Pagi itu, matahari Tirabwana bersinar keemasan, menyorot halaman utama Markas Guild Bayu Geni yang dihiasi umbul-umbul merah keemasan dan lambang rajawali berkepak api — simbol kebanggaan para anggota. Hari ini adalah hari bersejarah bagi Jasana dan sembilan lainnya, upacara resmi pengangkatan mereka sebagai anggota penuh Guild Bayu Geni.
Di tengah halaman yang luas, puluhan anggota Guild berdiri membentuk barisan rapi. Ada yang mengenakan jubah petualang, ada yang bersenjata lengkap, dan beberapa membawa simbol khusus divisi mereka. Deretan kursi tinggi terisi oleh para kapten divisi yang hadir dengan pakaian upacara:
Kapten Raksadana dari Panggrahita Aji berdiri tegap dengan jubah hitam berhias sulaman perak.
Kapten Lodra Wahana, petualang sejati dari Raka Lelana, membawa tongkat penjelajah bertatahkan batu peta suci.
Kapten Mahadewa Rakunti dari Rasa Prawira duduk bersila, aura mistis mengelilinginya, tongkat mantra di pangkuan.
Kapten Kalandra Wisanggeni dari Bayang-bayang Geni mengenakan topeng perunggu sebagai simbol kerahasiaan.
Kapten Doyantra Puspaloka dari Mandala Dhana tampil megah dengan jubah dagang berhias emas dan simbol-simbol kemakmuran.
Lalu, melangkah dari gerbang utama dengan langkah agung, datanglah Adipati Maheswara, pemimpin Guild Bayu Geni. Ia mengenakan pakaian kebesaran bercorak biru laut dan merah marun, lambang kebangsawanan dan keberanian. Wajahnya teduh namun penuh wibawa, rambut panjangnya dikuncir, dan pedang pusaka tergantung di pinggang kirinya.
Ia berdiri di panggung tinggi, menatap seluruh peserta upacara, lalu berseru dengan suara yang menggetarkan jiwa:
"Saudara-saudaraku, anak-anak api kebanggaan Bayu Geni! Hari ini adalah saksi—bahwa api yang membara dalam dada kalian telah ditempa oleh ujian! Dari tiga puluh dua jiwa pemberani, sepuluh telah terpilih, bukan hanya karena kekuatan, namun karena tekad, semangat, dan hati yang menyala!
Ingatlah, menjadi bagian dari Guild ini bukan sekadar kehormatan — ini adalah sumpah kepada Tanah Mandalagiri, kepada rakyat, kepada alam, dan kepada roh-roh leluhur kita! Kalian adalah penjaga perbatasan dunia, pelacak artefak sejarah, pemurni energi gaib, dan penjaga harapan!
Maka, aku, Adipati Maheswara, darah keturunan Kerajaan, pemegang kehormatan Bayu Geni, menyambut kalian sebagai anggota sah dari Guild ini. Bawa nama ini dalam setiap langkah kalian, dan jadilah pelita dalam gulita! Bayu Geni... SATU JIWA!"
Semua anggota menjawab serempak:
"SATU JIWA!"
Ledakan semangat membahana, dan para anggota baru berdiri lebih tegak. Dengan ini, perjalanan resmi mereka sebagai bagian dari Guild Bayu Geni dimulai.
Setelah gemuruh yel-yel “SATU JIWA!” mereda, Adipati Maheswara kembali melangkah maju. Para anggota baru menanti dengan napas tertahan — momen yang akan menentukan arah langkah mereka di Guild.
Adipati Maheswara:
"Atas pertimbangan mendalam dari para pelatih Divisi Panggrahita Aji, dan setelah ujian akhir yang melelahkan namun mulia, kini tibalah saatnya untuk kalian ditetapkan ke Divisi- divisi yang sesuai dengan potensi jiwa dan keahlian kalian. Penempatan ini bukan batasan, melainkan fondasi. Jadikanlah divisi kalian ladang untuk tumbuh dan membara!”
📜 Pengumuman Penempatan Divisi
1. Jasana Mandira – Divisi Ekspedisi dan Perburuan (Raka Lelana)
Maheswara: “Jasana Mandira, langkahmu penuh visi, daya tahanmu luar biasa. Raka Lelana menantimu.”
Jasana (menunduk hormat):“Dengan senang hati, aku akan menjelajah dunia untuk Bayu Geni.”(Dalam hati: “Ini awal perjalananku menemukan misteri peninggalan masa lalu...”)
2. Darsa Nagawikrama – Divisi Pendukung dan Intelijen (Bayang-bayang Geni)
Maheswara: “Darsa Nagawikrama, cerdas, penuh siasat, kau adalah bayangan yang akan menelusup ke dalam kegelapan musuh.”
Darsa (tersenyum miring, pelan):“Heh... tugas dalam bayang-bayang, terdengar menyenangkan. Sudah kuduga…”
3. Bagas Prayoga – Divisi Latihan (Panggrahita Aji)
Maheswara: “Bagas Prayoga, kekuatan dan keteguhanmu bagaikan batu karang. Tempatmu ada di jantung pelatihan.”
Bagas (mengangguk penuh semangat):“Aku akan latih diriku sampai tubuhku seperti baja. Siapa pun yang datang ke panggrahita, harus lebih kuat setelah bertemu denganku.”
4. Nandika Sutasmi – Divisi Ekspedisi dan Perburuan (Raka Lelana)
Maheswara: “Nandika dari Selampa, pelempar tombak yang menembus angin. Kau ditakdirkan menjelajah bersama Raka Lelana.”
Nandika (berbisik pelan dengan lirikan tajam):“Tepat seperti harapanku... Dunia luas menanti lemparanku.”
5. Brahma Anggacandra – Divisi Latihan (Panggrahita Aji)
Maheswara: “Brahma Anggacandra, teknik dua pedangmu penuh potensi. Kau akan menjadi panutan dalam latihan.”
Brahma (sambil mengepalkan tangan):“Kalau aku dilatih lebih keras... aku akan jadi yang terkuat.”
6. Kirta Wangsaputra – Divisi Ekspedisi dan Perburuan (Raka Lelana)
Maheswara: “Kirta, mata elang dari dataran tinggi. Jelajahmu belum usai.”
Kirta (menarik tali busurnya pelan):“Semakin jauh aku melangkah, semakin banyak yang bisa kupelajari...”
7. Pratiwi Manggala – Divisi Pendukung dan Intelijen (Bayang-bayang Geni)
Maheswara: “Pratiwi, langkahmu sunyi, kelicikanmu memesona. Kau adalah bayang-bayang yang melindungi cahaya.”
Pratiwi (mengedip santai):“Wah, tugas mata-mata. Aku bisa main banyak peran, menarik sekali…”
8. Surya Bakti – Divisi Latihan (Panggrahita Aji)
Maheswara: “Surya Bakti, cambukmu menari seperti cahaya. Kau akan menempa teknik dan batin.”
Surya (mengangguk hormat):“Seni bertarung harus dilatih dengan hati. Aku siap.”
9. Larasmi Dwiputra – Divisi Pendukung dan Intelijen (Bayang-bayang Geni)
Maheswara: “Larasmi, racunmu tajam, akalmu lebih tajam. Bayang-bayang membutuhkanmu.”
Larasmi (tersenyum halus):“Ah... tempat yang tenang dan beracun, favoritku.”
10. Rakha Udiyana – Divisi Ekonomi dan Niaga (Mandala Dhana)
Maheswara: “Rakha, tanganmu lihai, otakmu tajam. Di Mandala Dhana, jalur distribusi dan kelicikan bertemu.”
Rakha (mengangguk dengan senyum ramah):“Bukan hanya tombak, perdagangan pun bisa jadi senjata.”
Setelah seluruh nama disebut, Adipati Maheswara membuka kedua tangannya ke langit.
"Mulai hari ini, kalian adalah Pilar Api Bayu Geni. Baik kalian bertugas dalam pertempuran, penyembuhan, pengintaian, maupun penjagaan roda ekonomi, kalian adalah satu tubuh, satu tekad — SATU JIWA!”
Seluruh anggota berteriak kembali dengan semangat:
"SATU JIWA!"
ia menyapu pandangan ke seluruh halaman, wajahnya terangkat dengan aura kerajaan yang tak terbantahkan
“Ingatlah, kekuatan tanpa kendali adalah petaka. Pengetahuan tanpa tujuan adalah kesia-siaan. Dan keberanian tanpa persatuan... adalah kehancuran.”
“Jadilah mata yang tajam, telinga yang peka, dan tangan yang tangguh. Tapi di atas segalanya—jadilah hati yang jujur pada tujuan kalian.”
ia mengangkat tangan kanan, mengepal dengan gagah
“Atas nama leluhur Mandalagiri, dan nyala abadi dalam diri setiap pendekar sejati, aku nyatakan: Selamat datang, prajurit muda Bayu Geni!”
sorak sorai menggema dari para anggota lama dan baru, bunyi terompet dan genderang mengiringi momen tersebut.
Setelah keramaian mulai mereda, Jasana dan Nandika berjalan berdampingan menuju tempat air minum di dekat taman kecil. Saat mereka tengah menertawakan komentar kaku Bagas kepada Kapten Raksadana, seorang pemuda berwajah teduh dan bertubuh ramping menghampiri mereka.
Kirta Wangsaputra:
“Maaf mengganggu. Kalian Jasana dan Nandika, ya?”
Jasana mengangguk ramah.
“Iya, betul. Kau pasti Kirta? Dari dataran tinggi Pawana, ya?”
Kirta (tersenyum kecil):
“Benar. Senang akhirnya bisa bicara langsung. Kita semua disibukkan seleksi sampai lupa saling kenal.”
Nandika tersenyum sambil mengusap keringat di pelipisnya.
“Kau masuk ke divisi Raka Lelana juga, ya?”
“Iya. Aku memang banyak melatih diri di medan berbukit. Ayahku seorang pelatih pemanah dari Pawana, jadi sejak kecil aku sudah terbiasa menahan napas dalam kabut dan angin kencang.”
Jasana terlihat penasaran.
“Kau pakai panah biasa?”
Kirta menggeleng pelan.
“Aku menggunakan Panah Langit Kabut, senjata warisan kampungku. Terbuat dari bambu Tumpuk Merah dan senar akar embun. Mampu menembus dua lapis perisai baja jika diarahkan tepat.”
Nandika bersuit pelan, terkesan.
“Hoo, hebat juga. Kukira hanya aku yang punya senjata warisan. Aku bawa tombak pusaka—dari Selampa.”
Kirta (tersenyum sopan):
“Tombakmu terlihat ringan, tapi berbahaya. Kau pasti mengandalkan kecepatan, ya?”
“Aku lebih suka menyelesaikan urusan sebelum lawan sempat angkat senjata.”
Mereka tertawa kecil. Jasana menatap keduanya dengan semangat yang mulai tumbuh.
“Wah... aku jadi makin semangat. Kalau kita kelak satu party, pasti seru. Penjelajah, penombak, dan pemanah. Tinggal nunggu penyihirnya aja.”
Kirta (tersenyum sopan):
“Mungkin itu Petualang Senior. Tapi... kayaknya kita masih butuh waktu untuk terbuka.”
Nandika menanggapi.
“Iya... tapi setidaknya kita sudah mulai. Dari sini, kita jalan sama-sama. sebagai Anggota Divisi Raka Lelana.”
Kirta, yang tampak pendiam sebelumnya, kini menatap Jasana dengan lebih terbuka. Ada rasa penasaran di sorot matanya.
Kirta (perlahan, sopan):
“Kalau boleh tahu... kau berasal dari mana, Jasana? Kupikir kau seperti pendekar dari keluarga bangsawan. Tapi... ada yang beda darimu.”
Jasana menoleh, mengangkat alis sebentar lalu tersenyum kecil. Ia mengambil napas panjang sebelum menjawab.
“Aku... dari Kalabumi. Sebuah desa kecil di kaki Gunung Prabana. Bukan tempat yang penting, tapi cukup damai.”
ia menunduk sebentar, seperti mengingat sesuatu yang jauh di lubuk hati
“Ayahku, Karma Wijaya, hanya seorang pandai besi. Sejak kecil aku membantu menempa besi, menarik napas dalam bara, dan memalu logam sambil menghitung waktu lewat suara ayam hutan.”
Nandika memiringkan kepala, tertarik.
“Lalu kau belajar teknik pedang di mana?”
Jasana tertawa kecil, lalu meraih gulungan kain dari dalam ransel tuanya. Ia membukanya dengan hati-hati, menampakkan sebilah pedang kayu yang sudah retak-retak dan patah di ujungnya.
“Di sinilah aku belajar... selama lima tahun. Tanpa guru. Hanya berbekal satu buku panduan dasar teknik pedang dari perpustakaan desa.”
Ia mengangkat pedang itu sedikit, menunjukkan bekas luka sayatan di bagian tengah, dan banyak goresan di permukaannya.
Jasana (suaranya pelan, tenang):
“Ini teman satu-satunya saat aku jatuh, gagal, terluka, dan bangkit lagi. Aku menamakannya Ardhana, artinya yang bersabar.”
Kirta menatap pedang itu dengan mata membelalak. Ia terlihat terhenyak, seakan tak percaya.
(dengan suara pelan):
“Kau... melatih diri selama lima tahun... sendirian...? Tanpa guru? Dengan pedang... ini?”
Jasana hanya mengangguk.
Nandika, yang biasanya tenang, tampak terdiam sejenak. Pandangannya bergeser dari pedang kayu ke mata Jasana.
(lembut):
“Lalu kau tetap datang ke seleksi Guild... dan lolos sebagai yang terbaik?”
Jasana (merendah):
“Aku hanya bertahan lebih lama dari yang menyerah.”
Kirta menunduk sebentar, lalu menepuk pundak Jasana dengan ringan tapi penuh hormat.
“Itu bukan sekadar bertahan. Itu tekad sejati, kawan. Aku rasa... kita semua punya banyak hal yang bisa dipelajari darimu.”
Jasana tersenyum kecil, menatap ke langit yang mulai jingga.
“Kita semua membawa sesuatu dari masa lalu. Tapi yang paling penting... ke mana kita melangkah dari sini.”
Langit Tirabwana mulai temaram, menyisakan cahaya jingga di balik puncak bangunan Guild Bayu Geni. Setelah percakapan ringan mereka bertiga, tiba-tiba terdengar langkah mantap mendekat. Seorang pria bertubuh tinggi tegap, berambut panjang terikat ke belakang dengan jubah kulit berwarna coklat tua dan simbol Raka Lelana di dada kirinya, berdiri di hadapan mereka.
Kapten Lodra Wahana menatap mereka dengan mata tajam namun penuh wibawa.
"Kalian bertiga. Jasana, Nandika, Kirta. Ikuti aku, sekarang waktunya kalian mengenal tempat kalian akan bertumbuh. Ruang Divisi Raka Lelana."
Tanpa banyak kata, mereka mengikuti sang kapten. Di belakang mereka, tampak sekitar belasan anggota aktif Divisi Raka Lelana lainnya ikut melangkah. Beberapa di antara mereka membawa perlengkapan ekspedisi — tombak, tali panjat, peta, dan satchel kulit berisi ramuan.
Ruangan Divisi Raka Lelana
Pintu besar berukir relief peta dunia dan simbol burung elang terbuka perlahan. Aroma kulit, logam, dan kayu kering memenuhi udara. Ruangan itu megah namun penuh fungsionalitas — lantainya dari batu besar yang dipoles halus, dindingnya dipenuhi rak-rak berisi peta tua, gulungan laporan ekspedisi, dan artefak-artefak misterius dari berbagai belahan negeri.
Di sisi kanan, ada meja-meja besar dengan perlengkapan navigasi, alat ukur angin, dan kompas kuno. Di sisi kiri, terdapat dinding penuh paku tempat tergantung berbagai jenis senjata, dari tombak hutan, pedang pendek, sampai alat aneh yang tampaknya berasal dari luar negeri.
Di ujung ruangan, tergantung Peta Dunia Besar, yang dipenuhi pin-pin berwarna, menandai tempat-tempat berbahaya, dungeon yang belum dieksplorasi, dan situs artefak yang masih dalam penyelidikan.
Kirta (dengan mata berbinar)
"Tempat ini... seperti surga bagi para penjelajah."
Nandika (tersenyum kagum)
"Setiap sudutnya terasa seperti menyimpan cerita."
Jasana (dalam hati)
"Di sinilah langkahku dimulai..."
Lodra Wahana berdiri di tengah ruangan, tangan di pinggang.
"Inilah markas kecil kita, tempat setiap langkah besar dimulai. Raka Lelana bukan hanya tentang keberanian. Tapi tentang pengamatan, kejelian, dan daya tahan. Setiap dari kalian akan menjadi taring pertama Guild dalam menjelajahi dunia gaib dan sejarah yang terlupakan. kita mulai pelatihan internal. Dan tak lama lagi... misi pertamamu akan tiba."
Setelah Lodra Wahana memperkenalkan ruang Divisi Raka Lelana, ia memberi isyarat dengan satu anggukan kepala. Dari antara barisan anggota senior yang berdiri di dekat pintu masuk, seorang pria paruh baya melangkah maju. Kulitnya legam oleh matahari, rambutnya diikat sederhana ke belakang, dan matanya tajam namun teduh.
Di punggungnya tergantung pedang besar bermata dua yang terlihat usang tapi masih berkilau tajam di tepinya. Ukiran pada gagangnya membentuk wajah naga bermahkota.
Lodra Wahana:
"Ini Pradipa Karna, salah satu penjelajah senior kami. Ia telah melintasi banyak tempat yang bahkan tidak masuk dalam peta kerajaan. Dan yang ia bawa di punggungnya adalah ‘Dwijanaga’, pedang yang pernah ditempa dari logam hitam langit yang jatuh di tanah utara."
Pradipa Karna (tersenyum dan mengangguk ramah):
"Selamat datang di Raka Lelana, kalian yang baru. Di sini, kau bukan hanya harus kuat... tapi juga tahan lapar, tahan bingung, dan tahan saat tak ada yang bisa dipercaya kecuali dirimu sendiri. Hari ini, kita mulai dengan dasar—bukan pertarungan. Tapi orientasi medan."
Latihan Internal Pertama: Orientasi Medan dan Penilaian Daya Tahan
Mereka dibawa ke halaman belakang markas, area pelatihan terbuka yang dikelilingi pagar kayu dan rerumputan tinggi. Tiga tiang panji berdiri dengan simbol Guild, Divisi Raka Lelana, dan simbol kuno kompas berputar.
Pradipa menjelaskan penggunaan peta medan, membaca arah angin, dan mengenali tanda-tanda jalur gaib yang tersembunyi dalam alam liar. Lalu dimulailah latihan ringan namun menguji — perjalanan pendek melintasi labirin semak buatan yang penuh dengan jebakan ilusi ringan.
Kirta (mengesankan akurasi navigasinya):
"Arah timur laut... tapi jalur itu terlalu sepi. Kita potong dari arah kiri, jalur akar basah."
Nandika (dengan cekatan melempar batu ke jebakan ilusi):
"Jebakan aura. Bukan medan biasa. Menarik."
Jasana (meskipun sedikit terlambat, berhasil membaca medan dari pola rumput):
"Jejak binatang palsu... ada bekas tumit manusia yang disembunyikan."
Pradipa Karna (tertawa kecil sambil mengangguk):
"Kalian cepat belajar. Tapi ingat, medan sesungguhnya tidak memberi ampun. Di luar sana, kabut bisa membunuhmu sebelum kau sadar sedang tersesat."
Setelah latihan pertama selesai, mereka duduk di bawah pohon rindang, minum air dari kantong kulit sambil menatap langit senja.
Jasana (perlahan, sopan):
"Kalau ini latihan dasarnya saja sudah begini... aku tak sabar menanti misi pertamanya."
Pradipa (dengan nada tenang):
"Misi pertamamu akan datang lebih cepat dari yang kau kira, bocah Kalabumi."
Malam itu, ruang Divisi Raka Lelana diterangi cahaya obor dan lentera gantung yang memantulkan warna emas pada dinding batu yang dihias relief naga dan peta dunia kuno.
Meja-meja panjang dari kayu jati disusun rapi, dengan hidangan hangat yang menggoda: nasi rempah, daging panggang bumbu rimba, sup akar langit, serta buah-buahan hutan segar. Para anggota baru—Jasana, Nandika, dan Kirta—telah membersihkan diri dan mengenakan pakaian resmi Divisi Raka Lelana: mantel pendek berwarna hijau pekat beraksen emas, dengan lambang naga mengepak di dada kiri.
Mereka duduk bersama belasan anggota aktif divisi, di antaranya Pradipa Karna yang duduk di samping kanan sang kapten.
Kapten Lodra Wahana, berdiri di ujung meja utama. Sosoknya tampak menawan dalam balutan jubah kulit naga hitam. Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan matanya menyapu ruangan dengan ketenangan seorang pemimpin medan. Di belakangnya, tergantung pedang besar berukir lambang matahari terbit.
Ia mengangkat cangkir kayu, dan semua hadirin otomatis terdiam.
“Saudaraku, petualang dan penjelajah dunia yang terhormat… Hari ini kita menyambut tiga anggota baru yang telah lolos seleksi, melewati ujian yang bukan hanya mengukur kemampuan, tapi juga hati dan tekad.”
“Jasana dari Kalabumi, Nandika dari Tanah Selampa, dan Kirta dari dataran tinggi Pawana. Kalian kini bagian dari keluarga Raka Lelana.”
“Ingatlah, tugas kita bukan sekadar mencari harta karun atau menjelajahi tanah asing. Kita adalah pencari cahaya di tengah kegelapan. Penyingkap kebenaran yang terkubur oleh waktu.”
“Sebelum kita menyantap hidangan malam ini, mari kita tundukkan kepala, memanjatkan doa kepada Para Leluhur dan Penjaga Alam Raya... agar langkah kita diberkahi, jalan kita dijaga, dan saudara kita di luar sana dilindungi dalam tiap misinya.”
Semua tunduk sejenak, sunyi hening, hanya terdengar suara api dari obor.
Setelah doa, Lodra memberi isyarat dengan tangan.
“Makanlah! Dan biarlah malam ini jadi awal dari banyak petualangan hebat yang akan kita jalani bersama!”
Suara riuh mulai menggema. Tawa ringan dan percakapan hangat mengisi ruangan. Kirta tampak berbincang dengan Pradipa Karna tentang jenis jebakan medan gaib. Nandika mencicipi sup akar langit sambil memperhatikan ornamen di dinding.
Sementara Jasana, duduk tenang, menatap api obor—dalam hati membayangkan seperti apa misi pertamanya nanti.
Pagi Hari di Ruang Divisi Raka Lelana
Matahari baru saja menyinari dinding batu tempat pertemuan Divisi Raka Lelana. Lentera-lentera emas masih menyala redup ketika para anggota berkumpul kembali setelah makan pagi. Di tengah ruangan, Kapten Lodra Wahana berdiri gagah dengan mantel hijau beraksen emasnya. Di belakangnya, tergantung megah pedang besar berukir matahari terbit, simbol semangat petualangan tanpa henti.
“Semua yang ditugaskan hadir?” tanya Lodra dengan suara berat namun tenang.
“Lengkap, Kapten!” jawab Pradipa Karna, petualang senior, sambil berdiri di samping meja peta besar. Dwijanaga, pedangnya yang terkenal, terselip di punggungnya dengan gagang naga bermahkota tampak menyembul.
Di hadapan mereka, tiga anggota baru—Jasana, Nandika, dan Kirta—berdiri dengan sikap hormat, meski sorot mata mereka menyiratkan semangat muda yang menyala.
Nama Wilayah dan Misi
Nama Wilayah: Paguyangan Utara
Nama Hutan: Hutan Lembayung Dipa – hutan lebat yang diselimuti kabut keunguan abadi, dikabarkan menyembunyikan jejak-jejak kerajaan tua yang hilang.
Nama Misi: “Bayangan di Lembayung”— misi ini bertujuan menyelidiki munculnya dungeon tak dikenal yang memancarkan aura mistis, sekaligus menandai lokasi dan mencatat anomali alam di wilayah tersebut.
Briefing Misi oleh Pradipa Karna
Pradipa membentangkan peta besar yang memuat kontur wilayah Paguyangan Utara. Ia menunjuk sebuah area yang ditandai dengan tinta merah.
“Tiga malam lalu, seberkas cahaya hijau muncul di tengah Hutan Lembayung Dipa, diikuti oleh perubahan angin, migrasi hewan, dan gangguan pada aliran energi di beberapa desa pinggiran. Berdasarkan tanda-tanda ini, kami menduga telah terbuka sebuah Dungeon Mistis — jenis yang tidak bisa dideteksi dengan cara biasa dan sering muncul dari kelainan spiritual tanah.”
Ia menatap mereka satu per satu, lalu melanjutkan.
“Misi kita adalah memetakan lokasi, memastikan keamanan desa terdekat, dan melaporkan segala fenomena aneh yang ditemukan. Tidak ada konfrontasi jika tidak diperlukan. Ini misi observasi, bukan penyerangan. Namun kalian tahu, di tempat seperti ini... kadang ‘penghuni’ lama tak senang jika terusik.”
Kirta menelan ludah perlahan, lalu mengangkat tangan, “Apakah ini dungeon tipe auratik atau gaib fisik, Kakanda Pradipa?”
“Belum bisa dipastikan,” jawab Pradipa. “Tapi laporan aura menunjukkan aktivitas mirip resonansi roh purba... jadi persiapkan baik-baik alat deteksi dan perlindungan.”
Nandika mengepalkan tangan, “Tugas seperti ini... akhirnya dimulai ya,” bisiknya lirih dengan mata menyala.
Jasana hanya mengangguk pelan, namun tangannya secara refleks menyentuh pedang kayunya—Ardhana, seolah merasakan bahwa misi ini akan jadi awal dari banyak hal besar yang menanti.
Mentari naik perlahan saat para anggota Baru Divisi Raka Lelana bersiap di ruang persiapan yang terletak di sisi timur markas. Deretan rak senjata berjejer rapi, dari pedang berbagai bentuk hingga perlengkapan pemetaan, panah khusus, dan perlindungan ringan untuk misi eksplorasi.
Di sudut ruangan, Jasana sedang memeriksa senjata-senjatanya:
Ardhana, pedang kayu tua yang sudah patah di ujungnya dan memiliki retakan memanjang di sisi kanan. Meski terlihat rapuh, benda ini penuh makna. “Aku akan tetap membawamu,” bisiknya pelan.
Di pinggangnya, ia menyelipkan pedang baja ringan yang diberikan oleh Pak Bramasuta, kepala desa Rawasinga. Ukiran tipis berbentuk sulur api menghiasi sisi bilahnya—tanda restu dan harapan.
Terakhir, dari saku kulit yang tergantung di sabuk, ia mengeluarkan sebilah belati pendek berukir. "Dari Ayah...," gumamnya. Ia teringat saat Karma Wijaya menyerahkannya sebelum ia meninggalkan Kalabumi: “Tak perlu tajam, yang penting kau tahu cara menggunakannya dengan hati.”
Kalung batu kecil berwarna kebiruan tergantung di lehernya, pemberian ibunya. Ia menggenggamnya sesaat dan menutup mata.
Di Sebelahnya, Nandika memeriksa dengan cekatan tombak utamanya—gagang hitam dari kayu keras yang diikat dengan tali perak tua, dan mata tombak yang sedikit melengkung di ujungnya.
“Tombak ini pernah kugunakan untuk menjatuhkan rusa dari jarak tiga tombak penuh,” ujarnya dengan bangga saat Kirta melirik senjatanya.
Nandika juga membawa kantung kecil berisi jarum lempar, sebagai senjata cadangan, dan sepasang pelindung tangan kulit dari kampung halamannya di Tanah Selampa.
Kirta dengan penuh ketelitian menyusun anak panah dalam tabung kulit di punggungnya Panah Langit Kabut .
Busurnya bernama Panarasa, dibuat oleh pamannya dari kayu waringin merah yang hanya tumbuh di dataran tinggi Pawana.
Ukiran halus di sisi busur menggambarkan angin berputar dan burung elang. “Panarasa selalu mengerti arah angin lebih dulu dari aku,” katanya sembari tersenyum kecil.
Di dadanya tergantung alat pendeteksi aura berbentuk kristal bundar yang tergoyang setiap kali ada perubahan energi di sekitarnya.
Sebelum berangkat, Kapten Lodra Wahana menyerahkan tiga kantong kulit kecil kepada mereka bertiga. Di dalamnya:
Uang perjalanan berjumlah cukup besar—koin emas dan perak untuk bekal penginapan, suplai makanan, dan sewa kuda jika diperlukan.
Catatan rute awal yang sudah diberi tanda oleh Pradipa Karna.
Juga surat tugas resmi berstempel lambang naga mengepak milik Divisi Raka Lelana, sebagai bukti izin eksplorasi.
“Perjalanan akan memakan waktu tiga hari dua malam, jika kalian tidak tersesat. Lembayung Dipa bukan hanya hutan, tapi labirin yang bisa menyesatkan niat lemah,” pesan Lodra sebelum mereka berkemas terakhir.
Gerbang Timur Markas Guild – Pagi Hari
Langit masih berwarna abu-abu keunguan saat kabut tipis menyelimuti halaman depan markas Divisi Raka Lelana. Lentera-lentera gantung perlahan mulai padam, digantikan cahaya surya yang mulai muncul dari balik pegunungan jauh.
Di depan Gerbang Timur, ketiganya berdiri dengan perlengkapan lengkap di punggung dan pinggang. Kuda-kuda mereka sudah disiapkan oleh penjaga kandang guild, tenang dan terlatih untuk medan liar.
Kirta, yang selalu memerhatikan arah angin, mengangkat wajah dan berkata pelan,
“Anginnya dingin... tapi tidak membawa hujan. Pertanda bagus.”
Nandika tersenyum sambil menepuk gagang tombaknya.
“Tapi bukan berarti perjalanan akan mulus. Kalau kau kehilangan arah, jangan harap aku akan menggendongmu, Kirta.”
Kirta terkekeh kecil.
“Tenang, aku sudah menandai peta kita tiga kali.”
Jasana berdiri di antara mereka, menatap ke arah gerbang terbuka. Ia mengusap kalung di lehernya perlahan, lalu menghela napas.
“Dulu aku cuma bisa membayangkan hal seperti ini… Tapi sekarang, kita benar-benar akan menjelajah.”
Nandika menoleh dengan senyum kecil.
“Hei, si bocah Kalabumi. Jangan baper di pagi hari. Masih ada dua malam di hutan yang bisa bikin kita menyesal ikut misi ini.”
Kirta menimpali sambil mengecek tali pelana kudanya,
“Tapi aku rasa kita cocok. Tiga orang dengan kepala keras, senjata tajam, dan cita-cita aneh.”
Jasana menatap mereka berdua, lalu tertawa pelan.
“Kalau kita kembali hidup-hidup, aku traktir makan enak di Tirabwana.”
Nandika langsung menyenggol lengannya,
“Tulis itu di batu. Jangan cuma janji.”
Sebelum naik ke pelana, mereka bertiga berdiri sejenak, saling pandang dalam diam. Tak ada sumpah resmi, tapi dalam hati mereka tahu—misi ini bukan hanya soal tugas, tapi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Dengan satu anggukan kecil, Jasana berkata, “Ayo kita mulai.”
Dan dengan itu, mereka menunggangi kuda masing-masing, melintasi gerbang markas, menuju utara—menuju Misi Bayangan di Lembayung.
Ruang Rapat Dalam Guild Bayu Geni – Malam Hari
Di dalam ruangan berarsitektur megah dengan meja bundar besar dari batu hitam dan obor menyala redup, tiga sosok penting Guild duduk berdiskusi. Di kepala meja, Adipati Maheswara tampak tenang dan anggun. Di sebelah kanan duduk Kapten Mahadewa Rakunti dengan jubah biru gelap berbordir mantra, wajahnya tegang namun tertahan. Di sebelah kiri, Kapten Raksadana yang besar dan tegap duduk dengan tangan terlipat tenang.
Kapten Mahadewa Rakunti (dengan nada tajam namun tetap hormat)
“Maafkan hamba, Yang Mulia Adipati. Tapi izinkan saya mengutarakan kegelisahan. Dari sepuluh anggota baru yang terpilih, tak satu pun masuk ke Divisi Rasa Prawira. Apakah ini berarti seni mantra dan jalan rohani tidak lagi dianggap penting dalam guild kita?”
Adipati Maheswara (suara lembut tapi penuh kuasa)
“Tenanglah, Mahadewa. Aku memahami kekhawatiranmu. Namun seleksi dilakukan berdasarkan nilai murni dari uji kelayakan. Para anggota baru memilih jalan yang paling sesuai dengan kekuatan mereka.”
Kapten Raksadana (setelah diam beberapa saat, angkat bicara dengan suara berat namun teduh)
“Aku paham isi hatimu, Mahadewa. Ilmu gaib dan kekuatan batin bukan untuk semua orang. Tapi bukan berarti tak ada yang layak. Ada satu nama yang patut dipertimbangkan… Wigra.”
Kapten Mahadewa Rakunti (mata tajam memandang Raksadana)
“Wigra? Bukankah dia tidak lolos seleksi utama?”
“Benar. Tapi dia hanya terpaut sedikit dari peringkat kesepuluh. Hasil ujiannya dalam pengendalian energi batin dan meditasi sangat tinggi. Ia gagal hanya karena aspek fisik dan kecepatan reaksi di bawah standar. Namun untuk Divisi Rasa Prawira… mungkin ia justru sosok yang kau butuhkan.”
Kapten Mahadewa Rakunti (berpikir sejenak, lalu angguk perlahan)
“…Dia anak dari keluarga penyulam doa di Tanah Lulumbana, bukan? Aku pernah mendengar tentang bakatnya dalam membaca lapisan aura dan memahami bahasa roh.”
Adipati Maheswara (tersenyum tipis)
“Jika kalian berdua setuju, maka aku menyerahkan keputusan ini kepada kalian. Guild ini berdiri di atas kebijaksanaan dan kerja sama, bukan sekadar angka dan peringkat.”
Kapten Mahadewa Rakunti (membungkuk ringan)
“Terima kasih, Yang Mulia. Dan terima kasih, Raksadana. Aku akan menemui Wigra secara langsung dan menawarkan tempat di Divisi Rasa Prawira.”
Kapten Raksadana (tersenyum tipis)
“Berilah dia tempat yang pantas… dan waktu. Kadang, api spiritual justru menyala di tengah kegelapan yang tak terlihat.”
Nyala obor bergoyang perlahan, seolah menyetujui keputusan yang telah dibuat.
Ruangan Divisi Bayang-bayang Geni – Malam Hari
Ruangan ini tersembunyi di lantai bawah tanah Guild Bayu Geni, hanya bisa diakses melalui lorong sempit berliku yang disamarkan oleh ilusi dinding batu. Begitu memasuki ruangannya, suasana berubah drastis. Dinding-dinding dihiasi peta wilayah dengan tinta tak terlihat yang hanya menyala dengan cahaya batu remang ungu. Di sudut ruangan, terdapat rak-rak penuh gulungan informasi rahasia, topeng berbagai bentuk, dan senjata ringan tersembunyi.
Lampu gantung dari kaca hitam berisi nyala api biru redup menggantung di langit-langit. Tak ada satu pun jendela. Segalanya terasa tenang, namun seperti selalu diawasi.
Darsa berdiri di tengah ruangan, mengenakan jubah bayangan hitam yang baru ia terima, sementara di hadapannya, berdiri sosok tinggi berambut putih keperakan dan bermata tajam: Kapten Kalandra Wisanggeni.
Kapten Kalandra Wisanggeni (suara pelan namun menusuk, seolah langsung menembus ke dalam pikiran)
“Langkahmu tak berbunyi. Tapi nafasmu… masih terburu. Kau terbiasa bergerak, tapi belum terbiasa menyembunyikan niatmu.”
Darsa (dengan nada tenang, sedikit menunduk)
“Aku masih belajar, Kapten. Tapi aku tidak berniat menyembunyikan niatku malam ini.”
Kalandra (berjalan perlahan mengelilingi Darsa seperti bayangan, lalu berhenti di samping meja bundar bertaplak hitam)
“Bagus. Di sini, kita bukan hanya pengintai. Kita adalah gema sunyi, telinga di antara jeruji, dan jari-jari yang tak terlihat namun menekan arah dunia.”
“Dan kau memilihku... karena aku adalah jebakan hidup, bukan?”
Kalandra (tersenyum miring, menyipitkan mata)
“Bukan hanya karena itu. Kau tahu kapan harus diam, dan kapan harus membiarkan orang lain bicara terlalu banyak. Itu... adalah senjata sejati.”
Ia membuka sebuah gulungan di meja. Di dalamnya, sketsa sederhana sebuah desa, simbol-simbol kecil, dan tanda silang merah.
“Besok pagi, kau akan memulai misi pertamamu. Bukan sendiri. Bersama dua anggota baru lainnya dari divisi ini. Kalian akan menyusup ke desa Suralaya — tempat yang katanya tak punya rahasia, tapi terlalu banyak yang terlihat sempurna di sana.”
“Tujuannya?”
“Bawa pulang kebenaran. Tapi jangan bawa pulang jejak.”
Darsa (angsurkan tangan ke arah gulungan)
“Dan kalau kami gagal?”
Kalandra (tatapannya berubah tajam dan sunyi)
“Maka dunia akan tetap berjalan. Tapi tidak akan pernah mengingat kalian.”
Ia memutar kembali gulungan itu dengan satu gerakan, kemudian menunjuk pintu samping yang tersembunyi di balik tirai hitam.
“Pergilah, dan tidur ringan malam ini. Bayangan tidak pernah benar-benar beristirahat.”
Darsa mengangguk perlahan, lalu melangkah pergi, menyadari bahwa esok bukan sekadar awal sebuah misi—melainkan awal sebuah jalan hidup yang tak lagi bisa kembali.
Desa Kertanirsa – Sebuah Desa Kecil di Utara Ibukota – Malam Hari
Desa Kertanirsa terletak di lereng bukit, sunyi namun hangat, dengan lampu-lampu minyak yang menggantung di depan rumah penduduk. Angin malam membawa aroma kayu bakar dan tanah lembab. Langit berbintang bersih setelah hujan sore yang baru reda.
Tiga sosok berkuda memasuki gerbang desa—Jasana, Nandika, dan Kirta. Mereka tampak lelah namun tenang setelah seharian melakukan perjalanan panjang dari Guild menuju utara untuk misi Bayangan di Lembayung di wilayah Paguyangan utara tepatnya di Hutan Lembayung Dipa .
Nandika (sambil menepuk leher kudanya)
“Aku rasa kuda kita juga butuh istirahat. Kasihan kalau dipaksakan lanjut malam ini.”
Kirta (melihat sekeliling)
“Ada tempat penitipan di sebelah sana. Lihat papan kayu itu? Tulisannya jelas: ‘Rawat & Rehat Kuda – Jaminan Aman’.”
Jasana
“Bagus. Kita titipkan saja, lalu cari penginapan. Perutku sudah berontak sejak satu jam lalu.”
Penitipan Kuda – Beberapa Menit Kemudian
Ketiganya menyerahkan kuda mereka kepada penjaga penitipan—seorang pria tua berjubah kasar tapi rapi. Ia menyambut ramah dan memeriksa setiap tali pelana serta kuku kuda dengan teliti.
Penjaga Penitipan
“Tak usah khawatir, Kisanak. Kudamu akan tidur di tempat hangat malam ini. Kukunya juga akan saya bersihkan dan beri minyak akar pinang.”
Jasana(menyerahkan beberapa keping perunggu)
“Terima kasih, Pak Tua.”
Penginapan “Sendang Lembayung” – Beberapa Saat Kemudian
Penginapan kayu dua lantai dengan lampion berwarna jingga tergantung di serambi. Di dalamnya hangat dan ramai, beberapa tamu duduk di meja-meja bulat, tertawa kecil sambil menyeruput teh jahe atau makan sup hangat.
Jasana, Nandika, dan Kirta memilih meja dekat jendela. Mereka melepas jubah luar mereka, lalu duduk bersandar dengan napas panjang.
Kirta
“Tempat ini... lebih nyaman dari yang kubayangkan. Aroma makanannya juga menggoda.”
Nandika (tertawa kecil)
“Setelah nasi lapuk kemarin di pos penjaga barat, apa pun lebih menggoda.”
Seorang pelayan muda datang dengan senyum ramah, dan mereka memesan makan malam: sup rebung ayam hutan, nasi hangat, acar cabe rawit, dan teh serai hangat.
Piring-piring sudah setengah kosong, suara sendok dan gelak tawa ringan terdengar.
Jasana (sambil menyeka mulut)
“Besok kita lanjut ke arah timur dari sini. Menurut peta Kapten Lodra, ada jalur setapak yang mengarah ke lembah tersembunyi.”
Nandika
“Kalau lembahnya tersembunyi, apa yakin kita bakal nemu?"
Kirta
“Kalau nggak nemu, minimal kita bisa lihat bintang lagi dari atas bukit. Itu cukup buatku.”
Mereka bertiga tertawa ringan. Momen damai yang langka di tengah kehidupan para calon petualang.
Jasana (sambil menatap teh yang masih mengepul)
“Kadang, malam seperti ini mengingatkanku... bahwa dunia ini tak hanya penuh pertempuran. Tapi juga punya tempat untuk duduk, dan sekadar bernapas.”
Pelayan datang membawa kunci kamar mereka. Satu per satu, mereka berdiri, mengucap selamat malam, dan menuju kamar masing-masing. Langkah kaki perlahan naik ke tangga kayu, terdengar gemeretak ringan. Di luar jendela, bintang-bintang berkerlip seperti mendengar percakapan mereka.
Guild Bayu Geni – Lorong Tersembunyi Dekat Ruang Divisi Bayang-bayang Geni – Pagi Hari
Mentari belum sepenuhnya naik. Kabut pagi masih menggantung di halaman dalam Guild, tapi di salah satu lorong batu yang sepi dan teduh, ada pintu kecil tersembunyi yang hanya terbuka lewat pola ketukan tertentu.
Di balik pintu itu, terdapat ruang bundar gelap dengan hanya satu sumber cahaya: api biru dari obor batu hitam di tengah ruangan. Tak ada jendela. Tak ada suara selain napas mereka. Darsa, Larasmi, dan Pratiwi berdiri diam, menatap satu-satunya sosok lain di ruangan itu—Kapten Kalandra Wisanggeni.
Ia mengenakan jubah gelap panjang, rambutnya terurai, dan mata tajamnya seperti bisa menembus pikiran.
Kapten Kalandra (suara pelan namun tegas)
“Kalian bertiga dipilih bukan karena kehebatan bertarung. Tapi karena kalian tahu bagaimana menyelinap ke dalam bayang-bayang... dan keluar tanpa meninggalkan jejak.”
Ia melangkah ke meja batu di tengah ruangan, meletakkan tiga gulungan kecil bersegel hitam.
“Desa Suralaya. Dari luar tampak seperti desa biasa, namun laporan terakhir dari mata-mata kita menunjukkan adanya pergerakan mencurigakan—kedatangan orang-orang tak dikenal, perubahan pola panen, dan ritual malam yang tidak tercatat dalam adat mereka.”
Larasmi (sambil menyipitkan mata)
“Apa kita mengkonfirmasi aktivitas ghaib… atau hanya penyusupan biasa?”
Kalandra (bersuara rendah)
“Belum pasti. Tapi satu hal jelas: sesuatu di sana menyembunyikan dirinya terlalu rapi. Dan hanya yang terbiasa bekerja dalam senyap seperti kalian yang bisa masuk tanpa mengusik sarangnya.”
Ia menatap Pratiwi, lalu Darsa.
“Darsa, kau pemimpin tim ini. Larasmi akan mengatur jalur masuk dan bahan racikan untuk kemungkinan pengecoh. Pratiwi bertugas menyamar sebagai penduduk desa, masuk ke ruang sosial dan mencari informasi dari dalam.”
Ia menyerahkan masing-masing satu gulungan.
“Ini peta pendekatan. Jalur lewat tepi hutan, hindari gerbang utama. Identitas palsu dan perlengkapan sudah disiapkan di pelana kuda kalian. Pergi dari gerbang timur Guild, lewat lorong pengangkut barang, tidak seorang pun boleh melihat kalian berangkat.”
Pratiwi (mengangguk dengan semangat)
“Aku selalu suka permainan seperti ini.”
Darsa (tenang, matanya tajam)
“Dan kita tak akan membuat suara sedikit pun.”
Kapten Kalandra (dengan nada terakhir, seperti mantra)
“Bawa pulang kebenaran. Tapi jangan bawa pulang jejak.”
Ketiganya menunduk hormat, lalu berbalik meninggalkan ruangan, satu per satu menghilang ke lorong rahasia yang menembus bagian dalam gudang tua di sisi Guild. Di luar, pagi mulai menghangat. Tapi di balik bayangan Guild Bayu Geni, tiga sosok melangkah menuju rahasia yang mengintai dari balik ketenangan Desa Suralaya.
Dan begitulah, pagi itu menjadi saksi diam dari dua awal yang berbeda.
Di sisi utara, Jasana, Nandika, dan Kirta memulai perjalanannya sebagai pengembara muda yang menapaki jejak sejarah dan takdir yang belum mereka ketahui—beristirahat sejenak di desa kecil, dengan semangat dan harapan menyala dalam diam.
Di sisi lain, dalam lorong tergelap Guild Bayu Geni, Darsa, Larasmi, dan Pratiwi melangkah tanpa suara ke arah bayangan yang lebih dalam. Misi pertama mereka bukan sekadar ujian, melainkan awal dari permainan rahasia yang mungkin menyimpan kunci masa depan Guild itu sendiri.
Dua jalur, dua arah. Satu tujuan.
Dunia tengah bergerak... dan para pewaris cahaya serta bayangan, baru saja membuka pintu takdir mereka.