- Bayangan Yang Menunggu

Kaelir berjalan tanpa tujuan, langkahnya terhuyung, seperti orang yang mencari arah dalam gelap. Kabut di sekitar bukit itu semakin tebal, menyelimuti dunia dalam kabut yang lebih dalam dari sekadar awan. Ia tahu—ia harus menghadapi semuanya. Tetapi seperti apa pun jawabannya, tak ada yang bisa mengembalikan waktu yang telah hilang. Tak ada yang bisa menghapus beban yang terlanjur tertanam di dalam dirinya.

Namun, entah mengapa, ada sesuatu yang memanggilnya, menariknya ke arah yang bahkan tak ia mengerti. Mungkin itu hanya hasrat untuk menemukan kebenaran. Atau mungkin—takdir yang terus menuntunnya menuju sesuatu yang lebih gelap.

"Satu-satunya yang pasti dalam hidup ini adalah ketidakpastian" pikir Kaelir, menyusuri jalan berbatu yang membawanya ke sebuah tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Di ujung jalan itu, tersembunyi di balik pohon-pohon tinggi, ada sebuah rumah tua yang hampir tenggelam dalam kegelapan. Rumah itu tampak sepi dan terlupakan, seperti tak ada yang pernah menempatinya. Tapi Kaelir tahu, di sinilah jawaban yang ia cari.

Ia melangkah maju, menyentuh pintu kayu yang tua dan berdebu. Tanpa banyak berpikir, Kaelir membuka pintu itu. Di dalam, udara terasa berat. Tak ada suara. Hanya bisikan angin yang terdengar seperti desahan masa lalu. Di tengah ruangan, sebuah meja kayu tua terletak dengan rapi, dan di atasnya, sebuah buku tebal yang terikat erat dengan tali kulit.

"Ini dia..." gumam Kaelir, mendekati meja itu. Buku itu tampak seperti sebuah warisan yang terlupakan, dan sepertinya, hanya ia yang bisa menemukannya. Tangan Kaelir gemetar saat ia membuka halaman pertama buku itu, dan kalimat pertama yang muncul membuat darahnya membeku.

"Warisan yang terkubur, akan mengungkapkan semuanya."

Kalimat itu berputar di kepalanya, seperti mantra yang mengikat. Setiap kata terasa penuh makna, seolah menggiringnya ke dalam labirin masa lalu yang tak terungkap.

Tiba-tiba, suara di luar rumah itu terdengar. Langkah kaki. Seret. Seret. Seperti seseorang yang berjalan perlahan, namun pasti. Kaelir menutup buku itu, memutuskan untuk menyelidiki sumber suara tersebut.

Ia keluar dari rumah dengan hati yang berdegup kencang. Tak lama kemudian, ia melihat sosok yang dikenalinya—seseorang yang pernah ia kenal sangat baik.

Auren.

Ayahnya. Tetapi berbeda.

Auren yang berdiri di depannya bukanlah sosok yang ia ingat. Wajahnya tampak lebih tua, lebih terluka, dan ada sesuatu yang tampak hilang di matanya—sebuah kesedihan yang mendalam, lebih gelap dari malam itu sendiri.

"Kaelir..." suara Auren terdengar serak, seolah menyembunyikan ribuan perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. "Kau sudah menemukan tempat ini."

Kaelir berdiri terpaku, bingung, namun juga merasa seolah-olah ada yang terhubung dengan dirinya dalam cara yang tak bisa dijelaskan. "Ayah... Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.

Auren hanya menatapnya dengan mata yang dalam. "Ada banyak hal yang tak bisa dijelaskan, Kaelir. Banyak hal yang seharusnya tetap terkubur. Tapi aku tahu, kau tidak bisa menghindari takdirmu. Kau adalah kunci dari segala sesuatu yang akan datang."

Kaelir mengerutkan dahi. "Kunci dari apa?"

Auren menghela napas panjang. "Kunci dari kehancuran. Atau penyelamatan. Semua bergantung padamu. Tapi ada satu hal yang harus kau tahu..."

Sosok Auren mendekat, matanya kini memancarkan keteguhan yang tak bisa disangkal. "Kebenaran bukanlah sesuatu yang kau temui dengan mudah. Kebenaran itu seperti bayangan, selalu ada di sekitar kita, tetapi tak pernah bisa digenggam."

"Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanya Kaelir, hampir berbisik. "Apakah aku harus menghentikan semuanya? Mengubah takdir ini?"

Auren menatapnya tajam. "Kadang, yang harus kita lakukan bukanlah mengubah takdir, Kaelir. Tapi menerima kenyataan bahwa kita hanya bisa berjalan di jalan yang telah ditentukan—meskipun kita tidak tahu kemana ujungnya."

Kaelir merasa dunia di sekelilingnya berputar. "Aku... aku tidak tahu siapa aku lagi."

Auren mendekatkan wajahnya, suara yang penuh penyesalan terdengar begitu jelas. "Mungkin, itu adalah bagian dari perjalananmu. Menemukan siapa dirimu sebenarnya—meskipun itu berarti menghancurkan segala sesuatu yang kau kenal."

Kaelir merasakan panas di matanya. Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk jantungnya. Ia tahu, perjalanan ini tidak akan pernah sama lagi. Ia tahu, tak ada lagi jalan kembali.

Dan tiba-tiba, sebuah suara menggelegar dalam pikirannya—suara yang membawa kembali kenangan lama, perasaan yang tak bisa dihindari. “Kita semua adalah kutukan yang mencoba menjadi keajaiban…”

Dengan langkah gontai, Kaelir menatap ayahnya, dan kemudian mengalihkan pandangannya ke masa depan yang penuh misteri.

"Terkadang, yang lebih menyakitkan bukanlah kenyataan yang terungkap, tapi kenyataan yang tetap tersembunyi."

Dan dengan itu, Kaelir melangkah maju, menuju takdir yang tak bisa ia elakkan.