Bab 9

"Tali Silaturahim yang Menyimpan Luka"

Udara sore itu beraroma tanah basah.

Langit mulai memerah, seakan malu melihat apa yang diam-diam bergemuruh di dada kami.

Reuni berakhir dengan derai tawa, peluk tangan, dan janji untuk tidak lagi terlalu lama melupakan satu sama lain.

Aku, Fathan, dan Arka bertemu di lorong kecil dekat taman belakang pondok — seolah takdir sengaja mempertemukan kami sekali lagi sebelum hari benar-benar gelap.

Arka mendekat dengan langkah santun, menundukkan pandangannya penuh hormat kepada Fathan.

"Bang Fathan," sapanya dengan suara rendah, "jika suatu saat membutuhkan bantuan untuk mengembangkan pesantren... saya siap. Tenaga, pikiran, apa pun yang bisa saya lakukan."

Fathan tersenyum hangat, menepuk pundaknya, "Syukron, Arka. InsyaAllah, ukhuwah kita tetap terjaga."

Aku hanya berdiri di sisi Fathan, menggenggam tangan suamiku lebih erat.

Tapi jantungku berdetak lebih kencang, tanpa bisa kuperintah.

Dalam ruang itu, tanpa siapa pun benar-benar sadar, ada sesuatu yang rapuh bergelora — sesuatu yang tak boleh dihidupkan kembali.

Arka mengeluarkan ponselnya, tersenyum kecil, lalu berkata kepada Fathan,

"Kalau berkenan, bolehkah saya tukar nomor? Biar mudah nanti menghubungi, barangkali ada program pesantren yang bisa kita sinergikan."

Fathan mengangguk dengan lapang.

Lalu, tanpa prasangka apa pun, ponsel berpindah dari tangan ke tangan.

Dalam sekejap, deretan angka itu berpindah: dari tanganku ke milik Arka.

Sebuah angka.

Sebuah jembatan.

Sebuah pintu yang seharusnya tetap terkunci rapat-rapat.

Aku menggigit bibir bawahku, menahan sesuatu yang menyeruak dalam dada.

Sementara Arka, dengan tangan gemetar nyaris tak kentara, menyimpan nomor itu.

"Semoga kita bisa saling menguatkan dalam kebaikan," katanya pelan, hampir hanya seperti angin yang lewat.

Aku mengangguk pelan.

Hanya itu yang bisa kulakukan.

Karena kalau kubiarkan bibirku bicara, aku takut seluruh tembok pertahananku runtuh.

Malam itu, setelah kami pulang, aku berdiri lama di beranda rumah.

Memandang bulan yang setengah wajahnya tersembunyi di balik awan.

Seperti hatiku — setengah berusaha tetap kuat, setengah lainnya mulai retak.

Di kamarku, ponselku bergetar.

Sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal.

Hanya satu kalimat pendek:

"Semoga Allah selalu menjaga hatimu, Naya." — A

Aku menatap layar itu lama.

Lalu, dengan tangan bergetar, aku menghapus pesan itu.

Bukan karena aku benci,

tetapi karena aku ingin tetap setia pada jalan yang kupilih —

jalan yang menuntutku untuk membungkam perasaan yang tak pernah diberi hak untuk hidup.

Dalam bisik doaku malam itu, aku berkata:

"Ya Allah, jagalah aku dari mengkhianati mereka yang mencintaiku karena-Mu."

Karena aku tahu, dalam hidup ini, tidak semua pertemuan harus disambut.

Ada yang cukup dikenang,

ada yang cukup didoakan dari jauh,

dan ada yang harus rela dilepaskan — demi kehormatan, demi keimanan, dan demi surga yang diimpikan.