Vilvath Barat. Distrik Hedge.
Wilayah yang terlupakan oleh kemewahan ibu kota dan tergerus oleh waktu. Bangunan-bangunan bobrok berdiri bagai kerangka mati—sunyi dan terabaikan. Di lantai dua salah satunya, angin malam berhembus melalui jendela tak berkaca, membawa aroma besi tua, kayu lembap, dan debu yang menempel di udara.
Licht berdiri membisu di tepi jendela, membiarkan cahaya bulan menyapu wajahnya. Pandangannya kosong, namun pikirannya penuh. Ia tahu waktu mereka tak banyak. Tapi semakin dipikirkan, semakin banyak kemungkinan yang muncul, dan semuanya terlihat terlalu samar.
“Jadi… apa rencana kita?” suara Ren Isoiji memecah keheningan. Ia bersandar pada dinding yang catnya mengelupas, tangan disilangkan di dada, tak lupa dengan kotak biolanya yang digantung ke sisi. Tatapannya tertuju pada Licht, seolah menunggu jawaban pasti—meski nada bicaranya mengisyaratkan ia tak terlalu berharap banyak.
Licht tak langsung menjawab. Ia mengulang pelan, “Rencana… rencana…” Seolah masih mencoba menyusun ulang kepingan ide yang berserakan di pikirannya.
Setelah menarik napas pendek, ia bergumam, “Kita hanya perlu mencari anggota yang berguna…”
Namun kata terakhirnya terdengar samar. Ia sendiri tidak yakin.
Ren mendengus. “Jadi… kau belum punya rencana sama sekali?”
Licht menoleh setengah, tersenyum kecil. “Rencanaku terlalu banyak sampai aku sendiri bingung harus memulai dari mana.”
Ren tahu itu hanya alasan. Tapi ia juga tahu Licht tak sedang bercanda.
Sebelum suasana berubah makin kaku, suara tenang datang dari sisi lain ruangan. “Aku punya usulan,” ucap Theodore, nada bicaranya seperti biasa: ringan, datar, dan nyaris tak menunjukkan emosi. Ia berdiri tegap, meski ekspresi wajahnya masih seperti badut istana yang menahan terlalu banyak rahasia.
Licht melirik. “Apa itu?”
“Di sisi selatan Vilvath, ada Distrik Haumea,” jawab Theodore, tak tergesa. “ Salah satu tempat yang terkenal sebagai sarang kriminal. Sinner berkeliaran bebas di malam hari. Tempat itu juga pusat hiburan gelap… prostitusi, perjudian, dan semacamnya.”
Licht menyipitkan mata, mencerna informasi itu. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya dari mana Theodore bisa tahu semua itu.
Dia terdengar cukup yakin… tapi aku belum sepenuhnya mempercayainya, pikirnya. Tangannya mengusap glabella—kebiasaan lama setiap kali ia mulai ragu. Tenang, Licht. Apa pun hasilnya nanti, itu tanggung jawabmu.
“Lalu…” Ia berbicara lagi, mencoba memastikan. “Apa keuntungannya jika kita ke sana?”
“Banyak Sinner di sana yang belum bergabung dengan organisasi manapun,” jelas Theodore. “Beberapa dari mereka memiliki kemampuan yang bisa kita manfaatkan.”
Licht mengangguk pelan. Penjelasan itu masuk akal.
Sinner independen memang tidak langka, tapi juga tidak mudah dijangkau. Mereka tidak tunduk pada siapa pun dan biasanya tidak mempercayai siapa pun. Namun justru karena itu, mereka bisa menjadi aset yang kuat—asal tahu cara mendekatinya.
“Apa kau setuju?” tanya Licht pada Ren, tanpa menoleh.
Ren menarik napas. Keputusan ini berisiko, tapi ia tak punya argumen yang cukup kuat untuk menolaknya. “Lakukan saja,” ujarnya akhirnya.
Ruangan kembali sunyi untuk sesaat. Hanya suara malam dari luar yang terdengar, membawa aroma dunia bawah tanah yang sebentar lagi akan mereka datangi.
Vilvath barat dan selatan tidak terlalu jauh… pikir Licht. Ia mengangguk sendiri, lalu bertanya sambil membalikkan badan, “Sekarang jam berapa?”
Ren mengangkat bahu, sementara Theodore memasukkan tangannya ke saku jasnya dan mengeluarkan arloji gantung berwarna perak. Ia meliriknya sebentar. “Pukul dua malam.”
“Berapa lama kalau naik kereta?”
“Cukup satu jam,” jawab Theodore tenang.
Sial… kenapa aku bertanya soal itu? Licht menggerutu dalam hati, merasa sedikit bodoh. Tapi ia segera menyingkirkannya dan menegakkan postur.
Ia berdehem ringan. “Baiklah. Ayo kita pergi.”
Tanpa perlu banyak bicara lagi, mereka bertiga bersiap meninggalkan ruangan usang itu. Langkah mereka akan membawa mereka menuju bagian kota yang lebih gelap—dan kemungkinan besar, lebih berbahaya.
---
Tiga jam sebelumnya. Vilvath Selatan, Distrik Haumea – Pukul 11 malam
Langit malam menggantung berat di atas Distrik Haumea. Lampu jalan berkelap-kelip seperti hampir mati, menciptakan kesan muram yang menyelimuti deretan bangunan tua dan menjulang. Jalanan masih hidup dengan langkah-langkah cepat para pejalan yang menyembunyikan wajahnya, seolah takut ditelan kegelapan yang lebih dari sekadar malam.
Di tengah distrik, berdiri sebuah bangunan besar dan kelam—Gereja Goddess of Mist. Dindingnya batu hitam yang mulai memudar namun cukup terawat, atapnya mengarah ke langit seperti tombak, dan kaca patri yang masih terawat dengan indah.
Di dalam gereja yang remang, seorang gadis berdiri sendirian di depan altar. Rambutnya hitam lurus, poni rapi menutupi dahi, dan kerudung semi-transparan menyelubungi kepala dengan anggun. Usianya sekitar delapan belas, tetapi sorot matanya memancarkan kedewasaan.
Aino Halla
Ia berdiri tegak di hadapan simbol segitiga yang melambangkan Dewi Kabut, membelakangi deretan kursi kayu panjang. Kedua tangannya terlipat dalam doa, matanya tertutup. Setelah beberapa saat, ia membuat tiga titik di dada, membentuk segitiga, lalu mencium kalung kecil yang menggantung di lehernya—simbol kesetiaan kepada sang dewi.
Suasana hening itu dipecah oleh suara lembut yang familiar.
“Aino…”
Ia membuka mata, menoleh. Seorang wanita tua berusia sekitar empat puluh lima tahun menghampirinya. Pakaian biarawati putihnya berpadu dengan jubah abu-abu tua yang melambangkan posisinya sebagai Mother Drain, ibu kepala biara.
“Ada apa, Mother Drain?” tanya Aino sopan.
Drain mencoba tersenyum, walau garis-garis wajahnya menyiratkan kekhawatiran. “Kau tidak perlu memikirkannya terus. Anna pasti akan kembali dengan selamat. Pastor Mardain sudah melaporkannya kepada pihak berwajib.”
Namun Aino tidak bisa menahan ekspresi gusarnya. “Para polisi sialan itu tak akan menanggapi masalah ini dengan serius,” gerutunya. Wajahnya mengeras saat mengingat introgasi singkat dari seorang polisi berperut buncit dan wajah penuh noda kasar—seseorang yang jelas tak peduli pada gadis yang hilang.
Drain menghela napas. “Jangan bicara seperti itu. Kita hanya bisa percaya pada dewi, Aino. Kita hanya bisa berdoa agar Anna kembali.”
Aino menunduk sesaat, lalu mengikuti Drain keluar dari gereja.
Langkah kaki mereka berdua terdengar lembut di pelataran berbatu. Angin malam meniupkan udara dingin di antara pohon-pohon tua yang mengelilingi gereja. Di kejauhan, suara peluit malam dan deru kendaraan sesekali terdengar samar.
“Anna sudah menghilang dua hari,” ucap Aino lirih saat mereka berjalan beriringan. Wajahnya murung, seperti memikul beban yang tak bisa ia jatuhkan. “Andai aku tidak ceroboh waktu itu…”
Drain menoleh padanya. “Jangan menyalahkan dirimu sendiri.”
Tapi Aino tak bisa berhenti mengingat. Hari itu mereka keluar untuk membeli persediaan biara. Di tengah jalan, ada pertunjukan sulap jalanan yang menarik perhatiannya. Saat ia sadar kembali, Anna telah menghilang—begitu cepat, begitu sunyi.
Kasus orang hilang sudah menjadi bagian kelam dari Valdoria. Khususnya perempuan muda, anak-anak, dan kadang bahkan para biarawan yang terlalu ingin tahu. Penculikan, perdagangan manusia, hingga ritual ilegal—semuanya menyelimuti kerajaan ini seperti kabut, tak terlihat namun nyata.
Begitu tiba di bangunan biara, mereka berpisah di tangga utama. Aino naik ke lantai dua, melewati biarawati-biarawati lain yang masih terjaga dan menyapanya dengan senyum tipis. Ia menuju kamarnya—sebuah ruang kecil dan sederhana, tapi cukup nyaman. Di dalamnya ada lemari kayu, tempat tidur rapi, meja dan kursi, serta simbol segitiga Dewi Kabut di dinding.
Ia menutup pintu, lalu mendekat ke meja. Dengan satu jentikan jari, nyala api muncul dan membakar sumbu lilin.
“Sial…” gumamnya pelan, menutup wajah dengan telapak tangan. “Apa yang harus kulakukan, Anna… maafkan aku…”
Kepalanya penuh dengan pertanyaan dan kemungkinan buruk.
“Apa Anna ditangkap Lioren?” bisiknya. “Ketahuan bisa menggunakan sihir meskipun belum diizinkan?”
Ia menatap kosong ke meja, lalu kembali bersuara lirih. “Tapi… kalau itu alasannya, aku juga seharusnya ditangkap. Kami belajar sihir diam-diam, berdua.”
Dalam sistem gereja, biarawati atau biarawan memang diizinkan mempelajari sihir, tapi hanya setelah mendapat otorisasi khusus. Sihir dianggap suci—dan hanya boleh digunakan untuk pelayanan yang dianggap “bermanfaat bagi Gereja dan Dunia”. Siapa pun yang melanggarnya, akan di kenakan hukuman yang setimpal. Penggunaan sihir tanpa izin adalah kejahatan—khususnya di bawah pengawasan World Church dan militer Lioren.
“Tidak… Anna tidak mungkin ditangkap. Dia pasti diculik,” Aino mengacak-acak rambutnya. Kerudung hitam semi-transparan yang dikenakannya menjadi kusut tak karuan.
Ia bangkit dari kursi, melangkah menuju jendela. Di luar, bulan menggantung tinggi di atas kota yang tak pernah benar-benar tidur. Cahaya perak menyorot bangunan tinggi dan lalu lintas malam.
Aino memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
“Aku harus menyelamatkan Anna… Polisi itu tak akan pernah melakukan apa pun dengan benar,” gumamnya dengan nada getir.
Ia membuka jendela kamar. Angin malam menyambutnya dengan dingin. Dari lantai dua, ia melihat ke bawah.
“I-Ini tinggi…” bisiknya. Tapi ia menggenggam sisi jendela, menempel pada dinding batu. Tak ada keraguan di matanya kini.
Tunggu aku, Anna.
Dengan kelincahan yang tidak cocok dengan penampilannya sebagai biarawati, Aino menuruni dinding, menjejak celah-celah batu dengan lincah. Saat cukup dekat ke tanah, ia melompat ringan dan mendarat nyaris tanpa suara. Kerudungnya berkibar singkat di udara.
Ia segera melompati pagar besi halaman biara, dan tanpa menoleh lagi… ia menghilang ke dalam malam yang dingin, berlari menyusuri jalanan Distrik Haumea.