Rinjunglangit bukan sekadar rangkaian bukit biasa. Tanahnya berbatu dan jalanannya berliku, dipenuhi semak tinggi dan akar pepohonan tua yang menggurat tanah seperti nadi purba. Kabut mulai turun perlahan saat mentari condong ke barat, menandakan hari mulai beranjak senja.
Langit kemerahan memayungi puncak bukit pertama saat Jasana tiba di Batu Tingkir, sebuah dataran kecil yang cukup datar untuk berkemah. Di kejauhan, terlihat kelap-kelip samar cahaya Ibukota Tirbwana, menyiratkan bahwa tujuan semakin dekat… namun belum cukup untuk disambut esok pagi.
Dengan napas berat namun penuh kepastian, Jasana melepaskan ranselnya dan menancapkan tongkat kayu untuk menggantung lentera kecil warisan ibunya. Ia menyalakan api unggun kecil dan duduk di tepi lereng, memandangi bentangan hutan yang kini terlihat seperti lautan kabut dan bayangan malam.
Jasana (dalam hati):
"Lima tahun lalu… aku hanya pemuda desa yang bermimpi. Kini aku telah sampai sejauh ini. Dan Ibukota—hanya satu malam lagi…"
Dari kejauhan, suara burung malam bersahutan, dan angin pegunungan membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Di tempat sunyi seperti ini, Jasana merasa sangat kecil… namun sekaligus sangat hidup.
Malam di Rinjunglangit: Nyala di Balik Kayu Retak
Api unggun telah meredup, tersisa bara yang sesekali memercik, menemani hembusan angin pegunungan yang dingin. Jasana telah terlelap, berselimut mantel lusuh, dengan pedang kayu kesayangannya terselip di samping tubuhnya—ujungnya sudah retak sejak pertarungan melawan bandit di Desa Kalabumi.
Namun malam ini, tidurnya tidak seperti biasanya. Dunia mimpi seolah terbuka dalam kabut perak. Ia berdiri di tengah kehampaan yang tenang, tanahnya dari bayangan, langitnya dari cahaya redup yang tak bersumber. Lalu, suara terdengar… berat, dalam, namun lembut bagaikan nyanyian dari akar-akar bumi.
???:“Wahai pemuda, anak tanah dan api... mengapa kau masih menggenggam kayu rapuh itu seperti menggenggam takdirmu sendiri?”
Jasana menoleh. Dari antara kabut, muncul sosok—setengah manusia, setengah bayangan. Wajahnya tampak tua namun tak renta. Mata tajamnya menyala redup seperti bara dalam guci. Rambutnya menjuntai seperti lumut kering, dan di tubuhnya tergurat ukiran-ukiran kuno yang hidup.
“Siapa kau... apa ini mimpi?”
Roh Penuntun:“Aku adalah cerminan dari niatmu yang tak pernah padam. Aku bukan sekadar mimpi… aku adalah penunggu dalam batang kayu yang telah menemanimu bertahun-tahun. Aku adalah ingatan dari tiap luka dan keringat yang kau tumpahkan.”
Jasana menatap pedangnya. Di dunia mimpi itu, kayu retak itu bersinar, menyisakan bara kecil di dalamnya.
“Kau... tinggal di dalam pedang kayuku?”
Roh Penuntun:“Bukan kayunya yang membangkitkanku, tapi tekadmu. Saat manusia biasa memilih menyerah, kau memilih berlatih dalam diam. Dalam tiap ayunanmu, aku mendengar panggilan. Kini, aku telah terbangun.”
Roh itu melayang mendekat, lalu menyentuh dada Jasana. Seketika kilatan cahaya mengalir dari tubuh Jasana menuju pedangnya, menyatukan mereka.
Roh Penuntun:“Namaku adalah Rajapati—bukan yang membunuh, tapi yang menuntun pada kemenangan melawan nasib. Aku akan menjadi matamu saat gelap datang, dan tanganmu saat keraguan melumpuhkan.”
Petuah Rajapati:“Ingat ini, Jasana: Bukan kekuatan yang menjadikanmu layak bertarung, tapi niat yang tak tergoyahkan. Bahkan kayu lapuk bisa menjadi senjata suci jika dipandu oleh keyakinan.”
Cahaya meluap. Dunia mimpi runtuh pelan-pelan menjadi partikel cahaya. Jasana terbangun mendadak, keringat membasahi dahinya. Api unggun telah padam. Ia menatap pedang kayunya... dan walau retak, bagian tengahnya kini terasa hangat, berdenyut pelan, seolah bernapas.
Angin pagi mulai berembus dari timur, membawa aroma lembah dan suara dunia yang perlahan terbangun.
Mentari baru saja menampakkan wajahnya dari balik barisan punggung bukit, menumpahkan cahaya keemasan ke lembah yang masih diselimuti kabut. Udara pagi membawa aroma tanah basah, dedaunan kering, dan embun yang meresap dalam pori-pori.
Jasana perlahan membuka mata. Tubuhnya terasa ringan, namun hatinya… penuh. Ia duduk dan menatap ke langit. Mimpi itu belum pudar dari benaknya. Ia segera meraih pedang kayunya—retakan yang sebelumnya terasa sebagai kelemahan, kini seperti jalur urat api yang samar bercahaya jika dilihat dari sudut tertentu.
Dengan hati-hati, ia berdiri. Napasnya dihela panjang. Ia mengangkat pedang itu… dan saat mengayunkannya, terasa berbeda. Udara seolah mengikuti gerakan tersebut, menciptakan pusaran halus di sekitarnya.
“Apa ini…? Seolah kayu ini... hidup.”
Ia menapak perlahan ke tanah lapang berbatu di sisi perbukitan. Dikelilingi bunga liar dan pepohonan kecil, Jasana memulai latihan paginya seperti biasa—namun kali ini, setiap gerakan membawa kilasan memori dari malam sebelumnya.
Ia mengayunkan pedang ke depan, dan dalam sepersekian detik, terdengar letupan angin kecil—tak cukup keras untuk menghancurkan, tapi jelas berasal dari pedangnya sendiri.
“Kau mulai merasakan denyutku. Kita kini terikat. Tapi ingat… bukan kekuatan yang akan menjadikanmu pemenang, tapi kemurnian tujuanmu.”
Jasana berhenti sejenak. Lalu dia mengulangi ayunan. Kali ini, tangannya mantap, langkahnya terarah, dan… tubuhnya menyatu dengan gerak pedang. Ujung kayu menciptakan getaran yang membuat rerumputan di sekitarnya berdesir.
Bukan sekadar senjata. Ini adalah bagian dari dirinya.
Di akhir sesi, ia duduk bersila di pinggir tebing, menatap langit yang kini cerah sepenuhnya. Ia menggenggam pedang kayu itu dan berbisik lirih.
“Rajapati… Terima kasih. Aku belum tahu ke mana jalan ini akan membawaku. Tapi aku bersumpah… aku akan menapakinya dengan segenap keyakinan.”
Dari kejauhan, siluet menara istana Tirabwana mulai tampak di cakrawala—megah seperti dongeng, berdiri di antara kabut dan cahaya. Jalan masih panjang, tapi langkah pertama sebagai petarung sejati telah diambil.
Langkah Jasana mantap menuruni jalanan berbatu dari Perbukitan Rinjunglangit. Dari puncak sebelumnya, ia telah melihat siluet ibukota: Tirabwana, kota agung di jantung Kerajaan Mandalagiri, dikelilingi benteng tinggi berlapis batu hitam dan emas, menara-menara menjulang dihiasi payung megah khas raja-raja, serta bendera kerajaan berkibar megah di setiap penjuru.
Saat mendekati gerbang utama, suara riuh terdengar makin jelas—derap kuda, teriakan para pedagang, dentang palu pandai besi, suara kecapi jalanan, hingga tawa bocah yang berlarian. Tirabwana hidup… bagaikan tubuh besar yang tak pernah tidur.
Gerbang kota dijaga oleh dua barisan prajurit berpakaian zirah tempaan pandai besi terbaik, dengan lambang Garuda Mandalagiri tersemat di dada.
Jasana melangkah maju. Tatapannya lurus, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan rasa kagum. Salah satu penjaga—bertubuh besar dengan cambang tebal dan tombak panjang—mengulurkan tangan menghentikannya.
Penjaga 1 (suara berat):“Tahan. Sebutkan nama dan tujuanmu.”
Jasana menjawab tenang, walau ada ketegangan kecil di dadanya.
“Namaku Jasana. Aku datang dari Desa Kalabumi. Tujuanku: Guild Bayu Geni. Atas undangan salah satu kaptennya, Raksadana.”
Penjaga lain—lebih muda, dengan mata tajam—menyipitkan mata, lalu membuka gulungan kecil dari kantong kulit.
Penjaga 2:“Hmm… Raksadana memang menyampaikan akan ada calon anggota baru. Kau datang lebih awal dari yang diduga.”
Penjaga pertama menatap Jasana dari ujung kaki hingga kepala, lalu mengangguk pelan.
Penjaga 1:“Kalau begitu, selamat datang di Tirabwana… kota yang tak pernah tidur. Hati-hati di dalam. Banyak hal yang bisa membuat orang lupa tujuan.”
Gerbang terbuka dengan derit lambat, memperlihatkan kota yang luar biasa megah—bangunan berundak khas Nusantara berdiri kokoh, pasar-pasar yang sibuk dipenuhi warna dan aroma, biksu dan pendeta berjalan berdampingan dengan para saudagar dari negeri seberang, serta para ksatria guild dengan pakaian kebesaran yang membelah jalanan dengan gagah.
Di kejauhan, Markas Agung Bayu Geni tampak seperti benteng kedua—lebih ramping dan artistik, namun tak kalah megah. Pilar-pilarnya tinggi, dihiasi relief petualangan dan pertempuran zaman dahulu. Di puncaknya berkibar panji merah dengan simbol api biru yang menyala: lambang keberanian dan pengabdian.
Jasana berdiri sejenak di tengah hiruk pikuk kota, napasnya dalam.
Jasana (dalam hati):"Ini adalah dunia yang kutuju… Dunia tempat takdir kutantang dengan baja dan keyakinan."
Dan dengan langkah mantap, ia mulai menapaki jalan menuju markas Guild Bayu Geni, di antara lautan manusia dan arus nasib yang menunggu untuk diukir.
Gerbang besar Markas Agung Bayu Geni terbuat dari kayu cendana hitam, bertatahkan ukiran api dan angin—dua unsur yang menjadi landasan filosofi guild ini: berani menantang, cepat merespon.
Saat Jasana melangkah masuk ke aula utama, suara langkah kakinya tenggelam di tengah suara ramai para calon anggota. Aula itu luas, dengan lantai batu hitam berkilap dan langit-langit menjulang bertiang kayu jati yang dipoles. Di dinding terpampang lukisan para petualang legendaris yang pernah membawa nama Bayu Geni ke puncak kejayaan.
Mata Jasana menelusuri kerumunan. Beberapa wajah tampak penuh percaya diri, ada yang terlihat gugup, dan ada pula yang duduk tenang seperti samudra di tengah badai. Ia menatap sekitar dan mencoba membaca suasana.
Lalu, seorang perempuan tinggi berambut pendek dan sorot mata tajam menoleh ke arahnya. Ia menyapa lebih dulu.
Perempuan:“Baru sampai juga, ya? Dari desa mana?”
Jasana:“Kalabumi. Namaku Jasana.”
Perempuan:“Akrab saja. Aku Nandika, dari Tanah Selampa. Pelempar tombak terbaik di desaku—tapi sepertinya di sini semua orang merasa paling hebat.” Ia tersenyum miring.
Dari sisi lain, seorang pemuda bertubuh tambun dengan wajah bulat dan ramah menghampiri sambil mengunyah buah kering.
Pemuda:“Namaku Bagas. Kalau mereka jago bertarung, aku jago makan. Tapi ya… racun pun harus tahu cara dimasak, 'kan?”
Semua tertawa ringan. Jasana merasa sedikit lega.
Tak lama kemudian, seorang pemuda berwajah dingin duduk di pojok ruangan, dengan rambut diikat rapi dan pakaian serba abu. Sorot matanya tajam, penuh pengamatan.
Nandika:“Itu Darsa. Dari wilayah pegunungan Lurangga. Katanya sih ahli siasat dan jebakan. Pendiam, tapi katanya pernah ngalahin tiga bandit sendirian di tengah badai salju.”
Bagas menimpali sambil menepuk pundak Jasana.
Bagas:“Kalau kau sendiri? Bawa pedang kayu Patah?”
Jasana (tersenyum):“Bukan. Hanya… belum siap melepasnya.”
Sebelum Bagas sempat membalas, pintu samping aula terbuka. Sosok tinggi dan penuh wibawa muncul—Raksadana, sang Kapten Divisi Latihan, mengenakan jubah merah tua dengan ikat kepala dari kulit rajawali. Semua hening seketika.
Raksadana:“Wahai api-api yang datang membawa harapan dan tantangan… Selamat datang di Bayu Geni. Di sini, kalian tak hanya akan belajar bertarung—tetapi mengerti makna dari setiap tebasan dan niat di balik setiap langkah.”
“Aku melihat wajah-wajah penasaran. Sebagian dari kalian akan gagal. Sebagian akan memilih menyerah. Namun yang bertahan… akan membakar jejak di tanah sejarah Mandalagiri.”
Tatapan Raksadana tertuju sejenak ke Jasana. Ia hanya mengangguk kecil—pengakuan sunyi di antara guru dan calon murid yang telah ia pilih diam-diam.
Raksadana:“Mulai esok, kalian akan diuji. Tak hanya tubuh, tapi tekad dan alasan mengapa kalian ada di sini.”
Aula kembali ramai. Jasana berdiri bersama Bagas, Nandika, dan Darsa. Empat jiwa dari empat penjuru yang berbeda, tapi semua ditarik oleh satu api yang sama.
Dan tanpa mereka sadari, Hari itu adalah hari pertama dari takdir panjang yang akan menuliskan nama mereka dalam legenda.
Keesokan paginya, para calon anggota Guild Bayu Geni dikumpulkan di aula luar, halaman terbuka yang menghadap langsung ke puncak istana Tirabwana. Kabut pagi masih menggantung ringan, sementara deretan instruktur berdiri berjajar di atas panggung kayu.
Raksadana melangkah maju ke tengah, suaranya menggema lantang:
Raksadana:“Sebelum kalian berlatih, kalian harus tahu di mana kalian berdiri. Guild Bayu Geni bukan tempat untuk pembuktian pribadi—ini adalah bagian dari jantung pertahanan kerajaan. Setiap langkah kalian di sini akan menentukan nasib banyak jiwa.”
Ia kemudian menunjuk ke sebuah lukisan besar yang digantung di sisi panggung, menggambarkan struktur guild yang terbagi menjadi beberapa lapisan dan divisi:
🔥 Struktur Guild Bayu Geni
1. Mandala Utama (Pusat Komando Guild)Dipimpin oleh Ketua Guild (Mahapati Geni), langsung diangkat oleh Raja Mandalagiri. Ia bertugas sebagai penghubung antara kerajaan dan guild, pengatur strategi nasional, dan pengesah misi tingkat tinggi.
2. Divisi Latihan (Panggrahita Aji)Dipimpin oleh Kapten Raksadana, divisi ini melatih semua anggota baru, menguji kemampuan, mental, dan kesetiaan. Mereka yang gagal tidak akan diterima sebagai petarung resmi.
3. Divisi Ekspedisi dan Perburuan (Raka Lelana)Bertanggung jawab atas misi pencarian artefak kuno, penjelajahan wilayah asing, hingga perburuan monster. Dipimpin oleh petualang senior, tiap tim memiliki komandan tersendiri.
4. Divisi Penyihir dan Rohani (Rasa Prawira)Berisi ahli sihir, dukun, dan pengendali roh. Mereka bertugas meneliti kekuatan khodam, artefak magis, serta menyembuhkan dan melindungi para anggota dalam misi spiritual.
5. Divisi Pendukung dan Intelijen (Bayang-Bayang Geni)Mengelola logistik, mata-mata, pengumpulan informasi dan keamanan internal guild. Orang-orang dalam divisi ini jarang terlihat tapi perannya sangat vital.
6. Divisi Ekonomi dan Niaga (Mandala Dhana)Mereka adalah tulang punggung keuangan guild, mengelola perdagangan, hasil misi, dan distribusi dana kerajaan. Markasnya terhubung langsung ke lembaga keuangan istana.
Raksadana:“Kalian akan memulai dari bawah. Setelah ujian kelayakan, kalian akan ditempatkan di divisi sesuai kemampuan dan watak kalian. Jangan berpikir kalian akan langsung menjadi pahlawan. Di sini, hanya yang bertahan dan belajar yang bisa menyalakan apinya sendiri.”
Jasana memperhatikan setiap detail. Ia tahu dirinya tidak sekuat yang lain, tapi ia menyadari satu hal: dengan tekad, bahkan api kecil bisa membakar gunung.
Dari barisan calon anggota, Bagas bertanya lirih,
Bagas:“Apa menurutmu kita bisa sampai ke atas itu, Jasana?”
jasana tersenyum kecil“Aku tak tahu... Tapi aku tahu kita tidak datang sejauh ini hanya untuk menyerah.”
Mentari pagi belum tinggi, tapi halaman pelatihan Guild Bayu Geni telah dipenuhi oleh 32 calon anggota yang berdiri tegap, sebagian dengan wajah tegang, lainnya menyembunyikan rasa gugup mereka di balik tatapan yakin.
Jasana berdiri di barisan tengah bersama Bagas, si pemuda ceria dengan ikat kepala merah; Nandika, pendekar muda pendiam bermata tajam; dan Darsa, putra bekas kesatria kerajaan yang terkenal selalu ingin unjuk gigi.
Di hadapan mereka, Kapten Raksadana, berdiri gagah dengan baju pelatihan khas Divisi Panggrahita Aji. Bahunya lebar, suaranya berat, dan setiap tatapannya seperti mampu menembus keraguan siapa pun.
Raksadana:"Selamat datang di hari pertama kalian... dan mungkin hari terakhir bagi yang tak layak. Di Guild Bayu Geni, nyawa adalah taruhan dari setiap keputusan. Maka hari ini, kalian akan belajar dasar paling awal: Bertahan."
Di belakang Raksadana, berdiri 6 instruktur berpengalaman, masing-masing memegang senjata latihan dari kayu dan rotan yang keras.
Latihan pun dimulai. Tiga tahapan telah disiapkan:
Tahap I – Ketahanan Fisik
Para peserta diminta berlari mengelilingi medan pelatihan yang luasnya hampir setengah alun-alun kerajaan, dengan membawa karung pasir di punggung.
Jasana berlari tanpa suara, nafasnya stabil meski tubuhnya berat oleh latihan mandiri selama bertahun-tahun. Bagas mulai terengah, tapi terus tersenyum. Darsa dengan penuh semangat berlari di depan sambil sesekali mengejek yang tertinggal. Nandika tenang dan konstan seperti aliran sungai pegunungan.
Instruktur:“Cepat bukan ukuran, tapi kestabilan dan daya tahan! Ingat itu!”
Tahap II – Reaksi dan Insting
Dalam latihan ini, para calon anggota diminta menghindari serangan acak dari instruktur yang datang dari berbagai arah dengan tongkat rotan.
Saat giliran Jasana tiba, semua mata tertuju padanya. Pedang kayunya patah, tak dibawa. Ia hanya berdiri tegak, menunggu.
Satu serangan dari kiri—dia condong ke kanan, menghindar. Serangan dari belakang—ia menunduk cepat. Serangan dari atas—ia angkat lengannya, menahan dengan pergelangan. Tubuhnya lentur, matanya tajam, dan gerakannya penuh perhitungan.
Instruktur:“Menarik... gerakmu lebih ke arah pertahanan alami, bukan reaksi terlatih.”
Raksadana yang mengamati dari panggung hanya mengangguk perlahan, mencatat sesuatu di papan catatan kayunya.
Tahap III – Uji Strategi Mini
Peserta dibagi dalam kelompok kecil. Mereka harus menyusun formasi sederhana dan mengambil bendera yang dijaga oleh tiga instruktur.
Kelompok Jasana terdiri dari Bagas, Nandika, Darsa, dan dua orang lainnya. Darsa ingin menyerbu langsung.
Darsa:“Kita hajar saja penjaganya. Langsung rebut benderanya.”
Jasana:menggeleng tenang“Terlalu gegabah. Kita buat pengalih perhatian. Nandika dan aku dari kanan, kamu dan Bagas dari kiri. Yang dua lagi buat suara dari belakang.”
Bagas tampak berpikir cepat.
Bagas:“Kalau gagal?”
Jasana:tersenyum tipis“Kita berimprovisasi. Tapi setidaknya kita berpikir dulu.”
Rencana mereka berhasil. Meski Darsa sempat bertindak lebih cepat dari yang direncanakan, Jasana mampu menyesuaikan taktik secara spontan, dan Nandika membantunya merebut bendera.
Setelah Latihan
Sore hari, matahari mulai turun. Para calon anggota duduk di pelataran batu, kelelahan. Raksadana berjalan pelan menyusuri barisan mereka.
Raksadana:“Hari ini baru permulaan. Tapi dari 32, aku melihat hanya segelintir yang menyala. Api kecil, namun bisa membesar... jika diasah.”
Tatapannya jatuh ke arah Jasana sejenak, lalu melanjutkan.
Raksadana:“Besok, kita mulai yang sebenarnya.”
Dengan senja yang meredup dan langit mulai dibungkus kerlip bintang pertama, suasana di barak calon anggota Guild Bayu Geni mulai tenang. Para peserta duduk santai, sebagian merawat luka ringan, lainnya hanya merebahkan diri dalam diam. Di sudut ruangan barak yang sederhana, Jasana duduk bersandar pada tiang kayu, mengelap bekas keringat dengan kain kecil. Di sebelahnya, Bagas sudah duduk lebih dulu, mulutnya terus mengunyah sesuatu dari kantung bekal.
Bagas:“Tahu nggak, Jas… dari semua latihan tadi, paling berat tuh pas lari bawa karung. Badanku rasanya kayak ditarik ke tanah. Tapi seru juga ya.”
Jasana tersenyum, menoleh pada pemuda tambun itu. Wajahnya bulat, kulitnya agak gelap dengan pipi tembam yang tampak selalu berseri. Tapi di balik keceriaan itu, kedua matanya menyimpan semangat yang tidak main-main.
Jasana:“Kau kuat juga tadi. Seranganmu cepat meski badanmu besar.”
Bagas:“Hehe, banyak yang salah sangka karena bentuk badanku. Tapi aku sudah latihan dua tahun di Padepokan Karang Langit, di desaku… Dukuh Margasana. Letaknya di timur, tanahnya subur. Dataran luas, sawahnya tak pernah mati. Kami ini penghasil utama beras dan jagung untuk beberapa distrik kerajaan.”
Jasana mengangguk kagum, memperhatikan ketika Bagas membuka sarung tangan besi yang tampak sudah sering digunakan.
Jasana:“Sarung tangan itu… dari sana juga?”
Bagas:“Iya. Hadiah dari guruku, Ki Murdyapati. Orangnya keras, tapi hatinya hangat. Katanya, tangan bisa menjadi senjata paling kuat… asal tak mudah lepas kendali. Jadi beliau ngajarin teknik dasar bela diri tangan kosong sebelum ngasih ini.”Ia menepuk perlahan sarung tangan besi itu.“‘Pegang kendali atas kekuatanmu, jangan jadi budak kemarahan,’ katanya.”
Jasana tertawa kecil, lalu bersandar kembali. Suasana malam yang hangat terasa makin akrab.
Jasana:“Kau masih muda, Bagas. Baru 19, ya? Tapi kelihatan seperti yang paling ceria di antara kita.”
Bagas:“Kau 21 kan? Berarti kita beda dua tahun. Yah… hidup ini udah berat. Kalau wajahku ikut tegang, siapa yang bikin suasana jadi ringan?”
Keduanya tertawa. Di luar barak, suara jangkrik dan desir angin membawa aroma kayu dan embun malam. Di dalam, kehangatan kecil mulai tumbuh di antara calon-calon petarung muda yang kelak akan menjadi rekan sehidup semati dalam misi-misi berbahaya.
Bagas:“Semoga kita bisa satu tim nanti, Jas. Aku punya firasat, kau bukan orang biasa.”
Jasana:“Begitu pun aku tentangmu, Bagas. Di balik tawa dan tubuh tambunmu, ada kekuatan yang sulit ditebak.”
Malam pun terus berjalan, membawa mimpi dan harapan dari dua pemuda berbeda latar yang kini duduk di bawah atap yang sama—di awal dari sebuah petualangan besar.
Malam di barak Guild Bayu Geni masih tenang. Obrolan ringan antara Jasana dan Bagas terputus oleh suara langkah pelan dari sisi barak. Seorang pemuda berperawakan ramping dan berwajah dingin berdiri di ambang cahaya lentera. Rambutnya hitam pekat, diikat rapi ke belakang dengan pita hitam polos. Sorot matanya tajam seperti elang yang sedang mengincar mangsa—diam, namun penuh perhitungan.
Bagas (berbisik ke Jasana, sambil menunjuk):“Itu si Darsa. Anak baru juga, tapi… auranya beda ya?”
Pemuda itu melangkah pelan, duduk di sisi berlawanan tanpa mengucap sepatah kata. Tangan kirinya sibuk membersihkan sebuah belati kecil, sedangkan tangan kanannya menggenggam kantung kecil berisi pecahan logam dan paku tajam—alat yang tampaknya biasa ia gunakan untuk membuat jebakan.
Bagas:“Eh, Darsa! Nggak ikut ngobrol santai, nih?”
Darsa menoleh pelan. Tatapannya menembus, namun tak berniat menyakiti.
Darsa:“Ngobrol tak membuatmu menang di medan pertempuran. Tapi… kalau itu bisa mengalihkan perhatian kalian dariku, ya silakan saja.”
Bagas:(menanggapi dengan tertawa ringan)“Dih, gaya banget. Tapi ya memang kamu hebat sih. Tadi jebakanmu pas latihan hampir bikin kaki Jasana keseleo.”
Jasana hanya mengangkat alis, setengah tersenyum.
Jasana:“Taktik jebakanmu bagus, tapi kalau melukai teman sendiri, bukankah itu kontra-produktif?”
Darsa: (dingin namun bersemangat)“Pertarungan sejati tak mengenal kenyamanan. Yang siap dengan semua kemungkinan, akan bertahan. Yang lengah… akan tumbang.”
Jasana mengangguk pelan, mulai memahami pola pikir Darsa—keras, tapi jujur.
Bagas, meskipun terkesan santai, tahu kalau Darsa bukan sosok biasa. Ia adalah putra bungsu dari seorang mantan kesatria kerajaan yang kini telah pensiun. Dua kakak lelakinya saat ini bertugas di istana perbatasan Kerajaan Mandalagiri, menjunjung tinggi kehormatan keluarga mereka. Meski usianya baru 17 tahun, Darsa sudah melampaui banyak calon kesatria dalam hal strategi dan penguasaan senjata.
Yang lebih mengejutkan, menurut kabar yang beredar di antara para calon anggota guild, Darsa telah membangkitkan khodam dalam pedangnya. Namun, entitas tersebut masih liar dan belum bisa ia kendalikan sepenuhnya. Kadang dalam sesi latihan, aura sihir tak terkendali bisa terasa menyembur dari senjatanya.
Bagas:“Eh, Darsa… bener nggak sih soal khodammu itu? Katanya pernah bikin satu bilik pelatihan terbakar waktu kamu kesal sama pelatih?”
Darsa mendengus pendek, setengah jengkel, setengah bangga.
Darsa:“Kalau kau belum bisa kendalikan kekuatanmu, biarkan musuh yang menanggung akibatnya duluan. Itu prinsipku.”
Jasana: (pelan, namun dengan rasa hormat)“Semoga suatu hari kau bisa berdamai dengan kekuatanmu, Darsa. Mungkin kita akan bertarung bersama.”
Darsa: (melirik tajam, kemudian menunduk sambil mengukir senyum tipis)“Kalau kau tak memperlambat langkahku, mungkin.”
Mereka tertawa kecil, dan meskipun obrolan itu terasa dingin bagi yang tak paham, namun di antara mereka bertiga mulai terbentuk simpul-simpul kepercayaan yang kelak akan diuji di medan pertempuran.
Malam masih menyelimuti langit Tirabwana, remang lentera menggantung di sepanjang barak Guild Bayu Geni. Obrolan ringan antara Jasana, Bagas, dan Darsa mulai mengendur, ketika suara langkah ringan namun tegas terdengar dari arah pintu.
Sosok seorang gadis muncul, membawa tongkat kayu panjang di bahunya yang tampak seperti tombak tanpa mata logam. Rambutnya digerai separuh, dan sisanya diikat dengan kain biru kusam. Tatapan matanya tajam namun tenang, seperti burung pemangsa yang selalu siaga, namun tidak haus darah. Ia berhenti beberapa langkah dari mereka, lalu mengangguk pelan.
Nandika:“Kupikir kalian para lelaki suka diam-diam pamer siapa yang paling tangguh. Tapi sepertinya malah sedang berdamai dengan dunia.”
Bagas tergelak, sedangkan Darsa hanya melirik datar, dan Jasana tersenyum menyambut.
Jasana:“Kau tak salah. Tapi kalau ingin ikut berdamai bersama, tempat duduk masih tersedia.”
Nandika duduk bersila, tombaknya ia sandarkan di bahunya. Ia memandangi mereka sebentar sebelum memperkenalkan diri.
Nandika:“Namaku Nandika. Aku dari Tanah Selampa—kampung pengrajin kayu dan pembuat tombak. Di sana, setiap gadis diajarkan melempar sebelum belajar merangkai kata.”
Bagas: (terkesima)“Selampa? Wah, desa itu terkenal! Pernah dengar dari ayahku. Katanya tombak buatan sana bisa menusuk dua batang kelapa sekaligus.”
Nandika:(tersenyum bangga namun tenang)“Itu kalau yang melempar tahu caranya. Ayahku, Warudara, adalah pengrajin utama di desa. Ibuku telah lama tiada, sejak aku kecil. Aku dilatih oleh Guru Saptayana di Padepokan Sinar Mandalagraha. Padepokan kecil di kaki Gunung Mandalagraha, tempat para penempuh jalan tombak menyempurnakan teknik mereka.”
Darsa: (menatap tajam dengan ketertarikan yang tak ia tunjukkan secara berlebihan)“Padepokan itu… bukankah terkenal dengan latihan melempar tombak dari tebing ke pohon di lembah?”
Nandika:“Benar. Dan aku pelempar terbaik di antara angkatan terakhir. Jika ingin bukti, berikan aku satu tombak dan sasaran sejauh matamu memandang.”
Kata-katanya tak terdengar sombong. Justru ada kepastian dalam nada suaranya, seperti fakta yang tak bisa dibantah.
Jasana:“Dengan keahlian seperti itu, tak heran kau sampai ke sini. Guild ini sepertinya akan banyak berubah.”
Bagas:(mengangguk sambil nyengir)“Heh, makin ramai. Makin menarik. Aku suka suasana seperti ini.”
Nandika: (menatap tajam ke arah Jasana)“Kau… aku melihatmu tadi di latihan. Langkahmu berat, tapi tatapanmu ringan. Apa kau ragu saat menebas?”
Jasana: (pelan)“Bukan ragu. Tapi aku ingin pedangku bicara hanya saat perlu. Mungkin suatu saat, ia akan bicara dengan suara yang lebih lantang.”
Nandika mengangguk pelan. Dalam tatapannya ada rasa hormat yang tumbuh perlahan.
Keempat calon anggota muda itu duduk dalam diam sesaat, saling mengenali tanpa banyak kata. Malam di Guild Bayu Geni mungkin sunyi, namun di sanubari mereka, api kecil telah menyala—api yang kelak akan menjadi nyala besar dalam kisah panjang mereka.
Fajar menyingsing di atas kompleks Guild Bayu Geni. Cahaya matahari pagi menyentuh ujung atap bangunan kayu dan batu, sementara udara masih segar dan dingin, membawa kabut tipis yang menyelimuti pelataran pelatihan.
Para calon anggota Guild sudah berkumpul di Lapangan Batu Waja, sebuah arena luas yang dikelilingi pagar kayu setinggi dada, dengan permukaan tanah keras berpasir dan batu pipih di tengah—saksi ribuan duel dan tempaan sejak zaman para pendahulu.
Jasana, Bagas, Darsa, dan Nandika berdiri di barisan bersama 28 calon lainnya. Semangat dan ketegangan bergelora. Di hadapan mereka berdiri Raksadana, sang Kapten Divisi Latihan, dengan baju lapis kulit gelap dan sabuk logam berukir lambang Bayu Geni di pinggangnya.
Raksadana:“Hari ini, kalian akan berhadapan dengan satu sama lain. Tidak untuk menunjukkan siapa yang terkuat, tapi siapa yang paling mampu mengendalikan diri.”
Suaranya berat, seperti suara guntur yang ditekan.
Raksadana (lanjut):“Dua putaran duel. Senjata pelatihan. Tidak ada yang keluar arena sebelum lawan menyerah. Gunakan akal, gunakan teknik, dan simpan harga dirimu di pinggir.”
Dua per dua, para calon saling berhadapan. Jerit kayu membentur kayu, teriakan semangat, jatuh dan bangkit menjadi pemandangan umum. Jasana memperhatikan dengan mata tajam, menganalisis setiap gerakan.
Putaran pertama:
Bagas melawan seorang pemuda kurus tinggi dari Desa Lembayung. Meskipun lawannya lincah, Bagas menggunakan berat tubuh dan kekuatan tinjunya dengan efektif. Sarung tangan besinya berbunyi nyaring saat mengenai lengan lawan. Ia menang dengan sekali bantingan dan satu hentakan di tanah.
Nandika melawan seorang penunggang kuda dari padang selatan. Ia tak membiarkan lawannya menyentuhnya sedikit pun—tombak kayunya melayang cepat, dan lemparan terakhir mengenai dada lawan sebelum sang penunggang sempat mendekat.
Darsa bertemu dengan putri seorang bangsawan. Ia bermain siasat, memancing gerakan lawannya dan menjatuhkannya dengan jebakan kaki sederhana yang ia pelajari dari latihan medan liar.
Jasana sendiri melawan pria bertubuh besar dengan gada kayu. Ia mengandalkan kelincahan dan teknik, menghindari setiap pukulan besar, lalu mengakhiri duel dengan satu gerakan cepat menebas pundak lawan dan mengunci lehernya dengan gagang pedang.
Raksadana menatap keempatnya dengan mata penuh pengamatan.
Raksadana: (kepada para pelatih)“Empat dari mereka menunjukkan kecerdasan. Empat lainnya menunjukkan nyali. Tapi hanya mereka yang bisa menggabungkan keduanya yang akan menjadi garda utama Guild ini.”
Sisa hari dihabiskan dengan latihan koordinasi, kerja sama tim kecil, dan simulasi penyergapan. Peluh menetes, tangan penuh luka, tapi tak satu pun mengeluh.
Di ujung hari, keempat calon yang mulai akrab itu berjalan bersama kembali ke barak, diam namun saling memandang dengan rasa hormat yang tumbuh. Sebuah perjalanan panjang tengah terbuka.
Malam turun dengan angin lembut yang membawa aroma kayu bakar dan rempah dari dapur utama Guild Bayu Geni. Setelah dua hari penuh tempaan tubuh dan jiwa, para calon anggota guild dipanggil menuju Aula Divisi Latihan Panggrahita Aji, sebuah bangunan luas dari batu dan kayu gelondongan, dengan atap tinggi yang dihiasi gantungan obor dan ukiran lambang-lambang leluhur pendiri Guild.
Di dalamnya, meja-meja panjang dari kayu jati tua telah disusun rapi. Di atasnya terhidang makanan mewah khas istana—nasi ranti merah, daging panggang bunga padmi, ikan asap dari danau Kumudawarna, serta buah lempung madu dari utara. Asupan bergizi dan nikmat itu adalah bagian dari tradisi Guild—tubuh yang kuat membutuhkan bahan terbaik, dan jiwa yang haus ilmu harus dikenyangkan dengan penghargaan.
Para calon duduk bersama, senyap sejenak melihat kemegahan jamuan yang jarang mereka nikmati di hari-hari biasa. Jasana duduk berdampingan dengan Bagas, Darsa, dan Nandika, yang masing-masing tak bisa menyembunyikan rasa kagum mereka.
Tak lama kemudian, Kapten Raksadana melangkah masuk dari sisi barat aula. Sepatunya menggetarkan lantai batu. Ia mengenakan jubah pelatihan resminya berwarna hitam-emas, dengan sabuk lambang Divisi Pelatihan yang menyala tembaga di bawah cahaya obor.
Semua bangkit berdiri.
Raksadana (dengan suara berat, penuh wibawa):“Wahai para calon, dua hari kalian telah berlatih, berdarah, dan bersahabat di tanah kami. Apa yang kalian alami hanyalah secuil dari kenyataan di medan sesungguhnya. Namun, keberanianmu cukup untuk duduk di meja ini malam ini.”
Ia menatap mereka satu per satu, sorot matanya tajam namun jujur.
Raksadana (melanjutkan):“Makanlah, karena esok bukan sekadar hari terakhir pelatihan, tapi juga saat takdir kalian dipilih. Dari 32 jiwa yang bersemangat, hanya 10 akan resmi menjadi anggota penuh Guild Bayu Geni.”
Gemuruh lirih menyebar di aula. Beberapa peserta menunduk, yang lain menatap ke depan dengan sorot tajam penuh tekad. Raksadana melanjutkan setelah jeda sejenak.
Raksadana:“Dan ketahuilah… bukan hanya kekuatan yang kami nilai, tapi juga keberanian, kecerdikan, dan jiwa untuk melindungi. Karena guild ini bukan tempat bagi orang yang hanya ingin menjadi hebat—tapi bagi mereka yang ingin menghebatkan dunia.”
Tepuk tangan pelan mengiringi akhir sambutannya. Raksadana lalu memberi isyarat, dan para pelayan mulai menghidangkan piring-piring makanan utama.
Jamuan malam itu penuh dengan percakapan hangat dan tawa ringan. Darsa yang biasanya dingin mulai terbuka, Nandika bercerita tentang lemparan tombaknya yang pernah mengenai burung saat latihan, dan Bagas tak henti-hentinya memuji daging panggang yang “lembut tapi menghentak seperti tinju guru padepokannya.”
Sementara itu, Jasana menyantap makanannya perlahan, pikirannya melayang ke esok hari—ujian terakhir yang akan menjadi gerbang menuju babak baru kehidupannya.
Pagi itu langit Tirabwana diliputi awan pucat, seolah langit pun menahan napas menyambut ujian pamungkas para calon anggota Guild Bayu Geni. Di pelataran pelatihan utama, ke-32 peserta telah berbaris tegak, mata mereka menatap ke depan, sebagian tegang, sebagian penuh harap, namun semuanya tahu: hari ini akan menjadi penentu.
Ujian Terakhir: "Laras Waja"
Ujian dibagi dalam lima sesi, masing-masing menguji aspek terpenting seorang anggota Guild.
1. Ujian Waja Raga – Tes Fisik dan Pertarungan Individu
Setiap peserta bertarung satu lawan satu di arena berpasir, menghadapi musuh yang berbeda sesuai dengan kelemahannya masing-masing. Jasana menghadapi lawan bertubuh besar dan agresif, namun mengalahkannya dengan kelincahan dan teknik serangan melumpuhkan.Bagas bertarung menggunakan sarung tangan besinya dengan kombinasi tinju dan bantingan, sementara Darsa menggunakan teknik mengelabui lawan hingga membuat lawannya tersandung jebakan tali jebat.Nandika? Lemparan tombaknya menghentikan lawan sebelum sempat mendekat.
2. Ujian Pangasa Budhi – Tes Kecerdasan dan Ketajaman Strategi
Peserta diuji dengan teka-teki taktis dan skenario pertempuran. Darsa unggul di sesi ini, menyusun rencana pengepungan yang membuat para penguji terkagum.Jasana, meski lambat di awal, menunjukkan keunggulan saat diminta merancang strategi bertahan di wilayah sempit.
3. Ujian Rasa – Tes Empati dan Pengambilan Keputusan Etis
Dalam simulasi penyelamatan sandera, peserta diminta memilih antara menyelamatkan satu sahabat atau lima warga tak dikenal. Nandika menangis saat membuat keputusannya, namun tetap berdiri tegak.Beberapa peserta tampak ragu, dan hal itu menjadi penilaian penting.
4. Ujian Pasukan – Pertarungan Kelompok
Peserta dibagi menjadi tim acak. Jasana, Darsa, Bagas, dan Nandika tidak berada dalam tim yang sama. Ini justru menguji kerja sama mereka dengan orang asing. Jasana membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang tenang, sedangkan Bagas menjadi pelindung garis depan yang tabah.
5. Ujian Diri – Meditasi dan Hadapan dengan Khodam
Yang paling berat. Peserta dibawa satu per satu ke ruang sunyi, dihadapkan pada cermin dan harus berhadapan dengan bayangan diri atau manifestasi dari potensi khodam mereka. Beberapa gagal menghadapi ketakutan terdalamnya. Darsa sempat berteriak, namun keluar dengan senyum tipis. Jasana terdiam sangat lama, dan ketika ia keluar, sorot matanya telah berubah. Lebih dalam. Lebih tegas.
Sore Hari: Pengumuman
Di bawah langit yang mulai berwarna jingga, Kapten Raksadana berdiri di panggung utama, diikuti oleh deretan penguji di belakangnya.
Raksadana (dengan suara lantang):“Dari 32 pejuang yang berdiri pagi ini, hanya 10 yang terpilih untuk menapaki jalan sebagai anggota Guild Bayu Geni.”
Hening menegangkan menyelimuti pelataran.
Raksadana:“Mereka adalah…”
Jasana Mandira
Darsa Nagawikrama
Bagas Prayoga
Nandika Sutasmi
Kirta Wangsaputra – pemanah cerdas dari dataran tinggi Pawana.
Larasmi Dwiputra – ahli racun dan pengintai dari kampung Wulu.
Brahma Anggacandra – pendekar muda dengan gaya bertarung dua bilah pedang.
Surya Bakti – pengguna senjata cambuk baja dan mantan murid sang purnawira Mandalagiri.
Pratiwi Manggala – gadis lincah dengan kemampuan menyamar dan meloloskan diri.
Rakha Udiyana – pelempar senjata rahasia dan ahli dalam pengalihan perhatian.
Sorak tepuk tangan pecah dari para penguji dan sebagian peserta. Namun tidak semua bersorak. Di antara para peserta yang gagal, ada yang menunduk dengan kecewa, sebagian menyeka air mata, ada pula yang berjalan pergi tanpa berkata sepatah kata pun.Seorang peserta bernama Wigra, yang sebelumnya diunggulkan, memukul tiang kayu dengan marah.
“Aku tidak layak gagal…” gumamnya pelan.
Namun Raksadana kembali bersuara:
Raksadana:“Kalian yang tak terpilih hari ini, bukan berarti gagal untuk selamanya. Jalan seorang pejuang tidak selalu lurus. Kadang kita harus berputar, jatuh, atau bahkan bersembunyi… sebelum tiba waktunya bersinar.”
Beberapa wajah yang kecewa mulai melunak, meski tak semuanya bisa menerima. Jasana menatap mereka, merasakan beban kemenangan sekaligus semangat baru yang menyala di dadanya. Ini baru permulaan. Tapi satu hal sudah pasti: mereka kini adalah bagian dari Guild Bayu Geni—penjaga peradaban dan harapan Mandalagiri.
Malam itu, udara di Ibukota Tirabwana terasa lebih sejuk dari biasanya. Angin berembus perlahan membawa aroma harum dedaunan dan asap dupa dari kuil-kuil kecil yang tersebar di balik lorong-lorong kota. Di bagian timur markas Guild Bayu Geni, tampak berdiri bangunan besar berarsitektur khas Mandalagiri: kokoh dengan dinding batu kelabu, tiang-tiang kayu jati berukir naga langit, serta atap genting merah kecoklatan yang menjulang dalam lengkung gagah. Inilah Asrama Utama Bayu Geni, tempat para anggota baru akan memulai kehidupan barunya sebagai bagian dari guild legendaris kerajaan.
Jasana berjalan beriringan bersama Bagas dan Nandika. Ketiganya masih diselimuti rasa kagum, lelah, sekaligus haru setelah lolos dalam ujian seleksi yang ketat. Mereka kini resmi menjadi bagian dari sepuluh orang terpilih dari total tiga puluh dua peserta.
Asrama dibagi dua bagian: sayap barat untuk pria dan sayap timur untuk wanita. Tiap sayap memiliki ruang tengah luas dengan meja panjang dari kayu mahoni untuk berkumpul, serta kamar-kamar sederhana namun nyaman yang memuat dua hingga tiga tempat tidur.
"Aku kira tempat ini bakal lebih seperti barak latihan," ujar Bagas sambil menjatuhkan tubuh ke tempat tidurnya. "Tapi ternyata... empuk juga," tambahnya dengan tawa puas.
Jasana tersenyum kecil, meletakkan tas kainnya ke sudut kamar. "Tampaknya mereka benar-benar memperhatikan kenyamanan anggotanya."
Sementara itu, Nandika berpamitan untuk menuju bagian timur. “Sampai besok pagi. Kita latihan bareng ya,” ucapnya ringan sambil melambai sebelum berbelok ke lorong.
Asrama tak pernah benar-benar sepi. Suara derit lantai kayu, derai tawa dari ruang tengah, dan obrolan antaranggota mengalir bagaikan musik malam. Dari jendela kamarnya, Jasana menatap keluar, menyaksikan lampu-lampu minyak yang bersinar tenang di jalanan Tirabwana.
Di luar asrama, anggota aktif Guild Bayu Geni yang kini berjumlah sekitar enam puluh orang, memiliki kehidupan masing-masing. Sebagian besar sudah mapan, membeli rumah-rumah di pinggiran kota atau tinggal di apartemen kelas menengah yang mulai menjamur di jantung Tirabwana. Ada pula yang menyewa tempat tinggal kecil di distrik-distrik seni, atau tetap memilih asrama sebagai tempat menetap karena alasan kedekatan dan loyalitas.
Darsa, berbeda dari Jasana dan Bagas, memilih tinggal di rumah keluarganya di distrik barat kota. Ayah dan dua kakaknya yang merupakan kesatria aktif membuat rumah keluarga mereka tetap dihormati, meski sederhana.
Jasana akhirnya berbaring, memejamkan mata sambil menggenggam kalung kecil pemberian ibunya. Hari-hari ke depan akan penuh tantangan, mungkin juga luka. Tapi di sinilah jalannya dimulai—bukan lagi sebagai pemuda dari desa Kalabumi, tapi sebagai anggota resmi dari Guild Bayu Geni, yang namanya disanjung hingga ke ujung negeri Mandalagiri.
Dan malam pun menutup tirai bab ini, mengantarkan mereka pada lembaran baru—menuju takdir yang belum terukir.