Bab 5 - Sedikit Misteri yang Terungkap

Siang Hari — Desa Suralaya, Rumah Kosong Tepi Lahan

Sinar matahari mengintip malu-malu di balik awan tipis. Angin membawa aroma tanah lembab dan bau padi kering.

Di sebuah rumah tua yang sudah lama tak berpenghuni di pinggir desa, tiga sosok muda tengah sibuk dalam keheningan yang tegang.

Darsa berdiri di dekat jendela yang setengah runtuh, matanya tajam mengamati pergerakan di jalanan desa. Ia mengenakan pakaian sederhana, pedang pendek berselip di pinggang, dan selempang kulit berisi peralatan kecil di bahu.

"Fokus, kita gak boleh sampai ketahuan," ujar Darsa setengah berbisik, memberi instruksi.

Di sudut ruangan, Larasmi berjongkok, sibuk meramu sesuatu dari kantung bahan yang dibawanya. Dengan cekatan, ia mencampur serbuk tanaman, getah, dan sedikit minyak pekat dalam tabung kecil.

"Kalau ada keadaan darurat, aku bisa ciptain kabut tipis buat ngacauin pandangan mereka," kata Larasmi tenang, matanya tetap fokus pada racikan yang mengeluarkan aroma samar-samar wangi.

Sementara itu, Pratiwi sudah berganti pakaian menjadi seperti penduduk lokal: kain lusuh, ikat kepala sederhana, dan keranjang di punggung. Dengan langkah ringan, ia membuka pintu belakang rumah dan berjalan keluar, seolah-olah hanya seorang gadis desa yang hendak menukar hasil panen.

Darsa mengangguk pelan.

"Pratiwi, ingat, cari tau tentang orang-orang asing itu. Jangan terlalu mencolok."

"Aku tau, Santai aja, Kak Darsa," jawab Pratiwi sambil tersenyum kecil penuh percaya diri sebelum menghilang di antara keramaian desa.

Larasmi berdiri, membersihkan tangannya, lalu mendekat ke Darsa.

"Kelihatannya jalur timur desa paling aman buat kita nanti. Banyak semak belukar, sedikit petani," lapor Larasmi.

Darsa berpikir sejenak sambil mengamati denah kasar yang mereka gambar di lantai tanah.

"Bagus... Kalau semua beres, malam ini kita coba masuk ke pusat ritual mereka. Ada sesuatu yang aneh sama pola panen dan upacara di desa ini."

Larasmi mengangguk. Di luar, samar-samar terdengar suara Pratiwi yang berbaur dalam percakapan penduduk, berusaha menyerap informasi.

Sementara itu, dari kejauhan, suara genderang lambat terdengar — sebuah pertanda bahwa ritual malam itu mungkin akan segera dimulai.

Pasar Desa Suralaya — Siang Hari

Suasana pasar desa ramai oleh suara tawar-menawar dan tawa riang anak-anak kecil. Lapak-lapak sederhana berderet, menjual hasil panen, kain, dan rempah.

Pratiwi menyusup di antara kerumunan, wajahnya menunduk santai sambil membawa keranjang berisi beberapa sayuran. Dengan cekatan ia berbaur, sesekali berpura-pura menawar harga.

"Berapa harga bayamnya, Bu?" tanyanya sambil tersenyum polos pada seorang pedagang tua.

Namun telinganya tajam menangkap percakapan dua orang lelaki paruh baya yang sedang duduk di bawah pohon waru tak jauh dari lapak sayuran.

"Haiyah... semenjak orang-orang itu datang, panen kita malah disuruh tahan-tahan. Katanya buat persembahan," kata lelaki pertama setengah berbisik, suaranya penuh rasa tidak suka.

"Iya... aku dengar juga. Malam ini mereka mau adain 'ritual besar'. Tapi aneh, ya? Warga lama malah nggak banyak yang diajak. Cuma pendatang sama orang-orang pilihan mereka," balas lelaki kedua, suaranya lebih pelan.

Pratiwi menajamkan pendengaran, pura-pura sibuk memilih kangkung.

"Katanya... kalau nggak nurut, ada yang... hilang tanpa jejak," tambah si lelaki pertama, kini nadanya berubah menjadi bisik-bisik takut.

Keringat dingin merembes di pelipis Pratiwi.

Ia cepat-cepat membayar sekedar beberapa ikat sayuran untuk menghindari kecurigaan, lalu perlahan mundur dari keramaian.

Saat ia berbalik menuju gang sempit di belakang pasar, ia menangkap satu kalimat terakhir yang membuatnya semakin waspada:

"Ritual itu... katanya buat bangunin sesuatu di hutan..."

Pratiwi menelan ludah. Ia mempercepat langkahnya, berusaha kembali ke rumah kosong tempat Darsa dan Larasmi menunggu, sementara di belakangnya, pasar tetap riuh, seolah tak ada apapun yang terjadi.

Rumah Kosong — Tepi Desa Suralaya

Sinar matahari mulai condong ke barat, menciptakan bayangan panjang di sela-sela bangunan reyot itu.

Darsa berdiri di dekat jendela yang separuh pecah, mengamati situasi sekitar.

Larasmi duduk di lantai, mengaduk-aduk bahan racikannya di dalam mangkuk kecil sambil sesekali menghirup baunya, memastikan semua siap.

Langkah cepat terdengar dari arah lorong.

Tap tap tap...

Pintu berderit pelan ketika Pratiwi masuk, wajahnya serius, keranjang sayuran masih di tangan sebagai samaran.

"Aku dapat sesuatu," katanya tanpa basa-basi.

Darsa segera berbalik, wajahnya menegang. Larasmi meletakkan mangkuknya dan berdiri.

"Apa yang kau dengar?" tanya Darsa, nada suaranya menuntut.

Pratiwi menarik napas dalam. "Ada ritual besar malam ini. Pendatang-pendatang yang kita curigai itu yang mengaturnya. Warga biasa dilarang ikut, hanya beberapa orang pilihan saja."

"Ritual?" Larasmi mengerutkan dahi. "Untuk apa?"

Pratiwi menatap mereka bergantian, suaranya menurun.

"Katanya... untuk membangunkan sesuatu di hutan."

Darsa mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Sesuatu apa? Roh? Makhluk?"

"Aku nggak dengar rinciannya," Pratiwi menggeleng pelan. "Tapi mereka menyebut soal 'persembahan'. Dan... ada warga yang hilang."

Ruangan itu seketika terasa lebih dingin.

Larasmi menelan ludah, lalu bergumam, "Ini bukan sekadar ritual biasa... Kalau sampai melibatkan resonansi roh atau pemanggilan, kita harus bertindak cepat."

Darsa mengangguk, matanya tajam.

"Kita nggak bisa membiarkan ini berkembang. Larasmi, pastikan bahan pengecohmu siap. Pratiwi, bersiap untuk penyusupan malam ini. Kita akan cari tahu apa yang sebenarnya mereka sembunyikan."

Pratiwi mengangguk tegas.

Larasmi langsung membungkuk kembali ke bahan-bahannya, tangannya cekatan.

Darsa menatap keluar jendela, matahari yang perlahan tenggelam terasa seperti menghitung mundur waktu mereka.

Dalam hati mereka semua tahu—

Malam ini, desa Suralaya akan berubah menjadi medan ujian berbahaya.

Padang Karang Balyan — Selatan Tirabwana

Mentari senja menggantung rendah di langit, menyiramkan cahaya keemasan ke hamparan padang berumput luas.

Angin semilir membawa aroma tanah kering bercampur bunga liar.

Di tengah padang itu, tiga sosok berlari terengah-engah—

Bukan memburu... tapi dikejar!

"AARRGHHH!! CEPAT LARI!!" teriak Bagas, matanya membelalak.

Seekor Siwarga — babi hutan besar bertaring panjang dan berkilat, mengejar mereka sambil mendengus buas.

"INI BUKAN RENCANANYA!!" Brahma berteriak frustasi sambil melompat menghindari sergapan Siwarga yang hampir menyundulnya.

Surya, yang biasanya paling tenang, kini ikut berlari sambil tertawa kecut, "SIAPA YANG BILANG DIA JINAK KALO DIKASIH UBI?!"

"ITU KATA BAGAS!!" sahut Brahma.

Bagas yang lari paling depan sambil memegang umpan ubi, menoleh sambil teriak, "AKU JUGA BARU BACA DI PAPAN INFORMASI!! KOK DIA MARAH?!"

Suara gaduh mereka mengalahkan suara serangga padang.

Siwarga itu mengejar membabi buta, taringnya melengkung tajam, menghajar semak-semak di jalurnya.

"BUANG AJA UBI-NYA!!" seru Surya.

"TAPI INI UBI SPESIAL!!!" bantah Bagas, memeluk umpan itu seperti harta karun.

BRAK!

Mereka bertiga berhamburan saat Siwarga menerjang semak besar, hampir mengenai Surya.

Akhirnya, Brahma yang kehabisan kesabaran, berteriak, "BAGAS, KAU PILIH UBI ATAU NYAWAMU?!"

Bagas menatap ubi di tangannya sedih... lalu, dengan air mata hampir jatuh, melemparkan ubi itu jauh ke arah lain.

Siwarga langsung berbelok arah, mendengus, lalu mengejar umpan itu tanpa ampun.

Tiga pemuda itu pun terkapar di rumput, terengah-engah, sambil tertawa getir.

"Hahaha... hahaha... hampir aja gw dipiting sama babi..." Bagas tertawa pahit sambil menepuk dada.

Brahma terguling sambil mengelus kakinya yang terkilir ringan. "Padahal katanya mau buru dengan gagah. Yang ada kita kayak ayam dikejar anjing!"

Surya hanya menggeleng-geleng, napasnya tersengal, "Kita ini... tiga pendekar apa tiga badut kelaparan?"

Bagas mengangkat jari, "Tiga pendekar... yang lagi apes..."

Mereka bertiga pun akhirnya terbahak bersama di tengah padang senja, tawa mereka terbang terbawa angin...

Setidaknya, untuk sesaat, dunia terasa ringan sebelum badai misi berikutnya datang.

Padang Karang Balyan — Menjelang Senja

Setelah tawa reda dan napas mereka kembali normal, Brahma langsung mengusap debu dari pakaiannya dan berdiri dengan wibawa.

Senyumnya menghilang, diganti dengan ekspresi penuh perhitungan. Ia menarik kedua pedangnya perlahan dari sarungnya, menancapkannya di tanah sebagai tanda memulai rapat taktis darurat.

"Baik, dengar, kalian berdua," katanya dengan suara sedikit berat. "Kalau kita mau selesaikan perburuan ini, harus pakai akal, bukan otot."

Bagas, yang masih setengah tengkurap sambil memeluk lutut, mengangkat tangan, "Kalau bisa sih... tanpa pakai badan saya juga."

Brahma pura-pura tidak mendengar. Ia mengangkat telunjuk ke langit, gaya orang bijak.

"Strateginya sederhana. Bagas, kau jadi umpan. Kau lari di jalur utama, mancing Siwarga keluar dari sarangnya."

Bagas langsung membelalak, "APA?! Kenapa harus saya, Brahma?? Aku ini... bahan bakar berjalan apa gimana?!"

Surya, yang duduk santai sambil mengusap cambuk di bahunya, menimpali dengan senyum nakal, "Soalnya, Badanmu kan... kelihatan lebih menggiurkan buat Siwarga."

Bagas menepuk perutnya, lalu menunjuk Surya dengan gaya dramatis, "Hei, ini bukan lemak biasa! Ini tameng alami!!"

Brahma menahan tawa, lalu melanjutkan, "Setelah Siwarga terpancing keluar, aku akan mengapit dari kiri, Surya dari kanan. Dengan cambuk-mu, kau bisa kunci gerakannya."

Surya mengangguk santai, "Sip, aku bisa ngiket kaki belakangnya. Biar dia gelundungan sendiri."

Bagas masih cemberut, lalu berkata, "Kalau aku mati dikejar, tolong tulisin di batu nisanku: 'Bagas — gugur demi kelezatan ubi dan kesalahan strategi teman-temannya.'"

Brahma akhirnya tertawa lepas. Ia menepuk pundak Bagas kuat-kuat, hampir membuat Bagas terhuyung.

"Tenang, Gas. Kami nggak akan ninggalin kau. Ini janji Pendekar Dua Pedang!" kata Brahma penuh semangat.

Surya ikut menimpali, "Iya, paling kalau kau jatuh, kami... ya ketawain dulu sebentar baru nolong."

Bagas mendesah panjang, "Haduh, kenapa partner gue dua-duanya calon calon pelawak..."

Mereka bertiga akhirnya saling pandang... lalu meledak tertawa bersama lagi, suara mereka membahana di tengah padang Karang Balyan yang mulai diselimuti cahaya jingga.

Meski misi di depan belum tentu mudah, semangat mereka tetap ringan, seperti angin padang yang membelai wajah-wajah muda itu.

Padang Karang Balyan — Eksekusi Rencana Perburuan Siwarga

Begitu semua siap, Bagas berdiri di jalur tanah terbuka, dengan wajah pasrah namun kocak. Ia menepuk-nepuk perutnya sendiri sambil bergumam,

"Ya Gusti, kenapa aku jadi umpan jalanan beginian..."

Brahma memberi isyarat tangan dari balik semak, Surya mengangguk sambil menggulung sebagian cambuknya siap-siap.

Lalu... dengan napas berat, Bagas mulai berlari!

Awalnya tidak ada yang terjadi. Tapi tak lama, dari celah-celah batuan besar di sisi padang, muncul suara geraman rendah.

Mata-mata merah kecil berkilat dari balik semak.

Bukan satu. Bukan dua. Tapi hampir tujuh ekor Siwarga!!

Bagas menoleh sekilas, lalu matanya membulat.

"WOI! Ini kenapa kayak satu kampung keluar semua!!" teriaknya sambil mempercepat larinya, tubuh tambunnya berayun-ayun kocak.

Surya menahan tawa sambil siap dengan cambuknya.

"Bagus Gas! Goyang perutmu lebih semangat lagi! Mereka makin semangat ngejar tuh!!"

Sementara Brahma dengan wajah puas bergumam, "Kalau begini, kita bisa dapet bonus taring! Lumayan buat dijual!"

Bagas nyaris tersandung batu, wajahnya konyol campur panik.

"Bonus apaan!! Nyawaku nih hampir diskon 70%!!"

Saat kawanan Siwarga mulai mendekat, Surya melepaskan cambuknya.

PRAKKK!

Cambuk baja itu melilit kaki salah satu Siwarga, membuatnya jatuh terguling dan menghantam dua temannya dari belakang.

Brahma tidak mau kalah. Ia bergerak cepat dari sisi lain, dua pedangnya berkilat dalam gerakan berirama.

Serang, serang, elak!

Dengan keahlian pendekar dua pedangnya, Brahma menebas cepat, membuat dua ekor Siwarga ambruk.

Sisa tiga ekor berusaha berbalik menyerang, tapi Bagas — entah karena panik atau inspirasi dadakan — mengambil gumpalan tanah dan melemparkannya asal.

Anehnya, lemparan itu tepat mengenai kepala salah satu Siwarga, membuat hewan itu berlari kacau ke arah teman-temannya sendiri!

Surya bersiul, "Wih, Gas! Bakat jadi pendekar tanah tuh!"

Akhirnya, setelah keributan yang cukup heboh, satu per satu Siwarga roboh.

Bagas terduduk di tanah, kelelahan, nafasnya ngos-ngosan seperti sapi kehabisan tenaga.

Brahma mengacungkan dua pedangnya ke udara, berteriak,

"Mission complete!! Siwarga tumbang semua!!"

Mereka bertiga tertawa puas sambil mulai mengumpulkan hasil buruan: belasan taring panjang, berwarna putih kekuningan, keras dan runcing.

Tidak hanya sepuluh, tetapi empat belas taring berhasil mereka kumpulkan!

"Kalau dijual, bisa buat beli bekal sebulan, bro!" kata Surya sambil menghitung-hitung.

Brahma mengangguk puas, sambil membersihkan pedangnya,

"Taring Siwarga ini bahan utama racikan penambah stamina prajurit. Para pendekar kelas atas aja nyari."

Bagas, sambil rebahan di tanah, masih setengah mengeluh, "Asal... jangan suruh aku jadi umpan lagi. Demi perutku yang mulia ini."

Surya dan Brahma tertawa geli, lalu membantu Bagas berdiri.

Saat matahari senja mulai turun, mereka berjalan pulang ke arah pos, membawa hasil buruan penuh semangat, tawa, dan kemenangan kecil yang membuat ikatan mereka bertiga semakin erat.

Senja Menjelang Malam — Hutan Lembayung Dipa

Cahaya jingga terakhir lenyap ditelan kelamnya Hutan Lembayung Dipa. Udara membeku aneh, dan di antara rerimbun pohon tua, Jasana berdiri tegak dengan napas berat.

Di tangannya, pedang kayu yang biasa ia gunakan kini bercahaya lembut — aura Ardhana membungkusnya.

Di hadapannya, dua sosok yang sangat dikenalnya — Kirta dan Nandika — berdiri kaku.

Tatapan mata mereka kosong... tubuh mereka bergerak dengan gerakan aneh, tersentak-sentak, seolah ada sesuatu yang mengendalikan mereka.

Kirta melesat cepat, busur panah di tangannya membidik Jasana tanpa ragu.

Nandika, dengan tombaknya, menyerbu dari sisi lain, gerakannya brutal dan tanpa perhitungan.

Clang!

Jasana menahan serangan mereka, menggertakkan gigi. Ia hampir tak percaya... dua temannya yang biasanya tersenyum dan bercanda kini menjadi lawannya.

Ardhana — sosok cahaya samar di belakang punggung Jasana — berbicara dalam pikirannya, tenang namun berat:

"Jasana, mereka tidak sepenuhnya sadar... Ini bukan kesalahan mereka. Ini gema dari roh purba yang meresap ke dalam jiwa."

Jasana menggertakkan gigi, menangkis tombak Nandika dan menepis panah Kirta, lalu bertanya lewat pikirannya,

"Bagaimana, Ardhana? Aku tak ingin melukai mereka!"

Ardhana menjawab, suaranya bergema halus,

"Kita harus 'membangunkan' jiwa mereka. Dengan cahaya hatimu, dengan kekuatanmu. Jangan membalas dengan kebencian... tapi bangunkan dengan keberanianmu!"

Serangan terus berdatangan. Kirta melepas rentetan anak panah beruntun — Jasana bergerak lincah, membelokkan panah dengan pedangnya.

Nandika menubruk maju dengan amukan ganas — Jasana menahan dorongannya sambil berusaha berbicara, berteriak keras:

"Kirta! Nandika! Ini aku, Jasana!! Sadarlah!!"

Sejenak... tatapan Kirta dan Nandika bergetar. Tapi pengaruh kegelapan itu menarik mereka kembali, lebih dalam.

Ardhana mendesak,

"Fokus, Jasana! Salurkan niatmu lewat pedangmu — bukan untuk melukai, tapi untuk memanggil mereka kembali!"

Dengan gemetar, Jasana memusatkan kekuatan hatinya.

Pedang kayunya bercahaya makin terang — bukan cahaya tajam seperti senjata biasa, melainkan cahaya hangat...

...Cahaya kenangan, persahabatan, dan janji-janji mereka dulu.

Saat Nandika dan Kirta kembali menyerang bersamaan, Jasana berteriak sambil mengayunkan pedangnya dalam gerakan melingkar — bukan untuk melukai, tetapi mengirimkan gelombang energi hangat.

Gelombang itu menghantam keduanya.

Kirta dan Nandika terhempas ke belakang, terdiam sejenak...

Kemudian tubuh mereka bergetar hebat. Dari tubuh mereka, samar-samar, keluar kabut hitam tipis yang segera menguap ke udara, lenyap.

Kirta terbatuk pelan, perlahan memegangi kepalanya.

Nandika jatuh berlutut, matanya perlahan kembali jernih.

Jasana terengah-engah, matanya berair, lalu berlari ke arah mereka berdua.

"Kirta! Nandika! Kalian... kalian kembali!"

Kirta mengerang,

"Apa... yang barusan terjadi...?"

Nandika bergumam, masih lemah,

"Aku... merasa seperti tenggelam dalam mimpi buruk..."

Ardhana muncul berdiri tenang di belakang Jasana, samar dan bangga.

"Kau berhasil, Jasana. Mereka kembali berkat cahaya hatimu."

Senja di Hutan Lembayung Dipa berubah menjadi malam.

Mereka bertiga terduduk di bawah pohon besar, saling menopang, berusaha memulihkan diri — sadar bahwa ini baru permulaan dari kegelapan yang mengintai di tempat ini.

Malam itu — Di Hutan Lembayung Dipa

Setelah kejadian itu, mereka bertiga duduk beristirahat di bawah sebuah pohon besar berlumut.

Angin malam berhembus dingin, membawa bisikan samar-samar dari dalam hutan.

Suasana hening, hanya suara napas mereka yang berat terdengar.

Kirta akhirnya memecah keheningan, suara parau:

"Aku... aku seperti bermimpi. Tapi juga sadar... Seperti ada sesuatu yang berbisik di telingaku."

Nandika memegangi kepalanya, menatap lantai hutan yang gelap:

"Aku merasakan amarah. Kesedihan. Tapi bukan milikku... Seperti... rasa dari sesuatu yang sangat tua..."

Jasana menatap mereka berdua, lalu bertanya, hati-hati:

"Kalian sempat melihat sesuatu...? Mungkin... bentuk roh itu?"

Kirta menggeleng.

Nandika bergumam lirih,

"Bayangan... hanya bayangan kabur. Tapi besar... dan terasa berat... Seolah beban ribuan tahun."

Ardhana, yang melayang di belakang Jasana, berbisik dalam pikirannya, memberi isyarat agar Jasana berbagi pengetahuan yang ia ketahui.

Jasana mengangguk pelan, lalu berbicara kepada teman-temannya, suaranya pelan namun tegas:

"Ardhana bilang... ini adalah 'resonansi roh purba'. Mereka bukan sekadar roh biasa. Mereka adalah sisa-sisa jiwa makhluk-makhluk kuno, yang pernah hidup... mungkin sebelum tanah ini menjadi seperti sekarang."

Kirta menatapnya, matanya menyipit:

"Makhluk kuno...? Seperti manusia?"

Jasana menggeleng:

"Bukan hanya manusia... mungkin roh binatang, pohon tua, atau bahkan roh alam sendiri... yang terjebak di antara dunia ini dan dunia roh. Mereka marah... atau sedih... karena tanah tempat mereka bersemayam telah berubah, dilupakan..."

Nandika mengepalkan tangan, menahan rasa ngeri:

"Jadi... kita tadi itu... dirasuki oleh sisa kesedihan mereka?"

"Ya," jawab Jasana, serius.

"Dan mungkin semakin dalam kita masuk ke dalam hutan ini... semakin kuat resonansi itu. Kita harus siap, karena bukan hanya raga yang diuji di sini... tapi juga jiwa kita."

Mereka bertiga terdiam.

Suasana menjadi makin mencekam, namun juga ada ikatan baru di antara mereka:

Ikatan bahwa mereka tidak bisa bertahan sendirian — mereka harus saling menjaga hati dan pikiran.

Dari kejauhan, suara burung malam melolong...

Hutan Lembayung Dipa seolah menonton mereka... menunggu langkah mereka berikutnya.

Malam Ketiga — Di Tengah Hutan Lembayung Dipa

Udara terasa berat, kabut tipis bergulung di antara pepohonan.

Tiba-tiba, saat mereka bertiga melangkah lebih dalam, hawa aneh menyelimuti sekitar.

Daun-daun bergerak meski tak ada angin, dan suara hutan seperti menghilang.

Di depan mereka, perlahan-lahan muncul sesosok wujud — bukan manusia, tapi menyerupai bentuknya:

Tinggi, dengan tubuh yang seakan terbuat dari kabut berkilauan samar, warna keperakan bercampur ungu.

Wajahnya tidak jelas, tapi dari auranya terasa tua, bijaksana, dan berat.

Kirta, Nandika, dan Jasana refleks bersiap.

Namun sosok itu mengangkat tangannya — isyarat damai.

"Anak-anak muda..."

Suara sosok itu bergema langsung di dalam pikiran mereka, tenang namun tegas.

"Apa gerangan tujuanmu memasuki tanah ini, yang dijaga oleh para leluhur?"

Jasana maju satu langkah, menunduk sedikit sebagai tanda hormat.

Dengan suara sopan tapi mantap, ia berkata:

"Perwakilan dari Guild Bayu Geni. Kami ditugaskan untuk mengobservasi, memetakan, dan memeriksa keadaan wilayah ini... Kami tidak berniat merusak, atau mengganggu kedamaian penghuni hutan ini. Kami hanya mencari tanda-tanda terbukanya Dungeon misterius yang mungkin membahayakan desa sekitar."

Sosok itu diam sejenak.

Kabut di sekitarnya berputar pelan, seolah sedang mempertimbangkan kata-kata Jasana.

Akhirnya ia berbicara:

"Aku adalah Raga Wening... salah satu penjaga resonansi hutan ini."

"Tanah ini menyimpan luka dan kenangan yang tak terhitung... Tidak semua roh di sini bisa membedakan antara tamu dan perusak. Itulah sebabnya teman-temanmu tadi sempat dirasuki emosi-emosi purba..."

Kirta dan Nandika saling pandang, lalu menunduk, memahami situasinya.

Raga Wening melanjutkan,

"Kalian datang di waktu yang pelik... Sebuah Gerbang Tua memang mulai retak di bagian terdalam hutan ini."

"Sebuah pintu kuno... yang menahan sesuatu dari masa lampau — sesuatu yang bahkan para penjaga seperti kami pun tak berani sentuh sembarangan."

Jasana bertanya hati-hati:

"Apakah... kami diizinkan untuk mencari tahu lebih jauh? Kami akan tetap menjaga kehormatan tempat ini."

Raga Wening menatap mereka, mata kabutnya seperti mengamati hingga ke dasar jiwa mereka.

Lalu ia mengangguk perlahan.

"Jika niat kalian murni... Aku akan memberimu jalan."

"Tapi berhati-hatilah... Karena apa yang tersegel di sana... bukan sekadar bahaya fisik. Ia bisa mengusik ingatan, ketakutan, bahkan harapan kalian sendiri."

Tanpa menunggu jawaban, Raga Wening mengulurkan tangannya — dari kabut itu terbentuk sebuah tanda bercahaya yang perlahan mengendap di tanah:

sebuah peta jalan samar menuju jantung hutan.

"Ikuti tanda ini... Tapi jangan melawan suara hatimu sendiri. Hanya mereka yang hatinya tetap teguh yang akan keluar dari sana."

Perlahan-lahan, sosok Raga Wening mulai memudar...

Hingga akhirnya menghilang, kembali menjadi bagian dari kabut hutan.

Tinggallah ketiganya, menatap satu sama lain — dengan rasa takjub, sedikit takut, tapi juga tekad yang semakin bulat.

"Kita lanjutkan besok pagi," kata Jasana, suaranya mantap.

"Kita akan buktikan bahwa kita layak berada di sini."

Malam itu, mereka beristirahat di dekat tanda cahaya yang samar, menyiapkan hati untuk perjalanan yang lebih berat esok hari.

Malam Hari di Desa Suralaya — Kegelapan yang Menyelimuti

Tim Darsa, Larasmi, dan Pratiwi tersembunyi di balik pohon dan semak-semak yang rapat, wajah mereka tersembunyi dalam bayang-bayang malam yang kelam. Keheningan hutan desa malam itu terasa hampir mencekam, hanya terdengar suara angin malam yang lembut dan suara langkah kaki yang perlahan mendekat dari arah tengah desa.

Darsa, dengan wajah serius, memegang gulungan catatan dan menulis dengan hati-hati, matanya tak lepas dari kerumunan orang yang sedang berkumpul di lapangan terbuka dekat kuil tua desa. Beberapa warga desa terlihat terlibat dalam aktivitas yang jelas-jelas tidak biasa — mereka mengenakan pakaian putih kusam dan membawa lilin yang menyala. Di tengah mereka, tampak seorang pria dengan jubah hitam, tampaknya menjadi pemimpin ritual.

Darsa (berbisik, perlahan):

"Ini... ini lebih besar dari yang kita kira."

Larasmi (melihat dengan cermat, merapatkan tubuhnya di balik semak):

"Ritual seperti ini... sangat jauh dari yang biasa dilakukan oleh warga desa. Itu bukan upacara adat."

Pratiwi (dengan ekspresi waspada, memantau gerakan orang-orang di sekitar):

"Sepertinya mereka tak hanya mengundang para penduduk, ada orang luar di antara mereka. Aku melihat satu wajah yang tidak asing... orang-orang itu mungkin datang dengan tujuan tertentu."

Darsa (mencatat dengan teliti, suaranya terdengar tegang):

"Ini pasti berkaitan dengan kejadian aneh-aneh di desa ini—perubahan pola panen, orang-orang yang datang diam-diam, dan ritual malam yang terkesan rahasia. Semuanya mengarah pada sesuatu yang lebih gelap. Kita harus berhati-hati."

(Lalu ia melanjutkan menulis di catatan.)

"Penting untuk mencatat semua aktivitas mereka malam ini. Namun ingat, kita tidak bisa meninggalkan jejak."

Tiba-tiba, salah satu peserta ritual mengangkat tangannya, dan api dari beberapa lilin yang terpasang di sekitar altar menjadi lebih terang, seolah memberi cahaya yang memancar lebih kuat. Darsa mengerutkan kening, matanya menatap tajam ke arah altar.

Larasmi (mencari posisi lebih baik):

"Ada sesuatu yang berbeda di dalam ritual itu... semacam energi yang mengalir dari mereka."

Darsa (menatap tajam, berkata dengan tegas):

"Jangan bergerak terlalu banyak. Jika kita menarik perhatian, kita bisa merusak penyelidikan ini."

(Melihat kembali ke arah ritual.)

"Begitu mereka selesai, kita akan segera kembali ke penginapan tanpa meninggalkan jejak apapun. Kita harus tetap tenang dan tidak terburu-buru."

Suara dari kerumunan semakin keras, kata-kata yang diucapkan tampaknya adalah doa atau mantra yang tidak mereka mengerti, dan seiring dengan itu, api lilin di altar berkobar semakin tinggi, seperti menanggapi energi yang dipanggil.

Pratiwi (berbisik dengan wajah serius):

"Dengar itu... ada yang aneh dengan suara-suara mereka. Sepertinya mereka memanggil sesuatu atau seseorang."

Darsa (berbicara perlahan dengan tegas):

"Itulah yang harus kita pastikan. Jika mereka benar-benar sedang memanggil kekuatan asing, kita harus mengerti apa yang mereka cari dan siapa yang mereka panggil. Tapi jangan sampai kita terjebak dalam situasi yang berbahaya."

(Sambil mengingatkan dengan tegas)

"Jaga diri kalian. Kita tidak bisa menilai ini dari luar. Kita harus mengamati lebih dulu."

Larasmi mengangguk, dan Pratiwi, meskipun tampak tegang, ikut mengawasi para peserta ritual dengan cermat.

Darsa kembali menulis di catatan, mencatat semua yang dilihat dan didengar.

Dengan penuh hati-hati, ia menambahkan:

"Tidak ada yang boleh tahu kita di sini. Jangan biarkan apapun mengarah pada kita. Kami harus pulang dengan informasi, bukan dengan jejak."

Tak lama setelah itu, pemimpin ritual yang mengenakan jubah hitam itu mulai mengangkat kedua tangannya ke langit, dan di antara mereka, asap putih perlahan mengalir keluar dari altar, seakan-akan sesuatu sedang bangkit dari kedalaman bumi.

Darsa (menghentikan penulisannya sejenak dan menatap dengan cemas):

"Ini... kita harus pergi. Tidak ada waktu lagi. Sesuatu yang lebih besar dari yang kita perkirakan sedang terjadi."

Dengan hati-hati, mereka menarik diri dari tempat persembunyian mereka dan kembali ke penginapan, bergegas dengan langkah hati-hati tanpa membuat suara. Setibanya di penginapan, Darsa segera membuka catatannya untuk mempersiapkan laporan yang akan mereka sampaikan pada Kapten Kalandra.

Darsa (menulis dengan cepat dan serius):

"Desa Suralaya — Ritual malam ini melibatkan energi yang kuat. Proses ritual ini berkaitan dengan kekuatan yang mungkin berhubungan dengan entitas asing yang bisa mempengaruhi desa. Kami akan perlu melakukan pemantauan lebih lanjut untuk memahami sepenuhnya apa yang sedang terjadi."

Larasmi (memandang ke luar jendela, merasakan ketegangan di udara):

"Entah apa yang mereka panggil, Darsa... tapi kita baru saja menginjakkan kaki di dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita kira."

Darsa (menutup catatan dan menyimpan gulungan itu dengan hati-hati, berbicara dengan serius):

"Kita harus tetap berada dalam bayang-bayang. Jangan beri mereka alasan untuk mencurigai kita. Kita akan melanjutkan penyelidikan ini, tapi kita harus bersiap dengan segala kemungkinan."

Ketiganya duduk diam, masing-masing merenung dengan pikiran yang penuh akan apa yang baru saja mereka saksikan. Darsa tahu satu hal: mereka kini berada di ambang sebuah petualangan besar yang penuh misteri dan bahaya yang tak terduga.

Pagi Hari di Hutan Lembayung Dipa

Kabut tipis yang menggantung di udara perlahan mulai menghilang, memberi jalan bagi sinar matahari pagi yang menerobos pepohonan tinggi di sekitar kelompok Jasana. Langkah mereka terasa berat, hutan ini semakin rapat dan lebat, memberikan rasa misteri yang tak terungkap. Mereka sudah berjalan cukup lama, mencari tanda-tanda yang akan membawa mereka ke bagian dalam hutan yang lebih dalam. Dan akhirnya, setelah berjam-jam menelusuri, mereka menemukannya.

Di antara pepohonan yang rapat, sebuah gerbang kuno berdiri tegak, namun tampak rusak. Gerbang itu dihiasi dengan ukiran-ukiran halus yang tampaknya telah dimakan usia. Di bawahnya, pintu besar berwarna gelap terlihat retak-retak di beberapa bagian, seperti sesuatu yang telah lama terkubur dan terjaga. Pintu itu terlihat sangat tua, namun kekuatan dan energi yang datang dari baliknya terasa sangat kuat, memancar bahkan sebelum mereka mendekat.

Jasana (berhenti sejenak, melihat pintu tersebut dengan serius):

"Ini dia. Pintu yang kita cari."

Nandika (menatap dengan cemas):

"Apa yang ada di balik pintu ini, Jasana? Rasanya ada sesuatu yang... tak wajar."

Kirta (mengangguk, matanya waspada):

"Ini bukan hanya sekadar pintu. Rasanya ada kekuatan yang menahannya. Kita harus hati-hati."

Tiba-tiba, sebuah gema keras terdengar, seperti dentingan logam yang bergema dalam udara. Sebelum mereka sempat bereaksi, sebuah entitas besar muncul dari balik pintu itu, penjaga yang selama ini mengawasi gerbang tersebut. Wujudnya sangat besar, tingginya hampir dua kali lipat dari tinggi manusia biasa, dengan tubuh yang terbuat dari batu gelap yang tampak seperti batu purba, ditutupi dengan lumut dan ranting-ranting yang tumbuh di sekujur tubuhnya. Matanya bersinar dengan cahaya biru yang dingin, dan suaranya menggetarkan tanah saat ia berbicara.

Penjaga Pintu (suara berat, menggetarkan bumi):

"Siapa yang berani mengganggu kedamaian yang telah terjaga selama ribuan tahun? Kamu yang mendekat... jangan coba-coba membuka segel ini!"

Jasana (berkata tegas, memegang pedang kayu 'Ardhana' dengan hati-hati):

"Kami tidak berniat membuka segel ini. Kami hanya ingin mengamati, untuk memastikan apakah yang tersegel di dalamnya dapat membahayakan desa-desa di sekitar hutan ini."

Nandika (bersiap, melemparkan tombaknya ke posisi siap):

"Jasana benar. Kami hanya ingin memastikan tidak ada ancaman yang dapat merusak kedamaian desa. Jangan membuat kami bertarung."

Kirta (menyiapkan busur, mengarahkan anak panah dengan hati-hati):

"Tapi jika kau memaksa, kami tidak akan mundur begitu saja."

Penjaga Pintu (matanya menyala lebih terang, tubuhnya bergetar, memposisikan dirinya untuk menyerang):

"Kalian berani menantang aku? Jangan beranggapan bahwa kalian bisa dengan mudah masuk tanpa membayar harga yang setimpal!"

Dengan gerakan cepat, penjaga itu mengayunkan kedua lengannya yang besar, melepaskan energi kuat yang berputar dan menciptakan gelombang kejut di sekitar mereka. Kirta segera melompat ke samping, menghindari serangan itu dengan lincah, sementara Nandika mengangkat tombaknya untuk menahan serangan lain yang datang dari arah kiri. Jasana mengangkat pedangnya, "Ardhana" menyala dengan cahaya yang berkilau, menghadang serangan penjaga yang datang dengan sangat cepat.

Jasana (terengah-engah, berteriak pada temannya):

"Kita harus berhenti bertarung! Ini bukan pertarungan biasa! Kita hanya ingin berbicara dengan penjaga ini."

Nandika (merasa kesulitan menahan serangan):

"Ini tidak mungkin! Dia sangat kuat, Jasana! Tapi kalau kita terus bertarung, kita hanya akan memperburuk keadaan!"

Kirta (dengan tenang, menarik busur dan melepaskan anak panahnya yang melesat cepat, namun bukan untuk menyerang):

"Aku akan mencoba mengalihkan perhatiannya, Jasana. Kalau kita bisa berbicara, kita harus berhenti berkelahi."

Jasana (dengan cepat, menahan serangan terakhir penjaga dengan pedang kayunya, berteriak dengan tegas):

"Penjaga! Kami tidak ingin berperang! Kami hanya ingin tahu apa yang ada di balik pintu ini dan apakah itu akan membahayakan desa-desa di sekitar sini. Kami tidak bermaksud mengganggu tempat ini. Mohon, dengarkan kami!"

Untuk sesaat, penjaga itu berhenti, terhenti di tengah serangannya, dan matanya yang bersinar menatap mereka dengan tatapan tajam. Ada keheningan sejenak, angin berbisik melalui pepohonan sekitar mereka, sementara ketiganya berdiri tegak, siap dengan kata-kata mereka.

Penjaga Pintu (suaranya berat dan dalam, hampir seperti suara tanah yang mendalam):

"Keinginan kalian untuk mengamati dan memetakan wilayah ini tidak dapat diterima begitu saja. Tetapi jika niat kalian benar, aku akan mendengarkan."

(Tubuh penjaga itu sedikit mundur, menurunkan lengannya, sementara kekuatan besar di sekitarnya mereda.)

"Namun, kalian harus tahu, segel ini tidak hanya menahan sesuatu yang lama terkubur, tetapi juga kekuatan yang sangat kuat. Jika kalian membuka atau mengganggu ini, semua yang ada di sekitar hutan ini akan terpengaruh."

Jasana (dengan tegas, bersumpah untuk menjaga kehati-hatian):

"Kami hanya ingin memastikan tidak ada bahaya bagi desa di sekitar hutan ini. Kami tidak berniat membuka segel, hanya ingin memastikan semuanya aman."

Penjaga Pintu (dengan suara yang lebih lembut, namun tetap tegas):

"Baiklah, aku akan mengijinkan kalian untuk melakukan observasi. Tetapi kalian harus tetap menjaga jarak dan tidak menggangu keseimbangan yang sudah ada. Hutan ini bukanlah tempat yang bisa kalian kendalikan."

Dengan itu, penjaga pintu kembali ke posisinya semula, berdiri diam seperti batu purba, dan energi yang mengelilinginya mulai mereda. Jasana, Kirta, dan Nandika saling bertukar pandang, lega namun tetap waspada.

Jasana (menarik napas lega, berbisik):

"Kita mendapatkan izin, tapi kita tetap harus hati-hati. Kita harus menggali lebih banyak informasi tanpa melampaui batas."

Nandika (menatap pintu dengan penuh rasa ingin tahu):

"Jika ada kekuatan yang begitu besar di balik pintu ini, kita harus tahu apa yang sebenarnya tersegel. Untuk keamanan semua orang."

Kirta (menundukkan busur, berpikir dalam diam):

"Yang terpenting sekarang, kita harus tetap fokus pada misi ini dan tidak melibatkan diri lebih dalam dari yang kita rencanakan."

Dengan waspada, mereka melanjutkan untuk memetakan area di sekitar pintu tersebut, tanpa melupakan peringatan penjaga dan menjaga jarak dari pintu yang tampaknya menyimpan misteri dan bahaya yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.

Setelah menyelesaikan pencatatan informasi yang mereka kumpulkan tentang Resonansi Roh Purba, pintu kuno yang retak, dan segala keanehan yang terjadi di Hutan Lembayung Dipa, ketiganya tampak lelah namun penuh pemikiran. Jasana, Nandika, dan Kirta duduk sejenak di bawah naungan pohon besar, memeriksa catatan mereka satu kali lagi, menganalisis apa yang telah mereka pelajari.

Jasana (menatap catatan dengan serius, merenung):

"Jadi, intinya, Resonansi Roh Purba yang mengendalikan penjaga ini bukanlah entitas jahat. Mereka hanya melindungi sesuatu yang jauh lebih besar dan berbahaya di balik pintu tersebut. Tapi… entah apa yang tersegel, kita tidak bisa meremehkannya. Apapun itu, jelas ada bahaya besar jika pintu itu terbuka."

Nandika (mengangguk, menyeka keringat di dahinya):

"Ya, dan jika ada yang mencoba membuka pintu itu tanpa memahaminya, bisa berbahaya bukan hanya untuk hutan, tetapi juga untuk desa-desa di sekitar sini. Bahkan lebih dari itu, aku khawatir kalau sesuatu bisa mempengaruhi keseimbangan di seluruh wilayah ini."

Kirta (dengan suara tenang, sambil mengamati sekitar):

"Kita juga harus mengingat peringatan penjaga itu. Jangan sampai kita terbawa oleh rasa ingin tahu yang berlebihan. Semua ini bukan hanya soal kita. Banyak yang bisa terpengaruh jika kita melakukan langkah salah."

Setelah beberapa saat berdiam diri, mereka semua berdiri dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang. Meskipun hasil yang mereka dapatkan cukup berat untuk dipikul, mereka tahu bahwa informasi ini penting dan harus segera dilaporkan ke Guild Bayu Geni.

Jasana (mengambil napas dalam-dalam, menatap pintu kuno untuk terakhir kalinya):

"Terima kasih, Penjaga. Kami akan menjaga amanah ini."

Dengan langkah hati-hati, mereka mendekati pintu kuno, dan setelah beberapa saat, Penjaga Pintu yang besar dan menakutkan itu, dengan tubuh batu dan aura yang mendalam, menundukkan kepalanya sedikit, memberi isyarat persetujuan.

Penjaga Pintu (suara berat, lembut, namun penuh kehormatan):

"Perjalanan kalian sudah berakhir di sini. Teruskan menjaga keseimbangan, dan ingatlah kata-kata kalian, bahwa hanya yang layak yang bisa melewati gerbang ini. Semoga jalan kalian selalu terang, para penjaga kehormatan."

Jasana (tersenyum sedikit, sambil memberi penghormatan):

"Semoga kekuatanmu tetap terjaga. Terima kasih atas izinmu."

Setelah berpamitan, mereka melangkah mundur dengan hati-hati, tak berani melangkah lebih dekat lagi ke pintu kuno yang telah terjaga begitu lama. Dengan perasaan campur aduk, mereka mulai kembali melalui hutan menuju tempat mereka meninggalkan kuda-kuda mereka.

Hutan semakin terasa sepi, dengan hanya suara langkah kaki mereka yang memecah kesunyian. Sesampainya di pinggiran hutan, mereka melihat kuda-kuda yang telah mereka tinggalkan di luar hutan, menunggu dengan cemas. Ketiganya merasa sedikit lega saat melihat kuda-kuda mereka dalam keadaan baik-baik saja.

Jasana (tertawa kecil, melihat kuda yang terlihat gelisah):

"Sepertinya kuda-kuda kita tahu bahwa ini bukan tempat untuk mereka."

Nandika (tersenyum, mendekati kudanya):

"Benar. Mereka lebih pintar dari yang kita kira. Pasti mereka merasa ada sesuatu yang aneh di sini, dan memutuskan untuk tetap menunggu kita di pinggiran."

Kirta (menepuk kuda dengan lembut):

"Baiklah, mari kita kembali ke guild. Kita sudah mendapatkan informasi yang diperlukan. Semoga semua ini cukup untuk melaporkan situasi ini dengan tepat."

Ketiganya dengan hati-hati menaiki kuda masing-masing, dan perlahan mulai berkendara keluar dari hutan, menjauhi Hutan Lembayung Dipa yang misterius. Seiring mereka melaju, kesunyian hutan kembali menyelimuti mereka, seperti menyembunyikan banyak rahasia yang belum terungkap.

Jasana (melihat ke belakang, dengan ekspresi serius):

"Hutan ini… ada lebih banyak hal yang belum kita ketahui. Tapi untuk sekarang, kita harus membawa semua ini ke guild. Kita harus segera melaporkannya pada Kapten."

Nandika (dengan suara serius, namun penuh kewaspadaan):

"Ya, kita harus waspada. Apa yang kita temui di sini mungkin baru permulaan."

Perjalanan mereka kembali ke Guild Bayu Geni terasa lebih tenang, meskipun di dalam hati mereka, ketiganya tahu bahwa apa yang mereka bawa pulang adalah awal dari sebuah ancaman yang jauh lebih besar.

Satu per satu, mereka meninggalkan Hutan Lembayung Dipa, menuju masa depan yang penuh misteri dan bahaya, namun dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya.

Tiga hari setelah mereka selesai melaksanakan misi di Hutan Lembayung Dipa, tim Jasana akhirnya sampai di ibu kota Tirabwana. Matahari siang itu menyinari jalan-jalan besar kota dengan cemerlang, namun ketegangan masih terasa pada wajah ketiga anggota guild yang baru saja kembali. Mereka tahu tugas yang mereka jalankan adalah bagian dari puzzle yang lebih besar.

Dengan cepat, mereka menuju Markas Guild Bayu Geni, bangunan megah yang berdiri kokoh di pusat kota. Begitu memasuki halaman utama, mereka dipandu menuju Divisi Raka Lelana, tempat mereka harus melaporkan hasil misi kepada Kapten Lodra Wahana.

Ruang Divisi Raka Lelana kali ini tampak lebih hidup. Beberapa anggota senior sedang berlatih di sudut ruangan, sementara di meja besar di tengah ruangan, Kapten Lodra Wahana sedang duduk, membaca beberapa dokumen. Di sampingnya, dua anggota senior Raka Lelana berdiri, menunggu instruksi lebih lanjut.

Jasana, Nandika, dan Kirta mendekat, masing-masing membawa gulungan laporan yang mereka tulis dengan cermat. Kapten Lodra melihat mereka dengan tatapan yang tidak bisa disembunyikan—wajahnya memancarkan rasa puas.

Kapten Lodra Wahana (melihat mereka, sedikit tersenyum):

"Selamat datang kembali, Tim Jasana. Aku sudah mendengar sedikit tentang perjalanan kalian. Sekarang, mari kita lihat hasil kerja keras kalian."

Dengan tenang, Jasana menyerahkan gulungan laporan kepada Kapten Lodra, sementara Nandika dan Kirta juga memberikan laporan masing-masing. Kapten membuka gulungan itu dan mulai membacanya dengan seksama. Keheningan sejenak terjadi di ruang tersebut, kecuali suara Kapten yang sesekali terhenti saat dia membaca bagian tertentu.

Setelah beberapa menit membaca, Kapten Lodra Wahana menutup gulungan laporan itu dengan kepuasan yang jelas tampak di wajahnya.

Kapten Lodra Wahana (tersenyum puas):

"Ini luar biasa. Kalian telah berhasil mengumpulkan informasi yang sangat berharga. Tidak hanya itu, kalian juga menunjukkan keberanian dan ketelitian yang sangat diperlukan dalam misi seperti ini. Aku puas dengan hasil kerja kalian."

Jasana, Nandika, dan Kirta saling bertukar pandang, merasa lega bahwa misi mereka berhasil dilaksanakan dengan baik.

Kapten Lodra Wahana (melanjutkan, dengan nada tegas namun hangat):

"Sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras kalian, aku akan memberikan upah yang sesuai dengan keberhasilan kalian. Semoga ini bisa membantu kalian dalam perjalanan berikutnya."

Jasana (menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk rasa terima kasih):

"Terima kasih, Kapten. Kami senang bisa menyelesaikan misi ini dengan baik."

Kapten Lodra Wahana (mengangguk, melirik dua anggota senior yang berdiri di sebelahnya):

"Sepertinya kalian sudah cukup mengenal Divisi Raka Lelana. Sebelum kalian pergi, izinkan aku memperkenalkan kalian dengan dua anggota senior kami."

Kapten Lodra memberi isyarat kepada kedua pria yang berdiri di sampingnya.

Kapten Lodra Wahana:

"Ini adalah Senopati Wiraindra, seorang veteran berpengalaman dari kami, yang telah lama mengabdi dalam banyak misi. Dan ini adalah Adinata Fajarendra, seorang pendekar muda dengan bakat luar biasa dalam taktik dan strategi."

Senopati Wiraindra (menghampiri mereka dengan langkah mantap, suaranya tegas namun ramah):

"Selamat atas keberhasilan misi kalian. Aku Senopati, dan aku berharap kalian bisa belajar banyak dari pengalaman kami di sini. Semoga kalian tetap kuat dalam menghadapi segala tantangan yang akan datang."

Senopati memberikan senyum bijak, matanya yang penuh pengalaman memperhatikan mereka dengan seksama.

Adinata Fajarendra (dengan senyum muda yang penuh semangat, ia menatap mereka dengan rasa hormat):

"Senang bertemu kalian. Misi yang kalian jalankan pasti tidak mudah. Kalian pasti sudah menghadapi banyak bahaya di perjalanan. Jangan ragu untuk bertanya jika kalian butuh bantuan atau ingin belajar lebih banyak tentang strategi yang kami pakai."

Jasana (tersenyum, sedikit terkesan dengan sikap Senopati dan Adinata):

"Terima kasih. Kami sangat menghargai kesempatan untuk belajar dari yang lebih berpengalaman."

Nandika (mengangguk, menatap dengan hormat kepada Senopati dan Adinata):

"Semoga kami bisa mengikuti jejak kalian suatu hari nanti."

Kirta (dengan senyum ringan, menambahkannya):

"Senang bertemu dengan kalian. Semoga kita bisa bekerja bersama di misi selanjutnya."

Kapten Lodra Wahana (menepuk meja dengan ringan, berseri-seri):

"Baiklah, kalian semua telah mendapat penghargaan yang layak. Dan dengan itu, kalian juga akan lebih siap untuk menghadapi tantangan berikutnya. Kami di Divisi Raka Lelana akan selalu siap mendukung kalian."

Dengan itu, suasana di ruang Divisi Raka Lelana menjadi lebih santai, meskipun masih ada aura penuh kewaspadaan. Setelah beberapa percakapan ringan dan saling berbagi cerita pengalaman, Tim Jasana berpamitan untuk kembali ke asrama mereka.

Namun, sebelum mereka pergi, Kapten Lodra Wahana memberikan pesan terakhir:

"Jangan pernah lengah. Banyak hal yang belum kalian ketahui tentang dunia ini. Teruslah berkembang dan menjaga kekuatan kalian. Kami semua di sini adalah satu keluarga besar Guild Bayu Geni."

Dengan ucapan itu, mereka keluar dari ruang Divisi Raka Lelana, siap menghadapi tantangan baru yang menanti mereka di depan.

Saat mereka melangkah keluar dari Ruangan Raka Lelana, Jasana, Nandika, dan Kirta merasa lebih siap dari sebelumnya. Mereka tahu perjalanan mereka baru saja dimulai, dan meskipun masa depan penuh ketidakpastian, mereka merasa yakin bahwa bersama-sama, mereka bisa menghadapinya.