Hujan deras menabur bunyi di atas atap logam bunker. Setiap tetesnya seperti mengetuk-ngetuk langit, memecah keheningan malam yang beku. Cahaya temaram dari lampu gantung berkedip sesekali, menyinari dinding besi tua yang dipenuhi peta, kabel, dan peralatan medis darurat.
Isal duduk di atas ranjang sempit, punggungnya bersandar pada dinding. Rambutnya masih basah, tubuhnya dibalut jaket longgar pemberian Lumi. Di tangan kirinya, sarung tangan isolator menutupi lengan tempat Volt Anima bersarang—masih menyala lembut, tapi tenang.
Lumi berdiri tak jauh darinya, menatap layar holografik yang menampilkan rekaman ulang ledakan di stasiun penelitian. Ia tampak tenang seperti biasa, tapi matanya menyiratkan lebih dari sekadar analisis: ada harapan… dan kekhawatiran.
“Sudah dua hari sejak kejadian itu,” ucap Lumi pelan, memecah keheningan. “Tubuhmu seharusnya belum siap menerima resonansi langsung dengan Gaia Core.”
Isal tidak menjawab. Matanya tertuju pada tangan kirinya yang kini terasa asing, seperti bukan miliknya.
“Kau pasti bertanya-tanya… kenapa aku memilihmu dari semua orang,” lanjut Lumi, mendekat.
Isal mengangkat kepalanya perlahan.
“Karena aku bisa menyatu dengan Gaia Core?” tanyanya getir. “Karena aku alat yang bisa kau bentuk?”
Lumi menatapnya lurus, lalu duduk di kursi seberang ranjang. Ia menghela napas.
“Karena kau adalah satu-satunya yang tidak mencoba menguasai kekuatan itu,” jawabnya. “Kau mendekatinya bukan dengan ambisi… tapi dengan rasa takut. Dan justru karena itu, Gaia Core bereaksi padamu.”
Isal tercenung. Di luar, petir menyambar jauh di kejauhan, menggema di dalam bunker.
“Dunia ini telah penuh orang yang ingin mengendalikan sesuatu yang tidak mereka pahami,” lanjut Lumi. “Ada yang ingin memusnahkan sistem. Ada juga yang ingin menyelamatkannya. Tapi kau…”
Lumi berdiri perlahan, berjalan ke rak dan mengambil sebuah file usang bertuliskan Proyek Volt Anima: Subjek Tipe-Beta.
“…kau hanya ingin bertahan hidup.”
Ia melemparkan file itu ke ranjang. Isal membuka perlahan. Di dalamnya, foto dirinya—masih kecil, kurus, penuh luka. Bersama catatan medis dari eksperimen lama yang melibatkan Gaia Core.
“Ini… dari masa laluku?” suara Isal bergetar.
Lumi mengangguk. “Mereka menanamkan bibit Volt Anima ke tubuhmu saat kau masih bocah jalanan. Tapi karena sistem tubuhmu unik, tidak pernah ada hasil yang stabil… hingga kini.”
Isal meremas file itu. Tangan kirinya bergetar, Volt Anima di bawah kulit menyala samar.
“Aku bukan siapa-siapa, Lumi,” katanya lirih. “Kenapa kau tetap memilihku?”
Lumi mendekat, lalu meletakkan telapak tangannya di atas kepala Isal. Lembut, hangat.
“Karena kau tidak butuh alasan untuk menjadi penting. Kadang dunia hanya butuh seseorang… yang cukup gila untuk bertahan saat semuanya runtuh.”
Isal menunduk. Untuk pertama kalinya sejak ledakan, matanya meneteskan air. Bukan karena sakit… tapi karena ia merasa hidup.
---
Hujan di luar makin deras, seolah langit pun ikut menangis bersamanya. Isal menyeka matanya cepat-cepat, malu jika tangisnya terlihat seperti kelemahan. Tapi Lumi tidak menertawakannya. Tidak memandangnya rendah. Ia hanya diam di sana, seperti sosok yang selalu ada—bukan untuk menuntun, tapi untuk memastikan Isal tidak berjalan sendirian.
“Mulai besok…” ucap Lumi, berdiri dan membuka laci besi di sudut ruangan. “Kita akan mulai pelatihanmu. Tapi tidak seperti sebelumnya.”
Dari dalam laci, ia mengeluarkan sebuah pistol pendek berlapis logam hitam, dengan selongsong energi di bagian tengah yang bersinar biru redup.
“Apa itu?” tanya Isal, suara seraknya masih bergetar.
“Volt Regulator,” jawab Lumi. “Senjata ini akan membantumu menyalurkan Volt Anima tanpa menghancurkan tubuhmu sendiri.”
Isal menatap senjata itu lama. Untuk pertama kalinya, kekuatannya tidak terasa seperti kutukan. Tapi sesuatu… yang bisa ia kendalikan.
---