Bab 3: Bayanyan pertama

Nox melompat ringan dari meja ke lantai dan berjalan tanpa menoleh kebelakang.

Agrisa mengikutinya menyusuri lorong yang perlahan berubah bentuk. Rak-rak buku mulai memudar, digantikan dinding-dinding kaca berembun, seolah mereka telah berjalan di dalam kenangan yang belum selesai di tulis.

“Kemana kita pergi?” tanya Agrisa.

“Ke cerita pertama yang retak.” jawab Nox.

“Jika kau ingin menyelamatkan halaman yang di curi, kau harus masuk ke dalam kisah yang telah di curi oleh Bayangan.”

"Masuk ke dalam cerita?” Agrisa mengernyit, ”Bagaimana maksudmu–”

Sebelum sempat menyelesaikan pertanyaan, lorong berhenti pada sebuah dinding melengkung dari batu berwarna perunggu. Di tengahnya ada buku besar terbuka itu, judulnya terbaca jelas.

“Gadis dari Menara Api.”

“Apa aku harus... masuk kesana?” tanya Agrisa, pelan.

Nox duduk dan mulai membersihkan cakarnya seolah ini hal biasa. “Kau tidak masuk kecerita. Cerita itu akan menelanmu. Jangan lawan. Dan kalau kau mati di dalamnya... yah, kita lihat saja nanti.”

Sebelum Agrisa bisa memprotes, cahaya dari halaman menyambar seperti kilat dan membungkus tubuhnya.

Gelap. Dingin. Lalu, panas yang membakar.

Ia terbangun di tengah sebuah kota yang sepi, langitnya merah menyala, dan bangunan-bangunan di sekelilingnya hangus terbakar. Di kejauhan, menara tinggi dari besi menjulang, dan dari puncaknya, suara tangis anak perempuan menggema.

Agrisa berdiri, matanya berkaca-kaca karena asap. Dunia ini nyata. Terlalu nyata.

Tiba-tiba suara berat menggema di belakangnya.

“Kau bukan dari sini.”

Ia berbalik dan melihat sosok tinggi berjubah abu-abu, wajahnya tak terlihat, hanya dua mata biru terang dari balik bayangan tudung. Di tanganya, sebuah pena yang melayang dan meneteskan tinta hitam ke tanah–tintq itu mendesis seperti asam.

“Ini bukan kisahmu, penjaga muda. Pergi sebelum kau hilang seperti ibumu.”

Agrisa menggenggam buku harian kecil di saku mantelnya.

“Aku tidak akan pergi, cerita ini harus diperbaiki.”

Bayangan itu mendesis.

Dan dari bayangan di sekeliling mereka, makhluk-makhluk mulai muncul–tinggi, ramping, tanpa wajah, tubuhnya seperti asap dan tinta. Mereka bergerak perlahan, mengelilingi Agrisa.

Agrisa mundur satu langkah.

Suara tangis di menara semakin keras.

Tangan Agrisa bergetar. Tapi di dadanya, sesuatu menyala. Buku harian ibunya hangat, dan dari sela-sela halamanya, secarik kertas kecil menyembul. Di sana tertulis satu kalimat:

“Tulis ulang yang hilang, dan kisah akan melindungimu.”

Ia menggenggam pena yang tergantung di lehernya–kenang - kenangan terakhir dari ibunya–dan mulai menulis di udara.

“Gadus di menara tidak sendiri.”

Seketika, cahaya menyala dari ujung penanya, dan makhluk - makhluk Bayangan menjerit, memudar seolah dibakar cahaya itu.

Langit mulai berubah warna.

Dan di atas menara, suara tangis berubah menjadi bisikan harapan.