Bab 6 - Bayang-Bayang di Balik Mahkota

Flashback – Malam di Desa Suralaya, 2 Hari yang Lalu

Malam semakin larut, dan suasana desa Suralaya tetap tenang di bawah cahaya rembulan yang samar. Angin malam membawa rasa dingin yang menusuk, sementara di kejauhan, suara alam seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih gelap di dalam hutan sekitar desa. Tim Darsa, yang terdiri dari Darsa, Larasmi, dan Pratiwi, bersembunyi di balik semak-semak tebal, mengamati gerombolan orang tak dikenal yang berkumpul di lapangan terbuka di tengah desa. Mereka telah mengintai selama beberapa jam, tidak bergerak, hanya memperhatikan setiap gerak-gerik yang tampak mencurigakan.

Di tengah kerumunan, mereka melihat seorang pria yang cukup dominan. Dengan pakaian hitam yang dipenuhi dengan berbagai simbol misterius, wajahnya disembunyikan dengan topeng besar berwarna perak. Anggota gerombolan tersebut tampak terhormat dan sangat terorganisir. Mereka semua berdiri mengelilingi sebuah lingkaran yang ditandai dengan simbol-simbol aneh di tanah. Di tengah lingkaran, ada sebuah altar batu besar yang dihiasi dengan berbagai benda mistis—sebuah ritual yang jelas jauh dari kesan biasa.

Darsa (berbisik kepada Larasmi dan Pratiwi, matanya fokus pada sosok tersebut):

"Aku mengenalnya. Itu Prayogi. Salah satu kapten dari Bayawira, kelompok bandit yang cukup terkenal di sekitar daerah Mandalagiri. Wajahnya memang jarang terlihat, tapi aku tak mungkin salah. Dia adalah orang yang bertanggung jawab atas banyak kerusakan di sepanjang perbatasan kerajaan."

Larasmi (memperhatikan dengan cermat, menurunkan sedikit tombaknya):

"Bayawira... Aku pernah mendengar tentang mereka. Kelompok bandit yang terkenal kejam dan sulit ditangkap. Apa yang mereka lakukan di sini, di desa ini?"

Darsa (menggertakkan gigi, memandang dengan lebih tajam):

"Mereka pasti punya tujuan lebih besar daripada sekadar merampok. Aku merasa ini bukan cuma soal uang."

Suasana semakin tegang saat Prayogi membuka topengnya, dan wajahnya yang tajam dan penuh bekas luka terbuka. Darsa langsung mengenali tatapan mata yang licik, penuh tipu daya dan ambisi. Latar belakang pria ini bukan sekadar bandit biasa—Prayogi adalah individu yang terampil dalam manipulasi dan kebrutalan.

Darsa (menggerakkan tangannya dengan hati-hati):

"Ini lebih besar dari yang kukira. Apa yang sedang mereka lakukan, Larasmi? Ritual ini terlihat sangat tidak biasa."

Pratiwi (berbisik dengan suara rendah, matanya mengamati setiap gerakan yang ada):

"Mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang aneh. Aku bisa merasakan sesuatu yang tidak alami. Sepertinya ini lebih dari sekadar ritual sembarangan."

Mereka berdiam diri lebih lama, berusaha menangkap setiap detail dalam kerumunan yang terlibat dalam ritual tersebut. Di atas altar, ada sebuah batu obsidian besar, diselimuti oleh cahaya merah misterius yang berasal dari lilin-lilin di sekitar altar. Di sekelilingnya, beberapa orang mengenakan pakaian berbahan kain hitam yang tampak seperti pendeta atau pemimpin spiritual, mengucapkan mantra-mantra dalam bahasa kuno yang tidak bisa mereka pahami. Suara mereka bergema di udara malam yang sunyi, memberi kesan seram dan mencekam.

Darsa (merasa semakin khawatir, bisikannya lebih cepat):

"Ritual ini... Aku yakin ini adalah upacara yang bertujuan untuk membangkitkan sesuatu. Ini lebih dari sekadar ritual biasa. Mereka sedang mempersiapkan sesuatu untuk masa depan."

Tiba-tiba, suara tawa rendah terdengar dari Prayogi, yang tampak berbicara kepada salah satu pemimpin ritual. Semua orang dalam lingkaran mengangkat tangan mereka, lalu menghujamkan pedang dan senjata mereka ke dalam tanah. Cahaya merah semakin terang, dan getaran yang terasa di tanah menunjukkan adanya kekuatan besar yang tengah dibangkitkan.

Pratiwi (berbisik dengan ketakutan):

"Ada yang salah di sini. Aku bisa merasakan sesuatu yang gelap dan berbahaya. Apa yang mereka lakukan bisa menimbulkan malapetaka jika dibiarkan."

Darsa menatap larik cahaya yang semakin membesar, matanya menegang. Prayogi tampaknya sedang memberikan perintah kepada pemimpin ritual untuk mempercepat prosesnya. Momen itu sangat mencekam, dan Darsa tahu bahwa ini adalah hal yang tidak bisa mereka biarkan begitu saja.

Darsa (dengan serius, kepada Larasmi dan Pratiwi):

"Kita harus segera melaporkan ini. Mereka sedang membangkitkan sesuatu yang bisa berbahaya bagi kerajaan Mandalagiri. Jika ini dibiarkan, mereka bisa membawa ancaman besar ke seluruh wilayah."

Larasmi (serius, sambil memeriksa sekeliling):

"Kita harus bergerak hati-hati. Jangan sampai ada jejak yang tertinggal. Sesuatu yang mereka lakukan di sini sangat berbahaya dan bisa berpengaruh jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan."

Pratiwi (menambahkan, khawatir):

"Apakah kita bisa menghentikan mereka? Ritual ini terlalu jauh dari jangkauan kita."

Darsa (dengan tatapan tegas, menahan dirinya untuk tidak bertindak terburu-buru):

"Kita hanya bisa mengamati dan melaporkan. Kapten Kalandra pasti akan tahu apa yang harus dilakukan. Yang penting, kita tidak boleh meninggalkan jejak."

Setelah menyaksikan ritual yang semakin intens, Darsa mengangguk pada kedua rekannya. Mereka perlahan mundur, hati mereka dipenuhi rasa cemas tentang apa yang baru saja mereka saksikan—sesuatu yang sangat gelap dan berbahaya. Mereka tahu, di malam ini, mereka telah menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, dan ancaman terhadap kerajaan Mandalagiri mungkin sudah mulai bergerak.

Kembali ke Masa Sekarang.

Malam Hari – Tim Darsa Kembali ke Tirabwana

Malam telah larut, dan kabut tipis menyelimuti jalan-jalan sempit di ibu kota Tirabwana. Kota ini tetap tenang, seolah tak ada yang tahu akan kehadiran Tim Darsa, yang dengan hati-hati menghindari keramaian. Mereka bergerak cepat namun tersembunyi, menembus lorong-lorong gelap dan rute-rute tersembunyi di antara bangunan kota untuk menuju Markas Guild Bayu Geni. Keheningan malam seakan menyelimuti mereka, memastikan bahwa langkah mereka tidak terdeteksi oleh siapapun, termasuk penduduk sekitar.

Di depan mereka, lorong gelap menuju ruangan Divisi Bayang-bayang Geni berliku-liku, penuh dengan ilusi dan teka-teki, seolah menyembunyikan banyak rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Setiap langkah mereka dilakukan dengan cermat, memastikan tidak ada jejak yang ditinggalkan, tidak ada suara yang dapat membongkar keberadaan mereka. Keadaan ini membuat suasana semakin mencekam—hanya langkah kaki yang teredam, dan nafas mereka yang terkendali.

Sesampainya di pintu rahasia ruang Divisi Bayang-bayang Geni, mereka berdiri sejenak, memastikan tidak ada yang mengintip. Darsa mengetuk pintu dengan kode yang hanya diketahui oleh mereka yang terlibat dalam intelijen Guild Bayu Geni. Setelah beberapa detik, suara langkah kaki terdengar di dalam ruangan, dan pintu terbuka perlahan.

Darsa (dengan suara rendah, penuh kewaspadaan):

"Kapten Kalandra, kami kembali."

Kapten Kalandra Wisanggeni, yang selalu menjaga ketenangannya, duduk di meja bundar yang terletak di tengah ruangan. Ruangan tersebut remang-remang, diterangi oleh lampu gantung kaca hitam yang memancarkan cahaya biru redup, menciptakan atmosfer misterius yang sesuai dengan fungsi Divisi Bayang-bayang Geni. Di sisi lain meja, dua anggota intelijen senior tampak sibuk memeriksa gulungan informasi dan catatan, tidak terlihat terganggu dengan kedatangan Darsa dan timnya.

Kalandra (mengangkat pandangan dari gulungan laporan yang sedang ia baca, dengan ekspresi serius):

"Apa yang kalian temukan, Darsa? Apakah ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita perkirakan?"

Darsa menarik napas dalam-dalam, kemudian membuka gulungan laporan dengan tangan yang mantap. Ia mulai menyampaikan informasi yang mereka kumpulkan selama misi di desa Suralaya, memaparkan apa yang mereka lihat, dan bagaimana Bayawira terlibat dalam kegiatan yang mencurigakan. Dengan nada serius, Darsa menceritakan perihal ritual yang mereka saksikan, dan juga Prayogi, kapten dari Bayawira, yang ternyata menjadi dalang dibalik semua ini.

Darsa (menyusun kata-kata dengan hati-hati):

"Kapten, kami menemukan sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari yang kami duga. Ritual yang kami amati di desa Suralaya bukan hanya sebuah upacara biasa. Itu adalah ritual yang dirancang untuk membangkitkan kekuatan gelap, sesuatu yang berhubungan dengan kebangkitan ancaman kuno. Prayogi, kapten Bayawira, berada di balik semua ini. Mereka berencana untuk menguasai daerah ini, mungkin bahkan merusak kestabilan kerajaan Mandalagiri."

Larasmi (dengan serius, menambahkan):

"Ritual mereka bertujuan untuk membangkitkan kekuatan yang bisa merusak wilayah kerajaan, bahkan mungkin membuka pintu ke ancaman yang jauh lebih besar. Kami bisa merasakannya—ada energi yang tidak alami."

Pratiwi (dengan ekspresi gelisah):

"Jika dibiarkan, apa yang mereka bangkitkan bisa mempengaruhi banyak desa, bahkan kerajaan. Kita hanya bisa membayangkan dampaknya."

Kapten Kalandra Wisanggeni mendengarkan dengan seksama, wajahnya tetap tenang meski jelas ada kekhawatiran di matanya. Begitu Darsa selesai melaporkan semuanya, Kalandra menghela napas panjang, menatap mereka bertiga dengan tatapan yang penuh makna.

Kalandra (memasukkan tangan ke dalam lengan bajunya, merenung):

"Ini jauh lebih besar dari yang kita sangka. Jika Bayawira benar-benar berniat untuk membuka pintu itu, maka konsekuensinya bisa mengancam kerajaan ini. Kita tidak bisa membiarkan mereka melanjutkan ritual ini."

Namun, meskipun terkesan serius, Kalandra tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan rasa puas yang tersirat di wajahnya. Tim Darsa telah melakukan tugas mereka dengan sangat baik, berhasil mengumpulkan informasi penting yang akan menentukan langkah selanjutnya.

Kalandra (setelah beberapa detik diam, kemudian tersenyum sedikit):

"Kerja bagus. Laporan kalian sangat detail. Ini akan sangat berguna bagi kita, dan mungkin untuk tindakan lebih lanjut."

Dengan gerakan tangannya yang lincah, Kalandra kemudian membuka laci meja dan mengambil sejumlah uang yang telah disiapkan untuk mereka bertiga.

Kalandra (memberikan uang kepada mereka):

"Ini sebagai imbalan atas misi yang kalian jalankan dengan sukses. Kalian telah membantu menjaga keamanan kerajaan dengan informasi yang vital ini."

Darsa (mengambil uang itu, dengan rasa hormat):

"Terima kasih, Kapten. Kami akan selalu siap untuk misi berikutnya."

Larasmi (mengangguk dengan senyum tipis):

"Semoga ini bisa membantu mengatasi ancaman yang lebih besar."

Pratiwi (mengangguk setuju, terlihat lega setelah misi yang penuh ketegangan):

"Kami siap melanjutkan tugas apa pun yang diperlukan."

Kalandra (dengan wajah serius namun penuh rasa terima kasih):

"Untuk sementara, kalian bebas. Kalian telah melakukan lebih dari cukup. Aku akan segera berdiskusi dengan Pemimpin Guild tentang apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Jangan khawatir, kita akan mengatur langkah dengan hati-hati."

Darsa, Larasmi, dan Pratiwi saling berpandangan, sedikit merasa lega setelah misi yang penuh ketegangan dan ancaman besar. Mereka tahu bahwa meskipun misi mereka telah selesai, tantangan yang lebih besar masih menanti.

Darsa (dengan suara pelan, menatap Kalandra):

"Jika ada yang bisa kami bantu, kami akan siap kapan saja."

Kalandra (dengan senyuman tipis, mengangguk):

"Tentu saja. Kami akan menghubungi kalian jika dibutuhkan."

Mereka bertiga kemudian meninggalkan ruangan Divisi Bayang-bayang Geni dengan langkah mantap, memikirkan langkah selanjutnya setelah misi ini selesai. Keputusan sulit tentang bagaimana menghadapi ancaman dari Bayawira dan kekuatan gelap yang sedang dibangkitkan akan segera diambil oleh para pemimpin Guild Bayu Geni.

Dengan laporan yang telah diserahkan dan misi yang selesai, Tim Darsa kini merasa sedikit lega, meskipun mereka tahu bahwa ancaman besar masih menanti. Mereka harus siap menghadapi apa pun yang datang setelah ini.

Pagi Hari di Kota Tirabwana

Mentari pagi perlahan menembus batas cakrawala, menyinari Kota Tirabwana dengan cahaya keemasan. Jalan-jalan besar mulai dipenuhi oleh hiruk pikuk kehidupan. Para penduduk, dari berbagai latar belakang, tampak sibuk menjalani aktivitas mereka masing-masing.

Suara derap kaki kuda bercampur dengan sorakan para pedagang yang membuka kios-kios di sepanjang jalan utama. Anak-anak berlarian sambil tertawa riang di antara para pekerja yang memanggul barang dagangan, sementara para wanita sibuk berbelanja kebutuhan dapur. Para lelaki muda, sebagian mengenakan seragam sederhana, tampak bergegas menuju Departemen-departemen Kerajaan—tempat mereka bertugas sebagai pencatat, penyelidik, ataupun pengawal administrasi.

Di pos-pos penjagaan di setiap perempatan besar, para prajurit dengan zirah ringan dan tombak panjang berdiri tegak, mengawasi lalu lintas manusia dan kendaraan. Wajah mereka tenang namun sigap, mencerminkan ketertiban yang dijaga ketat di ibu kota.

Di pinggiran kota, ada kelompok wisatawan dari desa-desa sekitar yang terlihat takjub melihat kemegahan Tirabwana. Mereka menunjuk-nunjuk ke bangunan tinggi, menatap kagum pada arsitektur kota yang megah namun tetap menyatu dengan alam.

Semakin mendekat ke tengah kota, pemandangan berubah menjadi lebih megah. Jalanan membelah lapangan luas yang disebut Alun-Alun Agung Tirabwana, di mana Istana Tirabwana berdiri anggun dan megah di ujungnya—sebuah bangunan dengan menara-menara tinggi berhiaskan ukiran emas dan atap berbentuk limasan yang berlapis batu hitam mengilap.

Di pelataran istana, para tentara kerajaan tampak sibuk menjalankan tugas. Ada yang berbaris melakukan latihan formasi, mengayunkan tombak dan pedang dengan gerakan seragam. Ada pula yang berpatroli keliling gerbang istana, mengenakan zirah berat berwarna perak dengan lambang Naga Tirta, lambang resmi Kerajaan Mandalagiri, terukir di dada mereka.

Suara dentang senjata beradu sesekali terdengar dari arena latihan di sebelah kanan istana. Para perwira muda tengah mengasah keahlian mereka, diawasi oleh senior-senior mereka yang mengenakan jubah hitam kebesaran.

Semua pemandangan ini mencerminkan satu hal: Tirabwana bukan hanya kota biasa. Ia adalah nadi dari Kerajaan Mandalagiri, pusat kekuasaan, perdagangan, kebudayaan, dan harapan rakyatnya.

Di tengah riuhnya keramaian ibu kota, dua sosok muda berjalan santai di antara para penduduk yang lalu lalang. Jasana Mandira dan Bagas Prayoga menapaki jalan batu yang mengarah ke jantung kota. Udara pagi membawa aroma kue panggang, rempah, dan bau logam dari bengkel-bengkel pandai besi yang baru buka.

Mata Jasana membelalak saat melihat Istana Tirabwana yang menjulang megah di kejauhan. Ukiran-ukiran di dinding istana, atap-atap berlapis batu hitam mengilap, serta kibaran bendera Kerajaan Mandalagiri di puncak menara membuatnya hampir terpaku.

Jasana (menghela napas kagum):

"Luar biasa... Aku baru pertama kali melihatnya dari dekat. Seperti istana dalam dongeng-dongeng yang sering kakek ceritakan."

Bagas (tertawa kecil, menepuk punggung Jasana):

"Hahaha... Jangan sampai ngiler ya, San. Kita cuma rakyat kecil, cukup lihat dari jauh."

(Bagas menoleh, lalu menunjuk ke arah barat daya istana)

"Tapi lihat, tidak jauh dari sini... itu markas kita."

Mata Jasana mengikuti arah telunjuk Bagas, dan tampaklah sebuah bangunan besar berdiri kokoh: Markas Guild Bayu Geni.

Bentuk bangunannya berbeda dari istana; lebih kokoh dan bersahaja, terbuat dari batu berwarna gelap dengan ukiran simbol api dan bayangan di gerbang utamanya. Di atas pintu besar kayu berlapis baja itu, tersemat lambang Bayu Geni—perpaduan angin dan api yang menyatu menjadi bentuk burung garuda yang mengangkat kedua sayapnya.

Jasana (tersenyum lebar, penuh rasa bangga):

"Bayu Geni... Guild kebanggaan Mandalagiri. Kita sekarang bagian dari itu."

Bagas (menarik kerah bajunya, bergaya sok gagah):

"Tentu saja! Sekarang tinggal membuktikan, siapa yang paling cepat naik jadi anggota elit!"

Mereka berdua tertawa, mengusir ketegangan perjalanan panjang mereka. Di antara gemerlap ibu kota dan bayang-bayang istana yang menjulang tinggi, mereka melangkah lebih cepat menuju markas—siap untuk hari baru, petualangan baru.

Toko Pakaian Tradisional "Puspita Lelana" - Kota Tirabwana

Matahari pagi menyinari pasar besar Tirabwana, membuat gemerlap warna-warni kain dan hiasan tradisional berkilauan. Di antara hiruk pikuk pedagang dan pembeli, terlihat dua sosok gadis muda yang sedang asyik memilih-milih pakaian: Nandika dan Pratiwi.

Toko "Puspita Lelana" adalah salah satu toko pakaian terkenal di kota ini, menyediakan busana bergaya Nusantara klasik—kebaya panjang berbordir emas, selendang berwarna lembut, kain batik bermotif rumit, hingga perhiasan kepala berhias bunga kencana.

Nandika memegang sebuah selendang biru tua bertabur sulaman perak, mengaguminya sambil tersenyum.

Nandika: "Wah... Lihat ini, Tiwi! Bagus banget, ya? Bayangin kalau dipakai waktu festival kota nanti."

Pratiwi yang sedang memegang kebaya berwarna hijau zamrud langsung tertawa kecil.

Pratiwi: "Kamu cocok banget pakai warna biru, Nandika. Kalau aku... kayaknya bakal pilih hijau ini. Biar lebih nyaru, sekalian latihan penyamaran, hehe."

Mereka berdua tertawa kecil, menarik perhatian beberapa pembeli lain yang tersenyum melihat keceriaan dua remaja tersebut.

Nandika kemudian mengangkat satu set pakaian lain, sebuah kain panjang dengan motif naga.

Nandika (membisik, bercanda): "Kalau pakai motif kayak gini... aku bisa jadi pendekar handal, mungkin?"

Pratiwi: "Iya, iya! Tapi nanti Kirta bisa minder, soalnya kamu kelihatan makin keren!"

Mereka berdua tertawa geli.

Pratiwi mencoba mengenakan selendang di depan cermin kecil toko, lalu berputar-putar dengan gaya lucu.

Pratiwi: "Gimana? Kalau aku begini, cocok jadi tuan putri?"

Nandika (menahan tawa): "Cocok banget... Tuan Putri penyusup!"

Gelak tawa mereka memenuhi sudut toko.

Beberapa kain pilihan mereka akhirnya dibungkus oleh penjaga toko, setelah tawar-menawar singkat yang penuh canda.

Saat mereka berjalan keluar sambil membawa bungkusan kain di tangan, Pratiwi berseru riang:

Pratiwi: "Kita harus sering-sering belanja kayak gini! Biar di antara latihan berat dan misi-misi itu... kita tetap ingat rasanya jadi gadis biasa."

Nandika (tersenyum hangat): "Iya, Tiwi. Kadang... hal-hal kecil kayak gini yang bikin kita tetap kuat."

Mereka berjalan berdampingan, menembus keramaian Tirabwana dengan tawa ringan, membawa kehangatan muda yang jarang mereka rasakan di tengah kehidupan keras para anggota Guild Bayu Geni.

Gua Tersembunyi – Markas Rahasia Bayawira

Di dalam kegelapan gua besar, terdengar bunyi tetesan air dari stalaktit. Cahaya obor yang temaram berkelap-kelip, menerangi sebagian kecil ruangan luas yang tampak seperti ruang pertemuan.

Di tengah ruangan, ada empat sosok Kapten Bayawira yang berdiri melingkar.

Salah satunya, Kapten Prayogi Mahadipa, berdiri dengan wajah terbuka, menunjukkan sorot mata penuh kebencian dan ambisi.

Tiga sosok lainnya masih tersembunyi dalam bayang-bayang tebal, wajah mereka tidak tampak, hanya siluet tubuh gagah yang menandakan kekuatan.

Lalu...

Langkah perlahan terdengar dari lorong terdalam gua.

Seseorang muncul — sosok berjubah hitam pekat, dengan topeng putih bercorak ukiran aneh.

Dia tidak berkata sepatah kata pun saat mendekat, namun kehadirannya menekan udara sekeliling — aura mengerikan menyebar seketika.

Semua Kapten menundukkan kepala sebagai tanda hormat.

Suara berat dan dingin akhirnya terdengar dari balik topeng:

"Bagaimana persiapan di Suralaya?"

Kapten Prayogi menjawab, suaranya penuh kehati-hatian.

"Ritual di Suralaya berjalan sesuai rencana, Tuan. Energi di wilayah itu mulai terguncang. Tapi... sepertinya pihak kerajaan mulai curiga."

Sosok bertopeng itu terdiam sejenak, sebelum menggerakkan tangan perlahan.

"Tidak masalah... Kita telah memperkirakan itu.

Segel Pintu Kuno di Hutan Lembayung Dipa tidak bisa dibuka dalam sekali pukul. Kita butuh lebih banyak... 'Ritual'."

Dia menatap ke arah kegelapan, seolah melihat sesuatu jauh melampaui dinding gua ini.

Pemimpin Bayawira (lanjut, perlahan):

"Ritual-ritual itu harus dilakukan di tujuh lokasi...

Desa, dataran tinggi, hutan, kuil tua... semua tempat yang menyimpan energi purba.

Kita butuh bertahun-tahun untuk memecahkan seluruh segel itu.

Tapi... saat waktunya tiba...

Kerajaan Mandalagiri akan runtuh di hadapan kita.

Dan yang berkuasa... adalah kita."

Tiga Kapten lainnya hanya diam, mengangguk dalam kegelapan.

Prayogi mengepalkan tinjunya erat, matanya membara dengan tekad jahat.

"Aku bersumpah... aku akan mempercepat proses di wilayahku.

Desa sekitar akan segera 'disucikan' melalui ritual."

Sang Pemimpin mengangguk perlahan, lalu berkata dengan suara yang lebih pelan tapi mengerikan:

Pemimpin Bayawira:

"Bagus, Prayogi. Ingat, kita bergerak dalam bayang-bayang...

Biarkan waktu menjadi sekutu kita.

Sabar... adalah kunci."

Sang Pemimpin perlahan memutar badan, langkahnya menghilang ke lorong tergelap gua.

Obor-obor bergoyang diterpa angin gelap yang seakan mengikuti kepergiannya.

Kapten Prayogi menatap ke arah sosok itu menghilang, lalu berbalik kepada rekan-rekannya.

Prayogi Mahadipa (berbisik, penuh hasrat gelap):

"Mandalagiri... akan jadi milik kita.

Dan mereka... tidak akan tahu apa yang menanti di balik pintu kuno itu."

Adegan perlahan menggelap, meninggalkan gua dalam keheningan yang menakutkan.

Istana Tirabwana – Ruang Singgasana Kerajaan

Ruang singgasana Istana Tirabwana tampak megah, penuh ukiran emas dan ornamen khas Mandalagiri.

Karpet merah terbentang panjang dari pintu utama hingga mengarah ke singgasana besar berbahan batu putih berkilau.

Di sana, tampak Sang Raja — Sri Maharaja Darmawijaya — duduk dengan anggun, mengenakan mahkota berat bertatahkan batu permata biru.

Di samping kirinya, berdiri Sang Ratu, Permaisuri Shandrakirana, sosok wanita anggun namun matanya tajam, memancarkan aura penuh wibawa bercampur ambisi tersembunyi.

Di bawah singgasana, berjejer dengan hormat, terlihat jajaran penting kerajaan:

Mahamenteri Palindrasuta (Perdana Menteri senior bijaksana)

Panglima Agung Jayasatya (Panglima militer tertinggi Mandalagiri)

Penasihat Istana lainnya.

Di sisi kanan ruang singgasana, berdiri dua Pangeran Mahkota, kakak-beradik:

Pangeran Aryasatya, anak sulung — berwajah tegas namun terlihat sinis.

Pangeran Mahadarsa, adiknya — berwajah licik dengan seringai kecil, penuh arogansi.

Mereka berdua berdiri agak santai, tidak sepenuhnya menyembunyikan ekspresi tidak suka saat pandangan mereka menatap ke arah seorang pemuda muda di antara jajaran bangsawan — Adipati Maheswara, pemimpin Guild Bayu Geni — yang sebenarnya saudara mereka satu ayah, namun lahir dari selir, bukan dari Permaisuri utama.

Pangeran Aryasatya berbisik kepada Mahadarsa, suara mereka hampir tak terdengar.

Pangeran Aryasatya (berbisik):

"Lihat, anak dari selir itu... berani sekali berdiri sejajar di hadapan Ayahanda."

Pangeran Mahadarsa (menahan tawa kecil):

"Seharusnya dia sadar diri... darahnya tak sebersih kita."

Sang Ratu, Permaisuri Shandrakirana, yang mendengar bisikan itu, hanya melirik tajam dengan rasa sebal.

Ia tetap mempertahankan senyum tipis, namun dalam hatinya mendidih — dendam lama karena sang Raja pernah mencintai seorang wanita selir dan melahirkan Maheswara.

Sementara itu, Sri Maharaja Darmawijaya tampak tetap tenang di singgasananya, walau pandangannya kadang menatap Adipati Maheswara dengan rasa bangga terselubung.

Mahamenteri Palindrasuta melangkah ke depan, membacakan laporan situasi wilayah kerajaan.

Sementara Panglima Agung Jayasatya berdiskusi tentang patroli-patroli di perbatasan, mengingat ada kabar tentang gangguan di desa-desa terpencil.

Di antara kesibukan istana itu, ketegangan antara darah utama dan darah selir tetap membara dalam diam, menjadi bara kecil yang sewaktu-waktu bisa menyulut konflik besar...

Ruang Khusus Pertemuan Istana Tirabwana

Tak lama setelah rapat umum berakhir, Adipati Maheswara dipanggil secara khusus oleh Sri Maharaja Darmawijaya.

Pertemuan itu berlangsung di sebuah ruangan kecil namun megah di belakang ruang singgasana — sebuah ruang rahasia tempat Raja biasa menerima laporan penting secara langsung.

Hanya Raja, Mahamenteri Palindrasuta, Panglima Agung Jayasatya, dan Permaisuri Shandrakirana yang hadir.

Pangeran Aryasatya dan Mahadarsa sudah diperintahkan meninggalkan ruangan sebelumnya.

Maheswara berlutut satu kali dengan hormat, lalu berdiri tegap.

Sri Maharaja Darmawijaya (suara berat namun berwibawa):

"Adipati Maheswara, laporkan tentang apa yang kau dan Guild-mu temukan akhir-akhir ini."

Maheswara mengambil napas dalam-dalam, lalu maju satu langkah.

"Hamba melaporkan, Paduka Raja.

Beberapa waktu lalu, kami menerima laporan dari Kapten Raka Lelana, Lodra Wahana, tentang ditemukannya sebuah Pintu Kuno di tengah Hutan Lembayung Dipa. Berdasarkan Sketsa kasar dari Laporan tersebut,

Pintu itu dipenuhi ukiran-ukiran ghaib yang bahkan para ahli belum mampu memecahkannya. Menurut Laporan yang diberikan Energi aneh memancar dari balik pintu tersebut."

Semua yang hadir memperhatikan dengan serius.

Maheswara melanjutkan, wajahnya penuh kesungguhan.

"Selain itu, dari informasi Kalandra Wisanggeni, Kapten Divisi Bayang-bayang Geni, kami mendapati adanya Ritual Aneh di Desa Suralaya, diketahui salah seorang Kapten Bayawira Prayogi Mahadipa yang menjadi dalang ritual aneh tersebut.

Ritual tersebut melibatkan pengumpulan energi ghaib kuno, masih belum jelas tujuannya,

Mengingat pola dan simbol-simbol yang kami temukan, hamba menduga keduanya — Pintu Kuno dan ritual itu — saling berhubungan."

Mahamenteri Palindrasuta mengernyit, sementara Panglima Agung Jayasatya menatap Maheswara tajam.

Panglima Jayasatya:

"Apa kau yakin ada keterkaitan antara Bandit Bayawira dengan kekuatan kuno itu?"

Adipati Maheswara (menunduk hormat, lalu mengangguk):

"Terlalu banyak kebetulan, Paduka.

Mereka tampaknya seperti ingin membangkitkan sesuatu dari masa lalu... sesuatu yang bisa mengancam kestabilan Mandalagiri."

Sri Maharaja Darmawijaya (merenung sejenak, lalu berkata dalam nada dalam):

"Gerbang kuno itu... Jika sampai dibuka tanpa kendali, bisa membawa bencana."

Sang Ratu, Permaisuri Shandrakirana, hanya diam, memandang Maheswara dengan tatapan sulit ditebak.

Mahamenteri Palindrasuta:

"Langkah apa yang sebaiknya kita ambil, Paduka?"

Raja Darmawijaya mengetukkan jemari di sandaran singgasananya, lalu berkata dengan tenang namun tegas.

"Perintahkan investigasi penuh di wilayah-wilayah berenergi ghaib.

Perkuat patroli di Lembayung Dipa.

Dan... aku tugaskan Guild Bayu Geni untuk menjadi tangan rahasia kerajaan dalam urusan ini."

Maheswara membungkuk dengan hormat, menerima tugas berat tersebut.

Dalam hati, ia tahu — ini bukan sekadar misi biasa. Ini mungkin awal dari sesuatu yang jauh lebih besar...

Malam Hari, Ruang Rahasia Markas Guild Bayu Geni

Setelah Adipati Maheswara memberikan Laporan di Istana, Di sebuah ruang tersembunyi di bawah tanah, di dalam kompleks Markas Guild Bayu Geni, sebuah pertemuan penting tengah berlangsung. Ruangan itu, yang dikelilingi oleh dinding batu tebal dan diterangi cahaya redup dari lentera, dipenuhi dengan suasana tegang dan serius.

Di meja besar yang terbuat dari kayu hitam yang kuat, Adipati Maheswara duduk di sisi paling tengah, dikelilingi oleh lima kapten dari setiap divisi Guild Bayu Geni. Setiap wajah terlihat serius, mengingatkan mereka akan tanggung jawab besar yang tengah mereka hadapi.

Kapten Raksadana dari Divisi Panggrahita Aji duduk tegak, tangan terlipat di depan dada. Wajahnya yang penuh garis kerutan menunjukkan kebijaksanaan, namun tatapannya juga penuh kewaspadaan.

Kapten Lodra Wahana, dari Divisi Raka Lelana, menyandarkan dirinya pada kursinya dengan tangan tersilang di depan dada, matanya tajam menatap Adipati Maheswara. Wajahnya yang keras mencerminkan pengalaman bertempur yang luas.

Kapten Mahadewa Rakunti dari Divisi Rasa Prawira terlihat tenang namun tegas, dengan alis berkerut menandakan dia sedang berpikir keras. Keberadaan kekuatan ghaib dan energi mistik selalu menarik minatnya, namun kali ini terasa berbeda.

Kapten Kalandra Wisanggeni, dari Divisi Bayang-bayang Geni, menatap semua orang dengan penuh perhatian, seolah menyaring setiap kata yang keluar. Ia lebih banyak mendengar daripada berbicara, namun setiap kata yang diucapkannya selalu dipertimbangkan dengan seksama.

Kapten Doyantra Puspaloka dari Divisi Mandala Dhana, yang biasa menangani perihal logistik dan ekonomi, kini tampak serius. Biasanya dia lebih suka bekerja dengan angka dan distribusi, namun ancaman terhadap kerajaan membuatnya terpaksa menajamkan ketajaman strategisnya.

Suasana semakin tegang ketika Adipati Maheswara mulai membuka pembicaraan.

"Kami baru saja menerima laporan dari semua pihak terkait temuan-temuan penting yang bisa mengancam kedamaian kerajaan Mandalagiri.

Pintu Kuno yang ditemukan di Hutan Lembayung Dipa... dan ritual-ritual gelap yang terjadi di Desa Suralaya. Saya khawatir ini adalah tanda awal dari ancaman besar yang berusaha dimunculkan oleh Bandit Bayawira."

Semua kapten saling bertukar pandang, mereka tahu ini adalah bahaya yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Kapten Raksadana:

"Jika memang ada kaitan antara Pintu Kuno dan ritual gelap itu, kita harus bertindak cepat.

Saya khawatir, jika ritual tersebut berhasil, kekuatan kuno yang terkandung di dalamnya bisa menghancurkan kerajaan kita. Apakah kita punya informasi lebih lanjut tentang apa yang mereka coba buka?"

Kapten Lodra Wahana:

"Pintu itu, menurut laporan dari tim kami, dipenuhi simbol-simbol kuno yang belum terpecahkan. Kami menemukan jejak-jejak energi yang sangat kuat. Jika ritual di desa Suralaya terus berlangsung, bisa jadi mereka sedang mencoba membuka gerbang yang lebih besar... gerbang yang menghubungkan dunia kita dengan dunia lain."

Kapten Mahadewa Rakunti:

"Kekuatan ghaib yang terhubung dengan ritual itu sangat berbahaya. Saya merasakan ada energi yang tidak hanya datang dari dunia ini. Jika mereka berhasil membuka gerbang itu, kita mungkin akan menghadapi sesuatu yang lebih dari sekadar ancaman fisik — kekuatan yang bisa memanipulasi alam semesta itu sendiri."

Kapten Kalandra Wisanggeni (suara pelan, namun jelas):

"Saya setuju dengan Kapten Mahadewa. Namun, kita juga harus mempertimbangkan apa yang kita hadapi dari pihak Bandit Bayawira. Mereka tidak hanya beroperasi di desa Suralaya. Ada informasi yang kami dapatkan bahwa mereka telah bergerak ke tempat lain yang juga memiliki potensi energi ghaib tinggi. Mereka tahu bagaimana memanfaatkan kekuatan itu."

Kapten Doyantra Puspaloka:

"Jika kita berencana untuk menghentikan mereka, kita harus mengatur logistik dan rencana dengan sangat hati-hati. Kita tidak bisa hanya bergantung pada kekuatan individu atau serangan langsung. Ini membutuhkan persiapan yang matang dan strategi yang lebih cerdas."

Adipati Maheswara mengangguk setuju, lalu menatap seluruh kapten yang ada.

"Aku setuju. Kita perlu bergerak cepat, namun dengan sangat hati-hati. Kita akan mengirim tim ke daerah-daerah yang memiliki potensi energi tinggi, mencari tahu apa yang mereka sembunyikan. Saya ingin kalian mempersiapkan segala sesuatu, baik fisik maupun mental, untuk menghadapi ancaman yang mungkin akan datang."

Kapten Raksadana:

"Kami siap, Paduka. Kami akan melatih anggota Guild Bayu Geni agar bisa menghadapinya dengan sebaik mungkin."

Kapten Lodra Wahana:

"Kami juga akan memimpin misi eksplorasi ke lokasi-lokasi yang terindikasi memiliki energi tersebut. Jika diperlukan, kami akan membawa kekuatan penuh dari Divisi Raka Lelana."

Kapten Mahadewa Rakunti:

"Saya akan mempersiapkan segala bentuk perlindungan mistik, serta memanfaatkan kekuatan dari Divisi Rasa Prawira untuk mendeteksi dan menahan ancaman ghaib apapun yang muncul."

Kapten Kalandra Wisanggeni:

"Saya akan menyiapkan intelijen dan mengintai gerakan-gerakan Bandit Bayawira lebih jauh lagi. Jika mereka bergerak ke arah yang lebih berbahaya, kami harus siap."

Kapten Doyantra Puspaloka:

"Saya akan mengkoordinasikan segala sumber daya, memastikan distribusi logistik berjalan lancar. Jika ada kebutuhan mendesak, kita akan segera menanggapinya."

Adipati Maheswara tersenyum tipis, puas dengan kesiapan para kapten.

"Kalian semua tahu apa yang harus dilakukan. Ingat, kita tidak hanya melindungi kerajaan ini, tetapi juga mencegah bencana besar yang bisa meruntuhkan dunia yang kita kenal. Lakukan ini dengan hati-hati, dan pastikan Guild Bayu Geni siap dalam segala hal. Kalau ada hal lain, kita akan berbicara lebih lanjut."

Semua kapten berdiri dan memberi hormat. Mereka tahu bahwa ini adalah misi yang akan menentukan nasib kerajaan, dan mereka siap untuk menghadapinya.

Catatan: Scene ini menandakan langkah pertama Guild Bayu Geni untuk menghadapi ancaman besar yang akan datang, dengan para kapten yang bersiap untuk ancaman besar di masa depan

Ruangan Khusus Pangeran di Istana Tirabwana — Malam Hari

Ruangan itu dihiasi permadani mahal dan ukiran kayu indah di dinding-dindingnya. Di tengahnya, duduk dua sosok muda berpakaian megah — Pangeran Aryasatya dan Pangeran Mahadarsa, putra-putra sang Maha Raja dari permaisuri utama.

Namun malam ini, wajah mereka tidak menunjukkan kebanggaan, melainkan amarah dan rasa tidak puas.

Pangeran Aryasatya membanting cawan minumnya ke meja kecil di hadapannya.

"Kenapa... kenapa Ayahanda hanya mengundang si Adipati Maheswara itu dalam pertemuan rahasia?! Bukankah kita adalah pewaris sah Kerajaan Mandalagiri?" geramnya, rahangnya mengeras.

Pangeran Mahadarsa, yang lebih muda, menghentakkan kakinya ke lantai, suaranya bergetar, "Ini penghinaan! Kita bahkan tidak diberi tahu apa isi pembicaraan itu! Apakah Ayahanda sudah melupakan darah kerajaan yang mengalir dalam diri kita?"

Di sudut ruangan, seorang prajurit bertampang licik dan penuh senyum basa-basi menundukkan kepala hormat.

Dialah Sangbra Witantra, seorang Letnan Utama dari Pasukan Khusus Istana Tirabwana. Seorang yang telah lama menjadi bayang-bayang para pangeran, selalu siap membisikkan racun ke dalam hati mereka.

Sangbra mendekat, lalu berkata dengan suara licik, "Ampun Tuanku... Hamba pun merasa heran dan geram. Sejak kapan seorang anak dari selir lebih dipercaya mengurusi urusan negara dibanding darah murni Paduka berdua?"

Mahadarsa menggeram, "Semakin hari, guild sialan Bayu Geni itu semakin besar kepala! Mereka seolah lebih penting dari prajurit kerajaan sendiri!"

Sangbra tersenyum tipis, menambahkan minyak ke dalam api, "Hamba dengar, Guild Bayu Geni bahkan diizinkan mengatur ekspedisi, menangani ancaman, seolah mereka tentara kerajaan... semua itu atas nama 'misi rahasia'. Paduka berdua harus berhati-hati. Kelak, kekuatan mereka mungkin akan mengancam hak Tahta Paduka."

Aryasatya mengepalkan tinjunya, matanya berkilat.

"Suatu saat... suatu saat aku akan tunjukkan pada semua orang siapa pewaris sejati Mandalagiri."

Mahadarsa mengangguk, "Ya... dan kita akan pastikan Adipati Maheswara dan para guildnya tahu tempat mereka."

Suasana ruangan semakin dipenuhi aura dendam yang dipendam dalam diam. Malam Tirabwana semakin pekat, seolah ikut merasakan gejolak yang akan datang.

Flashback Sangbra Beberapa waktu yang lalu, Kedai Gelap di Sudut Tirabwana

Suasana kedai itu suram.

Lampu minyak menggantung redup di langit-langit reyot, aroma tuak basi dan asap dupa murahan memenuhi udara.

Di sudut ruangan, tersembunyi di balik tirai lusuh, Sangbra Witantra duduk bersandar santai, dengan jubah prajurit setengah terbuka.

Dua pria berwajah kasar — salah satu bertato ular di lehernya, satunya lagi bermata sipit licik — membungkuk mendekat ke meja kecil di hadapannya.

Sangbra (suara pelan namun tajam):

"Sudah kujelaskan... yang kubutuhkan hanya bisikan kecil. Tak perlu besar. Biarkan lidah-lidah pasar yang menyebarkannya."

(matanya menyipit curiga)

Pria Bertato:

"Tuan mau kami mulai dari pasar atas? Atau dari pengrajin di sekitar barat Tirabwana?"

Sangbra (mengetuk meja perlahan):

"Dari tempat mana saja yang sering dikunjungi Guild Bayu Geni. Buat seolah-olah rakyat sendiri yang mulai bertanya-tanya... tentang harta yang mereka bawa pulang, atau mengapa mereka bebas keluar-masuk tanpa titah istana."

Pria Bermata Sipit:

"Kami juga punya jalur ke beberapa penjaga muda. Mereka bisa disulut agar bicara kasar tentang Guild."

Sangbra (tersenyum miring):

"Bagus. Upah kalian akan berlipat ganda... asal mulut kalian tetap serapat batu nisan."

Ia meletakkan kantong kulit kecil berisi koin di atas meja.

Bunyi gemerincing logam memenuhi ruang sunyi itu, cukup untuk membuat kedua informan itu mengangguk cepat dan menghilang ke dalam gelap malam.

Sangbra menghela napas pendek, matanya bersinar licik di bawah cahaya temaram.

Sangbra (gumam dalam hati):

"Bayu Geni... cepat atau lambat, kau akan kehilangan pijakanmu."

Kembali ke Ruang Khusus Pangeran di Istana Tirabwana — Malam Hari

Cahaya obor berkedip di dinding batu berukir. Pangeran Aryasatya dan Mahadarsa masih duduk di kursi berlapis kain mewah, namun wajah keduanya tampak tegang dan gelisah. Di hadapan mereka, setengah berlutut dengan sikap hormat, berdirilah Sangbra Witantra, tangan kanan setia — dan tersembunyi, juga penuh siasat.

Pangeran Aryasatya menggeram pelan, menatap ke arah jendela yang mengarah ke taman istana.

"Selalu saja Maheswara yang dipanggil untuk urusan penting... seolah hanya dia yang pantas dipercaya."

Mahadarsa menimpali dengan suara dingin:

"Adipati itu bahkan membawa-bawa Guild-nya sendiri. Mereka bertindak seperti tentara kerajaan... menghina keberadaan kami!"

Sangbra membungkuk rendah, wajahnya licik tersembunyi di balik bayangan.

"Hamba mengerti kegundahan Paduka berdua. Namun... dalam setiap kekuasaan, bukan kekuatan kasar yang menggulingkan... melainkan kepercayaan rakyat yang runtuh perlahan."

Kedua pangeran menatapnya penuh perhatian. Sangbra perlahan berdiri lebih tegak, suaranya menjadi lebih meyakinkan.

"Izinkan hamba menyarankan... kita taburkan benih-benih keraguan di antara rakyat. Biarkan rumor berkembang... bahwa Guild Bayu Geni hanyalah alat pribadi Adipati Maheswara, mengejar kekuasaan, bukan pengabdian."

"Kita tiupkan kabar... bahwa mereka mengabaikan keselamatan desa-desa kecil. Bahwa mereka menutup-nutupi ancaman demi nama baik sendiri. Sedikit demi sedikit... keyakinan pada Maheswara akan retak."

Pangeran Mahadarsa mengepalkan tangan dengan sorot puas.

"Dan saat itu terjadi, Ayahanda akan melihat... siapa yang sebenarnya pantas mengemban kepercayaan."

Aryasatya mengangguk lambat, matanya berkilat.

"Lakukan, Sangbra. Sebarkan bisikan-bisikan itu... tapi pastikan tak ada jejak yang mengarah ke kami."

Sangbra membungkuk dalam-dalam, senyum licik terselip di sudut bibirnya.

Sangbra Witantra: "Titah Paduka akan hamba jalankan sehalus desir angin... hingga tiada seorang pun menyadari siapa yang meniupkannya."

Lampu obor bergetar, seolah merayakan lahirnya konspirasi baru di kedalaman Istana Tirabwana.

Beberapa Minggu Kemudian.

Malam di Hutan Alas Kumadri

Angin malam berhembus di antara pepohonan lebat Hutan Alas Kumadri, hutan purba yang membentang luas di sisi barat Desa Sambiwana dan Desa Gunungjati — dua desa kecil yang sudah berminggu-minggu ini diteror oleh makhluk-makhluk buas.

Di bawah cahaya rembulan yang sesekali tertutup awan, tampak empat sosok muda dari Guild Bayu Geni menyusuri jalur setapak tanah.

Mereka adalah Jasana, Bagas, Nandika, dan Brahma, menjalankan misi umum untuk memburu sekelompok Balaraksa — monster berbentuk besar menyerupai orc, kulit mereka berwarna kelabu kehijauan, tubuh kekar, dan bertaring besar. Balaraksa dikenal sebagai biang kerok penculikan ternak dan perusak ladang tidak jarang juga mereka menyerang Warga dan mengakibatkan Korban jiwa.

Mereka berjalan hati-hati, senjata masing-masing siap di tangan.

Nandika (berbisik, sambil menajamkan matanya di kegelapan)

"Kalian yakin ini jalurnya? Kata tetua desa, makhluk itu biasa lewat sini saat malam purnama."

Bagas (sambil memutar-mutar sarung tangan besinya):

"Kalau salah jalur... yah, minimal kita bisa bertemu ular atau babi hutan buat pemanasan."

Brahma (tersenyum tenang, menggenggam dua bilah pedangnya):

"Fokus saja, kita harus dapatkan kepalanya. Monster kelas C, kalau dihitung-hitung, bayaran per kepala lumayan juga."

Jasana (menatap ke depan dengan sikap waspada):

"Hati-hati. Balaraksa suka menyerang berkelompok. Mereka tidak terlalu pintar, tapi kekuatan mereka jauh di atas manusia biasa."

Dari kejauhan, terdengar suara gemuruh...

Seperti ranting besar patah.

Langkah berat menghentak tanah.

Nandika segera mengisyaratkan tangan untuk berhenti.

Brahma (setengah berbisik, dengan mata berbinar):

"Sepertinya kita tidak perlu menunggu lama."

Perlahan dari semak-semak, muncul sosok dua Balaraksa yang mengendus-endus udara, mulut mereka berbuih liar.

Pertarungan di Hutan Alas Kumadri

Dua Balaraksa menggeram, air liur menetes dari taring mereka, mata merah menyorotkan keganasan. Tanpa aba-aba, salah satunya mengaum keras dan menerjang.

Bagas melangkah maju dengan percaya diri.

Bagas (teriak sambil mengepalkan tinju):"Sini kau, raksasa kampung! Lawan otot sejati!"

Dengan satu dentuman keras, Bagas mengayunkan tinju besinya tepat ke rahang Balaraksa!Balaraksa itu terhuyung... lalu membalas dengan pukulan besar.Keduanya malah seperti adu kekuatan otot, saling menghantam dan beradu dorongan seperti dua banteng liar.

Nandika (berteriak sambil berkelit lincah):"Bagas! Ini misi berburu, bukan lomba adu pukul!!"

Bagas (sambil terkekeh, menahan pukulan Balaraksa):"Heh, sekalian olahraga, Nandika!"

Sementara itu, Jasana dengan penuh konsentrasi menghunus pedang baja pemberian Pak Bramasuta. Pedangnya ringan namun kuat, berkilau memantulkan sinar bulan.

Dengan lincah, Jasana mengincar sela-sela armor alami di tubuh kasar Balaraksa.

Jasana (dalam hati):"Serang bagian leher... celah di balik otot tebalnya..."

Dengan gerakan cepat, Jasana berputar dan menebas bagian bawah lengan Balaraksa, membuat makhluk itu meraung kesakitan.

Brahma masuk ke pertempuran dengan gaya yang berbeda — dua bilah pedang menari di tangannya seperti aliran air.Setiap gerakannya cepat, anggun, dan mematikan.

Brahma (dengan nada santai sambil berkelit):"Terlalu berat... terlalu lambat... sayang sekali makhluk sekeras ini tidak bisa diajak berdansa."

Pedangnya meluncur mulus, menciptakan luka-luka kecil yang melemahkan gerak Balaraksa kedua.

Sementara itu, Nandika, dengan tombaknya, berlari melingkar, mencari kesempatan menyerang.

Dengan kelincahan luar biasa, dia melompat ke batang pohon, memanfaatkan momentum, dan menusukkan tombaknya ke punggung Balaraksa yang sedang terkonsentrasi pada Bagas.

Nandika (berseru sambil tersenyum puas):"Tusukan satu gratis untuk pelanggan besar!"

Balaraksa menggeram kesakitan, jatuh berlutut.Dengan sigap, Brahma dan Jasana mengoordinasikan serangan akhir.

Jasana:"Brahma, sekarang!"

Dalam gerakan bersamaan, Brahma menebas kedua kakinya, sementara Jasana menghunjamkan pedang ke dada makhluk itu.Balaraksa itu roboh dengan gemuruh keras di tanah.

Bagas, yang masih adu otot dengan Balaraksa lain, akhirnya menarik napas panjang... lalu dengan satu hentakan brutal, menghantam dada Balaraksa itu keras-keras hingga makhluk itu menghempas ke belakang, tidak bergerak.

Bagas (memandang kepalan tinjunya sambil tersengal):"Hah... lihat tuh. Tangan kosong tetap juara."

Nandika (menepuk pundaknya sambil nyengir):"Iya iya, Otot Besi... jangan bangga dulu, itu baru dua."

Empat sekawan itu berdiri di bawah langit malam, napas mereka berat tapi wajah mereka puas.Dua Balaraksa tewas di kaki mereka, dan misi hampir selesai.

Jasana (tersenyum sambil menyarungkan pedangnya):"Kita pulang bawa kepala... dan cerita keren."

Brahma (menambahkan sambil membersihkan pedangnya):"Dan mungkin... bonus makan-makan di desa."

Semua tertawa kecil, meski masih waspada — siapa tahu masih ada Balaraksa lain mengintai di kegelapan.

Jalan Menuju Desa Sambiwana, Malam Menjelang Pagi

Langkah keempat anggota Guild Bayu Geni terdengar berat di jalanan tanah berbatu, disinari cahaya samar dari obor-obor yang dipasang di sepanjang jalan desa.Tubuh mereka lelah, pakaian penuh debu dan noda darah Balaraksa, tapi wajah mereka cerah — kemenangan jelas terasa di udara.

Saat memasuki gerbang Desa Sambiwana, suara riuh menyambut.Warga desa, tua-muda, berkumpul membawa obor dan bertepuk tangan riuh.

Warga Desa (berteriak bersahut-sahutan):"Hidup para pendekar Bayu Geni!""Pahlawan kita telah kembali!"

Beberapa anak-anak kecil berlarian mendekat, mengelilingi mereka dengan mata berbinar-binar penuh kekaguman.

Bagas (berbisik ke Jasana sambil tersenyum malu):"Waduh... kayak disambut kayak raja, nih."

Jasana (tersenyum sambil menepuk punggung Bagas):"Ya dinikmati saja, Otot Besi."

Dari kerumunan, melangkah keluar Kepala Desa Sambiwana, seorang pria setengah baya berjanggut putih rapi, mengenakan pakaian resmi desa dengan ikat kepala bermotif.

Kepala Desa (membungkukkan badan dalam-dalam):"Atas nama seluruh warga Sambiwana, kami mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya. Tanpa kalian, entah berapa lagi ternak dan nyawa yang melayang."

Ia kemudian menyerahkan sebuah kotak kayu ukiran kepada Jasana.Di dalamnya, terdapat sekantung kepeng uang perak , serta sebuah medali kecil bertuliskan lambang desa.

Kepala Desa (tersenyum tulus):"Sebagai ungkapan terima kasih, kami berikan sedikit hadiah ini. Tak sebanding dengan jasa kalian, tapi semoga bermanfaat untuk perjalanan kalian kelak."

Jasana menerima dengan hormat, lalu membagikannya dengan ketiga rekannya.

Nandika (berbisik kecil):"Lumayan buat beli baju Baru di kota, nih."

Brahma (menyeringai sambil menepuk kantongnya):"Dan tambah biaya ganti sarung pedangku yang kemarin koyak!"

Semua tertawa kecil, sejenak melupakan letih.

Sementara warga desa mengundang mereka beristirahat dan makan bersama, Jasana sempat memandang ke arah hutan gelap di kejauhan.Matanya menyipit... seolah merasakan bahwa ini baru permulaan dari banyak bahaya yang lebih besar.

Jasana (dalam hati, dengan tekad membara)"Jika ini baru permulaan... kami siap untuk semuanya."

Langit mulai membiru di ufuk timur, menandakan fajar baru.