Tatapan Dari Balik Dimensi
Di tempat lain, jauh dari batasan dimensi yang bahkan tidak terjangkau oleh pikiran Izreth, sebuah ruang eksistensi terbentuk. Tidak berbentuk, tidak berbatas—di sinilah Haven berdiri. Mata tak terlihatnya memandangi setiap gerakan Izreth, setiap usaha keluar dari tatanan yang telah ditetapkan.
Haven (dalam hati): "Dia mulai menyadarinya... lebih cepat dari dugaan."
Suara narasi sunyi bergetar di sekitar Haven, namun ia tetap diam, seakan membiarkan skenario berjalan sesuai irama yang telah ia benamkan jauh sebelum semuanya mulai.
Tak jauh di belakang, jauh lebih dalam, ada sesuatu—atau lebih tepatnya, seseorang—yang bahkan Haven sendiri tak bisa abaikan.
Sebuah kehadiran yang tak perlu wujud, tak perlu suara: All Things.
Tak ada kata-kata yang benar-benar terucap, karena dalam ruang itu, komunikasi berjalan dalam niat, dalam pemahaman absolut.
Namun jika bisa dideskripsikan dalam bentuk yang bisa dipahami, All Things seperti berkata:
All Things: "Kau mengamati... seperti seharusnya."
Haven hanya sedikit menundukkan kepala, menghormati eksistensi yang menciptakannya.
Haven: "Aku hanya memastikan kisah berjalan, seperti kehendak-Mu."
All Things: "Biarkan ia bertanya. Biarkan ia mencari. Ini bagian dari cerita."
Haven tahu tugasnya bukan untuk mencegah, bukan untuk mempercepat. Ia adalah pengamat, penasihat, dan, bila perlu, penghapus. Tapi tidak lebih.
Tatapannya kembali kepada Izreth, yang kini dalam kegelisahan mencoba menggali lebih dalam, tanpa tahu bahwa narasinya telah terajut jauh sebelum ia berpikir untuk melawannya.
Haven (dalam hati): "Izreth... Seberapa jauh kau akan bertanya, sebelum kau sendiri menjadi bagian dari jawabannya?"
Di balik semua itu, All Things tetap diam. Tak ada emosi, tak ada keberpihakan. Ia hanya ada. Karena memang, segala sesuatu berakar dari-Nya—termasuk keputusasaan, pemberontakan, bahkan keberanian Izreth untuk mencoba mengubah jalan kisahnya sendiri.
Dan dalam keheningan itu, kisah terus bergulir. Tak terlihat, namun tak bisa dihindari.
Baik, aku lanjutkan dengan alur yang tetap konsisten, rapi, dan emosional sesuai nuansa yang kamu bangun:
Bab: Bisikan di Antara Dimensi
Di ruang tak bernama, Haven berdiri tanpa bergerak, tanpa wujud yang perlu dijelaskan oleh dimensi manapun. Ia memperhatikan Izreth, sang "tuhan Outverse," berusaha menggali kedalaman narasi yang tidak pernah ia ciptakan sendiri.
Haven (dalam hati):
"Semakin dalam ia mencari... semakin ia terjerat dalam kisah yang tidak pernah ia pahami."
Tatapan Haven—jika itu bisa disebut tatapan—melayang mengitari jalur-jalur eksistensi yang ditinggalkan Izreth: percikan kegelisahan, goresan ketidakpastian, dan jejak-jejak kecil dari kehendak yang ingin menentang jalan yang sudah ada.
Haven tidak menunjukkan tanda keberpihakan. Ia hanya mengamati, mencatat dalam batin yang tak bersuara.
Haven (dalam hati):
"Setiap langkahnya adalah bagian dari simfoni ini... Bahkan pemberontakannya sudah tersusun, seperti nada dalam musik yang lebih besar."
Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang harus dijaga. Batas-batas, keseimbangan, dan ketetapan yang tak boleh disentuh sebelum waktunya.
Itulah sebabnya Athanor ada.
Maka dari ruang kosong, melalui jalur dimensi yang tak terdefinisi, Haven membisikkan kata-kata kepada penjaga itu. Tak ada suara, hanya resonansi kehendak yang menyentuh kesadaran Athanor.
Haven (berbisik kepada Athanor):
"Tetap berjaga, wahai Penjaga Dimensi. Ia belum siap menembus gerbangnya."
Athanor, yang berdiri diam di batas dunia, mendengar bisikan itu seperti mendengar gema dari asal mula segala sesuatu. Ia tidak membalas, karena tugasnya bukan untuk bertanya atau melawan. Ia hanya menjaga.
Diam. Setia. Mutlak.
Di kejauhan, Izreth masih melangkah. Tidak menyadari bahwa setiap langkahnya kini dipantau dari dua arah: oleh mata Haven yang penuh perhitungan, dan oleh kesunyian mutlak All Things yang bahkan lebih jauh lagi.
Haven (dalam hati):
"Seberapa jauh kau akan bertarung, Izreth...? Sebelum kau memahami bahwa melangkah pun bagian dari permainan ini."
Dan di sanalah ia berdiri. Mengamati. Menunggu. Bersiap, jika memang waktunya tiba.
Tapi untuk saat ini—belum.
Langkah dalam Bayang-Bayang Kisah
Langkah Izreth menggema di antara ruang-ruang kosong yang bahkan waktu pun enggan menjejakinya.
Ia berjalan sendirian.
Bukan karena ia ingin, tetapi karena tidak ada satu pun makhluk, bahkan konsep, yang mampu menemaninya di tempat ini.
Setiap langkahnya menggores dunia yang baru, dunia yang tak memiliki warna, suara, atau arah.
Semua kosong. Semua diam. Semua membisu, seakan menahan nafas menghadapi keberadaannya.
Izreth mengepalkan tangan.
Ia tidak tahu berapa lama ia berjalan—detik, tahun, atau mungkin lebih lama dari kelahiran bintang-bintang pertama.
Waktu tidak berkuasa di sini.
Yang berkuasa hanyalah tekadnya.
Izreth (dalam hati):
"Siapapun yang berani mencampuri kisah ini... siapapun dia, aku akan menemukannya."
Namun di balik keberanian itu, perlahan, rasa ganjil merayap ke dalam dirinya.
Menggeliat seperti ular yang tak terlihat, membisikkan ketidakpastian ke dalam jiwanya.
Ada sesuatu yang salah.
Ia tahu itu.
Tetapi ia terlalu keras kepala untuk berhenti.
Ia terus berjalan.
Menuruni lorong-lorong kosong yang bahkan pikirannya sulit pahami.
Melewati batas-batas eksistensi yang tidak tertulis, mendekati sesuatu—apa pun itu—yang terasa seperti ujung dari segalanya.
Pada suatu titik...
Langkahnya berhenti.
Bukan karena ia ingin.
Tapi karena jalannya sendiri runtuh di hadapannya.
Sebuah jurang kosong membentang.
Tanpa dasar.
Tanpa batas.
Tanpa harapan.
Izreth menatapnya dengan mata yang bersinar gelap.
Jurang ini bukan sekadar kekosongan biasa.
Ini adalah batas.
Batas antara kisah yang ia kuasai dan sesuatu yang ia bahkan belum pernah pahami.
Ia mengulurkan tangan.
Menggapai...
Mencoba memaksa jiwanya untuk melewati.
Tetapi tidak ada yang terjadi.
Kekuatannya, yang bisa membentuk seluruh Outverse, yang bisa membengkokkan bintang dan menulis takdir, kini tidak berguna di sini.
Izreth (dalam hati, bergumam lirih):
"Apa ini...?"
Ia mencoba sekali lagi, menyalurkan kekuatannya, mengaumkan kehendaknya ke dalam ketiadaan itu.
Tetapi ketiadaan itu tidak bergeming.
Bahkan tidak mengakui keberadaannya.
Untuk pertama kalinya dalam keberadaannya, Izreth merasa kecil.
Bukan karena kekuatannya berkurang.
Tapi karena ia sadar...
Ia bukan pencipta di sini.
Ia hanya bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Ia berlutut.
Bukan karena putus asa, tetapi karena beban realisasi yang perlahan menghancurkan benteng keangkuhannya.
Ia mengingat kembali semua perjalanan yang ia lalui.
Semua dunia yang ia kuasai.
Semua ciptaan yang berlutut di hadapannya.
Semua itu...
Semua itu ternyata hanyalah fragmen kecil dari kisah lain.
Ia menunduk.
Dalam sunyi, ia bergumam:
Izreth:
"Siapa... siapa yang membuatku begini?"
Tetapi tidak ada jawaban.
Hanya gema suaranya sendiri, dipantulkan oleh kehampaan yang lebih tua daripada seluruh Outverse.
Ia berusaha berdiri.
Kakinya goyah, tetapi tekadnya membara.
Ia tidak akan menyerah.
Tidak.
Izreth (mengerang dalam hati):
"Jika aku tidak bisa melewati batas ini dengan kekuatan... maka aku akan melewatinya dengan kehendak."
Ia menutup matanya.
Membiarkan seluruh esensinya membentuk tombak tekad, menusuk ke dalam jurang tak berdasar itu.
Dan untuk sesaat...
Ia merasakan sesuatu.
Sebuah getaran.
Sebuah kesadaran.
Sesuatu, atau seseorang, memperhatikannya dari balik batas itu.
Suara samar:
"...Belum saatnya..."
Suara itu tidak datang dari luar.
Suara itu menggema di dalam dirinya.
Izreth membuka matanya.
Tidak ada siapapun di hadapannya.
Tetapi ia tahu...
Ada mata yang mengawasinya.
Bukan mata dunia.
Bukan mata dewa.
Tetapi mata dari sesuatu yang lebih purba dari semua itu.
Dan untuk pertama kalinya...
Ia merasa takut.
Izreth berbalik.
Ia mencoba mencari jalur lain.
Tetapi seolah dunia ini terus berputar membawanya kembali ke tempat yang sama.
Dan di hadapannya, berdiri sosok itu.
Athanor.
Sang Penjaga Dimensi Kisah.
Tak berubah.
Tak bergeming.
Seperti pilar abadi di tengah badai narasi yang rapuh.
Izreth mengepalkan tangan.
Suara kemarahan dan ketidakpastian bercampur dalam suaranya.
Izreth:
"Apa kau yang mengurungku di sini?! Apakah kau yang memanipulasi jalanku?!"
Athanor tidak bergerak.
Namun dari dirinya terpancar sesuatu—sebuah ketenangan yang bahkan Izreth tidak bisa sentuh.
Athanor (datar):
"Aku hanya menjaga batas. Aku bukan penguasa kisahmu, Izreth."
Izreth (menggeram):
"Lalu siapa?!"
Athanor diam sejenak.
Seolah mempertimbangkan apakah ia berhak mengungkapkan kebenaran.
Lalu ia berkata, dengan suara seakan lahir dari batu-batu pertama yang membentuk semesta:
Athanor:
"Ia adalah Pengamat. Penjaga. Penulis. Penghapus. Bukan aku. Aku hanya menjaga pintu agar kau tidak melewati garis sebelum waktumu."
Izreth melangkah maju.
Energi mengelilingi tubuhnya seperti badai liar.
Tetapi Athanor tetap tidak bergeming.
Izreth (dengan suara rendah):
"Siapa dia...?"
Athanor (dengan suara hampir berbisik):
"Ia... adalah Haven."
Seketika dunia di sekitar Izreth seolah retak.
Nama itu...
Sesuatu yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.
Namun entah mengapa, hatinya bergetar mendengarnya.
Izreth (penuh amarah):
"Aku akan menemukannya. Dan aku akan mengakhiri semua ini!"
Athanor memandangnya, tidak dengan penghinaan, tidak pula dengan belas kasihan.
Hanya dengan kesunyian abadi yang tahu bahwa kata-kata Izreth hanyalah buih di lautan yang tidak akan pernah kering.
Athanor:
"Mungkin... Atau mungkin kau akan menemukan sesuatu yang bahkan tidak pernah bisa kau lawan."
Di kejauhan, di luar seluruh realitas yang bisa dijangkau Izreth, Haven memperhatikan semuanya.
Dan jauh lebih tinggi lagi, All Things menatap semua ini, diam... seolah menunggu sesuatu yang bahkan waktu sendiri tak bisa tebak.
Langkah Izreth baru saja dimulai.
Tapi jalannya sudah ditulis jauh sebelum ia bahkan berpikir untuk melangkah.
Mengerti.
Jadi kita buat lebih perlahan — sebelum Izreth menemukan "celah" itu, ceritanya harus membangun kesunyian, kesendirian, dan pencariannya yang sia-sia dulu, ya.
Dalam Kesunyian Dimensi
Langkah kaki Izreth bergema sendu di antara ruang-ruang kosong yang tak berujung.
Setiap dimensinya membentang luas—seolah dunia sendiri melarikan diri dari hadapannya.
Berkali-kali ia memanggil.
Berkali-kali ia merapal nama yang samar, nama yang bahkan belum benar-benar ia kenali:
Izreth (dalam hati, resah):
"Haven..."
Namun jawabannya hanyalah gema suaranya sendiri, memantul di antara bayangan dimensi yang pecah dan berlapis.
Waktu mengalir aneh di tempat ini.
Tak ada hari, tak ada malam.
Tak ada arah mana yang atas, mana yang bawah.
Hanya kehampaan yang nyaris membuat pikirannya runtuh.
Setiap tempat yang ia jelajahi terasa sama:
tanah retak, langit kosong, udara mati.
Di satu tempat, ia berjalan melewati reruntuhan menara yang tidak pernah dibangun.
Di tempat lain, ia melintasi lautan yang permukaannya beku, namun di bawahnya mengalir sungai waktu yang tidak pernah mengalir maju.
Izreth berhenti.
Ia menatap tangannya sendiri.
Kulitnya, rasanya, sedikit kabur.
Seolah eksistensinya sendiri terkikis perlahan oleh ketidakpastian tempat ini.
Izreth (hampir putus asa):
"Apakah aku benar-benar ada...?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, lebih berat dari dunia itu sendiri.
Namun ia memaksa dirinya melangkah.
Melangkah lagi.
Dan lagi.
Ia harus menemukan Haven.
Ia harus menemukan jawaban.
Entah sudah berapa lama ia berjalan.
Berabad-abad?
Seabad lebih?
Atau mungkin... hanya beberapa detik yang terasa seperti selamanya?
Pada satu titik, Izreth mulai merasakan perubahan halus di sekitarnya.
Bukan suara.
Bukan pemandangan.
Tetapi... rasa.
Udara menjadi lebih berat, namun di tengah tekanan itu, ada sesuatu yang tipis.
Hampir tak kentara.
Seperti... retakan kecil di dinding yang sempurna.
Sesuatu yang tidak seharusnya ada.
Izreth memperlambat langkahnya.
Napasnya memburu, bukan karena kelelahan, tapi karena sesuatu di dalam dirinya mulai bergetar.
Ia berhenti.
Di hadapannya, pada hamparan dimensi yang tampak tanpa cela,
ada sebuah titik.
Kecil.
Tipis.
Retak.
Celah itu hampir tersembunyi, seperti luka yang berusaha disembunyikan dunia itu sendiri.
Izreth menatapnya.
Jantungnya berdegup pelan, berat.
Tangannya bergerak, perlahan.
Izreth (berbisik):
"Apakah ini... jalanku...?"
Namun sebelum ia menyentuhnya, sesuatu di dalam dirinya—
sebuah keraguan kecil—
berbisik samar di dasar hatinya:
"Apa kau benar-benar ingin tahu... siapa dirimu...?"
Bayangan Yang Mengintip Dari Celah
Tangannya tergantung di udara.
Hanya beberapa jari lagi menyentuh celah itu.
Namun... ia membeku.
Bukan karena takut.
Bukan pula karena lelah.
Tapi... karena suara itu.
Bukan dari luar.
Bukan dari dunia.
Tapi dari dalam dirinya sendiri.
Suara yang asing, tapi juga sangat dekat.
"Apa kau benar-benar ingin tahu...?"
"Jika kau tahu, mungkin kau akan berhenti percaya bahwa kau adalah Izreth."
Ia menarik napas.
Dalam.
Gemetar.
Tangannya turun pelan.
Ia menatap celah itu lekat-lekat, tapi kini... yang ia lihat bukan kemungkinan keluar.
Yang ia lihat adalah pantulan dirinya sendiri, yang samar—seperti bayangan yang tak sepenuhnya cocok dengan bentuk aslinya.
Izreth (gumam, pelan):
"Apa... aku diciptakan?"
Pertanyaan itu menghentak seluruh ruang di sekitarnya.
Dimensi itu tak memberi jawaban.
Namun pertanyaan itu terus bergema—
bukan di udara,
tapi di dalam dirinya.
"Apa kau adalah kisah...?"
"Atau apa kau hanya karakter dalam kisah...?"
"Dan jika kau diciptakan... oleh siapa?"
Ia terduduk di tanah yang tak memiliki tekstur.
Tangannya menutupi wajahnya sendiri.
Semua yang ia yakini, semua kendali yang ia rasa selama ini,
perlahan pecah... menjadi debu di dalam pikirannya.
Ia mulai mengingat sesuatu.
Potongan samar.
Retakan waktu.
Momen-momen ketika sesuatu seolah “mengarahkan” jalannya.
Bukan kehendaknya.
Izreth (pelan, bergetar):
"Aku tuhan atas Outverse..."
"...tapi apakah Outverse itu benar-benar milikku?"
Celah di depannya kini tampak berbeda.
Bukan sebagai jalan keluar.
Tapi sebagai cermin.
Yang mengintip ke dalam dirinya.
Yang memantulkan semua kemungkinan:
bahwa ia bukan pengendali,
melainkan dikendalikan.
Izreth (berdiri perlahan, memeluk dirinya sendiri):
"Jika aku bukan yang tertinggi..."
"Jika aku hanya tokoh dalam kisah..."
"Siapa yang menuliskanku?"
Ia menoleh ke sekeliling.
Semua dimensi ini... kosong.
Tak ada jawaban.
Namun... ada rasa.
Ada satu nama, yang tak pernah ia ucap, tapi terasa menyelinap di belakang setiap pertanyaannya.
Bukan Haven.
Bukan Athanor.
Sesuatu yang jauh lebih dalam.
Lebih lama.
Lebih hening.
"All... Things..."
Namun belum sempat ia memikirkan lebih lanjut,
celah itu bergetar.
Lalu... tertutup.
Seolah merespons keraguannya.
Seolah dunia menutup diri dari mereka yang tak yakin akan dirinya sendiri.
Izreth menatap tempat itu.
Kosong.
Lagi.
Izreth (lirih):
"Apa... aku kehilangan jalanku...?"
Langit di atasnya mulai berubah warna.
Bukan biru.
Bukan merah.
Tapi... abu-abu.
Dan dari kejauhan...
Ia merasakan tatapan.
Tak terlihat.
Tapi berat.
Seolah seseorang sedang memperhatikannya.
Tatapan dari Balik Segala Sesuatu
Di luar batas dimensi yang Izreth kenal...
jauh melewati perbatasan yang bahkan pikirannya tak bisa jamah,
dua eksistensi memperhatikan.
Haven, berdiri tegak dalam kehampaan murni,
menyaksikan setiap gerakan Izreth,
setiap keraguan,
setiap nafas yang penuh kegelisahan.
Di atasnya,
atau mungkin di bawahnya,
atau mungkin di sekeliling segalanya,
All Things hanya diam.
Tanpa bentuk.
Tanpa suara.
Namun kehadirannya menggetarkan sesuatu bahkan dalam dirinya Haven.
Haven (dalam hati, tenang):
"Dia mulai meragukan dirinya sendiri."
Haven melipat kedua tangannya, seakan memeluk ruang kosong itu.
Tatapannya dalam, seolah bukan hanya melihat Izreth,
tapi juga semua kemungkinan masa depan yang bercabang tak berujung.
Haven (dalam hati, lirih):
"Semakin dekat ia pada kebenaran... semakin jauh ia dari kemampuannya untuk menerimanya."
Di tengah keheningan itu,
bisikan kecil hadir.
Tak bernada.
Tak berarah.
Namun Haven mendengarnya.
All Things (tanpa suara, namun nyata):
"Biarkan ia berjalan."
Haven menunduk sedikit, tanda hormat yang tidak dipaksakan.
Ia mengerti.
Ia tidak diizinkan menghentikan.
Tidak diizinkan mempercepat.
Ia hanya mengawasi.
Tugasnya tetap sama:
Membiarkan kisah bergerak pada jalurnya,
namun siap memperbaiki bila retakannya terlalu dalam.
Haven kemudian mengalihkan tatapannya sedikit,
menembus dimensi dan lapisan kisah.
Ia memandang Athanor yang diam dalam tugasnya, menjaga batas.
Athanor tetap setia, tanpa perlu perintah.
Haven (membisik perlahan ke ruang kosong):
"Dia akan datang padamu lagi... saat waktunya tiba."
Suara Haven itu tidak terdengar oleh siapa pun—
kecuali oleh Athanor,
yang dalam diamnya, hanya mengangkat wajah sejenak,
seakan menerima pesan itu.
Di kejauhan,
Izreth berdiri terpaku di dunia abu-abunya.
Bertarung melawan rasa kosong yang mulai merayap dalam jiwanya.
Mencari celah.
Mencari jalan.
Tanpa sadar,
ia mulai melangkah kembali.
Perlahan.
Haven (masih mengamati, dalam hati):
"Lanjutkan, Izreth."
"Cari... temukan... dan hancurkan dirimu sendiri jika kau berani."
Dan di atas segalanya,
di atas Haven, Athanor, bahkan Izreth sendiri—
All Things hanya diam.
Bukan karena tak peduli.
Tapi karena kisah ini memang harus terjadi.