Vilvath Selatan. Distrik Street Dom.
Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, Licht dan kedua rekannya kini tiba di perbatasan Distrik LinLin. Gang-gang sempit dan gelap membentang di hadapan mereka, diterangi samar oleh lampu jalan yang berkedip tak menentu.
“Sudah berapa lama kita berjalan?” tanya Ren, memecah keheningan.
“Dua puluh menit,” jawab Theodore santai sambil melirik ke depan, ke arah Licht yang memimpin perjalanan.
“Kenapa? Kau lelah, Ren? Kalau begitu, minta Theo untuk menggendongmu,” ejek Licht dengan nada bercanda, tersenyum menoleh ke arahnya.
Ren mendengus keras. “TIDAK!” jawabnya cepat dan tajam.
Theodore hanya tertawa kecil, lalu langkah mereka terhenti ketika Licht berhenti di depan papan penunjuk jalan bertuliskan: Distrik LinLin.
“Ada apa, Lyrss?” tanya Theodore sambil memiringkan kepalanya, sedikit bingung.
Licht membaca papan itu dengan tatapan dalam. “Distrik LinLin... tinggal sedikit lagi sebelum kita tiba di Haumea,” gumamnya dalam hati.
Ia menoleh. “Oh... bukan apa-apa,” ucapnya sambil menggeleng pelan. “Ayo lanjut.”
Ren dan Theodore mengangguk dan bersiap melangkah namun.
DUAR!!
Suara tembakan keras tiba-tiba memecah udara. Disusul kepakan burung yang terbang karena suara tembakan itu, lalu teriakan panik seorang pria.
Mereka bertiga langsung menoleh ke arah sumber suara. Tak lama kemudian, seorang pria berlari ke arah mereka dari persimpangan gang di depan. Usianya sekitar empat puluh dua tahun, berpakaian mencolok—jas merah dan kemeja kuning, rambut pirang agak ikal, serta janggut tipis.
“T-TOLONG!!” teriak pria itu dengan napas terengah dan wajah pucat pasi.
“Ada apa dengannya?” gumam Licht, memperhatikan pria itu yang kini berdiri di depannya, kelelahan dan ketakutan.
“Ada apa?” tanya Licht, nada suaranya mulai serius. Ia cukup khawatir—jika pengejarnya adalah seorang Sinner kuat, mereka bisa saja dalam bahaya besar.
“T-tolong… aku akan memberimu imbalan,” ucap pria itu cepat, matanya penuh ketakutan.
Licht, Ren, dan Theodore saling melirik. Mereka bingung, tapi bersiaga.
Sebelum Licht sempat bertanya lebih lanjut, pria itu mencoba menenangkan diri dan berkata, “Tolong lindungi aku... bodyguard-ku dibunuh seseorang!”
Licht memperhatikan penampilannya. “Apakah dia orang penting?” pikirnya. Tapi jika pembunuh itu adalah seorang Sinner berbahaya atau Lioren kuat, Licht ragu akan mencampuri urusan ini terlalu dalam.
Dari arah gang tempat pria itu berlari, muncul sosok berjubah hitam dengan topeng rubah putih bercorak merah. Langkahnya pelan, aura mencekam terasa.
“Sinner...?” batin Licht, mengamati dengan waspada.
“Topeng Kitsune?” gumam Ren, heran. Ia menarik kotak biolanya, kini bersiaga. Begitu pula dengan Theodore, mengambil selembaran kartu dari balik jasnya.
Namun, menyadari situasi tidak menguntungkan, sosok bertopeng itu perlahan mundur dan menghilang ke dalam kegelapan gang.
“Dia pergi?” ucap Theodore dengan tenang, setelah situasi di rasa telah aman.
“Terima kasih…” ucap pria pirang itu, menghela nafas lega.
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Licht.
“Aku tidak tahu siapa dia... Tapi dia membunuh bodyguard-ku dan mengejarku. Aku yakin dia ingin membunuhku juga!” jawabnya masih gemetar.
Licht menghela napas. Tak banyak informasi bisa didapat, tapi setidaknya pria ini selamat.
“Jadi... apa imbalannya?” tanya Licht dengan senyum licik.
Pria itu mengangguk dan merogoh saku dalam jasnya, mengeluarkan dompet tebal berisi uang kertas Solmire.
“Seperti yang kuduga... pria ini kaya,” pikir Licht dengan ekspresi puas.
Ren dan Theodore melihat ekspresi Licht dan langsung bisa menebak isi pikirannya.
Menyadarinya, Licht menoleh dan berkata, “Ada apa?”
Ren memalingkan wajah dengan ekspresi kesal. “Dasar…” gumamnya pelan.
Theodore hanya menggeleng dengan senyum masam.
“Ini, terima kasih. Aku berhutang budi kepada kalian,” ujar pria itu, lalu memperkenalkan diri. “Namaku Paul Merjoimile.”
Ia menyerahkan lima lembar uang kertas kepada Licht yang menerimanya dengan senyum puas. “Terima kasih,” ucap Licht.
“Aku akan mentraktir kalian,” lanjut Licht kepada Ren dan Theodore.
“Ngomong-ngomong, Tuan Paul, kenapa kau berada di daerah seperti ini?” tanya Licht. “Tempat ini cukup rawan untuk orang sepertimu.”
“Aku sedang menuju ke Distrik Haumea,” jawab Paul. “Apa kalian ingin menjagaku? Aku punya urusan sangat penting di sana. Tapi... apakah kalian cukup kuat?”
Ren tampak kesal menggertakan giginya setelah mendengar pertanyaan itu, namun ia menahan diri. Theodore hanya tersenyum dan berkata, “Lyrss kuat. Ren juga.”
Licht melirik Ren, yang mengangguk singkat sebagai isyarat setuju.
“Kau ingin kami menggantikan bodyguard-mu, ya?” tanya Licht.
Paul mengangguk cepat. “Imbalannya akan kuberikan setelah urusanku selesai,” jelasnya. Ekspresinya kini lebih tenang.
“Sebelumnya, mari kita lihat kondisi bodyguard-mu. Mungkin saja si pembunuh meninggalkan jejak yang bisa membantu penyelidikan,” ujar Licht. Ia ingin memastikan seberapa berbahaya situasi ini sebelum menyetujuinya penuh.
Paul menyetujui. Mereka kembali ke gang tempat Paul sebelumnya lari. Gang itu sempit, dengan pakaian jemuran yang tergantung di atasnya.
Di sana, tubuh sang bodyguard sudah terbujur kaku. Tembakan menembus dahinya dengan bersih. Darah masih segar di tanah, dikerumuni lalat.
Licht menyipitkan mata melihatnya. Ia menahan rasa mual yang muncul tiba-tiba.
“Pembunuh ini... cukup terampil,” komentar Theodore. “Tembakan tepat di kepala.”
“Sebaiknya kau hubungi polisi dulu, Tuan Paul,” usul Licht. Lalu melanjutkan."Soal kontrak bodyguard sementaramu, aku setuju." Ucap Licht, setelah memastikan situasinya yang memungkinkan.
Paul mengangguk. “Aku mengerti.”
---
Beberapa waktu kemudian, mereka tiba di kantor polisi terdekat. Paul masuk untuk membuat laporan, sementara Licht, Ren, dan Theodore menunggu di luar.
Dari luar, Licht memperhatikan Paul berbicara dengan seorang petugas bertubuh bunci, dengan wajah yang kasar.... sambil menyelipkan beberapa lembar uang.
“Menjijikkan…” gumam Licht dalam hati.
Beberapa menit kemudian, Paul keluar dengan wajah tenang. “Aku sedikit lega sekarang, sebentar lagi pelayanku akan datang.”
Tak lama berselang, sebuah mobil mewah berwarna putih berhenti di depan kantor kepolisian Distrik Dom, tepat di hadapan mereka. Seorang wanita dengan setelan jas rapi keluar dari mobil—rambut hitamnya diikat rapi, ekspresi wajahnya panik.
“Tuan Paul! Anda baik-baik saja?” tanyanya cemas.
“Aku baik-baik saja, Emma,” jawab Paul santai. “Merekalah yang menyelamatkanku. Tapi... Alain tidak tertolong.” Ekspresinya menggelap, dan mencoba tersenyum, lalu melanjutkan.”Ini Emma, Pelayanku.” Memperkenalkan pelayan wanita itu yang berusia tiga puluhan.
Emma menghela nafas lega dan memperkenalkan dirinya kepada Licht, Ren, dan Theodore yang berdiri di belakang Paul. Lalu melirik ke arah paul dan berkata. “Kenapa Anda tidak menggunakan mobil pribadi? Kenapa naik kendaraan umum?” tegurnya.
“Pantas saja dia jadi target pembunuhan, yah jika dia tokoh penting.” pikir Licht, tapi ia tak terlalu memedulikannya.
“Aku masih ada urusan penting. Pergilah ke villa lebih dulu, Emma. Aku akan menggunakan mobil ini. Polisi akan mengantarmu,” ujar Paul. Emma mengangguk, tak membantah.
“Di antara kalian... ada yang bisa mengemudi?” tanya Paul menoleh ke arah mereka.
“Mengemudi mobil mewah begitu? Mana mungkin ada yang—” batin Ren, namun belum sempat ia selesai berpikir, Theodore mengangkat tangannya pelan.
“Aku bisa,” jawabnya tenang seperti biasa.
Ren dan Licht sama-sama terkejut menoleh ke arahnya.
“Bagus,” ujar Paul. Berjalan mendekati mobil mewahnya.
Emma segera membukakan pintu mobil untuk tuannya. Paul masuk terlebih dahulu, disusul Licht, Ren, dan Theodore.
“Tidak kusangka... Theodore sangat berguna juga,” pikir Licht.
Mereka pun memasuki mobil. Theodore duduk di kursi kemudi bersama Ren di depan sambil memangku kotak biolanya, sedangkan Licht dan Paul duduk di kursi belakang.
Mobil segera berjalan, terlihat Emma yang melambaikan tangan kecil kepada tuannya yang perlahan menjauh.
“Jadi ini rasanya menaiki mobil..” Pikir Licht, Lagi-lagi ia merasakan perubahan pada hidupnya, meski menyimpan perasaan yang bersalah.
Lalu Licht berkata.”Tuan Paul anda bukan dari Vilvath selatan?” Tanya Licht. Memulai topik.
“Ya, benar..aku tinggal di ibu kota, Vilvath Utara.” Jawab Paul, Tanpa ragu.
“Apa urusan yang dia maksud di Distrik Haumea?” Pikir Licht. Penasaran. Mengingat bahwa Vilvath selatan tidak jauh berbeda dengan Vilvath barat tempat yang kurang cocok untuk seorang yang terlihat seperti bangsawan atau orang kaya.
“Aku lupa memperkenalkan diriku sepenuhnya, Aku, Viscount Paul Merjoimile, seorang kepala serikat perdagangan kerajaan valdoria.” Ungkap Viscount Paul tanpa ragu.
Seketika Licht, Ren serta Theodore sedikit terkejut, namun menyembunyikan keterkejutannya.
Licht bergumam, pelan.”Pantas saja..” Mengingat Viscount paul yang akan di menjadi mayat jika tidak bertemu dengan mereka, lalu melanjutkan.”Jika tidak bertemu dengan kami, tapi bertemu dengan berandalan atau kriminal biasa namun berotak udang, mungkin kau sudah dirampok..” Pikir Licht, ia sedikit simpati kepada Viscount paul jika tidak bertemu dengannya.
“Ada apa?” Tanya paul, menyadari suasana seketika menjadi hening.
Licht berdehem, dan berkata.”Saya Lyrss lian, senang bertemu denganmu, Tuan Viscount.” Ujar Licht, memperkenalkan diri.
“Maaf jika saya tidak sopan, Saya Theodore.” Lanjut Theodore memperkenalkan dirinya, sambil mengemudi.
“S-saya..Ren Isoiji.” kata Ren, Memperkenalkan dirinya di kursi depan, meski enggan.
Viscount Pauk tertawa menepuk pundak Licht pelan dan berkata.”Tidak perlu kaku seperti itu..” Ia menyadari perubahan pada mereka setelah mendengar gelarnya.
…
Vilvath selatan, Distrik Haumea.
Aino berjalan menuju Bar Aphrodite’s Den. Namun di pertengahan jalannya, Aino berhenti di depan toko pakaian yang masih terbuka, lalu melihat bayangannya di cermin.
“Sial…aku lupa..aku masih menggunakan pakaian biarawati.” Pikir Aino. Menghela nafas.
Aino merogoh saku nya yang tersembunyi, dan melihat kantong berwarna hitam yang berisi uangnya pecahan 15 Cresil dan 10 Drell.
“Haruskan aku membeli pakaian?” Pikirnya sesaat, setelah memutuskannya, ia lalu berjalan cepat memasuki toko Busana tersebut.
Dua puluh menit kemudian, Aino keluar dari toko busana tersebut. Ia mengenakan kemeja abu muda berlengan unik—bagian lengannya terbelah dan terbuka, menyisakan lengan dalam yang dibungkus sarung tangan panjang berwarna cokelat tua dengan pola simbolik. Kemeja itu dipadukan dengan dasi pita merah kecil di bawah kerahnya, memberikan sentuhan formal namun feminin.
Bagian bawah tubuhnya dibalut celana panjang berpotongan tailored. Celana tersebut memiliki desain asimetris: satu sisi polos, sementara sisi lain bermotif kotak-kotak gelap yang halus. Pinggangnya dilengkapi sabuk ganda dengan gesper logam dan tali kulit tambahan, mempertegas kesan stylish namun fungsional. Ia mengenakan sepatu kulit cokelat tua yang mengkilap.
Ia merogoh sakunya dan melihat isi kantong berwarna hitamnya yang kini kosong. “Aku sekarang miskin..” Pikirnya, menutup mata dan pasrah. Namun pikirannya segera kembali ke tujuannya.
“Anna..” Gumamnya, dan perlahan berjalan lalu berlari di jalanan yang cukup kosong, tidak ada kendaraan yang lewat.
…
Beberapa menit kemudian. Setelah berjalan dan mencari Bar Aphrodite’s Den, Aino berhasil menemukannya tempatnya terletak biasa, di pinggir jalanan yang tidak terlalu besar, cukup untuk pekerja yang kelelahan, dan orang-orang yang menikmati bir. Namun bar itu tampak seperti bar biasa, tidak ada keanehan atau hal yang berbau dengan perdagangan budak ilegal.
“Apa ini tempatnya?!” Pikir Aino. Melirik papan bar yang bertuliskan Aphrodite’s Den menyala oleh lampu berwarna merah muda dan putih.
Aino berjalan mendekat ke arah bangunan bar yang berlantai dua, dan membuka pintu bar. Sesaat terdengar dentingan gelas sorai para penonton yang menonton pertarungan di dalam ring, bau alkohol yang menyengat dan penari wanita yang berada di panggung.
Aino berjalan perlahan melihat situasi, melewati pemabuk dan berjalan menuju meja bartender wanita berambut merah muda, ikal dan pakaian yang cukup terbuka.
Ia duduk di kursi yang berbaris di meja bartender tersebut,”Jus jeruk.” Ucap aino, tanpa menimbang. Bartender itu hanya tersenyum, dan mengangguk.
Namun tiba tiba pria bertato di lengannya kirinya, rambut keriting yang duduk di sampingnya tengah mabuk berkata.”Hei..Nona cantik, Kenapa tidak memesan minuman yang lebih enak, dari pada jus jeruk?” Ucapnya dengan suara mabuknya, tersenyum. Tangannya menopang dagunya.
Aino melirik pria itu, penampilannya tampak kasar dan compang camping, namun terdapat Kain Merah yang diikat pada lengan kanannya. “Aku sedang tidak ingin mabuk.” Jawab Aino mencoba menjawab dengan ramah.
“Benarkah? sayang sekali..tapi jika kau ingin minum denganku lain hari. Aku bersedia.” Ujarnya, Tersenyum, Wajah pria itu merah mabuk, melirik aino.
Aino melihat sekeliling menyadari sesuatu.”Tidak hanya dia yang menggunakan kain merah..apa maksudnya itu?” Pikir Aino, Melihat beberapa orang yang berada di bar itu ada yang mengenakan kain merah tanpa orang lain sadari.
Tiba tiba seseorang menepuk pundaknya.