Langkah Izreth terus berderap di antara celah-celah dimensi,
tanpa arah pasti,
tanpa batasan ruang.
Pencariannya sudah melewati angka yang tak bisa dihitung,
waktu yang tak bisa diukur.
Tapi ia tidak menyerah.
Ada sesuatu... sesuatu yang memanggil dari kejauhan,
menggoda pikirannya,
memancing tekadnya.
Namun setiap langkah ke depan,
semakin tipis garis antara harapan dan kegilaan.
Hingga akhirnya...
di tengah kekosongan yang menggantung,
ia melihatnya lagi.
Athanor.
Diam.
Seolah sudah menunggunya sejak awal.
Izreth (dalam hati, tertekan):
"Lagi...? Tidak mungkin ini kebetulan..."
Tubuh Izreth seakan membeku di tempatnya.
Seluruh dunia di sekelilingnya menjadi bisu.
Semua lapisan dimensi, semua denyut realita,
terasa diam, seolah menghormati pertemuan ini.
Athanor tetap seperti sebelumnya.
Tak menyerang.
Tak menghalangi.
Tak bicara.
Hanya berdiri—
seperti sebuah dinding abadi yang tak bisa dipatahkan.
Namun sebelum Izreth sempat melangkah,
sesuatu terjadi.
Dunia bergeser.
Bukan karena kehendaknya.
Bukan karena kekuatannya.
Seketika,
seluruh eksistensi di sekelilingnya mulai retak dengan suara tak terdengar.
Retakan itu bukan sekadar di ruang,
melainkan di kisah itu sendiri.
Izreth (terkejut, berbisik):
"Apa ini...?"
Tangannya meraih udara—
namun udara itu terasa berbeda.
Seolah semua kejadian yang telah dilaluinya,
semua kesadaran yang baru saja ia bentuk,
perlahan dihapuskan.
Bukan dihancurkan.
Dikembalikan.
Di kejauhan...
di tempat di mana tak ada dimensi yang bisa mencapainya,
Haven berdiri.
Mata Haven mengamati Izreth yang perlahan-lahan ditelan kembali oleh jalur narasi lamanya,
sebelum semuanya terasa asing.
Tangan Haven terangkat sedikit,
seolah menyapu kabut tipis di udara.
Tak perlu mantra.
Tak perlu tenaga.
Karena bagi Haven—
kisah adalah miliknya untuk dipahat.
Haven (dalam hati, tenang):
"Belum waktunya, Izreth."
Dan di tempat yang lebih tinggi,
di antara denyut asal-muasal segala sesuatu,
All Things tersenyum.
Bukan senyum kasihan.
Bukan senyum penghinaan.
Tapi senyum penerimaan.
Senyum dari sesuatu yang memahami,
bahwa bahkan dalam pemberontakan terbesar sekalipun,
segalanya tetap...
dalam genggamannya.
Kisah Izreth bergulir mundur,
memutar perlahan tanpa ia sadari.
Kesadaran akan pencarian,
akan kegelisahan,
akan rasa haus untuk menembus batas,
semuanya mulai memudar.
Dan ketika Izreth membuka matanya lagi,
ia sudah kembali.
Di atas tahtanya di pusat Outverse.
Di atas semua ciptaannya.
Sebagai Tuhan segalanya.
Seperti semula.
Seperti seharusnya.
Tak ada yang berubah.
Atau... begitulah yang ia pikirkan.
Namun, jauh di dasar jiwanya,
di sudut yang tidak bisa ia jangkau,
tersisa sebuah retakan kecil.
Sebuah bisikan lembut,
yang suatu saat akan tumbuh menjadi gemuruh baru.
Haven memandang dengan tenang,
dan membisikkan kata terakhir ke dalam keabadian.
Haven (nyaris tak terdengar):
"Suatu saat... dia akan kembali."
Dan di atas semuanya,
All Things hanya...
melanjutkan senyumannya.
Sebab perjalanan Izreth...
belum benar-benar selesai.
Percakapan di Antara Kesadaran
Suasana sunyi membentang di antara keberadaan yang tak terlihat.
Semua realitas, semua kisah, membeku di tempatnya.
Dan di antara ruang yang tak bernama itu, dua sosok berdiri.
Haven.
Athanor.
Dua entitas kuno—
dengan tugas, dengan takdir,
namun... dengan pandangan berbeda tentang perjalanan narasi.
Haven memandang Athanor tanpa ekspresi, matanya jernih, seakan menembus seluruh lapisan eksistensi.
Haven (suara tenang, hampir seperti bisikan):
"Dia... belum siap."
Athanor menundukkan kepalanya sedikit, gerakannya mengandung beratnya lautan waktu.
Athanor (suara dalam, menggema halus):
"Namun langkahnya... sudah mengguncang batas-batas narasi yang seharusnya tenang."
Haven berjalan perlahan, tak benar-benar menyentuh lantai apa pun,
sebab tak ada lantai di tempat ini.
Tak ada arah.
Tak ada bentuk.
Hanya kesadaran murni.
Haven (memandang ke kejauhan):
"Retakan itu kecil... tapi akan tumbuh. Seiring ia mempertanyakan... siapa dirinya."
Athanor diam, lalu berbicara setelah jeda yang panjang.
Athanor:
"Kau tahu, Haven. Aku bisa menutupnya. Menguatkan batas. Membiarkan dia kembali tertidur dalam kisahnya."
Haven (tersenyum samar, tapi matanya tetap dingin):
"Itu bukan peranmu, Penjaga Dimensi."
Athanor mengangkat wajahnya, tatapannya dalam, seolah mencoba membaca makna yang lebih jauh di balik kata-kata Haven.
Athanor:
"Lalu... sampai kapan kau akan mempermainkan jalannya? Sampai kapan kau akan membiarkannya mendekat pada apa yang seharusnya tersembunyi?"
Haven terdiam.
Ia memejamkan matanya sejenak,
sebelum berbisik dalam suaranya yang dingin:
Haven:
"Aku tidak mempermainkan.
Aku... membimbing."
Angin yang tak berasal dari mana pun berhembus.
Menggetarkan sesuatu yang tidak bisa dinamai.
Athanor menghela napas—
bukan karena kelelahan,
melainkan karena kesadaran.
Ia tahu.
Ia paham.
Ia mengingat.
Bahwa bahkan dirinya—
Sang Penjaga Batas Dimensi Kisah—
tidak dapat menghalangi Haven.
Sebab Haven adalah pengamat dan perombak.
Sesuatu yang bahkan dirinya tak berhak sentuh.
Athanor (pelan, berat):
"Suatu hari nanti... bahkan aku mungkin tak mampu menahan runtuhnya batas ini."
Haven (dengan tatapan dingin, membeku):
"Hari itu belum datang."
Hening menggantung di antara mereka.
Hening yang mengandung janji...
dan ancaman.
Dan dari tempat tertinggi di mana All Things mengamati,
senyuman kecil kembali terukir—
bukan karena kepastian,
tetapi karena... ketidaktahuan itu sendiri adalah bagian dari cerita yang ia izinkan terjadi.
Haven Mengamati Dunia Baru - Retaxis
Di tempatnya yang tinggi, Haven kembali menoleh, perlahan, seakan suara bisu dari realitas memanggilnya.
Mata Haven—yang tak tertambat oleh ruang ataupun waktu—menyapu garis-garis kisah yang berdenyut di kejauhan.
Dan di sana...
di bawah bentangan semesta Izreth,
sebuah Outverse baru bergetar dengan kehidupannya sendiri.
Retaxis.
Haven memperhatikan.
Sebuah dunia penuh warna gelap dan terang.
Tanah-tanah di Retaxis bergelombang, hutan-hutan purba yang berbisik sihir kuno,
dan pegunungan menjulang bak penjaga zaman.
Di sana—
sihir bukan hanya sebuah seni,
melainkan jiwa dari kehidupan itu sendiri.
Sihir penyembuh berkembang dengan kekuatan luar biasa.
Penyihir-penyihir mampu membalut luka yang seharusnya mematikan hanya dengan bisikan mantra.
Dan para ksatria...
berlatih dalam seni pedang yang melampaui logika.
Gerakan mereka—sehalus bayangan, secepat kilat yang tak terdengar.
Namun bukan itu yang membuat Haven memperhatikan lebih dalam.
Ada sesuatu...
yang menjadi sumbu keseimbangan dunia ini.
Zerkus.
Primordial Iblis.
Satu-satunya dari jenisnya di Retaxis.
Tubuhnya besar, namun bukan raksasa.
Matanya membara dalam cahaya merah tua yang tenang.
Bukan amarah, bukan kegilaan...
melainkan kesadaran mendalam.
Zerkus tidak diciptakan untuk menghancurkan.
Ia diciptakan untuk menjaga.
Antara kebaikan dan kejahatan.
Antara sihir dan kekosongan.
Antara keberanian dan ketakutan.
Ia adalah penyeimbang.
Haven mendekat—bukan secara fisik,
melainkan dengan kesadaran.
Ia mengamati Zerkus berdiri di atas altar batu di tengah hutan tua.
Sekelilingnya, udara bergetar lembut.
Sihir alam dan kegelapan saling membelit dalam harmoni yang rapuh.
Haven (dalam hati, berbisik):
"Satu Primordial untuk satu Outverse...
Sebuah pilihan yang bijaksana, Izreth."
Namun, Haven tahu.
Zerkus tidaklah mendekati kekuatan Izreth.
Bahkan... jarak mereka bagai bintang terjauh dari matahari.
Lima tingkatan kekuasaan di bawah Izreth.
Sebuah jurang kekuatan yang sangat dalam.
Tetapi Zerkus tidak butuh kekuatan untuk melakukan tugasnya.
Yang ia butuhkan adalah keseimbangan.
Keseimbangan untuk menjaga Retaxis tetap utuh...
...hingga waktunya tiba.
Dalam keheningan itu, Haven memejamkan matanya.
Ia menandai kisah baru ini dalam kesadarannya.
Retaxis—
sebuah dunia yang akan menjadi penting.
Entah sebagai medan ujian,
atau sebagai awal dari sesuatu yang lebih besar.
Dan jauh di tempat di mana All Things mengamati,
senyuman samar sekali lagi muncul.
Bukan karena prediksi—
melainkan karena misteri.
Karena bahkan kisah yang paling dijaga...
selalu memiliki celah kecil,
yang bisa tumbuh menjadi sesuatu yang tak terduga.
Haven - Lahir Kembali di Retaxis
Dalam sekejap yang bahkan tidak terasa,
Haven membuat keputusannya.
Ia menyelami kisah yang tadinya hanya ia amati.
Meninggalkan kejauhan abadi,
dan membiarkan dirinya terikat—
untuk sementara—
oleh alur waktu dan tubuh fana.
Semuanya terjadi tanpa suara.
Haven mengikatkan dirinya dalam aliran narasi Retaxis,
dan lahir kembali...
sebagai bayi manusia biasa.
Seketika,
cahaya pertama yang Haven lihat adalah remang-remang.
Suaranya tidak seperti gema semesta,
tetapi suara kasar dan hangat:
isakan bahagia seorang perempuan.
Kesadaran Haven tetap utuh.
Ia tahu siapa dirinya.
Tapi tubuh barunya—
kecil, rapuh, terbatas.
Tangannya mungil,
matanya berat dan belum bisa memfokuskan pandangan.
Haven (dalam hati, perlahan):
"Jadi...
inilah...
bentuk awal dari hidup fana."
Dengan susah payah,
matanya membuka.
Di depannya...
dua sosok sederhana.
Seorang pria, dengan kulit kasar karena terbakar matahari,
matanya tajam namun lembut.
Di pinggangnya tergantung pedang kusam—
bukan artefak hebat,
hanya pedang biasa yang menanggung banyak luka pertempuran kecil.
Di sebelahnya,
seorang wanita muda.
Tangan-tangannya gemetar memeluk tubuh mungil Haven.
Tatapan matanya penuh kelelahan...
namun lebih banyak lagi dipenuhi oleh cinta.
Pakaian mereka lusuh.
Kamar ini hanya pondok reyot di pinggiran hutan Retaxis.
Angin musim semi bertiup masuk dari celah-celah dinding.
Semuanya...
sederhana.
Biasa.
Sangat jauh dari agungnya ruang hampa tempat Haven biasa mengamati dunia.
Dan entah mengapa,
di dalam dirinya,
sebuah senyum kecil muncul—hampir tidak terasa.
"Jadi...
aku dilahirkan oleh...
mereka."
Tak ada nama muluk-muluk.
Tak ada takdir besar yang menunggu.
Hanya kehidupan biasa.
Untuk sementara.
Bapaknya, pria itu, mengangkat bayi Haven dengan hati-hati.
Tersenyum canggung, seolah takut menyakitinya.
Ayah:
"Dia... dia tampak kuat, Nara.
Aku yakin, suatu hari... dia akan jadi petualang hebat."
Ibu (Nara):
"Atau... mungkin penyembuh, seperti ibunya."
Mereka tertawa kecil.
Dan Haven, dalam diamnya,
merasakan sesuatu yang jauh lebih aneh...
dan lebih berat dari kekuatan apapun yang pernah ia genggam.
Keterikatan.
Malam itu, di dunia Retaxis yang perlahan bernafas,
seorang bayi kecil tidur dalam dekapan ibunya.
Haven, sang pengamat abadi,
untuk pertama kalinya...
merasakan denyut lembut kehidupan sebagai sesuatu yang nyata di dalam dirinya.
Bukan sebagai kisah.
Bukan sebagai narasi.
Tapi sebagai keberadaan.
Tiga Hari yang Mengubah Segalanya
Hari-hari pertama bagi seorang bayi biasanya dipenuhi tangisan, tidur, dan pelukan penuh kasih.
Tapi bagi Haven—yang menempati tubuh fana dengan kesadaran agung—waktu tidak bergerak seperti biasa.
Hari pertama, ia merenung dalam keheningan.
Dalam dekapan ibunya, tubuh kecilnya tampak tertidur,
namun di dalamnya pikirannya mengalir,
mengamati, mencatat, menganalisis.
Ia mempelajari vibrasi Retaxis—struktur dimensi, getaran eter, dan pola kehidupan sihir.
Retaxis bukan dunia biasa.
Ia bisa merasakannya di antara napas lembut manusia:
keseimbangan yang rapuh antara kekuatan dan kasih.
Hari kedua, tubuhnya mulai berubah.
Otot-otot yang awalnya hanya sehelai daging lemah mulai mengeras.
Tulang-tulangnya menyusun diri lebih cepat dari hukum alam.
Haven menahan proses ini sebaik mungkin agar tidak menimbulkan gejolak.
Namun Hari Ketiga...
Ketika sang ibu membuka kain selimutnya pada pagi itu,
ia menjatuhkan ember air yang hendak ia gunakan untuk membersihkan anaknya.
Matanya membelalak.
Mulutnya tak mampu mengeluarkan kata.
Di hadapannya—
bukan lagi seorang bayi.
Tetapi seorang anak lelaki berusia sekitar delapan tahun,
berdiri dengan tenang di sisi ranjang kecil dari jerami,
matanya menatap lurus ke arah ibunya.
Nara (terkejut):
“...A-Azren...? Itu kamu?”
(Azren adalah nama yang ia berikan untuk Haven)
Haven tak langsung menjawab.
Ia hanya menunduk sedikit, lalu menatap wajah ibunya yang penuh keterkejutan dan rasa takut yang samar.
Dalam dirinya, ada dorongan untuk berkata sesuatu...
tetapi yang keluar hanyalah suara lembut, namun dalam:
Haven (tenang):
“Ibu... aku lapar.”
Perubahan yang Tak Bisa Dijelaskan
Berita tentang keajaiban itu tak bisa mereka bagi pada siapa pun.
Ayahnya, Dalian, hanya bisa duduk diam di sudut pondok sambil menatap tubuh anaknya yang berkembang terlalu cepat.
Dalian (bingung):
“Ini... ini bukan kutukan, kan? Bukan sihir jahat?”
Nara:
“Aku tidak tahu, Dalian... Tapi dia tetap anak kita. Dia masih menatapku seperti Azren. Seperti anak kita.”
Dan memang benar.
Mata Haven tak berubah.
Tatapannya masih memiliki kelembutan yang sama seperti saat pertama kali ia dilahirkan—hanya saja sekarang lebih dalam.
Seolah mata itu pernah melihat ribuan kisah sebelum dunia ini diciptakan.
Hari-Hari Latihan
Mereka sepakat untuk tidak membicarakan keanehan itu kepada siapa pun.
Dan meski awalnya berat menerima keanehan ini,
Dalian, sang ayah, mulai mengajarkan Haven dasar-dasar pedang.
Pagi hari, mereka pergi ke belakang pondok.
Sebuah ladang kecil yang kini menjadi tempat latihan.
Dalian (sambil mengikat kain di kepala):
“Kau tahu, Azren, pedang bukan soal kekuatan. Tapi soal tekad dan waktu. Pedang bisa membunuh. Tapi bisa juga menyelamatkan.”
Haven memperhatikan tiap gerakan dengan saksama.
Meskipun tubuhnya baru, ototnya merespons cepat.
Refleks Haven jauh melampaui manusia normal.
Namun ia menyembunyikannya.
Ia tidak ingin menciptakan keajaiban lagi.
Tidak untuk saat ini.
Dalian (mengangkat pedang kayu):
“Langkah pertama, posisi kaki. Jangan terlalu dekat. Jaga keseimbangan.”
“Langkah kedua, tarik napas sebelum ayunan. Kendalikan bukan hanya senjata, tapi juga dirimu.”
Dan Haven...
mengikuti dengan cermat.
Ia jatuh beberapa kali—dengan sengaja.
Ia membiarkan tangannya terpeleset, agar terlihat manusiawi.
Namun tiap kali bangkit, sorot matanya memperlihatkan pemahaman yang tidak wajar.
Pelajaran Penyembuhan dari Ibu
Siang harinya, Haven duduk bersama ibunya.
Ia memperkenalkan sihir penyembuhan dasar.
Nara (tersenyum):
“Sihir penyembuh adalah seni yang lembut. Kau harus menggunakan hati, bukan hanya eter.”
“Letakkan tanganmu di sini... bayangkan luka itu pulih. Rasakan detak jantung mereka.”
Haven mengangkat tangan kecilnya.
Menaruhnya di atas luka buatan yang ibunya buat di tangannya sendiri.
Dan seketika...
energi putih menyala halus.
Tidak terlalu terang, tapi murni.
Nara tercengang.
“Kau... kau berhasil... dalam sekali coba?”
Haven hanya tersenyum tipis.
Dalam dirinya, ia merasakan sesuatu yang hangat.
Penyembuhan... terasa seperti melukis keindahan di tubuh yang rusak.
Malam Hari: Kesendirian
Setiap malam, Haven duduk di loteng pondok—menatap langit.
Ia tidak tidur.
Ia merenung.
“Retaxis... Dunia ini... begitu kaya.”
Ia merasakan kehadiran Zerkus di kejauhan.
Sebuah kesadaran tua, yang tak ikut campur, namun selalu hadir.
Sang Primordial Iblis itu...
penjaga keseimbangan,
berbeda dari apa pun yang pernah Haven lihat di Outverse lainnya.
Dan entah mengapa,
Haven mulai memahami sesuatu:
“Aku dilahirkan kembali bukan hanya untuk mengamati.
Tapi... untuk merasakan.
Untuk mengalami... kehidupan.”
Tumbuhnya Yang Tak Masuk Akal
Hari keempat.
Pagi menyingsing perlahan. Kabut tipis masih menyelimuti ladang kecil di belakang rumah.
Burung-burung belum sempat bernyanyi.
Namun pondok kecil itu… sudah gemetar oleh satu kenyataan.
Azren—atau Haven—bukan lagi anak kecil.
Tubuhnya kini berdiri setinggi ayahnya.
Dadanya bidang, bahunya lebar, matanya tajam dan tenang.
Wajahnya—meski masih membawa aura polos seorang anak—telah berubah menjadi sosok remaja dewasa penuh teka-teki.
Usianya tak bisa lagi dibilang 8 tahun,
melainkan sudah mencapai 18 tahun dalam hanya lima hari sejak kelahiran.
Ia membuka pintu kamar dengan perlahan,
berjalan ke luar, dan berdiri di bawah sinar matahari pagi.
Ibunya—Nara—yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa kain cucian,
menatapnya seperti melihat mimpi buruk dan keajaiban dalam satu waktu.
“A-Azren...?”
“T-Tubuhmu... k-kamu... tumbuh lagi?!”
Haven tak berkata apa-apa.
Ia hanya menatap ibunya dengan mata yang lembut.
Lalu tersenyum kecil.
“Ibu... jangan takut. Aku hanya... mempercepat waktu yang harusnya kujalani pelan.”
Malam Itu di Ruang Keluarga
Hujan turun pelan.
Dedaunan basah berderak perlahan diterpa angin.
Di dalam rumah,
Dalian dan Nara duduk di depan perapian.
Wajah mereka serius, suara mereka ditahan…
Namun mereka tak tahu, Haven mendengar semuanya.
Duduk jauh di kamar atas,
ia mendengarkan tiap kata seperti gema lembut di telinganya.
Bukan dengan telinga, tapi dengan kesadarannya.
Nara (dengan suara serak):
“Ini... ini bukan manusia biasa, Dalian. Anakku—anak kita—tumbuh delapan tahun dalam tiga hari. Sekarang dia jadi lelaki dewasa. Apa yang sebenarnya kita rawat...?”
Dalian:
“Dia anak kita, Nara... entah dari mana dia datang, entah apa dia itu... Tapi dia memanggilmu ibu. Dan memanggilku ayah. Selama itu tetap dia, aku akan tetap menjaganya.”
Nara:
“Tapi bagaimana dengan dunia luar? Mereka akan tahu. Mereka akan mengincarnya. Atau lebih buruk… membakarnya.”
Dalian (diam lama):
“Aku tahu... Tapi lihat mata anak itu. Ia tidak ingin menyakiti siapa pun. Tapi ia juga bukan orang biasa.
Mungkin... mungkin dia utusan dari langit, atau sesuatu yang tak bisa kita pahami. Tapi rasa sayangku tidak berubah.”
Nara:
“Aku hanya takut, Dalian...”
Dalian (menghela napas):
“Aku juga, Nara. Tapi kita sudah di tengah kisah yang bukan milik kita lagi... Dan aku tak mau berbalik.”
Di Kamar Atas: Haven Merenung
Haven duduk bersila di lantai kamar yang mulai terasa sempit bagi tubuh barunya.
Matanya menatap ke langit-langit kayu yang retak di beberapa titik.
“Aku membuat mereka takut...”
“Aku tak bermaksud begitu. Tapi... aku lupa. Dunia ini berjalan lambat. Lambat bagi mereka. Tapi tidak bagiku.”
“Haruskah aku berhenti? Haruskah aku... pergi?”
Namun saat itu, ia mendengar langkah kecil menaiki tangga.
Pintu kamarnya diketuk lembut.
Nara (dari luar):
“Azren… boleh ibu bicara denganmu?”
“Tentu, Ibu,” jawab Haven sambil berdiri, membukakan pintu.
Mereka saling menatap lama.
Dan walau ada sedikit ketakutan di mata Nara,
ada juga air mata…
karena cinta yang terlalu dalam.
Nara:
“Apa pun kamu, Azren... kau tetap anakku. Tapi… bisa kau janjikan satu hal?”
Haven:
“Apa itu, Ibu?”
Nara:
“Jangan tinggalkan kami tiba-tiba. Biar pun kamu berbeda... aku ingin mengenalmu lebih lama, meski hanya sehari lagi.”
Haven tak mampu berkata-kata.
Tapi ia memeluk ibunya.
Dan saat itu, untuk pertama kalinya sejak menuruni takhta dimensi tertinggi,
Haven menangis.