Ledakan itu masih membekas di langit malam. Cahaya oranye dan ungu menyala dari reruntuhan stasiun penelitian, seperti luka menganga di tengah kegelapan. Sisa-sisa puing jatuh perlahan, disertai desisan energi dari Gaia Core yang mulai mereda.
Lumi berdiri di tepi kawah besar, rambut panjangnya yang berwarna kelam melambai diterpa angin panas. Di sampingnya, tubuh Isal tergeletak, setengah sadar. Darah menetes dari pelipisnya, dan matanya—terutama yang kiri—bergetar tak stabil, seperti menahan sesuatu yang terlalu besar untuk dirinya sendiri.
Volt Anima-nya menyala redup. Tapi berdenyut tak beraturan. Seolah tak bisa membedakan perintah dari kegilaan.
“Isal… bisa dengar aku?”
Lumi berlutut, mencoba menyentuh pundaknya. Tapi tangan Isal menepis lemah.
“Aku tak ingin disentuh…” bisiknya. Napasnya berat. Matanya masih terpaku pada langit yang retak karena ledakan.
Lumi terdiam, tak tersinggung. Ia tahu luka itu bukan hanya fisik.
Isal perlahan duduk. Tubuhnya gemetar.
“Dulu aku mempercayaimu… karena kau memberi harapan padaku,” ucapnya lirih, seperti memuntahkan isi hatinya. “Dan sekarang aku harus mengalami kejadian ini karena aku mengikuti usulanmu… untuk bergabung ke Fraksi Freedom.”
“Isal…” suara Lumi melunak. Tapi tidak memohon.
“Aku hanya pion ya? Boneka yang kau arahkan ke papan catur?”
Volt Anima-nya memekik—dari dalam tubuhnya, energi listrik berdesing, membuat pasir-pasir di sekitarnya naik ke udara. Isal memegangi dadanya—seolah Volt Anima itu berdenyut bukan hanya dari kekuatan, tapi juga dari luka batin.
Lumi menatapnya tanpa bergeming. Tatapannya tenang, namun kelam seperti malam yang menyelimuti mereka.
“Kalau aku melihatmu sebagai boneka, aku tidak akan menyelamatkanmu malam ini.”
Kilatan dari mata kiri Isal semakin kuat, tapi cepat meredup.
“Aku tak tahu siapa yang harus kupercaya…”
Ia menunduk, tubuhnya bergetar hebat. Volt Anima di tubuhnya semakin bergejolak, memancarkan retakan-retakan listrik biru ke sekitarnya. Satu loncatan energi menghantam batu di belakang Lumi, menghancurkannya seketika.
Lumi tidak bergerak. Ia menunggu.
“Kalau kau ingin membenciku, lakukan saja,” ucap Lumi akhirnya. “Tapi jangan matikan api di dalam dirimu hanya karena kau terbakar sesaat.”
Isal menatapnya. Matanya masih merah, rabun. Tapi di dalamnya, ada secercah kesadaran. Volt Anima-nya perlahan menurun intensitasnya, seiring ia menutup mata.
Keheningan menggantung.
Lumi berdiri, menatap reruntuhan.
“Aku tak akan memaksamu memilih,” ucapnya tanpa menoleh. “Tapi kita tak punya banyak waktu. Informasi ini… pasti sudah sampai ke ketiga fraksi.”
Suara langkah kaki mendekat. Suara mesin.
Mereka tak sendirian lagi.
Isal menggenggam lengan kirinya yang berdenyut nyeri.
Dalam hati, ia bertanya: Apakah ini jalanku? Atau hanya jalan yang orang lain paksa untukku?
Ia teringat hari pertama Lumi menawarkannya masuk ke Fraksi Freedom. Senyum samar, tangan yang terulur, dan kalimat yang dulu memberi harapan:
> "Kalau kau ikut aku, kau tak akan jadi pecundang. Kau bisa mengubah kehidupan mu."
Kini, janji itu terdengar rapuh. Tapi juga satu-satunya hal yang bisa ia genggam.
Dari kejauhan, suara alarm drone mulai terdengar.
Waktu mereka hampir habis.
Di balik kehancuran dan trauma… pilihan itu akan segera datang. Dan tak akan bisa dihindari.
Langit mulai mendung, hujan ringan jatuh menyelimuti puing-puing reruntuhan. Uap naik dari tanah yang masih hangat oleh ledakan. Isal memejamkan mata.
Untuk sesaat, ia hanya ingin lenyap bersama kabut.
Tapi suara langkah Lumi tetap di sana—menjaga jarak, namun tidak pernah benar-benar pergi.
---