kau ini bocah ajaib, ya?"
ucap Lyorn, penuh ejekan.
Azren menatapnya sekilas.
Diam.
Lyorn melangkah lebih dekat.
"Dengar, anak pasar.
Ujian ini bukan untukmu.
Retaxis adalah tempat para keturunan darah mulia.
Bukan untuk kutu jalanan seperti kau."
Tawa kecil meletup dari belakang Lyorn.
Azren hanya menundukkan kepalanya sedikit.
Tanpa berkata apa pun, ia melangkah melewati mereka.
"Dasar pengecut."
Seseorang meludah ke tanah dekat kakinya.
Azren tetap tidak bereaksi.
Namun, di dalam dirinya...
sebuah kekuatan kuno, sesuatu yang lebih dalam dari sihir biasa, perlahan bergetar.
Bukan karena kemarahan.
Melainkan karena panggilan.
Api Putih sedang menunggu.
[LOKASI TES - KUIL API PUTIH]
Lorong panjang lain, kali ini dipenuhi pilar-pilar batu berukir kuno, membawa Azren menuju sebuah kuil tersembunyi di dalam akademi.
Di sanalah, katanya, sekali ribuan tahun lalu, seorang penyihir bermimpi melihat "Api yang tak terbakar," "Cahaya yang tak menghanguskan."
Dan kini, hanya Azren yang dipanggil untuk menghadapinya.
Di depan kuil, berdiri seorang penyihir agung berambut putih, berjubah hitam panjang.
Tatapannya tajam seperti menembus jiwa.
"Sebelum kau masuk," katanya,
"kau harus tahu. Tidak ada yang pernah berhasil melihat Api Putih dengan mata terbuka.
Kau mungkin... hilang."
Azren hanya mengangguk.
Tanpa kata.
Langkahnya maju.
Melewati pintu batu besar.
Ke dalam kuil sunyi itu.
Ujian Api Putih - Panggung di Hadapan Dunia
Suasana aula utama Akademi Retaxis saat itu begitu berat.
Ribuan calon murid berkumpul — mengenakan jubah-jubah mewah, pedang-pedang berukir, dan tongkat sihir berlapis batu permata.
Semua mata penuh keyakinan, penuh harga diri.
Di depan aula itu — terdapat panggung raksasa dari kristal putih.
Di atasnya, sebuah lingkaran sihir berwarna abu-abu melingkar — belum aktif.
"Hari ini,"
kata seorang Master Penyihir di podium,
"kita akan menyaksikan satu tes yang tidak pernah berubah sejak ribuan tahun lalu."
"Tes untuk meraih undangan masuk Akademi secara gratis."
Semua orang menahan napas.
"Kau harus menyalakan kembali Api Putih yang pernah hanya terlihat sekali —
dalam mimpi sang Penyihir Agung pertama, Alvaren."
"Tak ada petunjuk.
Tak ada bantuan.
Hanya dirimu... dan keberanianmu."
Bisik-bisik mulai terdengar.
Semua murid baru berbisik, menunjuk ke arah tertentu — ke arah seorang pemuda berambut hitam, sederhana, mengenakan pakaian kain polos tanpa lambang.
Azren.
"Itu dia..."
"Anak petualang miskin itu, ya?"
"Berani-beraninya ikut pendaftaran gratis..."
"Padahal lihat saja bajunya... seperti kain bekas."
"Dia pikir mimpi jadi penyihir agung itu gratis?"
Tawa kecil, sindiran, ejekan tersembunyi.
Azren — Haven — hanya diam.
Ia menundukkan kepala sedikit, bukan karena malu.
Tapi karena menghemat perasaan.
Ia sudah tahu.
Sudah biasa.
Dalam hatinya, Haven hanya berkata:
"Aku tidak butuh pengakuan mereka.
Aku butuh memahami... mengapa aku masih ada di dunia ini."
Satu per satu peserta dipanggil.
Mereka masuk ke dalam lingkaran sihir.
Mereka mencoba bermeditasi, mengaktifkan sihir... menyalakan "api putih" itu.
Tapi... tak ada satu pun yang berhasil.
Ada yang menangis. Ada yang pingsan.
Ada yang berteriak marah dan keluar dengan emosi terbakar.
Saat itu—
Master Penyihir memandang sejenak daftar nama, lalu menyebut:
"Azren, anak dari keluarga Dalian.
Majulah."
Semua kepala serempak menoleh.
Sebagian mengejek.
Sebagian menatap kasihan.
Sebagian lagi... bahkan tak peduli.
Azren berjalan perlahan.
Satu langkah. Dua langkah.
Kakinya tenang. Napasnya stabil.
Di dalam dirinya — Haven bersinar.
Saat Azren memasuki lingkaran sihir,
cahaya mulai bergerak sendiri.
Lingkaran itu —
yang tadinya abu-abu —
bergetar perlahan, seperti menahan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Master Penyihir mengernyit.
"Aneh... belum ada yang membuat reaksi seperti ini..."
Semua murid pun mulai membisu.
Azren — Haven — memejamkan mata.
Bukan untuk membaca mantra.
Bukan untuk memanggil sihir.
Tapi untuk menyentuh kedalaman jiwanya sendiri.
Dalam kegelapan pikirannya,
muncullah nyala kecil putih.
Sangat kecil.
Seperti titik di antara malam.
Suara familiar menyapa — bukan suara All Things, bukan suara Izreth, bukan suara siapapun.
Tapi suara dirinya sendiri.
"Jadilah terang."
Saat itu —
tangannya perlahan terangkat.
Tak ada mantra.
Tak ada teriakan.
Hanya ketenangan mutlak.
BOOOM.
Lingkaran sihir meledak dalam nyala putih membutakan.
Tapi...
bukan membakar.
Bukan menghancurkan.
Murni.
Bersih.
Tenang.
Nyala putih itu membentuk sosok samar di udara —
seorang pria berjubah hitam berlapis emas, bermata cahaya.
Semua Master Penyihir terdiam.
Para murid membeku.
Semua tahu...
gambar itu persis seperti ramalan kuno sang Penyihir Agung Alvaren.
Api Putih itu... telah bangkit kembali.
Master Penyihir di podium berlutut.
Semua guru dan murid ikut membungkuk — setengah karena takjub, setengah karena takut.
"Selamat..."
"Kau telah membangkitkan... Misteri Nyala Putih."
Suara itu terdengar berat. Hormat.
Azren — Haven — membuka matanya perlahan.
Namun dalam hatinya, ia tahu:
"Ini baru awal."
"Izreth... aku tahu kau melihatku."
"Tapi aku akan berjalan di jalanku sendiri."