Bab 2: Pintu Yang Tidak Pernah Terbuka

Langkah pertama di perpustakaan Malam terasa seperti berjalan di atas mimpi yang belum selesai. Lantainya bukan dari batu atau tanah, melainkan dari lembaran kertas tua–tebal,lembut,dan mengeluarkan suara halus setiap kali Agrisa menginjaknya. Huruf-huruf kecil bergerak pelan di bawah kakinya, seperti semut-semut tinta yang tak pernah diam.

Udara disini tak berat, tapi padat dengan cerita.

Agrisa menoleh ke belakang–pintu yang tadi ia lewati telah lenyap. Tak ada tanda celah, tak ada kenangan pintu di balik sana. Hanya rak demi rak, buku demi buku, seperti labirin hidup.

Di hadapannya sebuah meja bundar berdiri berdiri di tengah ruangan besar. Di atasnya, sebuah lampu minyak menyala, tak berkedip. Dan duduk dibelakang meja itu, sosok tua berjubah hitam tinta dengan rambut panjang keperakan menatapnya.

“sudah lama.” katanya, suaranya purau seperti halaman tua yang dibuka perlahan. “Sudah lama kami menunggumu, Agrisa.”

Gadis itu menegakkan bahunya, meski matanya penuh tanda tanya. “Kamu siapa? Bagaimana kamu tau nama–?”

“Nama adalah halaman pertama dalam setiap cerita,” potong lelaki itu, tersenyum samar. “Namaku Elion. Aku penjaga sementara. Dan kamu, Agrisa... Kau adalah kisah yang tertulis di antara celah yang tak selesai.”

Ia bangkit perlahan, lalu mendekati rak besar di sampingnya. Dengan satu sentuhan, tak itu berpindah sendiri, terbuka seperti buku raksasa. Di dalamnya, ratusan buku dengan sampul polos melayang di udara.

“Ini adalah cerita-cerita yang hilang,” ujar Elion. “Mereka yang terlupakan, ditinggalkan, atau dihancurkan. Dunia membuangnya, tapi kami menyimpannya. Namun kini, Bayangan telah masuk. Mereka mencuri. Menelan. Menulis ulang dengan kebohongan.”

Agrisa merasakan rambut kuduknya berdiri. “Bayangan?”

Elion mengangguk perlahan, lalu menuju satu buku yang tampak lebih gelap dari yang lain–warnanya seperti malam yang tidak mengenal bintang. “Bayangan adalah kebisuan yang tumbuh dari ketidakpercayaan manusia terhadap cerita. Setiap kali seseorang berkata ‘Itu hanya dongeng’ atau ‘Cerita itu tidak penting’, mereka memberi bayangan kekuatan.”

Ia menatap Agrisa dalam-dalam. “Dan sekarang, mereka telah mencuri tujuh halaman paling penting dari jantung perpustakaan ini. Tanpanya, dunia cerita akan runtuh.”

“Kenapa aku?” tanya Agrisa pelan.

Elion tersenyum, kali ini dengan kesedihan. “Karena kau putri dari penjaga yang menghilang. Dan karena dalam dirimu, masih ada keyakinan bahwa cerita bisa menyelamatkan.”

Tiba-tiba, suara langkah halus terdengar di balik rak. Seekor kucing berbulu hitam pekat, matanya kuning terang seperti dua bulan kecil, melompat ke meja. Ia menatap Agrisa... lalu berbicara.

“Kalau kau ingin menyelamatkan dunia ini, kau harus berani masuk ke dalam cerita yang terlupakan,” katanya santai.

“Namaku Noax. Aku akan menjadi pemandumu. Tapi jangan berharap perjalanan ini mudah. Beberapa kisah tidak ingin dihidupkan kembali.”

Agrisa menatap sekeliling. Udara mulai terasa berbeda. Buku-buku di rak seperti bernafas.

Dan untuk pertama kalinya, ia bahwa dunia ini bukan sekedar tempat... tapi panggilan.

“Kalau begitu,” katanya perlahan, “mari kita mulai cerita ini.”