- Tak Semua Yang Hilang Ingin Ditemukan

Kaelir berdiri mematung di aula kristal. Hening. Tapi pikirannya berteriak.

Wajah Elairyn—bukan hanya sebagai ibu, tapi sebagai simbol dari perang, cinta, dan kebenaran yang tak pernah diberi tempat. Ia tidak tahu lagi apakah ia adalah putra dari dua kerajaan… atau hanya tulang dari dua kebohongan yang dikubur terlalu dalam.

“Kebenaran bukan untuk ditemukan. Kebenaran adalah peluru—dan kita semua adalah pelatuknya.”

Tiba-tiba, kilatan lain muncul. Tapi bukan dari ingatan. Melainkan dari kristal yang kini retak. Sebuah gema sihir kuno membisikkan kata-kata dari masa yang bahkan penjaga waktu pun enggan menyentuhnya.

“Anak darah yang ditolak oleh terang dan bayang... akan menjadi ujung takdir yang ditakuti semua penguasa.”

Kaelir terhuyung. Lututnya lemas. Bukan karena tubuh—tapi karena jiwa yang koyak.

Siapa Elairyn sebenarnya?

Mengapa bahkan nama itu dihapus, tidak hanya dari kitab, tapi dari lidah para penjaga sejarah?

“Kadang yang membuat kita takut bukan kegelapan, tapi cahaya yang mengungkapkan wajah kita sendiri.”

Ia memukul lantai. Kristal pecah. Tapi di baliknya, terkubur sebuah surat.

Bukan untuknya. Tapi untuk seseorang bernama Auren.

Ayahnya.

Dengan tangan gemetar, Kaelir membuka surat itu. Tulisannya patah-patah, seperti ditulis sambil berlari dari maut.

“Jika kau membaca ini, aku mungkin telah hilang... bukan karena musuh, tapi karena mereka yang menyebut diri saudara.”

“Jagalah Kaelir. Tapi jangan beri dia warisanku. Jangan biarkan dia tahu bahwa darahnya bisa mengubah dunia.” “Karena jika dia tahu... dia tak akan bisa memilih antara menyelamatkan dunia, atau membakarnya demi satu kebenaran kecil: aku tidak pernah ingin dia lahir dalam dunia ini.”

Kaelir jatuh terduduk.

Elairyn... tidak ingin dia lahir.

Dan justru karena itu, dia hidup.

“Apa yang lebih menyakitkan dari kematian? Dihidupkan oleh mereka yang ingin kau lupakan.”

Malam itu, Kaelir tidak kembali ke istana. Ia berjalan menuju bukit tanpa arah, menyusuri kabut sendirian. Dunia tak pernah berubah. Tapi dirinya tidak lagi sama.

“Kita semua adalah kutukan yang mencoba menjadi keajaiban… tapi mungkin, sebagian dari kita memang ditakdirkan untuk menjadi luka yang berjalan.”

Ia memandang ke langit.

Dan untuk pertama kalinya...

...ia berharap tidak pernah tahu siapa dirinya.