Langkah kaki Agrisa bergema pelan di lantai batu marmer perpustakaan kota yang dingin. Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Di luar, hujan masih turun, menari-nari di jendela tinggi yang menghadap ke jalan sepi. Suara tetesanya seperti jarum jam yang tak sabar–menghitung mundur menuju sesuatu yang belum ia pahami.
Ia tidak seharusnya di sini. Tapi sejak surat ibunya ditemukan di antara halaman buku hariannya, rasa penasaran berubah menjadi panggilan yang tak bisa diabaikan. Dan malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Saat ia melewati rak paling tua di ruang arsip, ia mendengar suara samar: desir halaman yang dibalik perlahan, tapi tak ada siapa - siapa.
Ia berhenti. Menggenggam senter kecil di tangan kanan dan buku harian ibunya di tangan kiri
“Kalau kau mendengar bisikan... ikuti,”
suara ibunya terngiang di kepalanya, nyaris seperti mantra.
Rak arsip menjulang sunyi, diliputi bayangan. Tapi Agrisa melihat sesuatu yang tak biasa. Di sela dua rak besar
yang nyaris terhimpit, ada celah sempit–cukup untuk satu orang berjalan miring. Dan di ujung celah itu, tersembunyi oleh bayangan, berdiri sebuah pintu kecil.
Pintu itu seolah tidak seharusnya ada di sana. Tak ada debu di permukaannya.
Tak ada label katalog seperti pintu ruangan yang lain. Justru simbol-simbol aneh terukir di kayunya, membentuk pola yang tampak seperti aksara kuno yang hidup.
Di tengahnya mata satu-satunya terukir rapi.
Tertutup.
Deg. Pintu berdenyut halus di bawah sentuhannya. Simbol-simbol itu menyala perlahan, seperti tinta yang menari di air.
Mata di tengah pintu terbuka–bukan secara fisik, tapi secara rasa. Dan sebelum sempat berpikir, pintu itu terbuka sendiri.
Cahaya ungu kebiruan menguar di celahnya. Aroma kertas tua, tinta, dan hujan pertama menyergap indra penciumannya. Ada kehangatan aneh di balik sana. Agrisa melangkah mundur ... lalu maju.
Satu langkah. Dua langkah. Dunia nyata memudar.
Ia kini berdiri ditengah-tengah koridor yang tidak memiliki ujung. Dinding-dindingnya terbuat dari rak buku, menjulang tinggi hingga ke langit-langit yang tak terlihat.
Langit diatasnya bukan langit biasa–melainkan pusaran bintang yang terbuat dari huruf-huruf kecil, berkilauan lembut.
Di kejauhan, sebuah menara menjulang tinggi, berputar seperti jarum jam yang malas. Dari kejauhan, terdengar suara bel logam tua berdentang–tiga kali.
Dan lalu, suara itu datang. Dalam, tenang, dan bergema keras:
“Selamat datang, Agrisa. Perpustakaan Malam telah membukakan pintunya...”