Bab 8: Cahaya dalam Kendali

Gemuruh hujan menghantam atap logam bunker, mengisi ruangan dengan irama tenang yang kontras dengan kekacauan dunia di luar. Di dalam ruangan sempit itu, hanya ada cahaya redup dari lampu gantung tua yang bergoyang pelan.

Isal berdiri di tengah ruang latihan, tubuhnya masih dibalut perban tipis. Matanya tajam, fokus pada target logam yang terpasang di ujung ruangan. Tangan kirinya menggenggam pistol hitam buatan Lumi—senjata khusus yang ia sebut Virestra. Di dalamnya, Volt Anima milik Isal dialirkan, ditranslasikan menjadi tembakan yang lebih stabil, tidak meledak seperti sebelumnya.

“Fokus pada napasmu. Volt Anima-mu merespons emosi, bukan sekadar keinginan,” suara Lumi terdengar tegas namun tenang dari sisi ruangan.

Isal mengangguk. Ia menarik napas dalam-dalam… dan menembak.

Cahaya biru pekat meledak keluar dari moncong pistol, menghantam pusat target dengan presisi. Tak ada ledakan besar, hanya loncatan listrik yang melingkar elegan di sekitar logam.

Lumi mengangguk puas.

“Lebih baik. Tapi kau masih menahan rasa takut itu.”

Isal menunduk, menggenggam pistol lebih erat.

“Aku… hanya tak ingin mengulang apa yang terjadi di reruntuhan itu.”

Diam sejenak.

“Ledakan itu masih terasa dalam kepalaku. Tapi…” Ia menatap Lumi. “Kau tetap di sana. Kau tak meninggalkanku. Padahal aku sempat meragukanmu dan bahkan mulai membencimu”

---

Lumi berjalan perlahan mendekat, rambut hitamnya sedikit basah oleh embun yang masuk dari ventilasi atas. Ia berdiri di depan Isal, menatap langsung ke matanya yang masih menyimpan ketakutan yang belum padam.

“Aku memilihmu bukan karena kau kuat, Isal,” ucap Lumi lembut, namun mantap. “Tapi karena kau bertahan. Bahkan saat semua menolakmu.”

Isal diam. Kata-kata itu seperti menembus pertahanan yang ia bangun sejak kecil. Ia memalingkan wajah, tapi Lumi melanjutkan.

“Kau pernah bertanya, kenapa aku menyelamatkanmu di jalanan waktu itu… Kenapa aku tak memilih orang lain dari puluhan kandidat Fraksi Freedom.” Lumi duduk di bangku kayu usang di dekat dinding, suara hujan masih mengalun seperti pengiring cerita.

“Karena saat semua orang melihatmu sebagai sampah… aku melihat percikan.”

Isal menunduk. Tangannya menggenggam pistol Virestra lebih erat, tapi kali ini bukan karena takut. Dadanya terasa panas—bukan dari Volt Anima, tapi dari sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang telah lama terkubur: pengakuan.

“Aku masih belum sepenuhnya yakin… tentang siapa diriku, atau untuk apa kekuatan ini,” gumamnya. “Tapi kalau aku bisa mengendalikannya, kalau aku bisa membantu…”

Lumi tersenyum kecil. “Kau tak harus langsung menemukan jawabannya. Tapi kau bisa memilih arahmu.”

Ia berdiri kembali, berjalan ke arah dinding tempat terminal kontrol tersembunyi. Ia menekan beberapa tombol, dan bagian lantai terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan pelatihan bawah tanah. Jauh lebih luas, dengan lapisan pelindung dan medan simulasi.

“Latihan berikutnya akan lebih berat. Volt Anima-mu bereaksi sangat cepat terhadap stres emosional. Kita harus latih itu, atau kau bisa kehilangan kendali lagi.”

Isal berdiri. Ia menatap ruangan itu, lalu menoleh pada Lumi. “Aku siap.”

Lumi menoleh sejenak dan berkata pelan, “Baiklah. Tapi kali ini, bukan sebagai anak buah, bukan sebagai boneka. Tapi sebagai seseorang yang berdiri di sampingku.”

Isal mengangguk. Meski luka trauma itu belum sepenuhnya sembuh, ada pijakan kecil yang mulai terbentuk di bawah langkahnya.

Dan untuk pertama kalinya sejak ledakan itu… Isal merasa tidak sendirian.

---

Masih di ruang pelatihan bawah tanah, beberapa menit kemudian...

Isal berdiri di tengah lingkaran pelindung, dikelilingi oleh lapisan medan energi transparan. Sensor di dinding menyala, menyesuaikan suhu dan tekanan ruangan. Di tangan kanannya, sebuah pistol berwarna hitam perak—pemberian Lumi—bergetar pelan saat dialiri Volt Anima.

Lumi berbicara dari balik bilik pengawas. Suaranya terdengar di pengeras:

> “Simulasi akan menyesuaikan emosi dan trauma terdalammu. Fokuslah. Kalau terlalu berat, kau bisa hentikan.”

Isal menelan ludah. “Tidak… aku ingin tahu batasku.”

Layar holografik menyala. Ruangan di sekelilingnya berubah.

Sekejap, ia berdiri di sebuah gang sempit, tempat yang dikenalnya terlalu baik—jalanan belakang kota Noru. Suara tawa anak-anak sekolah menggema, diiringi teriakan cemoohan.

> “Lihat si aneh itu! Mata dia kayak monster!”

> “Ga ada yang mau temenan sama lo, Isal. Bahkan orang tua lo buang lo!”

Simulasi begitu nyata hingga napas Isal tercekat. Tangan kirinya gemetar. Volt Anima-nya menyala liar, memantul di dinding holografik.

> “Fokus, Isal. Itu masa lalumu. Kau bukan anak itu lagi,” ucap Lumi melalui interkom, tenang namun tegas.

Isal mengangkat pistolnya. Tapi tangan itu bergetar. Volt Anima dalam pistolnya menyala terlalu terang.

> “Kau cuma beban.”

> “Harusnya lo gak dilahirkan.”

Kata-kata itu menghantamnya seperti pisau.

> “ISAL!” Suara Lumi memotong ledakan emosinya. “Kau punya pilihan sekarang. Mau tetap dikendalikan masa lalu… atau kau kendalikan Volt Anima-mu dan maju?”

Tubuh Isal mulai terangkat sedikit—Volt Anima meledak keluar dari tubuhnya, listrik biru menari liar, menyambar ke segala arah.

Namun kali ini… Isal menutup matanya.

Ia menarik napas dalam, membayangkan suara Lumi, wajahnya saat tersenyum… dan saat memungutnya dari jalanan dua minggu yang lalu.

Dengan satu tarikan pelatuk—DOOOM!

Pistol itu menyalurkan Volt Anima ke depan, tapi tidak meledak liar. Gelombang energi menghantam simulasi di depannya, menghancurkan proyeksi trauma masa kecilnya hingga lenyap dalam cahaya biru.

Isal terhuyung, tapi masih berdiri.

Volt Anima-nya kini menyala stabil di punggung tangannya. Tenang. Terkendali.

Di ruang kontrol, Lumi tersenyum tipis, untuk pertama kalinya sejak malam ledakan.

> “Selamat datang… Isal yang baru.”

---

Beberapa jam kemudian – di kamar kecil dalam bunker, malam hari.

Rintik hujan masih terdengar dari atas permukaan. Bunker itu tenang, hanya cahaya lampu redup menyoroti dinding logam dan tempat tidur kecil tempat Isal duduk. Tubuhnya masih terasa pegal, tapi Volt Anima di lengannya kini hanya berdenyut lembut. Tidak mengamuk. Tidak membara.

Ia memandangi pistol yang diletakkan di atas meja kecil. Bukan sekadar senjata… tapi kunci yang membantunya memahami dirinya sendiri.

Isal memejamkan mata, membiarkan gemuruh hujan jadi latar suara pikirannya. Ingatannya melayang pada Lumi—tatapan matanya, cara ia berbicara tanpa pernah memaksa, tapi selalu membuatnya berpikir.

> “Kalau aku melihatmu sebagai boneka, aku tidak akan menyelamatkanmu malam itu.”

Kalimat itu terus terngiang. Mungkin ia belum sepenuhnya percaya. Mungkin traumanya belum benar-benar hilang. Tapi untuk pertama kalinya sejak ledakan itu… ada celah, kecil tapi nyata, tempat cahaya bisa masuk.

Ia berbaring pelan, menatap langit-langit logam yang dingin, dan membiarkan pikirannya melayang.