Bab 4 - Dibawah Langit yang Terkurung

Pagi Hari – Penginapan Sendang Lembayung, Desa Kertanirsa

Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis jendela kamar lantai atas penginapan. Udara segar pegunungan menyusup perlahan, membawa aroma embun dan kayu basah.

Kirta perlahan membuka matanya, menguap kecil, lalu bangkit dari kasur jerami yang hangat. Ia berjalan mendekat ke jendela, menyibak sedikit tirai. Matanya langsung tertuju pada halaman belakang penginapan, di mana hamparan rumput dan beberapa pohon bambu berdiri tenang.

Di sanalah terlihat sosok Jasana, berdiri tegap dengan tubuh atasnya yang telah dibasahi keringat pagi. Ia sedang berlatih pedang dengan penuh konsentrasi. Cahaya pagi menyinari bilah pedang baja pemberian Pak Bramasuta, memantulkan kilaunya tiap kali pedang itu berputar atau menebas udara.

Gerakan Jasana tidak sembarangan—ia seolah menari dalam diam. Langkah-langkahnya ringan, tapi bertenaga. Setiap ayunan mengandung disiplin dan tekad, seperti ingin melawan sesuatu yang tak terlihat. Sejenak, dunia terasa hening di sekitar Kirta.

Kirta

(berbisik, kagum)

"Dia... sudah sejauh ini..."

Tatapan Kirta melembut. Ia bersandar di kusen jendela, diam menonton latihan itu dengan mata yang kini tak hanya penuh rasa ingin tahu, tapi juga penghormatan.

Di kejauhan, desa Kertanirsa mulai menggeliat pelan. Beberapa warga menimba air, suara ayam bersahutan, dan aroma bubur jagung rebus mulai tercium dari dapur penginapan. Tapi di tengah semua itu, momen tenang itu terasa seperti fragmen kecil yang membekas: seorang pemuda mengasah jiwanya dalam kesunyian, dan seorang rekan menyadari bahwa mereka semua kini sedang tumbuh.

Pagi Hari – Penginapan Sendang Lembayung, Desa Kertanirsa

Cahaya pagi menyusup dari sela jendela kamar penginapan. Nandika Sutasmi bangun dengan sigap, tubuhnya terasa segar meski perjalanan kemarin cukup melelahkan. Tanpa banyak membuang waktu, ia mengambil pakaian bersih dan perlengkapan kecil, lalu melangkah cepat menuju kamar mandi umum di bagian belakang penginapan.

Suara air yang mengalir, bau sabun herbal, dan dinginnya embun pagi menemaninya membersihkan diri. Tak lama, ia kembali muncul dengan pakaian yang lebih rapi dan ringan—siap untuk menyusuri desa. Sebuah kantong kulit tergantung di pinggangnya, dan rambutnya kini diikat rapi ke belakang.

Nandika menuruni tangga penginapan dan menghampiri meja kasir, di mana seorang wanita paruh baya—kasir penginapan yang ramah—sedang sibuk mencatat sesuatu.

“Selamat pagi, Ibu. Saya mau keluar sebentar, keliling desa untuk beli beberapa perbekalan. Masih ada dua hari satu malam lagi perjalanan kami.”

Kasir Penginapan (menoleh sambil tersenyum ramah)

“Oh, pagi, Nak. Kalau butuh perbekalan, warung Pak Rasta paling lengkap. Ada di ujung barat desa, dekat pohon tanjung besar. Nanti lewat saja jalan berbatu ke arah sungai kecil, warungnya ada di sisi kanan.”

Nandika (mengangguk hormat)

“Terima kasih banyak, Bu. Perjalanan kami cukup jauh, jadi harus siap dari sekarang.”

Kasir Penginapan (dengan nada lembut)

“Hati-hati, ya. Desa kami memang tenang, tapi akhir-akhir ini... banyak yang bilang hutan di arah Utara mulai terdengar aneh.”

Nandika (tersenyum singkat namun tetap waspada)

“Catatannya saya terima. Semoga bukan pertanda buruk.”

Nandika kemudian keluar dari penginapan, menyusuri jalan kecil desa yang mulai hidup. Anak-anak berlarian membawa ember, ibu-ibu menjemur pakaian, dan suara ayam bersahutan di kejauhan. Desa Kertanirsa tampak damai, namun nalurinya tetap siaga.

Desa Kertanirsa pagi itu tampak seperti lukisan yang hidup. Kabut tipis masih menggantung rendah di antara pepohonan, sementara sinar matahari menembus sela dedaunan, menciptakan bayangan lembut di tanah.

Rumah-rumah penduduk berdiri rapi berjajar, terbuat dari anyaman bambu dan kayu kelapa, beratap ijuk yang menghitam oleh usia. Asap dapur mengepul dari cerobong tanah liat, menyebarkan aroma nasi hangat dan rempah-rempah yang menenangkan.

Beberapa petani tampak sedang bersiap turun ke sawah, memanggul cangkul di bahu dan membawa bekal dalam bungkusan kain. Anak-anak kecil berlari tanpa alas kaki, tertawa riang sambil mengejar layangan dari pelepah pisang.

Di tengah desa, sebuah pohon tanjung tua menjulang, akarnya mencengkeram bumi seperti tangan raksasa. Di bawahnya terdapat balai kayu kecil tempat warga sering berkumpul, sementara di seberangnya berdiri warung Pak Rasta yang disebut kasir penginapan.

Nandika berjalan melewati semuanya dengan pandangan tenang namun tajam, menikmati kedamaian desa, tapi tak pernah benar-benar lengah. Di balik ketenangan ini, ia tahu… dunia di luar sana masih menyimpan rahasia yang menunggu untuk diungkap.

Pagi Hari – Penginapan Sendang Lembayung, Desa Kertanirsa

Setelah cukup lama berlatih di belakang penginapan, peluh membasahi tubuh Jasana Mandira, namun sorot matanya tetap tenang. Ia menarik napas panjang, menyarungkan pedangnya, lalu berjalan ke arah kamar mandi umum penginapan yang berada di sisi timur bangunan.

Air segar dari kendi tanah liat mengalir membasuh tubuhnya. Udara pagi yang dingin menyentuh kulitnya, membuatnya semakin segar. Selesai membersihkan diri, Jasana kembali ke kamarnya, mengganti pakaian dengan tunik santai berwarna biru laut, lalu turun ke ruang makan.

Suasana ruang makan cukup lengang, hanya ada dua atau tiga tamu lain yang sedang menikmati pagi. Jasana melangkah ke meja pemesanan, lalu berbicara kepada penjaga warung.

“Satu porsi sarapan hangat, dan teh rempah. Ini uangnya.”

Ia menyerahkan beberapa keping uang logam. Si penjaga mengangguk dan mencatat pesanannya.

Saat berbalik, matanya menangkap Kirta Wangsaputra yang sedang duduk di dekat jendela, makan dengan tenang sambil menyeruput minuman hangat. Kirta yang sudah rapi tampak mengenakan jubah hijau tua khas dataran tinggi.

Kirta (sambil melambaikan tangan)

“Wah, pendekar pagi. Sudah membakar keringat duluan rupanya!”

Jasana tersenyum dan menghampirinya, menarik kursi dan duduk di seberang.

“Kalau tidak dilenturkan, tubuh bisa kaku. Lagipula… pedang ini seperti sedang mengujiku.”

Kirta (tersenyum kecil)

“Aku lihat dari jendela, ayunanmu sudah lebih terarah. Pedang itu memang tampak cocok di tanganmu.”

Jasana

“Masih harus lebih peka… tapi ya, makin ke sini makin terasa menyatu.”

Pelayan datang membawakan semangkuk bubur panas lengkap dengan telur rebus, irisan tempe kering, dan teh rempah hangat. Jasana mengangguk berterima kasih, lalu mulai makan perlahan.

Kirta (sambil menyeruput teh)

“Menurut rencana, kita masih punya dua hari satu malam sebelum sampai ke lokasi misi, ya?”

“Benar. Tapi desa-desa yang kita lintasi bisa saja menyimpan kejutan. Kita harus tetap waspada.”

“Setuju. Tapi setidaknya, desa ini memberi kita jeda untuk bernapas. Damai sekali suasananya.”

Jasana (melirik ke luar jendela)

“Iya… terlalu damai, sampai-sampai aku curiga.”

Kirta terkekeh ringan.

“Waspada boleh, tapi jangan sampai kamu curiga sama kucing yang tidur di bawah kursi juga.”

Jasana hanya mengangkat alis dan tersenyum tipis. Di antara canda dan santapan pagi itu, keduanya menikmati ketenangan sesaat sebelum kembali menempuh jalan panjang dan penuh misteri.

Pintu depan penginapan berderit pelan. Nandika Sutasmi muncul dengan dua kantong perbekalan besar di tangannya—dipenuhi dengan makanan kering, air minum, dan beberapa bungkusan rempah dari pasar kecil di desa.

Wajahnya sedikit berkeringat, tapi bukan karena kelelahan—melainkan karena rasa kesal yang jelas tergambar dari sorot matanya saat melihat dua sahabatnya duduk manis sambil menyantap sarapan hangat.

Nandika (berdiri sambil mengangkat satu kantong)

“Heh! Enak banget, ya! Aku keliling Desa sendirian, kalian malah sibuk makan-makan!”

Kirta (sambil mengunyah pelan)

“Tenang, Nandika. Kami mendoakanmu setiap suapan kok…”

Jasana (menyandarkan punggung santai)

“Semoga kamu nggak salah beli garam jadi gula. Itu doa kami tadi.”

Nandika memutar bola matanya dan mengembuskan napas panjang penuh drama, lalu meletakkan kantong perbekalan di bawah meja dengan bunyi thud pelan.

“Huh, dasar kalian! Yaudah, aku juga mau sarapan! Bu, pesen satu porsi bubur sama teh jahe, ya!”

Ia berteriak ke arah penjaga warung. Setelah mendapat anggukan, ia menarik kursi dan duduk bersama mereka, menepuk-nepuk lengannya pelan untuk mengusir debu dan menenangkan diri.

Nandika (berkacak pinggang tapi sambil senyum)

“Besok-besok kalian deh yang belanja. Biar aku tidur sambil mimpi sarapan.”

Kirta (tertawa kecil)

“Siap, tapi jangan kaget kalau yang kamu dapet nanti cuma umbi hutan dan air sungai.”

Jasana (sedikit tertawa kecil)

“Eh, tapi setidaknya kamu cepat juga, belanjaannya banyak. Pintar juga milih-milihnya.”

Nandika mendengus kecil, lalu tersenyum bangga.

“Iya dong, siapa aku? Pelempar tombak Selampa spesialis cari harga murah!”

Ketiganya tertawa kecil bersama. Tidak lama kemudian, pesanan Nandika datang, dan ia pun mulai menyantap sarapannya. Di luar, matahari pagi mulai naik perlahan, menyinari atap-atap rumah Desa Kertanirsa.

Di balik canda dan kehangatan sarapan pagi itu, misi besar mereka terus mendekat. Namun pagi itu, tawa adalah bekal terbaik yang mereka simpan dalam perjalanan panjang.

Pagi Hari – Ruang Latihan Panggrahita Aji, Kompleks Guild Bayu Geni

Ruangan besar beratap tinggi dengan dinding dari batu hitam yang kokoh. Di sepanjang sisi ruangan terdapat rak-rak senjata kayu, baja, dan senjata latihan lainnya. Cahaya matahari menembus dari celah kisi-kisi atas, memantulkan siluet-siluet tajam para pendekar yang sedang bersiap.

Tiga pemuda tampak berdiri tegap: Bagas Prayoga dengan sarung tangan besi khasnya, Brahma Anggacandra dengan dua bilah pedang di pinggang, dan Surya Bakti dengan cambuk baja yang dililit rapi di bahunya.

Di hadapan mereka, seorang anggota senior sedang memberikan pengarahan. Ia adalah Ardanta Lesmana, anggota senior Divisi Panggrahita Aji berusia 22 tahun, dikenal tenang namun memiliki kekuatan luar biasa. Senjata andalannya adalah tombak bermata tiga yang disebut Triwarsa, dilengkapi mekanisme tarik-lepas untuk jarak dekat dan jauh.

“Latihan dasar kalian memang baru dimulai, tapi kemampuan kalian tidak diragukan. Maka dari itu, kalian akan menjalankan misi pertama untuk menguji daya tahan, kekompakan, dan naluri bertarung.”

Di belakang Ardanta, berdiri sosok bertubuh besar dan berwibawa, Kapten Raksadana, dengan tangan bersedekap dan pandangan tajam. Ia memperhatikan tanpa banyak bicara.

Ardanta (melanjutkan)

“Kalian akan pergi ke wilayah Karang Balyan, padang liar yang berada di selatan perbatasan Tirabwana. Di sana, terdapat makhluk buas bernama Siwaraga, sejenis babi hutan bertaring panjang yang hidup berkelompok dan sangat agresif, Misi Kalian Cukup Buru dan Ambil 10 Taring Siwaraga.”

Bagas (angkat alis, tertarik)

“Siwaraga… itu yang katanya bisa menanduk batu sampai retak, ya?”

Brahma

“Dan larinya secepat kuda. Hebat, cocok buat ngelatih refleks.”

Surya (sambil menyipitkan mata)

“Sepuluh taring? Kalau mereka hidup berkelompok, itu artinya… minimal kita harus hadapi lebih dari tiga kelompok.”

Ardanta (mengangguk)

“Benar. Misi ini bukan sekadar memburu. Taring mereka dibutuhkan sebagai bahan ramuan untuk meningkatkan tenaga dan kecepatan bagi para pendekar di garis depan.”

Kapten Raksadana (akhirnya bicara, suaranya dalam dan tegas)

“Kekuatan kalian bukan hanya di otot, tapi di kepala. Taktik, kerja sama, dan penguasaan emosi adalah ujian sebenarnya.”

Ardanta (menambahkan)

“Perjalanan akan dimulai besok pagi. Siapkan diri kalian. Ingat, di Karang Balyan, kalian bukan pemburu—kalian juga bisa jadi yang diburu.”

Ketiga anggota baru itu saling berpandangan, semangat mulai menyala di mata mereka. Ini bukan hanya soal taring, tapi juga soal membuktikan diri.

Siang Hari – Desa Kaliranum, Wilayah Perbukitan Utara

Desa Kaliranum tampak kacau. Rumah-rumah terbakar sebagian, warga lari bersembunyi. Debu dan asap mengambang di udara. Di tengah desa, sekitar dua puluh bandit Bayawira bersenjata keris, golok, dan panah mengepung tiga pemuda yang bersiap bertarung.

Kirta Wangsaputra (menarik napas, merentangkan busurnya)

“Jumlah mereka dua kali lipat dari kita… seru juga nih!”

Nandika Sutasmi (membuka gulungan tombaknya, siap melempar)

“Ini bukan latihan, Kirta! Jaga jarakmu, jangan sok pahlawan!”

Kirta (sambil melesatkan anak panah)

“Tenang, aku masih mau makan malam malam ini!”

Anak panah Kirta meluncur dan mengenai bahu salah satu bandit, membuat yang lain menyerbu. Nandika segera bergerak, tombaknya melesat cepat, mengenai dua bandit sekaligus, tapi sisanya terus datang. Kirta mulai kewalahan mengisi panah, sementara Nandika mulai bertarung jarak dekat menggunakan gagang tombaknya.

Sisi Lain Desa – Jasana vs Anggota Bayawira Senior

Di dekat sebuah sumur tua, Jasana berdiri berhadapan dengan seorang pria kekar bersenjata pedang besar bergigi seperti gergaji. Ia mengenakan rompi kulit hitam dan bandana merah.

“Namaku Kirana Lodra, Wakil Kapten Kelompok Ketiga Bayawira. Katanya kau pendekar baru? Mau coba rasa pedangku?”

Jasana (mengangkat pedang baja pemberian Pak Bramasuta, matanya tajam)

“Aku tak butuh gelar untuk melindungi orang yang tak bersalah. Ayo!”

Kirana Lodra menerjang cepat, pedangnya beradu keras dengan pedang Jasana. Benturan logam menimbulkan percikan api. Jasana sedikit terdesak, kekuatan lawannya lebih besar dari yang ia duga.

Kirana Lodra (tertawa sinis)

“Pedangmu bagus… tapi lenganmu lemah!”

Jasana (menahan tebasan, giginya terkatup rapat)

“Yang kuat bukan lengan… tapi tekadnya!”

Jasana berputar, mencoba manuver mengelabui Kirana. Tapi lawan terlalu gesit, dan jasana terkena satu sabetan di lengan, membuatnya mundur beberapa langkah. Darah menetes dari lengannya, tapi genggamannya pada pedang makin erat.

Kembali ke Nandika dan Kirta

Nandika (menghindari sabetan golok, lalu memukul balik dengan gagang tombak)

“Kirta! Jangan terlalu dekat, serahkan yang jauh padamu!”

Kirta (berdiri di atas tumpukan karung, menembakkan panah cepat)

“Coba bilang itu ke mereka yang terus ngejar aku!”

Bandit terus berdatangan, tapi Kirta dan Nandika tetap bertahan, meski peluh membasahi wajah mereka. Di sisi lain, Jasana mengatur napas, bersiap melakukan serangan balik dengan penuh tekad.

Asap mulai mereda, tapi suara denting senjata masih memenuhi udara. Kirta dan Nandika kini berdiri membelakangi satu sama lain, dikelilingi sisa-sisa bandit Bayawira yang mulai goyah. Separuh dari mereka telah tumbang, terkapar karena kolaborasi cerdas dan lincah dari keduanya.

Kirta (menarik panah dengan cepat, setengah tertawa)

“Wah, Nandika… kayaknya mereka mulai bosan kena tusukan kita.”

Nandika (sambil memutar tombak dan menghantam lutut salah satu bandit)

“Tusukan? Ini seni, Kirta. Aku lebih suka menyebutnya tari perbekalan habis-habisan!”

Bandit Keroco #1 (mengumpat sambil memegangi kepala yang benjol)

“Anjirr… dua bocah ini lincah amat! Gak bisa kena-kena!”

Bandit Keroco #2 (teriak dari semak-semak setelah dilempar tombak pendek oleh Nandika)

“Woy! Ini anak cewek atau iblis sih?! Kok tangannya kayak pegas!!”

Kirta (berkacak pinggang sebentar, lalu lompat ke genteng rendah dan menembak ke arah musuh yang sembunyi di balik gerobak)

“Aku lebih suka kalau mereka teriak, ‘Wahai pendekar tampan, ampunilah kami!’ tapi ya sudahlah…”

Nandika (melirik Kirta sambil memukul kepala bandit dengan tongkat gagang tombaknya)

“Kau mulai gila, Kirta. Udara di pegunungan bikin otakmu lepas?”

Kirta (sambil melompat turun dan menembak panah ke kaki bandit yang mencoba lari)

“Eh, itu strategi. Bikin musuh bingung, sambil kita tetap cakep!”

Bandit Keroco #3 yang berambut gondrong, napas ngos-ngosan, memaki keras.

“Dasar anak-anak sialan! Lari aja gak bisa, kena mulu!”

Nandika (senyum nyengir, lalu menunjuk ke arah Kirta)

“Nah, salahin dia. Aku cuma lewat, dia yang ngajak joget!”

Kirta (berdiri di atas sisa pagar bambu, tangan masih memegang busur)

“Yuk, satu babak lagi? Masih ada lima orang tuh.”

Nandika (menepuk tangan dua kali, bersiap posisi bertahan)

“Lima? Kukira cuma tiga. Yah, berarti masih bisa pemanasan.”

Para bandit tersisa mulai saling pandang dengan wajah ketakutan dan jengkel. Mereka merasa seperti dipermainkan, bahkan beberapa mulai mundur pelan-pelan, ragu untuk menyerbu kembali.

Jasana terhempas keras menabrak dinding kayu rumah warga, tubuhnya tersungkur di tanah dengan luka di bahu dan pelipis yang mengucurkan darah. Nafasnya terengah, satu tangan masih menggenggam pedang baja pemberian Pak Bramasuta yang kini tergores dan terciprat darah. Beberapa warga berlarian panik menjauhi lokasi, membawa anak-anak dan barang seadanya.

Langkah berat mendekat. Kirana Lodra, sosok tinggi besar dengan pakaian gelap penuh emblem Bayawira, mengayunkan Pedang besar bermata bergerigi di tangan kirinya. Wajahnya menyeringai sinis, bekas pertarungan hanya berupa goresan kecil di pelindung bahunya.

Kirana Lodra (mengejek sambil berlutut meraih batu kecil dan melempar pelan ke arah Jasana)

"Ini pendekar muda dari Bayu Geni? Hah! Lebih cocok jadi tukang pikul gandum di pasar."

Jasana mendengus pelan, berusaha bangkit dengan lutut gemetar, tubuhnya bergetar menahan sakit. Tapi matanya menatap Kirana Lodra dengan tajam, penuh perhitungan.

Kirana Lodra (mengangkat pedangnya, melangkah pelan mendekat)

"Aku beri kau kesempatan menyerah. Mungkin nyawamu bisa kujual untuk harga murah."

Jasana menancapkan pedangnya ke tanah, menarik napas dalam-dalam. Pikirannya mulai berpacu. Ia melihat posisi sekitar: rumah warga yang roboh sebagian, tumpukan kayu bakar, tali tambang yang tergantung dari pagar, dan... drum minyak nabati di sisi belakang rumah.

Pikiran Jasana berputar cepat.

Jasana (berbisik dalam hati)

"Kekuatan brutal, pedang besar bergerigi, gerak lamban... tapi setiap serangan bisa mematikan. Aku butuh momentum... dan percikan."

Ia menarik pedangnya, berdiri sedikit goyah namun kini dengan tatapan penuh tekad. Ia melangkah mundur perlahan ke arah drum minyak, tangannya menggenggam seutas tali tambang di balik pilar rumah.

Jasana (suara pelan, mata fokus ke lawan)

"Aku tak akan menyerah pada pengecut yang bersembunyi di balik nama besar kelompoknya."

Kirana Lodra (tertawa keras, mengayunkan pedangnya ke bahu dan bersiap menyerbu)

"Kau minta mati dengan cara yang indah rupanya!"

Jasana kini telah siap — tubuhnya luka, tapi pikirannya tajam. Ia tahu, sekali lagi Kirana menyerbu membabi buta… mungkin itu bisa jadi peluang.

Suasana mencekam. Asap mengepul dari tumpukan kayu yang terbakar. Drum minyak pecah terbakar oleh percikan api dari percobaan jebakan Jasana. Kirana Lodra sempat tersandung dan terkena ledakan kecil, namun tubuhnya yang kuat masih bisa berdiri meski pakaiannya sedikit gosong.

Jasana, dengan napas tersengal, kembali berdiri perlahan di antara reruntuhan rumah yang ia tabrak. Tubuhnya penuh luka, pakaiannya robek, tapi tatapannya tak menyerah.

Kirana Lodra (tertawa keras, menggenggam pedangnya dengan tangan berdarah)

"Masih bisa berdiri? Hahaha! Hebat juga. Tapi lihat kau sekarang… seperti tikus yang terjepit perangkap sendiri!"

Jasana (terdiam, namun tetap menatap tajam tanpa mundur)

"...Aku belum selesai."

Dengan sisa tenaganya, Jasana bersandar pada pedang bajanya, lalu tiba-tiba... ia menyarungkan pedang itu di pinggang. Tangannya meraih ke belakang punggung, membuka ransel yang telah ia bawa selama perjalanan.

Dari dalamnya ia menarik sesuatu…

Sebuah pedang kayu, retak dan patah di ujungnya.

Tapi genggamannya kokoh, dan seketika… aura putih lembut menyelimuti tubuh Jasana.

Angin berhembus kencang. Tanah di sekitarnya sedikit bergetar. Siluet samar-samar muncul di belakang Jasana—sebuah sosok tinggi berlapis jubah putih kusam, dengan wajah teduh dan mata bercahaya. Khodam itu berdiri membelakanginya, seolah menyatu dengan tekadnya.

Namanya: Ardhana, Khodam yang lahir dari lima tahun semangat tanpa henti, latihan di bawah hujan dan terik, luka demi luka… dan tekad pantang menyerah.

Kirana Lodra (mengejek sambil menunjuk pedang kayu)

"Apa itu? Tongkat api unggun? Atau mainan bocah? Hah! Kau pikir bisa jatuhkan aku pakai sampah itu?!"

Jasana (menatap lurus, suaranya tenang namun bergetar oleh kekuatan yang bangkit)

"Ini… bukan pedang biasa. Ini sahabatku dalam diam. Teman setiaku saat dunia membisu. Dan dia tidak pernah menyerah... seperti aku."

Kirana Lodra (mengeram, mengangkat Pedangnya tinggi-tinggi)

"BAIK! KAU MATI DENGAN KAYU TUA ITU!"

Jasana melompat maju, ayunan tubuhnya lincah dan ringan, seperti terbantu oleh aura Khodam Ardhana. Pedang kayu patah di tangannya menyala putih keperakan, tiap langkahnya menciptakan dentuman ringan di tanah.

Dalam satu ayunan cepat dan bersih, pedang kayu Jasana menghantam tubuh Kirana dari sisi kanan.

Blargh!!

Kirana terpental keras membentur batang pohon besar, lalu jatuh terjerembab di tanah. Matanya membelalak, tubuhnya kejang-kejang.

Kirana Lodra (dalam sisa napas, matanya membelalak)

"A-apa... yang... kau... la...ku...kan...?!"

Ia mencoba mengangkat tubuh, tapi... tidak bisa.

Semua persendiannya lumpuh.

Efek dari serangan energi spiritual Khodam Ardhana yang menyalur lewat pedang kayu patah—serangan bukan untuk membunuh, melainkan melumpuhkan jiwa dan raga secara bersamaan.

Jasana berdiri tegap, darah menetes dari dagunya, tapi kini aura putih itu melindunginya bagai perisai cahaya.

Jasana (menyimpan pedang kayu-nya Kembali, menatap Kirana yang tak lagi bisa melawan)

"Aku tidak bertarung untuk kemuliaan. Aku bertarung… untuk tidak menyerah."

Asap pertempuran mulai mereda. Para bandit Bayawira telah tumbang berserakan di tanah, diikat seadanya oleh warga yang mulai berani keluar dari persembunyian.

Di sudut reruntuhan, Jasana terduduk lemas, tubuhnya bergetar kelelahan. Pedang kayu patahnya sudah ia simpan kembali ke dalam ransel usangnya, seolah menyimpan rahasia baru.

Tak lama, Nandika dan Kirta berlari menghampirinya, wajah mereka berkeringat namun penuh kemenangan.

Nandika (dengan gaya lebay sambil bertepuk tangan keras)

"Hebat juga kau, Nak Jasana! Wakil Kapten Bayawira, kau tumbangkan sendirian! Hahaha!"

Kirta (duduk bersandar di sebelah Jasana, tertawa sambil menyodorkan kantong air minum)

"Kalau tahu begini, tadi aku tinggal nonton sambil makan kacang saja, ya?"

Jasana (tertawa kecil, lalu menerima kantong air)

"Jangan bercanda... aku hampir dikirim ke alam baka barusan."

Ketiganya tertawa pelan, lega. Mereka saling mengangguk, mengakui betapa kuatnya persahabatan dan kerja sama mereka.

Tiba-tiba, derap kuda terdengar dari ujung jalan desa. Debu beterbangan. Sebanyak dua puluh lebih tentara kerajaan berpakaian lengkap dengan lambang Mandalagiri di dada mereka tiba.

Pemimpin mereka, seorang perwira muda dengan jubah merah, turun dari kudanya dan melihat sekeliling dengan ekspresi bingung.

Perwira Muda (berteriak memerintah anak buahnya)

"Segera amankan area! Tangkap para penjahat Bayawira!"

Namun, sebelum mereka bergerak lebih jauh, suara gemuruh ejekan meletup dari para warga desa.

Warga 1 (berteriak sambil mengacungkan cangkul)

"Akhirnya datang juga, setelah semua beres!"

Warga 2 (sinis)

"Mau apa? Minum teh di rumah kami?! Kami sudah membereskan semuanya tanpa kalian!"

Warga 3 (mengejek keras)

"Kalau datang cepat, mungkin rumah kami nggak ada yang kebakar!"

Tentara-tentara itu hanya bisa saling pandang, beberapa menahan malu. Sang Perwira tampak kesal, namun tak bisa membalas.

Berbeda jauh dengan sambutan yang diterima Jasana, Nandika, dan Kirta. Warga berbondong-bondong mendekati mereka bertiga.

Anak-anak kecil berlari menghampiri, beberapa warga dewasa menepuk bahu mereka penuh rasa terima kasih.

Warga Tua (membungkuk hormat di depan mereka)

"Kami berhutang nyawa kepada kalian. Kalau bukan karena kalian, entah apa yang terjadi pada kami."

Warga Lain (tersenyum sambil membawa keranjang berisi buah-buahan)

"Ini... sedikit hadiah dari kami. Kalian pahlawan kami hari ini!"

Kirta dan Nandika tertawa malu-malu, sementara Jasana hanya menundukkan kepala, berusaha menahan haru.

Nandika (berbisik ke Jasana dengan nada bercanda)

"Gimana? Rasanya jadi Pahlawan?"

Jasana (menyeringai lemah)

"Kalau bisa memilih... aku lebih suka tidur siang dari pada ini."

Ketiganya tertawa lepas, di tengah keramaian desa yang mulai hidup kembali.

Keramaian masih terasa. Warga sibuk mengikat para bandit yang masih pingsan atau terluka, sementara beberapa lainnya membenahi rumah-rumah yang rusak.

Di tengah suasana itu, sekelompok tentara kerajaan Mandalagiri—yang seharusnya bertanggung jawab atas keamanan wilayah utara—mulai mencoba "mengambil alih" situasi.

Perwira Muda (berteriak lantang kepada anak buahnya)

"Kumpulkan semua bandit! Segera giring mereka ke pos terdekat! Cepat, jangan lambat!"

Para tentara pun bergegas, bersikap seolah-olah mereka adalah pihak yang menyelesaikan masalah, padahal semua bandit sudah tumbang lebih dulu.

Warga desa mulai mendengus kesal, saling berbisik dengan nada sarkastik.

Warga 4 (berbisik keras)

"Lihat tuh... Baru datang, gayanya udah kayak pahlawan."

Warga 5 (menambahkan sinis)

"Kalau ikut berkelahi, mungkin seragam mereka kotor sedikit."

Beberapa tentara tampak risih dengan komentar-komentar itu, namun mereka tetap berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Sementara itu, sang perwira muda, dengan langkah berwibawa tapi mata yang berkedut kesal, berjalan menghampiri Jasana, Nandika, dan Kirta yang masih dikerubungi warga.

Dia berdiri tegak di depan mereka, wajahnya tersenyum kaku.

Perwira Muda (berdehem kecil, lalu berbicara dengan suara dibuat ramah)

"Hmm... Atas nama pasukan kerajaan Mandalagiri, aku mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian menahan para pemberontak ini."

Namun, di balik senyum tipisnya, jelas terlihat bahwa hatinya mendidih. Ia tidak suka ada orang luar yang menyelesaikan tugas yang seharusnya menjadi prestasinya.

Ia kemudian memperkenalkan diri, menepuk dada dengan bangga.

Perwira Muda

"Namaku Adikara Wisesa, usia 25 tahun. Aku pemimpin patroli kerajaan wilayah utara."

Nandika dan Kirta saling melirik, sedikit menahan tawa melihat betapa kaku dan canggungnya Adikara.

Kirta (berbisik pelan ke Nandika sambil menahan tawa)

"Kalau dari tadi dia datang tepat waktu, mungkin rambutku nggak sekusut ini."

Nandika (menjawab cepat sambil cekikikan)

"Atau mungkin si Adikara itu masih sibuk ngerapihin jubahnya dulu sebelum berangkat."

Jasana, tetap menjaga sikap sopan, mengangguk hormat tipis kepada Adikara.

Jasana (dengan nada sopan namun datar)

"Terima kasih sudah datang... meski agak terlambat."

Sekilas, ekspresi Adikara berubah sedikit merah, namun ia buru-buru menyembunyikannya dengan batuk kecil dan tersenyum dipaksakan.

Di belakang Adikara, para warga masih menggerutu, membuat suasana semakin canggung.

Melihat suasana yang mulai tegang, dengan warga yang terus bergumam kesal pada tentara, Jasana maju beberapa langkah ke tengah kerumunan. Ia menoleh ke arah warga yang masih menunjukkan wajah tak puas.

Jasana (dengan suara lantang namun tenang)

"Warga Kaliranum yang terhormat... Tugas kita sudah selesai. Biarkan pasukan kerajaan yang kini mengambil alih urusan para bandit ini."

Suasana sejenak hening, semua mata tertuju pada Jasana.

Jasana (melanjutkan, nadanya bijak dan menenangkan)

"Kita datang bukan untuk mencari penghargaan. Kita bertarung demi keselamatan kalian semua... dan kini, sudah saatnya kita melanjutkan perjalanan."

Beberapa warga tampak menundukkan kepala, rasa hormat kepada Jasana, Nandika, dan Kirta makin dalam. Ada juga yang tampak terharu.

Adikara Wisesa, si perwira muda, mengangkat dagunya sedikit lebih tinggi, seolah merasa dibenarkan oleh keputusan itu, meskipun ia tahu jelas siapa yang sebenarnya berjasa.

Tanpa menunggu lama, Jasana berbalik ke arah Nandika dan Kirta.

Jasana (dengan senyum kecil)

"Ayo... Kita ambil kuda dan barang-barang kita di gerbang desa. Badanku rasanya remuk semua."

Kirta (mengelus punggungnya sambil meringis)

"Kalau jalan kaki terus, besok aku bakal tidur di atas kuda."

Nandika (menimpali sambil mengangkat tasnya yang berat)

"Bahkan kuda kita mungkin butuh dipijit kalau lihat kita bertiga naik barengan."

Mereka bertiga pun tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana setelah hari yang penuh ketegangan.

Dengan langkah berat namun lega, mereka berjalan ke arah gerbang desa. Di kejauhan, terlihat kuda-kuda mereka yang masih terikat dengan tenang di bawah pohon besar.

Sesampainya di gerbang, Jasana berbicara lagi sambil menarik napas panjang.

"Kita menginap saja di sini malam ini. Badan butuh istirahat sebelum lanjut perjalanan."

Nandika (mengangguk setuju)

"Setuju. Tidur di kasur lebih baik daripada tidur di atas pelana."

Kirta (tertawa kecil)

"Selama nggak ada bandit lagi yang ngajak joget tengah malam, aku sih oke."

Mereka pun akhirnya memutuskan kembali ke dalam desa, mencari penginapan kecil sederhana untuk bermalam—sambil membawa pengalaman baru, luka pertempuran, dan ikatan persahabatan yang terasa semakin erat.

Penginapan Desa Kaliranum – Senja Menjelang Malam.

Setelah bertanya pada beberapa warga, Jasana, Nandika, dan Kirta akhirnya tiba di sebuah penginapan kecil di ujung desa. Bangunannya sederhana, berdinding papan kayu tua dan atap rumbia. Namun, suasananya terasa hangat, dengan lampu minyak yang menggantung di tiap sudut ruangan.

Seorang penjaga penginapan yang sudah tua menyambut mereka dengan ramah dan menawarkan satu-satunya kamar besar yang tersedia.

[Kamar Penginapan]

Ruangan itu tidak mewah, namun cukup bersih dan nyaman untuk mereka bertiga. Hanya ada satu ruangan besar dengan tiga buah tempat tidur kayu berjejer di sisi kiri ruangan, masing-masing dilengkapi kasur tipis beralaskan tikar jerami dan selimut kumal. Sebuah meja kayu bundar kecil berdiri di tengah ruangan, dengan tiga kursi usang mengelilinginya. Di sudut ruangan terdapat gentong air untuk membersihkan diri, dan beberapa kain lap tergantung di tali jemuran.

Lampu minyak yang tergantung di tengah ruangan memancarkan cahaya kekuningan yang lembut, membuat bayangan ketiga sahabat itu menari di dinding.

Mereka bertiga langsung bergantian membersihkan diri di bilik mandi luar yang sederhana, hanya beralaskan papan kayu dan tirai usang. Setelah bersih dan berganti pakaian lebih santai, mereka kembali ke kamar, tampak lebih segar meski kelelahan masih melekat di wajah masing-masing.

Nandika membuka buntalan besar yang ia bawa sejak tadi, mengeluarkan beberapa bungkus nasi berisi lauk sederhana, serta kantung-kantung kecil berisi minuman jahe hangat.

Nandika (meletakkan makanan di meja dengan puas)

"Nah, ini dia... persediaan darurat yang kusebut penyelamat hidup."

Kirta (mengambil satu bungkus nasi sambil tertawa kecil)

"Kalau nggak ada kau, Nak... mungkin aku sudah makan tali pelana sekarang."

Jasana (tersenyum sambil duduk di tepi kasur)

"Ayo, makan dulu. Besok kita butuh tenaga penuh."

Suasana menjadi lebih santai. Mereka duduk melingkar di lantai beralas tikar, mengelilingi makanan sederhana itu. Sambil menyantap makan malam, pembicaraan ringan pun mengalir.

Kirta (mengunyah sambil bicara)

"Jadi... besok kita mau langsung jalan lagi? Atau cek keadaan sekitar dulu?"

Nandika (menyeruput minuman jahe hangat)

"Kalau menurutku, lebih baik kita lihat-lihat dulu. Siapa tahu ada informasi soal pergerakan kelompok Bayawira lainnya."

Jasana (mengangguk pelan)

"Kita kumpulkan informasi di pasar atau kedai desa. Sekalian cari tahu jalan tercepat ke Hutan Lembayung Dipa. Lalu baru kita lanjutkan perjalanan."

Kirta (dengan mulut penuh)

"Setuju. Tapi jangan lupakan... sarapan dulu sebelum jalan."

Mereka bertiga pun tertawa kecil, kelelahan yang semula terasa berat seolah sedikit sirna di tengah kebersamaan ini.

Setelah selesai makan, satu per satu mereka merebahkan diri di tempat tidur masing-masing. Suara jangkrik malam perlahan mengisi keheningan, dan lampu minyak yang tergantung bergoyang perlahan tertiup angin, menemani mereka terlelap dalam malam yang damai.

[Dalam Mimpi Jasana – Tengah Malam]

Suasana di sekeliling Jasana perlahan berubah. Ia merasa dirinya berdiri di tengah hamparan kabut putih yang tebal, seolah melayang di antara dunia nyata dan dunia gaib. Hembusan angin lembut menyapu, membawa aroma tanah basah dan bunga liar.

Tiba-tiba, dari balik kabut, muncul sosok yang perlahan menjadi semakin jelas. Seorang makhluk berjubah putih bersih, tubuhnya ramping namun kuat, wajahnya bercahaya lembut dengan mata teduh berwarna perak, penuh ketegasan namun juga kehangatan. Di punggungnya tergantung pedang kayu, serupa dengan pedang milik Jasana.

Itulah Ardhana—khodam yang lahir dari tekad dan semangat pantang menyerah Jasana.

Ardhana (dengan suara dalam dan bergema lembut)

"Engkau telah membangunkanku, Jasana Mandira..."

"Kini jalanku bersatu dengan jalanmu."

Jasana hanya bisa memandang penuh takjub. Ini pertama kalinya ia melihat Ardhana dengan wujud sempurna, bukan sekadar bayangan samar di tengah latihan.

Jasana (berbisik tak percaya)

"Ardhana...?"

Ardhana melangkah maju, seakan kabut di sekitar mereka menyingkir seiring gerakannya. Tatapannya dalam, seolah menembus jauh ke lubuk hati Jasana.

Ardhana (serius)

"Perjalananmu belum usai, wahai pemilik tekad baja."

"Di depan sana, di Hutan Lembayung Dipa... resonansi roh-roh purba tengah bergolak. Mereka yang tidur kini mulai terbangun."

Kilatan kilat samar muncul di belakang Ardhana, memperlihatkan bayangan sekilas hutan luas yang dipenuhi kabut ungu, suara gemuruh aneh, dan sosok-sosok raksasa tak berbentuk yang tersembunyi di antara pepohonan.

Ardhana (melanjutkan dengan nada peringatan)

"Misi di sana bukan hanya menuntut kekuatan fisik, melainkan juga keteguhan hati dan kejernihan jiwa. Berhati-hatilah, Jasana... sebab resonansi itu bisa mengubah kawan menjadi lawan."

Ardhana perlahan mengangkat tangannya, meletakkannya di dada Jasana. Cahaya putih hangat mengalir dari telapak tangan Ardhana, menguatkan semangat dan tekad Jasana yang sempat terkuras.

Ardhana (terakhir sebelum menghilang)

"Aku akan bersamamu... kapanpun engkau memanggil dari hatimu yang tulus."

Kabut perlahan menyelimuti semuanya kembali. Suara Ardhana memudar seperti bisikan angin.

[Kamar Penginapan – Menjelang Pagi]

Jasana tersentak bangun, napasnya memburu sesaat. Ia menatap langit-langit kayu kamar penginapan, mendengar desiran angin malam dari celah-celah papan.

Tangannya meraih ransel di samping kasur, merasakan berat pedang kayu patah yang tersimpan di dalamnya... terasa hangat, seolah berdenyut pelan.

Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis.

Jasana (dalam hati)

"Aku siap, Ardhana... apapun yang menanti di Hutan Lembayung Dipa."

Di tempat tidurnya masing-masing, Nandika dan Kirta masih terlelap, tak menyadari bahwa sejak malam ini... perjalanan mereka akan memasuki babak yang jauh lebih berbahaya.

[Pagi Hari – Desa Kaliranum]

Mentari pagi mulai menyingsing, memancarkan cahaya hangat di atas desa Kaliranum. Burung-burung kecil berkicau di pepohonan, aroma nasi hangat dan teh dari dapur-dapur rumah penduduk memenuhi udara.

Di sebuah penginapan sederhana, Jasana, Nandika, dan Kirta bangun bergantian. Mereka bergiliran membersihkan diri dengan air sumur belakang, membasuh debu dan sisa-sisa kelelahan semalam. Setelah berkemas, mereka sarapan di warung kecil milik warga—nasi jagung hangat, ikan asin, dan sayur bening.

Nandika (tersenyum kecil sambil mengunyah)

"Setelah kemarin, rasanya makanan ini seperti hidangan raja."

Kirta (terbahak pelan)

"Kalau kita bisa terus makan begini setiap habis bertarung, aku rela berkelahi tiap hari."

Jasana (tersenyum tenang)

"Jangan terlalu semangat berkelahi... kita belum tahu apa yang menunggu di depan."

Tak lama kemudian, mereka mengencangkan perlengkapan, memeriksa kembali persediaan, lalu menaiki kuda mereka, bergerak ke arah utara menuju Hutan Lembayung Dipa.

[Siang Hari – Perbatasan Hutan Lembayung Dipa]

Setelah perjalanan beberapa jam, akhirnya mereka tiba di batas hutan tersebut. Suasana berubah drastis. Meskipun matahari bersinar terik, cahaya sulit menembus rapatnya kanopi pohon-pohon raksasa. Aroma lembap tanah basah bercampur kabut tipis menyelimuti setiap sudut, menciptakan nuansa kelam dan misterius.

Nandika (melirik ke sekeliling dengan nada bercanda tapi agak cemas)

"Kenapa rasanya tempat ini seperti mengundang kita buat... hilang selamanya?"

Kirta (berusaha santai sambil menepuk busur di punggungnya)

"Hmm, aku yakin yang hilang cuma akal sehat kita kalau terus-terusan lihat kabut begini."

Jasana (tersenyum tipis, memperhatikan sekitar)

"Jaga konsentrasi. Hutan ini... seperti bernapas."

Suasana makin terasa aneh. Pepohonan tinggi menjulang, daunnya bergelantungan seperti tirai gelap. Suara binatang hampir tak terdengar, hanya sesekali desiran angin tipis.

Tanpa banyak kata, mereka segera membagi tugas:

Kirta mulai melakukan observasi: memeriksa jejak-jejak tanah, mendengar suara halus, dan mencari tanda-tanda aneh di sekeliling.

Nandika sibuk menggambar peta kasar di buku kecil, mencatat pohon-pohon penanda, aliran sungai kecil, dan formasi bebatuan aneh.

Jasana menjaga keduanya, matanya awas memantau sekeliling sambil sesekali memegang gagang pedangnya.

Beberapa kali mereka berhenti saat Kirta mengangkat tangan, menandai sesuatu yang tidak biasa—seperti jejak kaki besar yang terlalu dalam, atau bayangan yang melintas cepat di kejauhan.

Nandika (berbisik pelan sambil menulis)

"Aku nggak yakin ini cuma hutan biasa. Rasanya seperti... ada sesuatu yang menunggu kita."

Jasana (datar, matanya tajam)

"Apapun itu... kita harus tetap tenang. Kita di sini bukan untuk melawan hutan. Kita harus mendengarkannya."

Kirta mengangguk setuju, lalu melanjutkan observasinya, kini lebih hati-hati dari sebelumnya.

Kabut tipis semakin tebal, menyelimuti langkah mereka yang kini benar-benar masuk ke dalam jantung Hutan Lembayung Dipa.

[Di Dalam Hutan Lembayung Dipa]

Langkah mereka bertiga perlahan makin dalam menembus kabut pekat. Suara gesekan dedaunan, yang biasanya alami, kini terdengar seperti bisikan samar di telinga. Udara di sekitar mereka bergetar halus—seperti ada sesuatu yang bergerak di bawah tanah.

Kirta (berhenti mendadak, mengangkat tangan memberi isyarat berhenti)

"...Tunggu. Kalian merasakan itu?"

Nandika (mengernyit, memperhatikan tanah)

"Tanah ini... bergetar?"

Sejenak, semuanya membisu. Lantai hutan bergetar kecil, ritmis, seolah-olah sesuatu sedang bernafas dari dalam bumi. Di kejauhan, terdengar dengungan aneh—bukan suara serangga atau binatang, tetapi lebih mirip gema suara kuno yang bergulung dari dalam pepohonan.

Jasana (berbisik serius)

"Ini... resonansi. Ardhana pernah mengisyaratkan ini."

Mereka bertiga saling pandang. Tiba-tiba, dari antara pohon-pohon tua, muncul kilatan cahaya samar—seperti jaring tipis berwarna perak yang berkedip lalu lenyap seolah menembus dimensi lain.

Nandika (sedikit bergidik, mencoba bercanda untuk meredakan ketegangan)

"Kalau ini bukan tanda-tanda roh purba, aku bersedia tidur di luar semalaman."

Kirta (fokus sambil berjongkok memeriksa tanah)

"Tanah di sini... tidak alami. Ada pola. Seperti bekas... pusaran energi."

Kirta menunjuk pada formasi aneh di tanah—seolah-olah rumput dan lumut membentuk pola melingkar samar, dengan titik pusatnya di pohon besar tua yang menjulang tak jauh dari mereka. Kulit pohon itu menghitam, retak-retak seperti terbakar dari dalam.

Jasana (suara rendah, penuh kehati-hatian)

"Kita sudah dekat dengan pusat resonansi..."

Tiba-tiba, dari arah pepohonan di sisi kiri mereka, terdengar suara jeritan rendah—bukan manusia, bukan binatang—sesuatu yang menembus udara seperti suara patahan dunia lama.

Nandika (tegang, sambil merapat ke Jasana)

"...Itu bukan suara yang normal, kan?"

Kirta (mengencangkan tali busurnya)

"Kita harus hati-hati. Apa pun yang ada di sini, sudah sadar akan kehadiran kita."

Jasana mengangguk perlahan. Ia menajamkan indranya, mencoba merasakan kehadiran Ardhana dalam dirinya. Ada bisikan lembut di dalam pikirannya—sebuah peringatan untuk tetap rendah hati dan tidak memaksakan kekuatan di hadapan roh purba.

Dengan langkah yang lebih perlahan, mereka bertiga melanjutkan perjalanan, bergerak mendekati pohon raksasa itu...

Dan semakin dalam mereka melangkah, semakin nyata getaran aneh itu menggema di tubuh mereka, seolah-olah seluruh hutan bernafas dan memperhatikan setiap langkah mereka.

[Masih di Hutan Lembayung Dipa – Dekat Pohon Raksasa]

Langkah-langkah mereka semakin berat seiring getaran kecil di tanah yang makin terasa menusuk tulang. Di sekitar mereka, kabut tipis mulai berubah warna—dari putih ke abu kehijauan, berputar pelan membentuk pusaran.

Tiba-tiba, dari celah akar pohon raksasa itu, muncul bayangan-bayangan hitam yang perlahan membentuk wujud. Sosok itu tampak tak sepenuhnya padat, bergelombang seperti asap, namun memiliki mata bersinar kehijauan yang menusuk pandangan.

Kirta (mendesiskan napas, setengah siap membidikkan panah)

"Makhluk apa itu...?"

Nandika (sambil menghunus tombaknya)

"Apapun itu... kelihatannya bukan mau berteman."

Bayangan-bayangan itu—jumlahnya ada tiga—bergerak memutari mereka, mengeluarkan bunyi geraman rendah, dan saat satu di antaranya mendekat, tanah di bawah kaki mereka bergetar lebih hebat.

Jasana (menggenggam pedang kayu patahnya yang tergantung di ransel, merasakan kehadiran Ardhana di dalam dirinya)

"...Ini mungkin hanya pecahan energi roh purba... tapi kalau kita lengah, bisa jadi bencana."

Salah satu bayangan menyergap cepat ke arah Nandika, namun dengan sigap ia memutar tubuh dan menusukkan tombaknya ke arah kabut itu. Bukannya terluka, sosok itu berhamburan seperti asap lalu membentuk ulang tubuhnya beberapa langkah di belakang.

Nandika (berdecak kesal)

"Tidak bisa dihantam biasa?! Ini kayak mukul angin beracun!"

Kirta (mencoba menembakkan panah energi kecil)

Panahnya menembus bayangan itu, tapi di tengah jalan, panah itu terdistorsi dan jatuh ke tanah, seperti kehilangan arah.

Kirta (mengerutkan kening)

"...Energinya kacau di sini."

Seketika, salah satu bayangan menyapu angin dingin ke arah mereka, memaksa mereka bertiga mundur sambil menutup wajah.

Jasana (berteriak cepat)

"Gabung! Jangan pisah!"

Mereka membentuk formasi segitiga kecil, saling menutupi punggung masing-masing.

Nandika (setengah bercanda di tengah ketegangan)

"Aku harap ada rencana bagus, atau kita bakal jadi camilan makhluk ini!"

Jasana (berpikir cepat, lalu berkata tegas)

"Ini resonansi! Mereka terikat pusat energi itu—pohon besar itu!"

Kirta langsung menangkap maksudnya.

Kirta (dengan cepat)

"Kalau kita ganggu pusatnya, mungkin manifestasi ini runtuh!"

Tanpa banyak bicara lagi, mereka sepakat. Kirta mulai meretas jalan lewat sisi kiri, mencoba mendekati pohon raksasa, sementara Nandika dan Jasana mengalihkan perhatian ketiga bayangan itu dengan serangan-serangan cepat dan lincah, meski hanya sekedar mengulur waktu.

Saat Kirta sudah cukup dekat, ia mengarahkan panah berujung energi ke akar pohon tua yang tampak menjadi sumber pusaran resonansi. Dengan sorakan kecil, ia melepas panahnya—

PRAAAK!

Akar besar itu retak, memancarkan cahaya putih kehijauan. Seketika, bayangan-bayangan itu mengeluarkan jeritan parau, tubuh mereka bergetar, bergulung menjadi pusaran kabut, lalu meledak menjadi kepingan cahaya kecil.

Hening.

Getaran tanah perlahan menghilang. Kabut di sekeliling mereka memudar.

Mereka bertiga terdiam sesaat, memandangi pohon yang kini tampak lebih "normal", meski tetap terasa aura purbanya.

Nandika (menghela napas berat, menjatuhkan diri duduk di akar pohon)

"Aku... baru sadar... Ini bukan perjalanan biasa."

Kirta (tersenyum kecut)

"Ini baru pemanasan."

Jasana (diam sejenak, lalu berkata dengan suara berat)

"...Dan kita baru menyentuh pinggiran hutan ini."

Mereka saling pandang. Ada kesadaran berat yang tumbuh—resonansi roh purba bukan sesuatu yang bisa diremehkan.

Dan petualangan mereka di Hutan Lembayung Dipa... baru saja dimulai.