"Pertemuan yang Tak Lagi Sama"
Hari itu langit mendung tipis,
seolah menyimpan rintik-rintik yang enggan jatuh.
Kami berkumpul di halaman pondok pesantren lama,
tempat segala mimpi pernah bertumbuh — juga tempat beberapa mimpi harus dikuburkan dalam-dalam.
Acara reuni ini bukan sekadar pertemuan teman lama.
Ada tradisi sakral: ziarah ke makam para wali yang menjadi bagian dari sejarah pondok ini.
Ratusan santri berdatangan, membawa tasbih, membawa kenangan, membawa harapan.
Aku menggenggam erat tangan Fathan,
merasa lebih tenang dengan sentuhan hangatnya di sela-sela telapak tanganku.
Kami berjalan beriringan, bersama rombongan lain, menuju makam para kiai pendiri pondok.
Dan di antara kerumunan,
mataku menangkap sosok itu.
Arka.
Aku mengenalinya secepat aku mengenali desah napasku sendiri.
Ia tampak gagah, lebih dewasa, membawa seorang wanita bersyal putih — istrinya — dan seorang anak kecil yang menggenggam tangannya dengan polos.
Waktu seakan berhenti berdetak.
Sebuah luka lama yang sudah kutambal dengan doa-doa, tiba-tiba retak lagi tanpa permisi.
Fathan, yang menggenggam tanganku, sedikit mempererat genggamannya.
Seolah berkata tanpa suara, "Aku di sini, Naya."
Arka pun melihatku.
Sekilas saja.
Tatapan yang tidak berani bertahan lama, seolah menyadari bahwa dunia kami kini sudah berbeda poros.
Di matanya, ada sekelumit rasa yang bahkan tidak sempat terjemahkan —
antara pengakuan, kerinduan, atau mungkin hanya sekadar kenangan yang terlampau basi untuk dibahas.
Kami menunduk hampir bersamaan.
Seperti santri-santri kecil yang diajari adab: tidak memandang sesuatu yang tak halal, tidak menyesali apa yang sudah ditentukan Tuhan.
Langkah kami tetap beriringan bersama rombongan,
namun jiwa kami masing-masing tahu: ada sesuatu yang patah dan tidak bisa diperbaiki lagi.
Di sela-sela doa ziarah,
aku berusaha memejamkan mata lebih erat.
Menggantungkan seluruh rasa di langit harapan,
berbisik dalam batin:
"Ya Allah, cukupkan aku dengan apa yang Kau pilihkan. Jangan biarkan aku menginginkan sesuatu yang telah Kau jauhkan."
Di sebelahku, Fathan berdoa khusyuk.
Sementara itu, di kejauhan, aku mendengar suara kecil —
tawa anak Arka — yang terdengar seperti angin lewat di sela ranting,
menggugurkan sisa-sisa kenangan yang mungkin belum sempat gugur dengan ikhlas.
Aku menghela napas panjang.
Mungkin, inilah akhir dari cerita yang dulu tak pernah sempat dimulai.
Kini, yang tersisa hanya ketulusan untuk saling mendoakan dalam diam —
tanpa perlu memiliki, tanpa perlu menyebutkan nama.
Dan aku tahu,
di hadapan para wali yang doanya menembus langit,
saat ini, aku hanya ingin menjadi perempuan yang benar-benar ikhlas mencintai takdirnya.