Langit di atas Desa Kalabumi memerah, menyala seperti bara yang menyelimuti ujung cakrawala. Debu tanah beterbangan ketika seorang pemuda mengayunkan pedang kayu ke udara. Tidak ada yang menyaksikannya. Tidak ada sorak-sorai. Hanya suara napas yang tersengal dan denting ringan kayu menghantam udara.
Satu ayunan.Dua ayunan.Tiga ayunan... hingga yang ke delapan ratus lima puluh tujuh.
Jasana, anak tukang besi, memejamkan mata sejenak. Keringat membasahi wajahnya, menetes dari dagu ke tanah kering yang sudah tercetak jejak kakinya selama bertahun-tahun. Kedua tangannya gemetar, kapalan, dan mulai berdarah di bagian telapak. Tapi ia tidak berhenti.
"Buku ini bilang, pendekar sejati mengulang satu jurus seribu kali... bukan mempelajari seribu jurus sekali," gumamnya sambil memandangi buku usang yang tergeletak di atas batu. Halamannya hampir copot semua, isinya pun sebagian tak terbaca. Tapi baginya, buku itu seperti kitab suci.
Orang-orang di desa menyebutnya orang aneh. "Anak si Karma sudah gila sejak kecil. Latihan pedang tanpa guru, tanpa tujuan. Mana bisa dia masuk Guild?"Namun Jasana tidak peduli. Baginya, impian adalah nyala api yang tak bisa dipadamkan oleh cibiran.
Di kejauhan, terdengar bunyi kentongan. Seruan panik menggema dari arah pasar. Seekor makhluk berlendir setinggi tiga manusia—Raksasa Lumpur dari rawa utara—menyerbu desa. Jeritan terdengar. Pedagang kabur. Anak-anak menangis.
Para penjaga belum datang. Desa ini terlalu kecil, terlalu miskin untuk mendapat perlindungan tetap dari kerajaan. Tapi monster tidak peduli pada status sosial.
Tanpa berpikir, Jasana menggenggam pedang kayunya. Bukan baja. Bukan sihir. Hanya sepotong kayu panjang yang mulai retak.
Langkahnya perlahan maju ke arah makhluk itu. Lututnya gemetar. Dadanya penuh rasa takut. Tapi ia sudah membuat janji dengan dirinya lima tahun lalu.
"Kalau aku tak bisa menjadi pendekar dengan bakat... maka aku akan menjadi pendekar dengan keyakinan."
Dan dengan satu teriakan, ia melompat. Pedang kayu itu melesat ke arah kegelapan.
Makhluk itu mengaum, suaranya seperti lumpur yang mendidih. Raksasa Lumpur menjulang tinggi dengan tubuh menjijikkan yang terus meneteskan cairan lengket ke tanah. Setiap langkahnya mengguncang bumi, meninggalkan bekas kehancuran di mana pun ia menginjak.
Para warga berlarian, melarikan diri ke ladang dan bukit. Namun di tengah jalan desa, berdiri seorang pemuda kurus, mengenakan baju latihan yang sudah lusuh. Jasana menggenggam pedang kayu dengan dua tangan, menahan gemetar tubuhnya.
Monster itu menatapnya, seolah heran. Manusia kecil ini... berdiri sendirian?
“Langkah kaki berat. Lambat... tapi kuat.” Jasana mengingat kembali catatan dalam bukunya. “Serang sebelum dia sempat mengangkat tangan.”
Dengan satu tarikan napas, ia berlari. Tidak cepat, tapi mantap. Tanpa pikir panjang, ia melompat ke arah kaki si monster dan mengayunkan pedang kayunya tepat di persendian lutut lumpur itu.
BUK!
Kayu menghantam lumpur. Suara retakan terdengar. Bukan dari monster, tapi dari pedangnya—muncul retakan besar di tengah batangnya. Tapi monster itu sedikit goyah. Sedikit.
Itu cukup.
Monster itu mengangkat lengannya untuk menghantam balik, namun Jasana sudah bergerak. Ia berguling ke samping, lalu kembali berdiri di belakangnya, mengayunkan satu lagi tebasan ke punggung monster itu.
BUK!
Retakan di pedang makin dalam. Tapi monster itu menjerit—tak karena rasa sakit, tapi karena kehilangan keseimbangan. Lumpur-lumpur dari tubuhnya mulai meluruh, dan Jasana melihat sesuatu: inti berkilau di dalam dada makhluk itu.
“Inti sihir...” gumamnya. “Itu titik lemahnya!”
Monster itu berbalik, mengayunkan lengannya seperti palu raksasa. Jasana mengangkat pedangnya... dan retakan terakhir pun pecah. Kayu itu patah, di ujungnya terlempar jauh.
Namun pedang kayu yang tersisa di tangan Jasana masih mencuat seperti pisau.
Tanpa ragu, dia melompat ke arah dada monster yang terbuka, lalu menusukkan potongan kayu itu ke inti sihirnya dengan seluruh kekuatan yang tersisa.
CRACK!
Kilatan cahaya meledak. Monster itu mengeluarkan jeritan panjang, lalu meleleh perlahan ke tanah, menyisakan lumpur mati yang tak lagi hidup.
Jasana jatuh terduduk. Nafasnya berat. Seluruh tubuhnya gemetar. Pakaian lusuhnya kotor oleh lumpur, dan tangannya memegang setengah pedang yang kini nyaris tak berguna.
Namun di sekitarnya, warga mulai kembali, menatapnya dengan tatapan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Takjub. Tak percaya.
Dan dari balik bayangan rumah, seorang pria berjubah panjang dengan simbol api berputar di dadanya—anggota Guild Bayu Geni—berdiri diam, menatap Jasana dengan mata tajam.
“…Gerakan itu… bukan milik orang biasa,” bisiknya pelan.
Flashback itu datang bagai angin. Sunyi dan tak tertahankan.
“Latihan tanpa guru hanya bisa berhasil jika muridnya lebih keras dari siapa pun.”
Tiga Tahun Lalu
Hujan turun deras malam itu. Tapi di ladang belakang rumah, seorang remaja kurus berdiri dengan tangan terangkat. Ia memegang pedang kayu yang berat di atas kepala, tak bergeming walau tubuhnya menggigil.
Setiap malam, ia berdiri di sana—meniru jurus dari gambar kasar dalam buku, mengulang hingga tubuhnya tak bisa digerakkan lagi.
Tak ada sorakan. Tak ada pujian. Kadang hanya suara ibunya dari jendela, “Nak, masuklah. Kau bisa sakit.”
Tapi ia hanya menjawab, “Sedikit lagi, Bu. Hanya seratus ayunan lagi.”
Dan malam pun berlanjut.
Pagi harinya, ia akan tidur sebentar sebelum membantu ayahnya menempa besi. Di sela-sela waktu, ia memperkuat pergelangan, memanjat bukit, berlari keliling desa. Kadang tertidur dengan tangan masih memegang pedang.
Waktu berjalan. Badan mulai terbentuk. Ayunannya makin stabil. Tapi tak pernah sempurna. Dan setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia membuka halaman depan buku itu. Ada tulisan tangan sang ayah di sana:
“Kalau kau tidak punya keajaiban, maka jadilah orang yang lebih keras dari takdir itu sendiri.”
Kembali ke masa kini. Api unggun kecil di tengah desa padam perlahan. Jasana memeluk lututnya, menatap langit malam yang bertabur bintang.
Ia menutup matanya, mengingat suara langkah, hujan, dan gemetar pedang di masa lalu. Ia bukan anak ajaib. Tapi malam-malam sunyi itu telah menempanya jadi baja.
Dan sekarang… saatnya ditempa menjadi api.
Langkah sepatu kulit menghentak tanah basah. Jasana masih terduduk, tangan kirinya memegang sisa pedang, napasnya berat. Dari balik kepulan debu dan lumpur, pria berjubah panjang itu mendekat, posturnya tegak dan wajahnya tertutup sebagian oleh bayangan tudung.
Di dada jubahnya, lambang Bayu Geni—api menyala dalam lingkaran angin—berkilau terkena cahaya senja.
Jasana mendongak. Ia mengenal lambang itu. Semua orang mengenalnya.
“Nama?” tanya pria itu, suaranya dalam dan tegas, seolah setiap kata punya bobot sendiri.
“…Jasana Mandira,” jawabnya, masih terengah. “Dari Kalabumi.”
Pria itu menatapnya dalam-dalam. Mata coklat tuanya seperti menembus dada. Lalu pandangannya turun ke pedang patah yang ada di tangan Jasana.
“Bukan senjata kerajaan. Bukan sihir. Tidak ada khodam…” gumamnya. “Tapi kau mengalahkan Raksasa Lumpur kelas C—sendirian.”
“Aku... hanya menahan,” jawab Jasana jujur. “Sampai bantuan datang.”
“Apa kau tahu, anak-anak bangsawan di ibu kota butuh tiga tahun pelatihan dan dua pengawal pribadi untuk bertahan dari makhluk seperti itu?”
Jasana tak menjawab. Ia merasa tubuhnya nyaris roboh. Tapi matanya tetap menatap lurus.
“Aku lihat ayunanmu,” lanjut pria itu. “Kaku. Sederhana. Tapi ada kontrol. Ada disiplin. Itu bukan latihan asal-asalan.”
Jasana mengangguk. “Aku... berlatih sendiri. Lima tahun.”
Hening sesaat.
Pria itu membuka tudungnya, memperlihatkan rambut perak pendek dan wajah dengan bekas luka panjang di pipi kiri.
“Namaku Raksadana, Kapten Divisi Latihan Guild Bayu Geni. Dan aku belum pernah melihat orang sepertimu, Jasana dari Kalabumi.”
Jasana tercengang. Nama itu... legenda hidup. Pendekar medan perang. Strategi perang dingin Gya-Sena. Guru dari tiga petarung terkenal.
“Kau mau jadi bagian dari kami?”
Jasana nyaris tak bisa bicara. Bibirnya gemetar. “A...aku... tak punya bakat. Tak punya darah petarung…”
“Kau punya sesuatu yang lebih langka,” potong Raksadana. “Kemauan untuk berdiri... saat semua orang memilih lari.”
Ia mengulurkan tangan. Tangan penuh bekas luka dan kapalan, tangan seorang prajurit sejati.
“Datanglah ke ibu kota. Tiga hari dari sekarang. Perlihatkan siapa kau sebenarnya.”
Jasana menatap tangan itu lama. Hatinya berdetak kencang. Dalam sekejap, semua ejekan, semua malam latihan tanpa hasil, semua luka dan darah… seolah terbayar lunas.
Dengan tangan yang masih gemetar, ia menggenggam tangan sang kapten.
“Ya, Tuan. Aku akan datang.”
Jika Jasana adalah api kecil yang baru dinyalakan, maka Raksadana adalah kobaran unggun yang telah membakar selama puluhan musim.
Usianya empat puluh dua tahun, namun tubuhnya masih sekeras batu karang. Tinggi menjulang dengan dada bidang, rambut panjang hitam beruban di sisi pelipis, dan sorot mata tajam yang seperti mampu menilai kekuatan seseorang hanya dalam sekali pandang. Di tubuhnya terdapat bekas luka besar melintang dari bahu ke pinggang—sebuah kenang-kenangan dari pertempuran melawan mahluk buas di Perbatasan Utara.
Raksadana bukan sekadar pendekar, ia adalah legenda hidup di kalangan Guild Bayu Geni, terutama Divisi Latihan yang ia pimpin selama hampir satu dekade. Ia dikenal tak mengenal kompromi dalam pelatihan. Latihannya keras, kata-katanya ringkas, dan evaluasinya seperti bilah pedang: tajam, namun jujur.
"Kalau kau ingin bertahan hidup di luar tembok, buat kakimu seperti batu, dan hatimu seperti air. Lembut namun menghancurkan."
Meski tampak dingin, Raksadana bukan tanpa hati. Dalam dirinya masih membara rasa tanggung jawab terhadap generasi berikutnya—terutama mereka yang seperti Jasana: para pemimpi yang datang tanpa nama, tapi membawa semangat yang tak bisa ditakar.
Ia berasal dari keluarga prajurit kecil di dusun terpencil di lereng Gunung Mandalagraha, wilayah selatan Kerajaan Mandalagiri. Ayahnya gugur saat menahan serangan pasukan bayaran dari kerajaan asing, dan ibunya adalah penenun sederhana yang menghidupi anaknya dengan menjual kain di pasar dataran tinggi.
Dari masa lalunya yang keras, Raksadana membawa dua hal: kedisiplinan yang teguh dan rasa hormat yang dalam terhadap mereka yang berjuang dari bawah. Itulah sebabnya ia melihat sesuatu dalam diri Jasana—bukan kekuatan, bukan ketangkasan... tapi keteguhan hati.
Dan dalam dunia tempat monster berkeliaran dan kesetiaan diuji, itu sering kali lebih penting dari segalanya.
Mentari baru saja terbit di ufuk timur saat kabut pagi masih menggantung tipis di ladang Kalabumi. Embun belum sempat menguap dari rerumputan ketika Jasana melangkah pelan keluar dari rumahnya, memanggul ransel kain dan pedang kayu patah yang kini ia ikat di punggung.
Di depan rumah berdinding bambu, kedua orang tuanya telah menunggu.
Jasana berusia dua puluh satu tahun di tahun ini—usia yang bagi kebanyakan pemuda desa adalah masa untuk menikah, mengolah ladang, atau meneruskan pekerjaan keluarga. Namun takdir lain telah memanggilnya.
Tinggi tubuhnya menjulang di atas rata-rata rakyat biasa, dengan bahu lebar hasil latihan fisik bertahun-tahun. Kulitnya kecoklatan, tebal terbakar matahari, dan kedua telapak tangannya kasar, penuh bekas luka kecil yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Rambutnya hitam legam, selalu diikat ke belakang dengan simpul sederhana, dan sorot matanya—coklat tua nyaris hitam—menyimpan sesuatu yang tak dimiliki banyak orang: tekad yang tak pernah padam.
Jasana bukan pendekar, bukan bangsawan berdarah biru, bukan pula anak dari prajurit agung. Namun dalam dirinya menyala bara yang tak bisa dijelaskan—sebuah kekuatan yang belum punya nama, tapi mampu menolak takdirnya sebagai "orang biasa".
Setiap malam, ia tidur bersama pedang kayunya; bukan sebagai senjata, tapi sebagai perpanjangan dari impiannya.
Ayahnya, Karma Wijaya, pria berusia empat puluh tujuh tahun lelaki bertubuh kokoh dengan tangan kasar karena sehari-hari bekerja sebagai pandai besi desa. Matanya teduh tapi menyimpan kekhawatiran.
Ibunya, Wirasih, berusia empat puluh lima tahun perempuan lembut yang selalu menyiapkan air hangat di pagi hari dan menambal baju latihan Jasana tiap kali robek. Wajahnya sedikit bengkak karena tak bisa menahan tangis semalam.
Mereka berdiri diam, seolah tak ingin pagi ini datang terlalu cepat.
Jasana berhenti di depan mereka. Ia mencoba tersenyum, meski jantungnya berdebar kencang.
“Aku akan pergi ke Tirabwana,” katanya pelan, menyebut nama ibu kota megah Kerajaan Mandalagiri. “Kapten Raksadana dari Guild Bayu Geni memintaku datang ke sana. Untuk... ujian masuk.”
Wirasih menutup mulutnya dengan selendang, matanya langsung berkaca-kaca.
Karma menatap putranya lama, lalu mengangguk sekali. “Aku tahu hari ini akan datang, Nak. Tapi tak kusangka secepat ini.”
Jasana menunduk. “Maaf, Ayah... Aku belum bisa balas semua pengorbanan kalian...”
Tangan Karma terangkat, menepuk bahu putranya keras, penuh bangga. “Kau sudah membayar semuanya dengan satu hal: keberanianmu untuk pergi.”
Ibunya maju, memeluk Jasana erat. “Bawalah doa kami. Bawalah namamu... dengan jujur dan teguh.”
Dari kantong bajunya, Wirasih mengeluarkan kain kecil berwarna merah marun, sulaman tangannya sendiri. Di dalamnya terbungkus kalung kayu kecil, potongan dari pohon tua yang tumbuh di halaman rumah mereka.
“Ini untukmu. Sebagai penanda... kau berasal dari sini. Dari tanah yang percaya pada kerja keras dan kejujuran.”
Jasana menerimanya, menggenggamnya erat.
Kemudian Karma menyerahkan sesuatu: sebilah belati dari baja ringan. “Ini bukan untuk berperang. Tapi untuk mengingat siapa kau, saat dunia mulai ingin mengubahmu.”
Jasana memeluk keduanya. Tak banyak kata. Hanya rasa yang menggantung dalam pelukan lama itu.
Ketika ia akhirnya berjalan pergi, melewati ladang yang selama ini menjadi tempat ia berlatih, angin pagi mengibarkan debu dan dedaunan. Tapi langkahnya mantap.
Di depan sana, jalan menuju Tirabwana menanti. Di sanalah mimpi-mimpi diuji. Di sanalah Guild Bayu Geni berkumpul.
Dan mungkin, di sanalah Jasana akan menemukan takdirnya.
Langkah Jasana menyusuri jalan utama desa Kalabumi. Matahari pagi mulai menyingkap kabut tipis yang masih menggantung di antara atap-atap jerami.
Namun kali ini, jalanan itu tak sepi seperti biasanya.
Dari balik jendela, pintu rumah, dan sudut-sudut ladang, satu per satu warga mulai keluar. Tak bersuara di awal, hanya menatap pemuda yang berjalan dengan ransel dan pedang kayu di punggung.
Kemudian suara pertama terdengar—suara Pak Tarsa, tukang kayu tua yang biasanya cerewet soal harga.
“Terima kasih, Jasana. Kau menyelamatkan anak-anakku dari Raksasa Lumpur itu.”
Disusul suara lainnya.
“Kalabumi berhutang padamu, Nak!”
“Selamat jalan! Jangan lupa kembali!”
Dan tiba-tiba, jalan desa itu menjadi seperti sungai manusia. Warga berdiri di kanan-kiri, membentuk jalur sempit. Mata mereka berbinar, penuh harap. Ada yang menepuk bahu Jasana pelan, ada yang tersenyum, ada pula yang menahan tangis haru.
Ibu Sarti, penjual jajanan pasar, menyodorkan bungkusan daun pisang, “Lemper untuk perjalananmu. Masih hangat.”
Dari samping, dua bocah kecil yang dulu sering meniru latihan Jasana ikut berlari dan menyerahkan kendi kecil. “Ini air madu. Ayah kami yang buat!”
Seorang pemuda desa bahkan menyerahkan sepatu kulit lusuh miliknya. “Tak sebagus buatan kota, tapi kuat untuk mendaki.”
Jasana terdiam. Matanya basah. Selama lima tahun, ia melatih diri di sunyi—hanya suara angin dan detak jantung. Tapi kini, desanya bersuara untuknya.
Ia membungkuk dalam-dalam. “Terima kasih... untuk semua ini.”
Warga tak menjawab. Mereka hanya membalas dengan satu hal: tepuk tangan pelan... yang kemudian membesar... dan membahana di seluruh penjuru Kalabumi.
Jasana melanjutkan langkahnya, menembus tepuk tangan itu. Setiap langkah terasa lebih ringan. Beban di punggung terasa lebih ringan.
Sebab hari itu, ia tidak hanya membawa ransel dan pedang kayu—ia membawa harapan sebuah desa.
Hari sudah menjelang senja saat Jasana tiba di tepian Hutan Gantarawati, bentangan lebat yang disebut-sebut sebagai jalur pertama menuju ibu kota Tirabwana. Hutan ini dijuluki "Perisai Mandalagiri", karena seolah menjadi tembok alami yang memisahkan desa-desa luar dengan jantung kerajaan.
Langkah Jasana melambat saat dedaunan rimbun mulai menutup langit. Sinar matahari memudar, tergantikan cahaya jingga yang menari di antara celah pohon. Burung-burung malam mulai bersuara, dan udara menjadi lebih lembap.
Di sinilah semuanya dimulai.
Di antara pohon-pohon tinggi dan akar menjulur seperti ular tua di Hutan Gantarawati, terdapat sosok yang selalu bersembunyi dalam kabut senja—makhluk yang dikenal para pemburu dan petualang dengan nama Punggrang.
Punggrang bukanlah predator yang berburu karena lapar—ia adalah penjilat luka, pemakan sisa. Bangkai hewan, jenazah prajurit, bahkan mayat monster lain—semuanya dilahap tanpa pilih-pilih. Tapi yang membuatnya ditakuti bukan sekadar kelaparan gilanya, melainkan nafsu buas terhadap darah makhluk hidup yang terluka namun belum mati.
“Ia mencium luka seperti anjing mencium daging, tapi datang seperti bayangan yang bergeser.” — Catatan kuno dari Penjaga Hutan Lama.
Punggrang bukanlah makhluk alam biasa. Menurut mitos kuno Kalabumi, mereka adalah jelmaan dari roh-roh hina para pemburu tamak dan pengkhianat medan perang—jiwa-jiwa yang mati tanpa kehormatan, tak diterima bumi maupun langit.
Jasana menyusuri jalan setapak yang jarang dilewati, berbekal petunjuk dari seorang pedagang tua yang ia temui di perempatan desa. Sepanjang jalan, ia sesekali berhenti untuk memastikan arah, meneguk air, atau menenangkan degup jantungnya yang belum terbiasa dengan sunyi pekat di rimba lebat.
Namun ketika malam benar-benar jatuh dan bayangan pohon menjelma siluet hitam yang menakutkan, suara asing mulai terdengar.
Kriiiikkkk... krok... kruukk...
Jasana menghentikan langkah. Di antara semak gelap, mata kecil kehijauan menyala.
Tiga sosok pendek dengan kulit kelam kehijauan, bertelinga panjang dan wajah jelek—mereka merunduk dengan gerakan licik dan tawa lirih. Makhluk itu dikenal dalam cerita rakyat sebagai "Punggrang", makhluk pemakan bangkai dan pemburu kesasar yang suka menyerang pelancong di hutan Gantarawati.
Jasana mundur satu langkah, mencabut pedang kayunya.
Salah satu Punggrang melompat cepat, mencakar dari atas pohon. Jasana berguling ke samping, menahan napas, dan berdiri cepat sambil menyabetkan pedangnya—kena! Meski hanya terpental.
Dua lainnya langsung menyergap dari kanan dan kiri.
Jasana menahan satu cakar dengan tangan kiri, lalu membenturkan gagang pedang kayunya ke wajah makhluk itu—terdengar bunyi keras seperti tulang retak. Satu Punggrang mundur sambil meraung.
Yang terakhir mencoba menusuk dengan senjata tulang tumpul, tapi Jasana memutar tubuh dan menghantam lutut makhluk itu dari bawah, menjatuhkannya ke tanah. Ia langsung meloncat dan menendang kepala makhluk itu hingga terlempar ke semak.
Napasnya memburu. Punggungnya berkeringat. Tapi ia masih berdiri.
Ketiga makhluk itu terkapar, lalu lari tertatih ke dalam semak belukar, mengeluarkan suara menggeram tak senang.
Jasana berdiri terdiam di tengah hening rimba malam, lalu menatap pedang kayunya yang kini patah di ujungnya.
"Masih terlalu lemah untuk dunia seperti ini..." gumamnya.
Namun di hatinya, api kecil mulai menyala. Ini bukan pelatihan lagi. Ini dunia nyata.
Dan ia baru saja melewati ujian pertamanya.
Malam telah turun sepenuhnya. Langit di atas Hutan Gantarawati tak memperlihatkan bintang—tertutup daun-daun tinggi dan pekat yang seperti menjalin selubung sunyi di atas kepala Jasana. Angin malam lembut tapi menusuk, membawa bau tanah basah dan kabut tipis.
Di bawah sebuah pohon trembesi raksasa, Jasana mendirikan tempat perlindungan seadanya dari terpal tipis dan dedaunan kering. Ia menyalakan api kecil—hanya secukupnya agar tak mengundang makhluk hutan lainnya.
Sambil duduk memeluk lutut, ia membuka bungkusan dari Ibu Sarti: lemper yang masih utuh dan air madu dari bocah-bocah kecil desa. Ia mengunyah perlahan. Rasa gurih dan manis itu membawa ingatannya pulang—ke suara ibunya, dentang palu ayahnya, dan bau kayu yang menguar dari rumahnya di Kalabumi.
Seketika, keheningan rimba terasa sangat luas dan asing.
Ia menatap ke arah api. Nyala kecil itu memantulkan bayangan wajahnya yang penuh debu dan sedikit luka. Pedang kayu yang retak kini tergeletak di sampingnya, diam dan kusam.
“Kenapa aku melakukan ini?” batinnya lirih. “Apa semua ini cukup?”
Tapi suara itu segera ditelan oleh kenangan—suaranya sendiri saat masih kecil, berteriak sambil menebas angin di ladang.
“Aku akan masuk Guild! Aku juga bisa bertarung!”
Ia tersenyum kecut. Waktu telah berjalan jauh sejak itu, tapi semangat kecil itu masih ada... menyala di balik rasa takut dan letih.
Malam semakin larut. Suara serangga hutan membentuk irama latar yang menenangkan. Sesekali, terdengar raungan samar dari jauh—mungkin serigala hutan, mungkin makhluk lain.
Jasana mengikat kalung pemberian ibunya di pergelangan tangan. Ia menatap langit hitam di atas, lalu memejamkan mata.
“Besok, aku akan lebih kuat. Lebih cepat. Lebih siap.”
Tidurnya tidak nyenyak. Tapi cukup. Api kecil itu menyala sampai fajar, seperti jiwanya yang—meski penuh keraguan—tak padam oleh dinginnya malam pertama di dunia luar.
Matahari belum sepenuhnya menampakkan wajahnya ketika Jasana terbangun dari tidurnya yang sempat terputus oleh suara-suara hutan. Embun masih menggantung di pucuk-pucuk daun, dan kabut tipis menyelimuti tanah lembap tempat ia membaringkan tikar anyamannya semalam.
Dengan gerakan pelan namun pasti, ia bangkit, menggulung selimut tipisnya dan menyimpan barang-barang ke dalam buntalan kain. Perjalanan masih panjang, pikirnya. Tapi sebelum langkah berikutnya diambil, ia tahu satu hal: tubuh dan pikirannya harus dipersiapkan.
Ia berjalan mengikuti celah di antara pohon-pohon besar, mendengarkan aliran air dari kejauhan. Tak butuh waktu lama hingga ia menemukan sungai kecil berair jernih, mengalir pelan di bawah naungan dahan lebat. Di tepinya, burung-burung kecil menyanyikan lagu pagi yang merdu, dan sekumpulan kupu-kupu beterbangan di antara bunga hutan yang bermekaran.
Jasana melepas baju atasnya dan berjongkok di tepi sungai, menyibakkan air dingin ke wajah dan lehernya. Wajah muda itu, keras oleh semangat dan penuh gurat tekad, menatap pantulan dirinya di permukaan air.
Setelah membasuh seluruh tubuh, ia berdiri di sebuah batu datar di pinggiran sungai dan menarik napas dalam-dalam. Dengan tangan kanan, ia mengangkat pedang kayu usangnya—benda yang menemaninya selama lima tahun latihan dalam sepi.
Benda itu mungkin tak punya nilai di mata pendekar lain, tapi bagi Jasana, pedang itu adalah saksi setiap luka dan tekad yang ia pupuk sendirian.
Lalu ia mulai.
Langkah demi langkah. Ayunan demi ayunan.
Seratus gerakan dasar. Dihitung dalam hati. Tubuhnya bergerak seiring cahaya pagi yang menembus sela daun. Tidak ada penonton. Tidak ada pelatih. Hanya ia, pedang kayu, dan suara burung-burung yang seolah memberi semangat.
Ayun... tusuk... tarik... putar. Keringat mulai mengalir meski udara masih sejuk.
“Selangkah demi selangkah, bahkan air bisa membelah batu,” gumamnya, mengulang kalimat yang dulu ia temukan dalam sebuah buku tua yang lusuh.
Ketika latihan kecil itu usai, ia duduk di tepi sungai, mengatur napas, membiarkan dirinya terhanyut sejenak dalam kedamaian pagi. Ia tahu, kedamaian seperti ini tidak akan lama. Di depan sana, ujian sebenarnya menanti.
Namun pagi ini... pagi ini adalah miliknya. Milik seorang pemuda tanpa nama, yang terus berjalan meski dunia menganggapnya bukan siapa-siapa.
Setelah semalaman bermalam di Hutan Gantarawati dan mengawali pagi dengan latihan di tepian sungai, Jasana kembali melangkah ke arah barat daya, menyusuri jalan setapak yang mulai membaik.
Semakin jauh ia berjalan, semakin terdengar suara petani dan lalu lalang gerobak di kejauhan—pertanda ia mulai mendekati peradaban.
Menjelang siang, ia tiba di sebuah desa kecil bernama Rawasinga, perkampungan yang tenang dengan ladang terbuka dan rumah-rumah panggung dari kayu tua. Perutnya mulai menuntut haknya setelah menempuh perjalanan tanpa sarapan selain bekal kecil dari warga desa.
Di tengah desa, berdiri sebuah kedai makan yang sederhana, namun ramai. Asap dapur mengepul dari atap jerami, dan aroma rempah-rempah menari di udara. Jasana masuk, melepas beban di bahunya, dan memesan sepiring nasi panas, lauk sayur hangat, serta segelas air kelapa muda.
Ia makan dengan lahap namun sopan. Tangannya yang kasar dari latihan mengangkat sendok dengan hati-hati. Setelah menyantap makanannya hingga habis, ia duduk sejenak, menikmati ketenangan tempat itu.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.
Tiga pria bertubuh kekar dan berwajah liar, dengan pakaian compang-camping namun bersenjata tajam, masuk dengan langkah seenaknya. Mereka dikenal oleh warga desa sebagai bandit hutan—bekas prajurit pelarian yang kini hidup dari memeras dan menjarah.
Salah satu dari mereka menghentakkan kakinya ke meja.
“Bayar pajak duduk, pajak napas, pajak kenyang! Yang duduk di sini harus setor kalau tak mau masalah!”
Suasana di kedai membeku. Para pengunjung menunduk. Beberapa sudah mengeluarkan uang receh. Namun saat mereka mendekati Jasana, ia hanya menatap mereka tenang, lalu berkata dengan nada datar:
“Orang lapar seharusnya minta makan, bukan merampas. Tapi kalian bukan lapar perut… kalian lapar rasa berkuasa.”
Bandit itu menyeringai. “Filsuf dari mana ini? Kau pikir karena membawa tongkat bisa bicara besar?”
Tanpa aba-aba, salah satu dari mereka mengayunkan golok ke arah Jasana. Tapi tubuh Jasana sudah bergerak lebih cepat—ia memutar ke samping, menarik pedang kayu dari punggungnya, dan memukul balik dengan keras ke pergelangan tangan penyerangnya.
“KRAK!” Golok jatuh ke lantai.
Seketika, pertarungan pun pecah.
Jasana melompat ke atas meja, menggunakan ruang sempit kedai untuk keuntungannya. Gerakannya cepat dan terlatih. Ia tidak menyerang untuk membunuh, namun memukul titik lemah tubuh para bandit—lutut, bahu, dan tangan.
Dalam waktu kurang dari satu menit, ketiga bandit itu sudah tersungkur di lantai, meringis kesakitan. Para pengunjung hanya bisa melongo melihat bagaimana seorang pemuda bersenjatakan kayu mampu mengalahkan penjahat bersenjata tajam.
Tak lama kemudian, warga desa memanggil pasukan jaga desa. Para penjaga datang dan segera meringkus para bandit, mengikat mereka dengan tali kasar dan membawanya keluar untuk ditahan.
Seorang lelaki tua, pemilik kedai, mendekati Jasana dan meletakkan tangan di dadanya, memberi hormat.
“Terima kasih, anak muda. Tak banyak yang berani berdiri melawan mereka… dan lebih sedikit lagi yang mampu menang.”
Jasana hanya tersenyum kecil dan mengangguk.
“Saya hanya tidak suka melihat orang menindas yang lemah,” jawabnya pelan.
Ia kemudian duduk kembali, menyesap sisa air kelapa yang sudah mulai hangat, sembari memandang ke luar kedai. Langit mulai cerah kembali. Perjalanannya baru dimulai, tapi nama Jasana kini mulai terdengar, meski hanya sebagai bisik di kedai kecil desa Rawasinga.
Setelah kejadian di kedai reda dan bandit-bandit itu dibawa oleh penjaga desa, suasana perlahan kembali normal. Namun bisik-bisik kekaguman dan rasa syukur dari para warga masih terdengar di sekeliling Jasana.
Di tengah keramaian yang mulai mereda, seorang lelaki paruh baya dengan jubah sederhana namun rapi dan bersih menghampiri Jasana. Ia memiliki janggut putih tipis, rambut disanggul ke belakang, dan mata tajam penuh pengalaman. Orang-orang di kedai langsung memberi jalan dan memberi hormat padanya.
Namanya adalah Pak Bramasuta, kepala balai desa Rawasinga—seorang tua bijak yang sudah dihormati selama bertahun-tahun.
“Kau bukan orang biasa, anak muda,” katanya pelan, duduk di bangku yang kosong di seberang meja Jasana. “Gerakanmu cepat dan bersih. Kau belajar dari mana?”
Jasana tersenyum sedikit. “Dari buku… dan dari lima tahun peluh dan rasa sakit.”
(tersenyum ramah)“Anak muda, boleh aku duduk di sini?”
“Tentu saja, Pak…”
“Namaku Bramasuta, kepala balai desa ini. Dan kau... siapa namamu, anak muda?”
“Jasana, Pak. Saya dari Desa Kalabumi.”
Pak Bramasuta tertawa kecil, lalu mengangguk takjub. Namun wajahnya segera berubah lebih serius.
“Tindakanmu benar, Jasana. Tapi mereka yang kau kalahkan tadi… hanyalah kaki tangan dari jaringan yang lebih besar.
Mereka menyebut dirinya Gerombolan Bayawira, kelompok bandit terorganisir yang menyebar dari hutan Gantarawati sampai ke perbatasan timur kerajaan.”
Jasana mengernyit, mendengarkan dengan saksama.
“Bayawira? Apakah mereka begitu berbahaya?”
“Lebih dari sekadar berbahaya. Mereka bukan sekadar pencuri. Mereka menjual informasi, mengatur sabotase, dan sesekali menyamar sebagai pengembara untuk menyesatkan pelancong. Kau berani, tapi jangan terlalu sembrono. Nama mereka bisa saja menungguimu di perjalanan berikutnya.”
(menatap ke arah jendela, ke langit biru yang membentang)
“Saya ingin bergabung dengan Guild Bayu Geni di ibu kota. Saya ingin melindungi... dan menjadi orang yang berguna.”
Pak Bramasuta kemudian membuka lipatan kecil kain di sakunya dan menyerahkan sebuah peta kecil desa dan jalur perbukitan ke arah ibukota kerajaan.
“Ini jalur yang jarang digunakan bandit. Lebih panjang memang, tapi lebih aman. Kau sepertinya punya tujuan besar. Aku tahu apa itu, tapi… hati-hati, anak muda. Kadang keberanian adalah nyala, tapi kehati-hatian adalah lentera yang menuntun langkah panjang.”
Jasana menerima peta itu dengan hormat, menyimpan dalam gulungan kecil di tas sampingnya.
“Terima kasih atas nasihatnya, Pak Bramasuta. Saya akan mengingatnya.”
Pak Bramasuta tersenyum hangat, lalu menepuk bahunya. “Semoga angin selatan membimbing langkahmu, Jasana. Dunia butuh orang seperti dirimu… dan aku rasa ini baru permulaan.”
(diam sesaat, lalu tersenyum hangat)
“Kau membawa nyala dalam dirimu, Jasana. Mungkin belum besar, tapi terang. Dan kadang, terang kecil itulah yang paling sulit padam dalam gelap. Aku akan mengingat namamu.”
Jasana berdiri dari bangkunya, membenahi ransel dan menyelipkan pedang kayunya di punggung.
(sambil tersenyum)“Terima kasih atas makanannya, Bu. Kedainya hangat dan makanannya… luar biasa.”
(tersenyum ramah)“Kalau kau sempat lewat sini lagi, singgahlah. Semoga jalanmu aman, Nak Jasana.”
Jasana berbalik, melihat Pak Bramasuta yang berdiri di dekat pintu masuk kedai, tangannya menyembunyikan sesuatu yang terbungkus kain hitam.
“Sebentar, Jasana.”
Jasana menghampiri. Pak Bramasuta membuka kain tersebut perlahan, memperlihatkan sebilah pedang baja sederhana dengan ukiran halus pada gagangnya—lambang matahari kecil yang menyala setengah, simbol Desa Kalabumi.
“Pedang ini ditempa di bengkel utama Kalabumi dua puluh tahun lalu. Ringan, tapi tajam. Tidak sekadar alat tempur, tapi juga pengingat.”
(terkejut dan ragu)“Tapi Pak… saya tak bisa menerima ini. Saya belum layak—”
Pak Bramasuta: (menepuk pundaknya pelan)“Kau sudah memilih jalan seorang pelindung. Dan pelindung… harus berani menebas bahaya, bukan hanya melumpuhkannya. Pedang kayumu menyelamatkan banyak orang. Kini, waktunya kau belajar melangkah lebih jauh.”
Jasana menerima pedang itu perlahan. Ia mencabutnya sedikit dari sarungnya, memerhatikan kilauan baja yang memantulkan cahaya. Lalu ia mengikatnya di pinggang.
Jasana: (menunduk hormat)“Saya tak akan menyia-nyiakan kepercayaan ini, Pak Bramasuta. Terima kasih.”
Jasana melangkah pergi, menapaki jalan berbatu desa Rawasinga menuju arah timur. sesuai Peta petunjuk yang diberikan oleh Pak Bramasuta.