Chapter 12 - Aphrodite’s Den.

Malam semakin larut, bulan di langit Vilvath Barat yang tertutup awan. Lampu-lampu stasiun berkedip malas di antara kabut tipis, dan pengumuman keberangkatan menggema berulang kali, seperti mantra yang menandai akhir dari satu perjalanan dan awal perjalanan lainnya.

Di tengah barisan penumpang yang mengantri, Licht berdiri tanpa banyak bicara, ditemani oleh Ren yang menggendong sebuah kotak biola panjang berwarna cokelat tua dan menguap kecil, dan Theodore yang menatap ke depan dengan ekspresi tersenyum seperti biasa. Setelah membeli tiket menuju Vilvath Selatan, ketiganya memasuki gerbong kereta yang agak lengang—malam memang bukan waktu favorit bagi para pelancong biasa.

“Ini pertama kalinya aku menaiki kereta…ternyata begini rasanya..” Pikirnya, sedikit senang, namun mencoba tenang. Licht tidak pernah menaiki kereta dan ini pertama kali baginya.

Mereka memilih tempat duduk: empat kursi saling berhadapan, dua-dua. Ren duduk di samping Theodore, dekat jendela. Kotak biolanya diletakkan di pangkuannya,meski menutupi sebagian wajahnya. Ia memeluknya seperti benda paling berharga di dunia, menatap ke luar seolah ingin menangkap kenangan dari tiap tiang lampu yang berkelebat saat kereta mulai bergerak. Theodore, di sisinya, duduk tegak tanpa bersuara, menjaga ketenangan.

Licht duduk di hadapan mereka, kakinya bersilang, tangannya di dada menyilang, dan memejamkan matanya—seolah sedang tidur, padahal pikirannya aktif. Heningnya malam dan denting roda kereta di rel menciptakan atmosfer tenang, namun di balik kedamaian itu, sesuatu membisik dalam benaknya.

“Bocah…”

Suara berat dan dalam menggema di kesadarannya. Licht membuka matanya perlahan, menyapu pandangan ke sekeliling gerbong. Tak ada apa pun. Namun ia mengenali suara itu—suara yang tak asing, suara yang pernah ia dengar sejak awal dirinya terikat pada takdir yang lebih besar dari hidupnya sendiri.

“Suara ini…schwarz?” Pikirnya, lalu mencoba menjawab dengan suara batinnya.

“Ada apa?” balas Licht tenang, berbicara dalam batinnya.

Suara itu, Schwarz—pria yang tinggal dalam dirinya—terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya menjawab dengan nada mengingatkan.

“Jangan lupakan kontrak kita,” ujar Schwarz, suaranya dalam, berat. Seolah memperingati.

Licht menarik napas perlahan, menutup matanya kembali, kembali ke posisi awal.

“Ya… tapi kenapa kau bisa berbicara denganku sekarang?” tanyanya. Suara itu sebelumnya tak muncul dengan mudah.”Apa dia hanya bisa mendengar batinku? jika aku berpikir ia tidak akan mendengarkan ku,kan?”

Schwarz terkekeh pelan, suaranya penuh nada angkuh.

“Ini salah satu kemampuan dari Descent. Kontrak diantara kita… Inner Call.”

Inner call adalah kemampuan untuk bertelepati antara seorang descent dengan host-nya, namun inner call tidak akan bisa mendengar suara dari pikiran host-nya, begitupun descent.

“Inner Call….kemampuan yang berguna” Pikir Licht. Ia tidak langsung menjawab. Ia mendengus kecil dalam batinnya. Lalu, dengan enggan, ia menimbang sesuatu—dan akhirnya berkata,

“Hei, Schwarz… ajarkan aku tentang sihir.”

Meski permintaan itu terdengar aneh, bahkan bagi dirinya sendiri. Meminta sesuatu pada entitas seperti Schwarz adalah seperti meminta ampun pada api agar tidak membakar.

Hening sesaat.

Lalu Schwarz tertawa keras, seperti mencibir.

“Tidak,” jawabnya pendek.

Alis Licht sedikit bergerak, kesal. Namun ia menyembunyikan reaksi itu dari luar. Theodore yang duduk di seberangnya melirik, sedikit heran pada perubahan ekspresi Licht.

“Ada apa, Lyrss?” tanya Theodore pelan.

“Tidak..bukan apa-apa.” Licht menjawab santai, matanya tetap terpejam.”Ia tahu nama samaranku?” Pikirnya, lalu mengingat momen saat ren memanggil namanya ketika ia menerima theodore bergabung dengan organisasinya. Licht tidak mempermasalahkannya lebih lanjut dan kembali pada percakapan sebelumnya.

Dalam pikirannya, ia kembali bergumam,

“Jadi, mereka tidak bisa mendengar suara Schwarz…dan percakapan kami.”

Itu membuatnya sedikit lega—dan sekaligus curiga. Kontrak ini benar-benar dalam. Lalu, Licht tersenyum sinis dalam batinnya.

“Kalau kau tidak mau mengajariku, berarti kau-lah yang lupa kontrak kita.”

Ancaman halus yang disampaikan Licht membuat Schwarz terdiam. Tak lama, pria itu akhirnya mengalah—dengan desahan enggan.

“Jika kau ingin mempelajarinya, maka kau harus tahu tentang Sequence terlebih dahulu.”

Licht membuka matanya sedikit, fokus, lalu kembali memejamkan matanya.

“Sequence?”

“Kekuatan sihir terbagi dalam urutan: Sequence 5, 4, 3, 2… hingga 1,” jelas Schwarz. “Semakin rendah angkanya, semakin tinggi tingkatannya. Dan kekuatan itu hanya bisa dicapai melalui jiwamu—dengan cara yang... tidak selalu menyenangkan.”

Licht menyimak dalam diam.

“Lalu ada yang di sebut “mana”,” lanjut Schwarz. “Singkatnya itu energi sihir. Aku tak perlu menjelaskan terlalu dalam. Bahkan manusia miskin pun tahu soal itu. Kalau kau tidak paham, berarti kau hanya seekor kera yang pandai berdiri.”

Nada menghina dalam suara Schwarz membuat Licht mengerutkan kening.

“Aku belum mencapai Sequence 5…” pikirnya dalam hati. Sebuah fakta yang menyebalkan.

Ia mengubah posisinya, tangannya berpindah menyentuh dagu, berpikir. Theodore hanya menatapnya, tanpa berkata apa-apa. Ren tetap tenang, masih memeluk biolanya.

“Lalu… bagaimana cara naik ke Sequence 5?” tanya Licht akhirnya.

Schwarz menghela napas berat, seolah muak karena harus menjelaskan hal semacam itu. Namun ia tetap menjawab.

“Pancing jiwamu untuk bergejolak. Serap energi di sekitarmu. Satukan semua ke dalam intimu. Kalau kau bisa melakukan itu, maka Sequence 5 akan terbuka.”

Penjelasannya tidak rumit, namun terdengar seperti membuka gerbang neraka.

Licht mengangguk dalam hati. Ia tahu Schwarz tidak akan memberi lebih banyak.

“Baiklah… terima kasih.”

Schwarz mendengus, dan perlahan kehadirannya menghilang dari kesadaran Licht. Percakapan itu berakhir.

Licht membuka mata. Dunia nyata kembali menyambutnya—kereta yang melaju, suara roda di rel, dan langit malam di luar jendela.

Ia menatap Ren dan Theodore. Keduanya tampak tenang, tak menyadari bahwa percakapan baru saja terjadi.

Vilvath Selatan, Distrik Haumea.

Malam telah larut, namun distrik Haumea masih belum benar-benar tertidur. Lampu dari jendela-jendela tinggi memantulkan cahaya kekuningan ke jalan-jalan basah yang penuh bekas hujan siang tadi. Kabut tipis melayang rendah, membawa bau logam dan alkohol dari bar-bar terbuka yang tersembunyi di lorong-lorong gelap.

Aino berjalan cepat di tengah kota yang belum sepenuhnya lelap. Gaun biarawatinya sedikit kotor oleh debu jalanan, dan mata peraknya menyapu setiap sudut dengan kewaspadaan. Di balik penampilannya yang tenang, pikirannya bergejolak.

“Aku harus menemukan petunjuk…”

Langkahnya membawanya melewati sekumpulan orang yang berkeliaran larut malam. Para penjaja jalanan, penyanyi mabuk, dan pengemis yang bergumam tentang dosa—semua bercampur dalam arus kehidupan Haumea yang keras dan tak teratur. Tapi di antara mereka, ada tiga pasang mata yang tertuju padanya dengan niat gelap.

Tiga pria. Salah satunya berambut pirang keriting dengan senyum miring dan tatapan licik. Yang kedua lebih besar—berotot, hidung bengkok seperti pernah patah dalam perkelahian lama. Yang terakhir kurus dengan tahi lalat besar di pipi kanannya. Mereka berjalan melintasi Aino, dan pria berambut pirang itu menepuk temannya.

“Hei… lihat gadis biarawati itu,” bisiknya, “cukup cantik, ya?”

Mata pria besar itu menyipit, memandangi Aino yang berjalan menjauh.

“Kau benar, sebelum kita jual dia... kenapa tidak kita menikmatinya dulu?”

Tawa rendah dan jahat menggema dari ketiganya saat mereka berbalik, mengikuti langkah Aino.

“Mereka mengikutiku?” Pikirnya, sedikit menoleh kebelakang, sang gadis langsung menyadarinya, bahwa dirinya diikuti.

Ia mempercepat langkah, berbelok ke gang sempit yang sepi untuk mencoba menghindar. Kabut menyelimuti jalanan itu, dingin dan sunyi. Tapi ujung gang hanya berujung pada dinding batu tinggi. Jalan buntu.

Langkah mereka semakin dekat.

“Sial…” gumam Aino, menoleh perlahan.

Bayangan ketiganya menyusul dari mulut gang.

“Hei, nona biarawati... kau tersesat?” Pria besar itu menyeringai, nadanya seperti peluru yang memantul di dinding hati.

“Siapa kalian?” Aino bertanya, berakting dan menjaga suaranya tetap bergetar seperti gadis polos yang ketakutan.

“Kami? Penolong yang baik hati... kenapa tidak ikut minum dengan kami dulu?” pria itu tertawa, disambut cekikikan dua rekannya.

Aino berpura-pura ketakutan. Menunduk, menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan.

“T-tolong… jangan sakiti aku.”

“Imut sekali saat ketakutan,” pria bertubuh besar mendekat, menjulurkan tangan hendak menyentuh Aino.

“Tenang saja… kami cuma ingin bermain sebentar—”

BUK!

Tendangan kuat menghantam tepat di dua bola kehidupannya.. Matanya membelalak. Tubuhnya limbung, lalu ambruk seperti karung gandum. Jeritan kesakitannya berubah menjadi keheningan saat ia kehilangan kesadaran dan terjatuh ke tanah.

Dua temannya menegang, terkejut. Tapi sebelum mereka bisa bereaksi, Aino bergerak. Dalam sekejap, jari telunjuknya menyala—api kecil tapi panas menyala dari ujungnya, dan ia mencolokkan jari itu ke mata kanan pria berambut pirang.

KRACK!

Jeritannya menggema di lorong, tubuhnya jatuh masuk ke bak sampah dengan satu mata terbakar dan darah mengalir.

“Heh. Tempat itu cocok untukmu,” Ejek Aino, mencipratkan darah dari jarinya.

Sisa pria terakhir—yang bertahi lalat besar—mundur setengah langkah, panik.

“D-dasar Lioren jalang!”

Ia menerjang maju dengan tinjunya. Aino mencoba menghindar, tapi sempat terkena tendangan di perutnya. Ia terhuyung, membentur dinding batu yang dingin. Tapi tatapan matanya tidak menunjukkan kelemahan—melainkan kegusaran.

“Sialan…”

Pria itu mencoba menerjang lagi, meninju, mencoba menyudutkannya.

Namun Aino memutar tubuhnya dengan cepat, dan kaki kanannya melayang seperti sabit—tendangan memutar menghantam rahang pria itu dengan kekuatan penuh.

DUAARR!

Tubuhnya terangkat dari tanah dan terpental, menghantam tumpukan kardus di ujung gang.

Aino berdiri tegak. Napasnya sedikit berat, tapi sorot matanya tetap tajam.

“Aku bukan Lioren… dan bukan Sinner juga, sialan.” ucapnya pelan , menepuk-nepuk robenya yang berdebu.

Ia berjalan menuju pria besar yang masih pingsan. Menepuk wajahnya keras-keras.

“Bangun, bajingan!”

Pria itu mengerang, lalu perlahan membuka mata. Yang pertama ia lihat adalah jari Aino yang menyala api, mengarah tepat ke wajahnya.

“T-tolong... aku minta maaf!”

“Kau salah satu dari para penculik wanita, bukan?” tanyanya, suara dingin bagaikan bilah baja.

“B-bukan… aku…”

Aino menekan sihirnya sedikit lebih dekat, panasnya membakar kulit pria itu.

“JUJUR, atau matamu akan kuganti dengan bara ini.”

“I-iya! Iya! Aku salah satu dari mereka!”

“Beritahu semuanya yang kau ketahui!.”

“Kami... menculik wanita dan menjual mereka. Aku bekerja di... tempat perbudakan ilegal.”

Aino menatapnya dalam diam, lalu merogoh saku tersembunyi di balik jubah. Ia mengeluarkan selembar foto kecil. Foto seorang gadis muda dengan rambut pirang keemasan, kerudung hitam, dan pita putih di bagian depan. Anna.

Ia menyorongkan foto itu tepat ke wajah si pria.

“Apa kau yang menculik gadis ini?” Tanya Aino, tatapan tajam.

Pria itu langsung menggeleng. Tapi kemudian buru-buru berkata:

“T-TIDAK... bukan aku yang menculik. Tapi aku pernah melihat dia. Dia... dia ada di tempat kami!”

Jantung Aino berdetak keras. Tapi ia tidak menunjukkan kegembiraan. Ia menarik kembali kerah pria itu dan bertanya dingin:

“Dimana tempatnya?”

“Masih di distrik Haumea... Bar. Namanya... Aphrodite’s Den.”

Begitu mendapat jawaban, Aino menghela napas perlahan. Ia melepaskan kerah pria itu, tapi tanpa peringatan, menendang wajahnya hingga kembali pingsan.

“Tapi tetap saja... tindakanmu tidak bisa dimaafkan.”

Ia berjalan meninggalkan gang, membiarkan tiga tubuh tak sadarkan diri tergeletak di belakangnya.

“Kau kira aku tidak pernah mengalami hal seperti ini?....aku sudah pernah bertemu dengan orang-orang brengsek seperti kalian..” Ucapnya pelan. Berjalan menuju Aphrodite’s Den.

Vilvath selatan, distrik Street Dom, stasiun Dom II.

Licht dan Ren serta Theodore keluar dari stasiun malam itu, kondisi stasiun tidak jauh berbeda dengan stasiun sebelumnya. Jalanan cukup sepi namun beberapa toko masih terbuka.

“Kota ini tidak ada bedanya dengan vilvath barat.” Komentar Ren, Melirik sekitar sesekali kendaraan melewati mereka yang berjalan di trotoar

“Ya..tapi ada rumor yang mengatakan jika vilvath selatan jauh lebih berbahaya daripada kota lainnya yang berada di kerajaan valdoria.” Sahut Theodore, santai.

Licht mengangguk mendengar penjelasan Theodore.”Kau tahu banyak.” Puji licht. Santai. Meski sedikit curiga.

“Terima kasih.” Sahut Theodore, tersenyum.

Setelah berjalan cukup jauh dari stasiun Licht melihat papan jalan yang bertuliskan Distrik Street Dom.

“Jadi ini kota vilvath selatan?” Pikir Licht melihat bangunan tinggi, dan orang-orang gelandangan yang cukup banyak yang tertidur sembarangan sesekali petugas keamanan yang bertugas mengusir mereka.

“Ren benar, kondisinya cukup mirip dengan vilvath barat” Gumamnya santai berjalan berdampingan dengan kedua rekannya.

Di pertengahan jalan Licht berhenti, melihat papan peta wilayah Vilvath Selatan yang terbentang di depan sebuah toko pengantaran surat dan halte bus.

Ia menghampirinya diikuti kedua rekanya. Mata licht melihat lokasi-lokasi yang tertera di peta, lalu menemukan tempat tujuan mereka, yaitu distrik haumea.

“Lokasinya cukup jauh.” Pikirnya. Menganalisis, Ren dan Theodore mengikutinya di kedua sampingnya.

“Apa kita akan berjalan lagi?” tanya Ren, melirik licht di sampingnya ketika melihat lokasi tujuan mereka, Lalu menoleh ke arah bus yang berhenti di depan halte.

“Aku juga ingin merasakan menaiki bus..” Pikirnya melihat bus, tapi ia mengingat uangnya telah sedikit terpakai, lalu Licht menjawab. “Ya, tapi jika kau ingin menggunakan bus atau semacamnya, bayar dengan uangmu sendiri!” Ejek licht , tersenyum menoleh ke arah Ren, mengingat ia telah membayar tiket kereta ren seharga 5 drell saat di stasiun Vilvath Barat sebelumnya.

“Y-ya, ya aku akan berbayarnya, sialan.” Gerutu Ren kesal, memalingkan wajahnya dan berpura pura membetulkan posisi kotak biolanya yang digendongnya.

Theodore tertawa kecil melihat Ren. Namun Ren melirik nya tajam kesal.

”Maaf.” Ucap theodore segera.

Ren mendengus.

“Baiklah..ayo kita pergi!” Ajak licht kepada dua rekannya. Keduanya mengangguk dan mulai mengikuti sang kapten.